Halaman

Rabu, 31 Mei 2017

Pancasila tersedia di pasar rakyat atau istana presiden



Pancasila tersedia di pasar rakyat atau istana presiden

Tidak aneh kalau ada anak bangsa yang asing dengan rumusan Pancasila. Entah karena salah jalan, keliru jurusan atau asal ambil sikap. Keseharian, di jalanan, kendati rambu lalu lintas terpasang dengan sengaja, seolah tak tampak. Apalagi rumusan di atas kertas, mudah lenyap tanpa bekas.

Harga tiket pesawat terbang akan membubung tinggi, melambung ke angkasa sejalan jika animo, yang butuh meningkat drastis. Stok pangan melimpah, maka harga akan jatuh. Disinilah permainan pelaku ekonomi tingkat lapangan.

Apa jadinya kalau secara serentak, rakyat Indonesia membutuhkan Pancasila. Hukum apa yang berlaku. Apakah bisa didapat secara eceran, sesuai daya beli atau kemampuan kantong.

Jangan-jangan, untuk mempraktikkan Pancasila dalam kehidupan nyata merupakan kewajiban fardhu kifayah. Artinya jika ada satu orang atau beberapa manusia di suatu wilayah hunian dan lain sebagainya, sudah hafal Pancasila, otomatis gugur sudah kewajiban berpancasila untuk orang/manusia sisanya.

Ataukah untuk mendapatkan nilai-nilai Pancasila harus mempunyai kartu khusus, menjadi keanggotaan khusus, mengantongi sertifikat predikat “orang baik-baik” atau syarat administrasi lainnya. Misalnya bukti tertulis dari aparat penjaga wibawa negara bahwa ybs tidak mempunyai potensi  sebagai calon pemakar. Belum pernah terindikasi sebagai pengkhianat negara. [HaèN]

Pancasila dan nyawa saringan



Pancasila dan nyawa saringan

Tolok ukur suksesnya pejuang politik Nusantara, jika berhasil mengkibarkan bendera partai politiknya di istana negara. Kembali ke peristiwa pesta demokrasi 2014. Juara umum pemilihan umum legislatif april 2014, tidak siap mental untuk menang. Tidak punya kader unggulan kategori “orang dalam” yang siap berlaga di pemilihan umum presiden juli 2014.

Tahap sejarah berikutnya membuktikan parpol dimaksud mampu menyediakan stok untuk kursi pembantu presiden. Kalau bukan karena politik transaksional, politik balas jasa, balas budi, mau tak mau presiden mau menerima “kader terbaik” yang menang merek atau menyandang merek menang.

Ditarik benang merah antar pemerintah, antar periode, maka periode 2014-2019, seolah negara selain sebagai negara multipartai, dikenal dengan negara multipilot.

Paruh akhir periodenya Jokowi plus minus JK, sudah ada indikasi, gejala awal ambisi politik apkiran untuk lanjut ke 2019. Seolah-olah terjadi saringan bagaimana bukan untuk sekedar sampai akhir periode dengan WTP.

Apa yang terjadi kawan. Akumulasi dampak tindak pidana korupsi, utang luar negeri, penanaman modal asing atau apa saja kiat saja mencari dana asing, walhasil, generasi yang belum lahir, bahkan calon orangtuanya malah belum lahir, terbebani dosa politik tujuh turunan. [HaèN]

Pancasila, dari pandangan hidup menjadi susah hidup



Pancasila, dari pandangan hidup menjadi susah hidup

Pancasila yang didaulat jadi way of life bangsa Indonesia, mengalami dinamika  kehidupan sesuai dengan pertumbuhan dan pertambahan usia biologis.

Semangat merdeka sampai jiwa berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan, membuat persatuan dan kesatuan NKRI masih utuh bulat, 100%, tanpa embel-embel ideologi apalagi jargon picisan parpol manapun.


Pancasila yang diawali pergerakan kebangkitan nasional 20 Mei 1908, melangkah pasti dengan ramuan sumpah pemuda 28 Oktober 1928, jadilah sebagai dasar negara, ideologi masional.

Kalau ditelusuri secara seksama dan dalam tempo seadanya dapat dibuktikan bahwa ternyata lengser keprabonnya para presiden RI akibat tidak menghayati dan mengamalkan Pancasila.

Dimulai dari sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa", selaku presiden RI pertama, Soekarno, dengan lapang dada mempersilahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk hidup kembali. Kendati secara terang-terangan PKI pernah menusuk dari belakang. Pembentukan Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) menjadi format utama dalam berbangsa dan bernegara. Semua berakhir dengan pengkhianatan PKI melalui Gerakan 30 September 1965.

Tahap berikutnya adalah menguji "kesaktian" sila kedua, "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab", oleh presiden RI kedua, Soeharto. Sesuai kepiawaian "6 jam di Yogya" dalam peristiwa pemutarbalikkan sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949, tak disadari bahwa Bapak Pembangunan Soeharto bisa berkuasa selama 6 kali Pemilu. Demi pembangunan atau pembangunan yang merata (= menggusur rakyat jelata) menjadi slogan yang heroik bagi aparat pemerintah. Politik hantam kromo merupakan pasal yang sah dalam memurnikan Pancasila. Hasilnya adalah memakmurkan yang kaya sampai tingkat konglomerat (khusunya yang dekat dengan poros kekuasaan) dan mengadili si miskin hingga menjadi keluarga pra-miskin. Proses memanusiakan manusia Indonesia seutuhnya berakhir 21 Mei 1998.

Uji coba "kesaktian" sila ketiga, "Persatuan Indonesia", oleh presiden RI ketiga, BJ Habibie, dengan kiat teknologi menyatukan Indonesia lewat dirgantara, dari Sabang sampai Merauke. Kebetulan posisi Timor Timur di luar jaring dirgantara akhirnya berhasil memerdekakan diri. Dengan Otonomi Daerah menyebabkan kemandirian yang kebablasan. Menghadapi wakil rakyat yang baru lepas dari pingitan demokrasi berakhirlah riwayatnya sebagai presiden. Keampuhan persatuan Indonesia diwujudkan dalam bersatunya suara wakil rakyat dalam menghadapi sang mandataris MPR.

Panggilan Gus Dur bagi presiden RI keempat yang menjajal "kesaktian" sila keempat, "Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan". Hasilnya sama-sama babak belur. Sama-sama saling memlintir kebijaksanaan. Yang jadi korban, dari zaman ke zaman, tetap rakyat. Dekrit Presiden berakhir sebelum lahir. Jangan heran kalau akhirnya para wakil rakyat yang terhormat bisa naik derajat, pangkat, martabat dan harkat - antara lain menjadi konglomerat mini.

Berikutnya, dan masih bergulir yaitu test case terhadap "kesaktian" sila kelima, "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", oleh Ibu Mega yang sebagai penyandang mandataris MPR kelima. Dengan falsafah diam itu emas, maka keadilan sosial lebih diterjemahbebaskan sebagai kesempatan bekerja di luar negeri sebagai TKI, TKW. Memakmurkan orang kaya dalam bentuk kebebasan bagi pejabat untuk meraup dana non-bujeter, yang nyaris tak tersentuh hukum. Bukannya mengantisipasi intimidasinya IMF. Atau lebih menyatakan prinsip berdikari di bidang ekonomi. Di sisi lain, memang ada hubungan historis antar presiden yaitu dalam permainan anak untuk menentukan kalah menang di adu dengan pingsut. 3 jari yang digunakan. Ibu jari bisa menundukkan telunjuk tetapi kalah oleh kelingking. Telunjuk bisa menaklukkan kelingking tetapi tidak bisa berbuat apa-apa melawan ibu jari. Kelingking bisa menelikung ibu jari tetapi dengan mudah ditekuk oleh telunjuk.

Jelang 72 tahun RI merdeka, kita sudah memiliki 8 presiden (salah satunya presiden Indonesia Darurat). Kita ambil pelajaran dari 5 (lima) presiden saja. Ibarat jari kita sudah punya 5 jari dan sudah bisa untuk mengepalkan dan melayangkan tinju, melawan kemiskinan di segala bidang kehidupan. Itupun kalau kompak.

Demikian kisahnya, presiden pertama RI diibaratkan dengan “ibu jari” karena sebagai proklamator. Bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin mengacungkan ibu jari kepada Soekarno. Sejarah kemudian membuktikan bahwa ibu jari bisa ditundukkan oleh telunjuk!

