Pancasila,
dari pandangan hidup menjadi susah hidup
Pancasila yang
didaulat jadi way of life bangsa
Indonesia, mengalami dinamika kehidupan
sesuai dengan pertumbuhan dan pertambahan usia biologis.
Semangat merdeka
sampai jiwa berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan, membuat persatuan dan
kesatuan NKRI masih utuh bulat, 100%, tanpa embel-embel ideologi apalagi jargon
picisan parpol manapun.
Pancasila yang
diawali pergerakan kebangkitan nasional 20 Mei 1908, melangkah pasti dengan
ramuan sumpah pemuda 28 Oktober 1928, jadilah sebagai dasar negara, ideologi masional.
Kalau ditelusuri secara seksama dan dalam tempo seadanya dapat dibuktikan
bahwa ternyata lengser keprabonnya para presiden RI akibat tidak menghayati dan
mengamalkan Pancasila.
Dimulai dari sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa", selaku
presiden RI pertama, Soekarno, dengan lapang dada mempersilahkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) untuk hidup kembali. Kendati secara terang-terangan PKI pernah
menusuk dari belakang. Pembentukan Nasakom (nasionalis, agama dan komunis)
menjadi format utama dalam berbangsa dan bernegara. Semua berakhir dengan
pengkhianatan PKI melalui Gerakan 30 September 1965.
Tahap berikutnya adalah menguji "kesaktian" sila kedua, "Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab", oleh presiden RI kedua, Soeharto. Sesuai kepiawaian
"6 jam di Yogya" dalam peristiwa pemutarbalikkan sejarah Serangan
Umum 1 Maret 1949, tak disadari bahwa Bapak Pembangunan Soeharto bisa berkuasa
selama 6 kali Pemilu. Demi pembangunan atau pembangunan yang merata (=
menggusur rakyat jelata) menjadi slogan yang heroik bagi aparat pemerintah.
Politik hantam kromo merupakan pasal yang sah dalam memurnikan Pancasila.
Hasilnya adalah memakmurkan yang kaya sampai tingkat konglomerat (khusunya yang
dekat dengan poros kekuasaan) dan mengadili si miskin hingga menjadi keluarga
pra-miskin. Proses memanusiakan manusia Indonesia seutuhnya berakhir 21 Mei
1998.
Uji coba "kesaktian" sila ketiga, "Persatuan Indonesia",
oleh presiden RI ketiga, BJ Habibie, dengan kiat teknologi menyatukan Indonesia
lewat dirgantara, dari Sabang sampai Merauke. Kebetulan posisi Timor Timur di
luar jaring dirgantara akhirnya berhasil memerdekakan diri. Dengan Otonomi
Daerah menyebabkan kemandirian yang kebablasan. Menghadapi wakil rakyat yang
baru lepas dari pingitan demokrasi berakhirlah riwayatnya sebagai presiden.
Keampuhan persatuan Indonesia diwujudkan dalam bersatunya suara wakil rakyat
dalam menghadapi sang mandataris MPR.
Panggilan Gus Dur bagi presiden RI keempat yang menjajal
"kesaktian" sila keempat, "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan". Hasilnya sama-sama babak
belur. Sama-sama saling memlintir kebijaksanaan. Yang jadi korban, dari zaman
ke zaman, tetap rakyat. Dekrit Presiden berakhir sebelum lahir. Jangan heran
kalau akhirnya para wakil rakyat yang terhormat bisa naik derajat, pangkat,
martabat dan harkat - antara lain menjadi konglomerat mini.
Berikutnya, dan masih bergulir yaitu test case terhadap
"kesaktian" sila kelima, "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia", oleh Ibu Mega yang sebagai penyandang mandataris MPR kelima.
