Halaman

Jumat, 01 Mei 2020

doeloe belum paham, sekarang sudah lupa


doeloe belum paham, sekarang sudah lupa

Drama kehidupam bermasyarakt, berbangsa, bernegara menunjukkan bahwa kebutuhan, keperluan, kepentingan hidup berkeseimbangan dalam satu paket pertunjukkan. Hak dan kewajiban selaku manusia unggul berebut tempat pada paket kehidupan.

Seolah-seolah, pendidik politik mirip pendidikan vokasi. Pendidikan untuk penguasaan pengetahuan, keahlian, kelihaian, pintar-pintar dan keterampilan yang memiliki nilai ekonomis, nilai komersial, tarif dasar, nilai jual sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pasar. Penerapan secara dinamis perlu berlanjut, tidak sekedar melalui adanya jenjang kaderisasi.  

Bahan baku, kemasan pendidikan politik, agaknya masih jauh dari daya moralitas, aspek santun, rasa sensitivitas, jiwa ksatria, sifat kerakyatan. Mansuia politik sebagai peserta didik, hanya dianggap sesuai asas patuh dan taat.  Dilema protokol kemanusiaan, patuh karena butuh vs taat karena niat. Loyalitas harus total kopral. Itupun masih harus bersaing dengan pemodal atau kawanan pesohor non-partai.

Akhirnya walau tak pernah berakhir, anak cucu trah ideologis abal-abal terbiasa disuapi. Menyandang kebanggaan semu perlu stimulus ramuan. Sehingga tak perlu sekolah politik. Dinonabobokan. Dielus-elus sampai plentas-plentus. Apalagi kalau parpol sebagai usaha keluarga, tradisi keluarga, usaha produktif atau industri rumah tangga. Tak jauh-jauh dengan contoh keluarga alat negara, aparatur sipil negara. Melahirkan istilah klan, keluarga politik, dinasti politik, trah darah politik atau sebutan lainnya.

Oknum ketua umum sebagai penyandang hak prerogatif. Kebijakan partai pendukung bisa menentukan nasib bangsa dan negara. Struktur ideologi nusantara, menampilkan sosok pekerja politik. Bukan petarung bangsa. Kebijakan pemerintah merupakan resultan dari aneka kebijakan politik. Sistem bagi hasil atau arisan. Sesuai dengan spesialisasi parpol pro-pemerintah.

Apa pun kebijakan partai. Masih kalah digdaya dengan kuasa Rp atau valas. Faktor “U” bisa membuat orang yang “buta politik”, mulus dilantik jadi wakil rakyat dan/atau kepala daerah. Tersedia paket sekali pakai atau paket terusan. Modal partai politik dadakan mampu mengantarkan manusia ekonomi langsung masuk barisan pembantu presiden. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar