Halaman

Selasa, 31 Januari 2017

Memahami Dinamika Wawasan Kebangsaan Dari Aspek Persatuan Indonesia



Memahami Dinamika Wawasan Kebangsaan Dari Aspek Persatuan Indonesia


KILAS BALIK
Istilah Wawasan Kebangsaan terjadi dari dua suku kata yaitu "Wawasan" dan "Kebangsaan". Secara etimologi menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008) lema wawasan berarti n (1) hasil mewawas; (2) cara pandang. Salah satu contoh “wawasan” dalam Kamus adalah “wawasan nasional” yaitu cara pandang suatu bangsa dl hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta dl hubungan antarnegara yg merupakan hasil perenungan filsafat tt sejarah diri dan lingkungan dng memperhatikan sejarah dan kondisi sosial budaya serta memanfaatkan konstelasi geografis untuk menciptakan dorongan dan rangsangan dl usaha mencapai tujuan nasional.

Jauh tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Aguistus 1945, telah diikrarkan cikal bakal konsep wawasan kebangsaan Indonesia,  pada waktu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Rumusan Sumpah Pemuda :  
SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928

Atau yang dikenal dengan satu nusa, satu bangsa dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia,  sebagai landasan moral dan tekad perjuangan.  Wawasan seperti itu pada hakikatnya tidak membedakan asal suku bangsa, agama, ras keturunan, dan antar golongan ataupun perbedaan warna kulit. Artinya, wawasan kebangsaan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Kebangsaan terbentuk dari kata dasar "bangsa" yang dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), lema kebangsaan berarti n (1) ciri-ciri yg menandai golongan bangsa: para korban pesawat yg terbakar itu tak dapat diketahui ~nya; (2) mengenai (yg bertalian dng) bangsa: bendera ~ Indonesia; lagu ~ Inggris; (3) kedudukan (sifat-sifat) sbg orang mulia (bangsawan): bukan ~nya melainkan kelakuannya yg kita pandang.

Pemerintah sudah menetapkan terkait dengan penggunaan kata “kebangsaan”, sebagai tindak nyata makna Sumpah Pemuda, kita simak UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Penjelasan pada apa yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus mencerminkan sifat patriotisme, kepahlawanan, dan nasionalisme yang tinggi untuk tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PRAKTIK KEBANGSAAN
Secara de facto dan de jure, ternyata semangat kebangsaan menjadi antitesis – walau tidak sampai pada tahap kontradiktif atau berseberangan – terdeteksi dari cara berpikir, bertindak, bersikap, berucap dan berperilaku individual, kedaerahan, kepartaian, golongan, aliran, dan bentuk kolonial gaya baru. Faktor lokal menjadi bahan pertimbangan atau bahkan sebagai faktor penentu dalam penerapan kebijakan nasional. Contoh klasik adalah bagaimana pemerintah ingin mengedalikan tata niaga minuman keras atau minuman setan. Terbentur pada adat istiadat, buadaya atau kebiasaan masyarakat lokal dalam memproduksi sampai memanfaatkan minuman keras.

Efek domino semangat otonomi daerah melahirkan politik dinasti. Kendati terdapat PP 19/2010 tentang Penguatan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah. Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, gubernur memiliki tugas dan wewenang : a) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota; b) koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota; dan c) koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Mekanisme pemilihan kepala daerah, menjadikan rakyat yang telah mempunyai hak pilih, memilih secara langsung bupati/walikotanya. Idem dengan jabatan gubernur. Mau tak mau, gubernur bersifat koordinatif.

Semangat kedaerahan masih terasa menonjol. Khususnya dalam hal pemanfaatan potensi sumber daya alam. Bahkan di tingkat desa, yang kepala desa dipilih langsung oleh rakyat, pengkotak-kotakan atau eksklusivisme semakin kental.

Batas administrasi suatu teritorial daerah, bisa menjelma menjadi negara kecil. Terlebih jika pilkada semakin mengkokohan dominasi politik dinasti.

KARAKTER BANGSA
Permasalahan bangsa dan negara, berdasarkan Buku “Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025”, Pemerintah Republik Indonesia 2010, yaitu :
1.    Disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila. .
2.    Keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila.
3.    Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 
4.    Memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa. 
5.    Ancaman disintegrasi bangsa. 
6.    Melemahnya kemandirian bangsa.

Kemajuan di bidang fisik harus diimbangi dengan pembangunan nonfisik, termasuk membangun karakter dan jati diri bangsa agar menjadi bangsa yang kukuh dan memiliki pendirian yang teguh. Sejak zaman sebelum merdeka hingga zaman pasca reformasi saat ini perhatian terhadap pendidikan dan pengembangan karakter terus mendapat perhatian tinggi.

Pada awal kemerdekaan pembangunan pendidikan menekankan pentingnya jati diri bangsa sebagai salah satu tema pokok pembangunan karakter dan pekerti bangsa.

Pada zaman Orde Lama, Nation and Character Building merupakan pembangunan karakter dan pekerti bangsa.

Pada zaman Orde Baru, pembangunan karakter bangsa dilakukan melalui mekanisme penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Pada zaman Reformasi, sejumlah elemen kemasyarakatan menaruh perhatian terhadap pembangunan karakter bangsa yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan. Khusus periode 2014-2019, ramuan ajaib revolusi mental diharapkan agar penyelenggara negara tidak membuat repot KPK. Wewenang KPK dalam hal penyadapan menjadikan OTT sebagai berita yang ditunggu masyarakat.

Saya coba fokus pada ikhwal bahwa karakter kebangsaan seseorang tecermin dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan; rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia yang bertanah air Indonesia serta menunjung tinggi bahasa Indonesia; memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Tersurat, kendati pembangunan karakter bangsa harus diaktualisasikan secara nyata dalam bentuk aksi nasional, namun bisa dimulai dari diri sendiri, secara pribadi, individual.

ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA
Titik lemah, celah potensi retak yang sekaligus daya tahan, ketahanan NKRI seolah sudah diprediksi oleh sila ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”. Ada korelasi historis antara semangat dan jiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang mendasari rumusan Pancasila, khususnya sila ‘Persatuan Indonesia’. Dukungan setiap penduduk, warga negara, masyarakat akan mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional,  dalam kemajemukan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika. Tak kalah serunya yaitu praktik kepemimpinan nasional yang merakyat, akan semakin mewujudkan hakikat persatuan Indonesia. Itulah cita-cita para pendiri bangsa dan khususnya kita yang hidup pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

6 butir permasalahan bangsa dan negara, yang disebutkan di atas, malah semakin mengkokohkan adanya interaksi, korelasi timbal balik antara pelaku dengan kejadian alami. Pelaku dimaksud bisa sebagai penguasa, pengusaha atau pelaku ekonomi dengan berbagai tingkatan, serta bahkan masyarakat sendiri.

Sila ketiga Pancasila : Persatuan Indonesia. Analsia maknawinya bisa mengerucut pada hakikat kebersamaan. Bukan sama rasa, sama rata. Bagi hasil kekuasaan tentu sesuai selera yang membagi. Perimbangan antara kebutuhan, kepentingan antara yang minoritas dengan yang mayoritas tidak secara proporsional. Praktik tirani minoritas masih terjadi di semua bidang garap pemerinta dan kehidupan masyarakat.

Kontradiksi persatuan Indonesia, seolah apapun bisa terjadi. Pihak yang merasa berkeringat, punya andil banyak saat membentuk pemerintahan lima tahunan tetapi merasa masih tidak mendapat imbalan jerih-payah yang sepandan, apakah akan menggunting dalam lipatan. Atau malah main sendiri. Atau sama-sama menggerogoti tiang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Perseteruan antar penyelenggara mempertaruhkan masa depan generasi pewaris masa depan.

Kita lupa, pemahaman nilai-nilai persatuan untuk mewujudkan Indonesia ke depan yang lebih adil, damai dan sejahtera, mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah hadiah dari para penjajah, melainkan diraih, direbut dengan perjuangan, pengorbanan jiwa dan raga.

Pihak yang berhasil menang dalam pilpres, bagaikan merebut kekuasaan dari tangan penjajah. Mereka tak rela kalau lawan politik kebagian kursi kekuasaan yang sama, terlebih malah duduk di kursi ketua.


Pasang surut menerapkan wawasan kebangsaan, banyak faktor penyebabnya. Pelaku potensial yang mengancam, menggangu kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah bisa dari internal, eksternal maupun dampak dari keterbukaan.