Dengan falsafah diam itu emas, maka keadilan sosial lebih diterjemahbebaskan
sebagai kesempatan bekerja di luar negeri sebagai TKI, TKW. Memakmurkan orang
kaya dalam bentuk kebebasan bagi pejabat untuk meraup dana non-bujeter, yang
nyaris tak tersentuh hukum. Bukannya mengantisipasi intimidasinya IMF. Atau
lebih menyatakan prinsip berdikari di bidang ekonomi. Di sisi lain, memang ada
hubungan historis antar presiden yaitu dalam permainan anak untuk menentukan
kalah menang di adu dengan pingsut. 3 jari yang digunakan. Ibu jari bisa
menundukkan telunjuk tetapi kalah oleh kelingking. Telunjuk bisa menaklukkan
kelingking tetapi tidak bisa berbuat apa-apa melawan ibu jari. Kelingking bisa
menelikung ibu jari tetapi dengan mudah ditekuk oleh telunjuk.
Jelang 72 tahun RI merdeka, kita sudah memiliki 8 presiden (salah satunya
presiden Indonesia Darurat). Kita ambil pelajaran dari 5 (lima) presiden saja.
Ibarat jari kita sudah punya 5 jari dan sudah bisa untuk mengepalkan dan
melayangkan tinju, melawan kemiskinan di segala bidang kehidupan. Itupun kalau
kompak.
Demikian kisahnya, presiden pertama RI diibaratkan dengan “ibu jari” karena sebagai proklamator. Bangsa Asia, Afrika
dan Amerika Latin mengacungkan ibu jari kepada Soekarno. Sejarah kemudian
membuktikan bahwa ibu jari bisa ditundukkan oleh telunjuk!
Soeharto sebagai “telunjuk”, utawa presiden RI ke 2, bisa
me-tahananrumah-kan si ibu jari, sampai meninggal. Orang akan girang kalau
ditunjuk Soeharto sebagai pembantunya. Baru bekerja setelah dapat petunjuk
bapak presiden. Tetapi akan mati tujuh turunan kalau dituding sebagai anti UUD
1945 dan anti Pancasila. Karena hobinya main tunjuk akhirnya Soeharto lengser,
karena sudah tidak ada petunjuk lagi. Kalau telunjuk mau kompak dengan ibu jari
pasti mampu untuk nylentik maupun njewer koruptor.
Si “jari tengah”, memang sesuai fungsinya
sebagai penengah atau pemisah. Akhirnya presiden RI ke 3 berhasil memisahkan
Timor Timur dari NKRI. Atas desakan
publik, Pemilu yang baru atau
dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera
diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13
bulan masa kekuasaan Habibie. Semboyan BJ Habibie yang bisa merasa hidup di
alam nyata adalah : “ora dadi presiden, ora duwe parpol, ora patheken”
Si “jari manis”, kalau diam kelihatan manis.
Kalau berulah bisa bikin kalang kabut. Bisa menggelitik secara lembut. Karena
ulahnya si jari manis tercabut akarnya sebagai presiden RI ke 4 oleh kuasa MPR
RI.
Kisah berikutnya, keberadaan si “kelingking” sebagai presiden RI ke 5 yang justru kebetulan anak kandung ibu jari.
Jelas tidak bisa membersihkan KKN sisa rezim si telunjuk ! secara formal si
kelingking akan mudah ditekuk oleh telunjuk. Toh bangsa dan rakyat Indonesia
cukup merasa nikmat dikorek-korek lubang hidung dan lubang telinganya dengan
kelingking.
Akhir kisah, kita nanti akan main hom pim pah saja. Kesaktian Pancasila tak
perlu diuji coba lagi, tak perlu didewa-dewakan lagi, tak perlu diperdebatkan
akurasinya dalam mewujudkan mayarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Yang sudah
terwujud adalah wakil rakyat yang sejahtera.
Pengalaman hidup Pancasila dengan usia historisnya, mau tak mau, walau
tahan gerogotan. Namun pihak penggerogot justru dari orang dalam, akhirnya walau
dielus-elus tangan sehalus apapun, tetap terpaku di tempat. Kendati diusap-usap
lembut, diolesi dan baca mantra ramuan ajaib revolusi mental, Pancasila tidak
bergeming dari posisi semula. [HaèN]