Memahami Dinamika Wawasan Kebangsaan
Dari Aspek Persatuan Indonesia
KILAS BALIK
Istilah Wawasan Kebangsaan terjadi
dari dua suku kata yaitu "Wawasan" dan "Kebangsaan". Secara
etimologi menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008) lema wawasan berarti n (1) hasil mewawas; (2) cara pandang. Salah satu contoh “wawasan”
dalam Kamus adalah “wawasan nasional”
yaitu cara pandang suatu bangsa dl hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara serta dl hubungan antarnegara yg merupakan hasil perenungan filsafat
tt sejarah diri dan lingkungan dng memperhatikan sejarah dan kondisi sosial
budaya serta memanfaatkan konstelasi geografis untuk menciptakan dorongan dan
rangsangan dl usaha mencapai tujuan nasional.
Jauh tahun sebelum Proklamasi
Kemerdekaan RI 17 Aguistus 1945, telah diikrarkan cikal bakal konsep wawasan
kebangsaan Indonesia, pada waktu Sumpah
Pemuda 28 Oktober 1928. Rumusan Sumpah Pemuda :
SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928
Atau yang dikenal dengan satu nusa,
satu bangsa dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia, sebagai landasan moral dan tekad perjuangan. Wawasan seperti itu pada hakikatnya tidak
membedakan asal suku bangsa, agama, ras keturunan, dan antar golongan ataupun
perbedaan warna kulit. Artinya, wawasan kebangsaan mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa.
Kebangsaan terbentuk dari kata dasar
"bangsa" yang dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), lema kebangsaan
berarti n (1) ciri-ciri yg
menandai golongan bangsa: para korban pesawat yg terbakar itu tak dapat diketahui
~nya; (2) mengenai
(yg bertalian dng) bangsa: bendera ~ Indonesia; lagu ~ Inggris;
(3) kedudukan
(sifat-sifat) sbg orang mulia (bangsawan): bukan ~nya melainkan kelakuannya
yg kita pandang.
Pemerintah sudah menetapkan terkait
dengan penggunaan kata “kebangsaan”, sebagai tindak nyata makna Sumpah Pemuda, kita
simak UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan. Penjelasan pada apa yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah
bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan
harus mencerminkan sifat patriotisme, kepahlawanan, dan nasionalisme yang
tinggi untuk tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PRAKTIK KEBANGSAAN
Secara de facto dan de jure, ternyata semangat kebangsaan menjadi
antitesis – walau tidak sampai pada tahap kontradiktif atau berseberangan – terdeteksi
dari cara berpikir, bertindak, bersikap, berucap dan berperilaku individual,
kedaerahan, kepartaian, golongan, aliran, dan bentuk kolonial gaya baru. Faktor
lokal menjadi bahan pertimbangan atau bahkan sebagai faktor penentu dalam
penerapan kebijakan nasional. Contoh klasik adalah bagaimana pemerintah ingin
mengedalikan tata niaga minuman keras atau minuman setan. Terbentur pada adat
istiadat, buadaya atau kebiasaan masyarakat lokal dalam memproduksi sampai
memanfaatkan minuman keras.
Efek domino semangat otonomi daerah melahirkan politik dinasti. Kendati terdapat
PP 19/2010 tentang Penguatan Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
di Daerah. Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, gubernur memiliki tugas
dan wewenang : a) pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/kota; b) koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah
provinsi dan kabupaten/kota; dan c) koordinasi pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Mekanisme pemilihan kepala daerah,
menjadikan rakyat yang telah mempunyai hak pilih, memilih secara langsung
bupati/walikotanya. Idem dengan jabatan gubernur. Mau tak mau, gubernur
bersifat koordinatif.
Semangat kedaerahan masih terasa
menonjol. Khususnya dalam hal pemanfaatan potensi sumber daya alam. Bahkan di
tingkat desa, yang kepala desa dipilih langsung oleh rakyat, pengkotak-kotakan
atau eksklusivisme semakin kental.
Batas administrasi suatu teritorial
daerah, bisa menjelma menjadi negara kecil. Terlebih jika pilkada semakin
mengkokohan dominasi politik dinasti.
KARAKTER BANGSA
Permasalahan bangsa dan negara,
berdasarkan Buku “Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun
2010-2025”, Pemerintah Republik Indonesia 2010, yaitu :
1. Disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila. .
2. Keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai
Pancasila.
3. Bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4. Memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa.
5. Ancaman disintegrasi bangsa.
6. Melemahnya kemandirian bangsa.
Kemajuan di bidang fisik harus
diimbangi dengan pembangunan nonfisik, termasuk membangun karakter dan jati
diri bangsa agar menjadi bangsa yang kukuh dan memiliki pendirian yang teguh.
Sejak zaman sebelum merdeka hingga zaman pasca reformasi saat ini perhatian
terhadap pendidikan dan pengembangan karakter terus mendapat perhatian tinggi.