Konflik segitiga antara penguasa, pengusaha dan rakyat di daerah seolah menjadi tradisi. Jangankan terjadi di daerah yang jauh jarak dari ibukota NKRI, yang di depan mata saja seperti menu harian.

Indonesia sebagi negara yang serba multi, antara lain multipartai, multietnis, multikulturalisme bisa berdampak pada munculnya gerakan separatis dan konflik horisontal. Diperparah dengan primordialisme yang tak terkendali, dan efek domino eksekusi otonomi daerah sebagai pemacu/pemicu aneka masalah di daerah.

SIMPUL AWAL
Mengacu Tap MPR RI V/2000 tentang  Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.. Salah satu pertimbangan ditetapkannya adalah :
bahwa perjalanan bangsa Indonesia telah mengalami berbagai konflik, baik konflik vertikal maupun horizontal, sebagai akibat dari ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, lemahnya penegakan hukum, serta praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Memang, salah satu lawan kata ‘persatuan’ adalah ‘konflik’.

Masih mengacu pada Tap MPR RI V/2000, fokus Lampiran : Identifikasi Masalah, terdiri atas 12 butir rumusan. Butir ke-3 tersurat :
3.    Konflik sosial budaya telah terjadi karena kemajemukan suku, kebudayaan, dan agama yang tidak dikelola dengan baik dan adil oleh pemerintah maupun masyarakat. Hal itu semakin diperburuk oleh pihak penguasa yang menghidupkan kembali cara-cara menyelenggarakan pemerintahan yang feodalistis dan paternalistis sehingga menimbulkan konflik horizontal yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Katakan sejujurnya, Tap MPR RI V/2000 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Agustus 2000, dimana semangat reformis masih membara. Tepatnya, sang reformis menunjuk pihak lain dengan telunjuknya bersamaan membuka tabir jati diri.

Kita tidak perlu pesimis, hidup di negara yang penduduknya super heterogen, tentu ada hikmahnya. Bukan berarti konflik vertikal maupun horizon semakin menjadi menu politik Nasional. Sebagai konsekuensi negara multipartai.  Jika semua konflik ditelaah, akan mengerucut akibat adanya tindak kemungkaran. Kemungkaran yang dibalut atau dilégitimasi oleh asas konstitusional. Ada benarnya kalau kebijakan tidak bisa dikriminalisasi.

Ikhwal Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dijelaskan dalam Al-Qur’an (QS Al Hajj [22] : 41) :  “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”

Artinya, salah satu hikmah penduduk yang super hetorogen, secara mayoritas ada benang merahnya, yaitu semangat ukhuwah antar umat Islam. Umat Islam, dengan kadar keimanan yang fluktuatif, tetap diwajibkan untuk mengikari kemungkaran. Lebih terasa jika dilakukan secara formal, dengan semangat kebersamaan. Dilakukan secara menerus, sebagai bagian dari dakwah atau menyeru berbuat kebaikan.

Kemungkaran di periode 2014-2019 tidak hanya dalam bentuk tindakan nyata, masif dan terukur dari penguasa setiap tingkatan pemerintahan. Lebih acap dalam bentuk ucapan, ujaran yang ditayangkan di media massa. Atau terbukti ditulis  di media massa dengan segala bentuk tampilan.

Apa yang diindikasikan atau sinyelemen di Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul, menjadi PR bagi umat Islam untuk menyikapinya. Tidak harus mengikari kemungkaran dengan malah membuat kemungkaran kecil. Tidak harus berbalas pantun atas kemungkaran lisan atau tulisan yang diproduk pihak tertentu. Lazim jika ada tindakan anarkis sebagai modus operandi mempertahankan status quo pemerintah. Jamak jika ada rekayasa pihak berwenang, berwajib untuk menjaga stabilitas keamanan nasional dengan cara kontra produktif, melawan arus.

Efek domino kemajuan, kemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, menjadikan anak bangsa susah membedakan mana berita faktual, aktual dengan mana berita produk pesanan dengan berbagai kepentingan terselubung. Jangankan berita produk perorangan, individu. Bahkan ada tampilan, tayangan media sosial, media dalam jaringan atau sebutan lainnya,khusus olah saji berita miring. Agar tampak akademis, ilmiah tak jarang ada semacam “lembaga survei” yang tugasnya semakin memperkeruh kemelut politik negara.

SIMPUL AKHIR
Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bahkan bisa berperan sebagai penjaga keseimbangan (margin of appreciation) antara dua ideologi dunia yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila hak-hak individu dan masyarakat diakui secara proporsional.