Soeharto sebagai “telunjuk”, utawa presiden RI ke 2, bisa me-tahananrumah-kan si ibu jari, sampai meninggal. Orang akan girang kalau ditunjuk Soeharto sebagai pembantunya. Baru bekerja setelah dapat petunjuk bapak presiden. Tetapi akan mati tujuh turunan kalau dituding sebagai anti UUD 1945 dan anti Pancasila. Karena hobinya main tunjuk akhirnya Soeharto lengser, karena sudah tidak ada petunjuk lagi. Kalau telunjuk mau kompak dengan ibu jari pasti mampu untuk nylentik maupun njewer koruptor.

Si “jari tengah”, memang sesuai fungsinya sebagai penengah atau pemisah. Akhirnya presiden RI ke 3 berhasil memisahkan Timor Timur dari NKRI.  Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Semboyan BJ Habibie yang bisa merasa hidup di alam nyata adalah  : ora dadi presiden, ora duwe parpol, ora patheken

Si “jari manis”, kalau diam kelihatan manis. Kalau berulah bisa bikin kalang kabut. Bisa menggelitik secara lembut. Karena ulahnya si jari manis tercabut akarnya sebagai presiden RI ke 4 oleh kuasa MPR RI.

Kisah berikutnya, keberadaan si “kelingking” sebagai presiden RI ke 5 yang justru kebetulan anak kandung ibu jari. Jelas tidak bisa membersihkan KKN sisa rezim si telunjuk ! secara formal si kelingking akan mudah ditekuk oleh telunjuk. Toh bangsa dan rakyat Indonesia cukup merasa nikmat dikorek-korek lubang hidung dan lubang telinganya dengan kelingking.

Akhir kisah, kita nanti akan main hom pim pah saja. Kesaktian Pancasila tak perlu diuji coba lagi, tak perlu didewa-dewakan lagi, tak perlu diperdebatkan akurasinya dalam mewujudkan mayarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Yang sudah terwujud adalah wakil rakyat yang sejahtera.

Pengalaman hidup Pancasila dengan usia historisnya, mau tak mau, walau tahan gerogotan. Namun pihak penggerogot justru dari orang dalam, akhirnya walau dielus-elus tangan sehalus apapun, tetap terpaku di tempat. Kendati diusap-usap lembut, diolesi dan baca mantra ramuan ajaib revolusi mental, Pancasila tidak bergeming dari posisi semula. [HaèN]

dicari, calon pemeran Indonesia saat ini



dicari, calon pemeran Indonesia saat ini

Tidak sekedar adegan demi adegan. Sudah sejibun episode, serial bersambung dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga pulau Rote. Tampak nyata wajah rakyat Indonesia, tampak jelas sosok masyarakat adat sampai profil roman muka masyarakat di tepi kota, pojok desa, di daerah pinggiran yang semangkin terpinggirkan.

Hingar-bingar politik dilengkapi wajah sangar pemain politik di pentas lokal, tampak garang garing. Kumpulan wakil rakyat Nasional karena luasnya tanah air, akan ditambah 15 kursi. Watak aseli apa saja yang berhasil digali di bumi pertiwi. Apakah akan mewakili peradaban asing yang sebentar lagi akan bermain secara formal, legal, konstitusional di panggung Nusantara.

Peradaban impor sudah lama merasuki jiwa bangsa, mengkontaminasi alur pikir, ragam ucap dan pola tindak anak bangsa sejak dalam kandungan.

Sulit tebak dialami rakyat secara alami. Sudah membedakan mana tokoh satria dan mana tokoh raksasa. Kustom semua pemain sama. Atribut partai dan busana seragam kebesaran yang hanya beda warna.

Rambu lalin bertengger di mana saja masih dilibas, apalagi kebijakan di atas kertas, langsung lenyap tanpa bekas. Akhirnya Nusantara krisis skenario yang digali dari kehidupan rakyat.

Akhirnya tanpa komando, tanpa aba-aba, setiap oknum penyelenggara berkeliaran bebas, blusukan sampai lokasi “jalma mara jalma mati” sekedar cari wangsit. Plus pulang lebih sakti, digdaya, mandraguna.

Bukannya calon penonton yang berjubel antri beli tiket di loket umum. Tapi malah pemain cadangan sudah siap makar, kudeta. Kalau tidak segera naik pentas, akan bersegera, bergegas membuat pentas tandingan. Wong podo kéréné, malah saling pamér.

Hadapi laga kandang 2019, investor politik, bandar politik, cukong politik sudah mulai membidik bakal calon potensial. Sistem pengkaderan, rekrutmen di internal sebuah partai politik tak berlaku, tidak dianggap sebagai produk resmi. [HaèN]