Pada awal kemerdekaan pembangunan
pendidikan menekankan pentingnya jati diri bangsa sebagai salah satu tema pokok
pembangunan karakter dan pekerti bangsa.
Pada zaman Orde Lama, Nation and
Character Building merupakan pembangunan karakter dan pekerti bangsa.
Pada zaman Orde Baru, pembangunan
karakter bangsa dilakukan melalui mekanisme penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4).
Pada zaman Reformasi, sejumlah
elemen kemasyarakatan menaruh perhatian terhadap pembangunan karakter bangsa
yang diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan. Khusus periode 2014-2019,
ramuan ajaib revolusi mental diharapkan agar penyelenggara negara tidak membuat
repot KPK. Wewenang KPK dalam hal penyadapan menjadikan OTT sebagai berita yang
ditunggu masyarakat.
Saya coba
fokus pada ikhwal bahwa karakter kebangsaan seseorang
tecermin dalam sikap menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan
bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan; rela berkorban untuk
kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia yang bertanah
air Indonesia serta menunjung tinggi bahasa Indonesia; memajukan pergaulan demi
persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Tersurat, kendati pembangunan karakter bangsa harus diaktualisasikan secara
nyata dalam bentuk aksi nasional, namun bisa dimulai dari diri sendiri, secara
pribadi, individual.
ANCAMAN
DISINTEGRASI BANGSA
Titik lemah, celah potensi retak yang sekaligus daya tahan, ketahanan NKRI
seolah sudah diprediksi oleh sila ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan
Indonesia”. Ada korelasi historis antara semangat dan jiwa Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 yang mendasari rumusan Pancasila, khususnya sila ‘Persatuan
Indonesia’. Dukungan setiap penduduk, warga negara, masyarakat akan
mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional, dalam kemajemukan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika. Tak kalah serunya yaitu praktik kepemimpinan nasional
yang merakyat, akan semakin mewujudkan hakikat persatuan Indonesia. Itulah
cita-cita para pendiri bangsa dan khususnya kita yang hidup pasca proklamasi
kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
6 butir permasalahan
bangsa dan negara, yang disebutkan di atas, malah semakin mengkokohkan adanya
interaksi, korelasi timbal balik antara pelaku dengan kejadian alami. Pelaku
dimaksud bisa sebagai penguasa, pengusaha atau pelaku ekonomi dengan berbagai
tingkatan, serta bahkan masyarakat sendiri.
Sila ketiga Pancasila : Persatuan
Indonesia. Analsia maknawinya bisa mengerucut pada hakikat kebersamaan. Bukan
sama rasa, sama rata. Bagi hasil kekuasaan tentu sesuai selera yang membagi.
Perimbangan antara kebutuhan, kepentingan antara yang minoritas dengan yang
mayoritas tidak secara proporsional. Praktik tirani minoritas masih terjadi di
semua bidang garap pemerinta dan kehidupan masyarakat.
Kontradiksi persatuan
Indonesia, seolah apapun bisa terjadi. Pihak yang merasa berkeringat,
punya andil banyak saat membentuk pemerintahan lima tahunan tetapi merasa masih
tidak mendapat imbalan jerih-payah yang sepandan, apakah akan menggunting dalam
lipatan. Atau malah main sendiri. Atau sama-sama
menggerogoti tiang kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Perseteruan
antar penyelenggara mempertaruhkan masa depan generasi pewaris masa depan.
Kita lupa, pemahaman nilai-nilai persatuan untuk mewujudkan Indonesia ke
depan yang lebih adil, damai dan sejahtera, mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara. Kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah hadiah dari para penjajah,
melainkan diraih, direbut dengan perjuangan, pengorbanan jiwa dan raga.
Pihak yang berhasil menang dalam pilpres, bagaikan merebut kekuasaan dari
tangan penjajah. Mereka tak rela kalau lawan politik kebagian kursi kekuasaan
yang sama, terlebih malah duduk di kursi ketua.
Pasang surut menerapkan
wawasan kebangsaan, banyak faktor penyebabnya. Pelaku potensial yang mengancam,
menggangu kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah bisa dari
internal, eksternal maupun dampak dari keterbukaan.
Konflik segitiga antara
penguasa, pengusaha dan rakyat di daerah seolah menjadi tradisi. Jangankan
terjadi di daerah yang jauh jarak dari ibukota NKRI, yang di depan mata saja
seperti menu harian.
Indonesia sebagi negara
yang serba multi, antara lain multipartai, multietnis, multikulturalisme bisa
berdampak pada munculnya gerakan separatis dan konflik horisontal. Diperparah
dengan primordialisme yang tak terkendali, dan efek domino eksekusi otonomi
daerah sebagai pemacu/pemicu aneka masalah di daerah.
SIMPUL AWAL
Mengacu Tap MPR RI V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional..
Salah satu pertimbangan ditetapkannya adalah :
bahwa perjalanan bangsa Indonesia telah mengalami
berbagai konflik, baik konflik vertikal maupun horizontal, sebagai akibat dari
ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, lemahnya penegakan hukum, serta
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Memang, salah satu lawan kata ‘persatuan’ adalah ‘konflik’.