Kesenjangan sosial antara segelintir konglomerat, miliarder, orang super-kaya maupun elit politik dengan rakyat papan bawah, warga negara klas kambing, keluarga pra-miskin, penduduk ekonomi sehari, akan menjadi faktor penyubur faham sosialis atau ujung-ujungnya komunis. Komunis tidak sekedar athéis, menjelma menjadi atau bagian dari antimonothéis.

Kembali ke judul, artinya umat Islam selain harus merapatkan barisan, memperokoh persatuan dan kesatuan, juga wajib memperkuat keilmuan maupun keislaman diri. Antar umat Islam agar tetap saling mengingatkan. Kita simak firman Allah pada kitab Al Qur'an (QS Al Dzariyat [51]:55) : "Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman".

Memberi peringatan merupakan bentuk lain dari nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (lihat surat Al ‘Ashr).

Bagaimana dengan ikhtiar dakwah. Al Qur'an telah menetapkan dasar dakwah dan sikap Islam terhadap pihak lain. Minimal dapat kita acu pada wahyu Allah lewat Al Qur'an pada  (QS An Nahl [16]:125) : "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. [HaeN]

Senin, 30 Januari 2017

Indonesia Negara Multipilot


Indonesia Negara Multipilot

Ironis binti tragis binti miris, kalau jumlah pendukuk NKRI  urutan ke-4 di dunia, namum secara politis masih tergantung pada negara adidaya, atau negara yang jumlah penduduknya lebih banyak yaitu RRT.

Jangan lengah dan lelah kawan, mata rantai pemberontakan PKI pertama Madiun Affair september1948 dan lanjut kedua G30S PKI 1965, belum putus total.

Pastilah kawan, terlebih negara sponsor makar, kudeta semakin eksis dan berkibar di dunia. Saingan terdekat saat itu “beruang putih” sudah tercabik-cabik. RRT (Republik Rakyat Tiongkok atau Tionghoa) sebagai raksasa yang menggeliat bangun. Menjadi kekuatan ekonomi dunia. Amerika Serikat dengan presiden baru, sudah menentukan sikap terhadap dominasi China.

Mata kuliah pendidikan Pancasila menggariskan bahwa  ada dua aliran ideologi ini melahirkan sistem kenegaraan yang berbeda. Faham individualisme melahirkan negara-negara kapitalis yang mendewakan kebebasan (liberalisme) setiap warga, sehingga menimbulkan perilaku dengan superioritas individu, kebebasan berkreasi dan berproduksi untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Sementara faham kolektivisme melahirkan negara-negara komunis yang otoriter dengan tujuan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak dari eksploitasi segelintir warga pemilik kapital.

Pertentangan ideologi ini telah menimbulkan ‘perang dingin’ yang dampaknya terasa di seluruh dunia. Namun para pendiri negara Republik Indonesia mampu melepaskan diri dari tarikan-tarikan dua kutub ideologi dunia tersebut, dengan merumuskan pandangan dasar (philosophische grondslag) pada sebuah konsep filosofis yang bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bahkan bisa berperan sebagai penjaga keseimbangan (margin of appreciation) antara dua ideologi dunia yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila hak-hak individu dan masyarakat diakui secara proporsional.

Kesenjangan sosial antara segelintir konglomerat, miliarder, orang super-kaya maupun elit politik dengan rakyat papan bawah, warga negara klas kambing, keluarga pra-miskin, penduduk ekonomi sehari, akan menjadi faktor penyubur faham sosialis atau ujung-ujungnya komunis. Komunus tidak sekedar atheis, menjelma menjadi atau bagian dari anti-monotheis.

Apa hubungannya dengan negara multipilot.

Singkat kata, begini jalan ceritanya. Pokoknya jangan salah duga, buruk sangka, keliru tebak kalau sampai pesta demokrasi 2014 adalah merupakan skenario konspirasi negara tirai bambu. Siapa mau dijadikan apa sebagai pertanda dan bukti.

Jangan heran kalau selama ini, banyak pihak tampil tayang dengan aneka kebencian, kenistaan.  Mulai dari ujaran sampai pidato resmi. Banyak pihak memposisikan diri merasa berhak, atau malah merasa paling berhak, untuk mengatur, mengedalikan negara. Begitu saja. [HaeN]