Masih
mengacu pada Tap MPR RI V/2000, fokus Lampiran : Identifikasi Masalah, terdiri
atas 12 butir rumusan. Butir ke-3 tersurat :
3.
Konflik sosial budaya telah terjadi karena kemajemukan
suku, kebudayaan, dan agama yang tidak dikelola dengan baik dan adil oleh
pemerintah maupun masyarakat. Hal itu semakin diperburuk oleh pihak penguasa
yang menghidupkan kembali cara-cara menyelenggarakan pemerintahan yang
feodalistis dan paternalistis sehingga menimbulkan konflik horizontal yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Katakan sejujurnya, Tap MPR RI V/2000 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18
Agustus 2000, dimana semangat reformis masih membara. Tepatnya, sang reformis
menunjuk pihak lain dengan telunjuknya bersamaan membuka tabir jati diri.
Kita tidak perlu pesimis, hidup di negara yang penduduknya super heterogen,
tentu ada hikmahnya. Bukan berarti konflik vertikal maupun horizon semakin
menjadi menu politik Nasional. Sebagai konsekuensi negara multipartai. Jika semua konflik ditelaah, akan mengerucut
akibat adanya tindak kemungkaran. Kemungkaran yang dibalut atau dilégitimasi oleh asas konstitusional. Ada benarnya kalau kebijakan tidak bisa
dikriminalisasi.
Ikhwal Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dijelaskan dalam Al-Qur’an (QS Al Hajj [22] : 41) :
“(yaitu)
orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan.”
Artinya, salah satu hikmah penduduk yang super hetorogen, secara mayoritas
ada benang merahnya, yaitu semangat ukhuwah antar umat Islam. Umat Islam,
dengan kadar keimanan yang fluktuatif, tetap diwajibkan untuk mengikari
kemungkaran. Lebih terasa jika dilakukan secara formal, dengan semangat
kebersamaan. Dilakukan secara menerus, sebagai bagian dari dakwah atau menyeru
berbuat kebaikan.
Kemungkaran di periode 2014-2019 tidak hanya dalam bentuk tindakan nyata,
masif dan terukur dari penguasa setiap tingkatan pemerintahan. Lebih acap dalam
bentuk ucapan, ujaran yang ditayangkan di media massa. Atau terbukti
ditulis di media massa dengan segala bentuk
tampilan.
Apa yang diindikasikan atau sinyelemen di Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul,
menjadi PR bagi umat Islam untuk menyikapinya. Tidak harus mengikari
kemungkaran dengan malah membuat kemungkaran kecil. Tidak harus berbalas pantun
atas kemungkaran lisan atau tulisan yang diproduk pihak tertentu. Lazim jika
ada tindakan anarkis sebagai modus operandi mempertahankan status quo pemerintah. Jamak jika ada rekayasa pihak berwenang,
berwajib untuk menjaga stabilitas keamanan nasional dengan cara kontra
produktif, melawan arus.
Efek domino kemajuan, kemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi,
menjadikan anak bangsa susah membedakan mana berita faktual, aktual dengan mana
berita produk pesanan dengan berbagai kepentingan terselubung. Jangankan berita
produk perorangan, individu. Bahkan ada tampilan, tayangan media sosial, media
dalam jaringan atau sebutan lainnya,khusus olah saji berita miring. Agar tampak
akademis, ilmiah tak jarang ada semacam “lembaga survei” yang tugasnya semakin
memperkeruh kemelut politik negara.
SIMPUL AKHIR
Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila bahkan
bisa berperan sebagai penjaga keseimbangan (margin of appreciation)
antara dua ideologi dunia yang bertentangan, karena dalam ideologi Pancasila
hak-hak individu dan masyarakat diakui secara proporsional.
Kesenjangan sosial antara segelintir konglomerat,
miliarder, orang super-kaya maupun elit politik dengan rakyat papan bawah,
warga negara klas kambing, keluarga pra-miskin, penduduk ekonomi sehari, akan
menjadi faktor penyubur faham sosialis atau ujung-ujungnya komunis. Komunis
tidak sekedar athéis,
menjelma menjadi atau bagian dari antimonothéis.
Kembali
ke judul, artinya umat Islam selain harus merapatkan barisan, memperokoh
persatuan dan kesatuan, juga wajib memperkuat keilmuan maupun keislaman diri.
Antar umat Islam agar tetap saling mengingatkan. Kita simak firman Allah pada kitab Al Qur'an (QS
Al Dzariyat [51]:55) : "Dan
tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman".
Memberi peringatan merupakan bentuk lain dari nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran (lihat surat Al ‘Ashr).
Bagaimana dengan
ikhtiar dakwah. Al Qur'an telah
menetapkan dasar dakwah dan sikap Islam terhadap pihak lain. Minimal dapat kita
acu pada wahyu Allah lewat Al Qur'an pada (QS
An Nahl [16]:125) : "Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara
yang hak dengan yang bathil. [HaeN]