Halaman

Senin, 29 September 2014

Demokrasi Dan Politik Indonesia, Memberi Makan Perampok

Demokrasi Dan Politik Indonesia, Memberi Makan Perampok

Bukan karena dosa politik bawaan Orde Baru maupun akibat kuwalat terhadap pemerintah Orde Lama, sejak 21 Mei 1998, dominasi partai politik sangat terasa mulai urusan dapur keluarga sampai kepentingan dapur negara.


Saat rakyat bergelut dengan nasibnya yang mempraktekkan ekonomi sehari, bak burung terbang jelang fajar berkibar, pulang tembolok sarat rezeki buat anaknya, kawanan parpolis mulai tingkat daerah (bahkan tingkat kelurahan/desa), sampai tingkat negara, penyandang wakil rakyat maupun ketua/kepala rakyat, sibuk menumpuk warisan dunia, warisan dari anak cucunya [HaeN].

Partai Politik Bukan Orang Tua Tunggal

Partai Politik Bukan Orang Tua Tunggal


Bukti Sejarah
Kita buka PEMBUKAAN (Preambule) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya simak makna alenia/paragraf kedua :
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Secara historis, kalimat ‘yang merdeka, bersatu, berdaulat’, menjadi landasan hukum dan moral Pemerintah Orde Lama (orla). ‘Adil dan makmur’  menjadi lagu wajib Pemerintah Orde Baru (orba) yang dijabarkan dan diwujudkan dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita, dilaksanakan Pelita I s.d Pelita VI).

Pemerintah Orla mapun Orba di bawah satu kendali, satu tangan yaitu presiden. Kedaulatan rakyat di zaman bung Karno, disinerjikan dengan kedaulatan negara. Peran partai politik (parpol) bukannya tidak nyata atau masuk kategori dominan, walau hanya sekali Pemilu 1955. Nasakom-nya bung Karno malah memberi peluang kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan dua kali kudeta atau makar, Madiun Affair 18 September 1948 dan Gerakan 30 September 1965.

Kedaulatan negara menjadi lebih menonjol, dominan di era Orba, agar tidak terjadi disintegrasi bangsa. Nasib kedaulatan rakyat, pemerintah Orba  bersama DPR dengan gemilang menyederhanakan jumlah partai melalui UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar. Hasilnya,  5 kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 peserta tetapnya hanya tiga yaitu PPP, PDI dan Golkar.


Trias Politika
Pasca 21 Mei 1998, kran demokrasi terbuka bebas, mengucur deras. Anak bangsa berlomba mendirikan parpol agar bisa ikut Pesta Demokrasi. Menjadi ketua umum parpol identik jadi capres, apesnya jadi pembantu presiden. Rakyat dibiarkan terjun bebas memperjuangkan nasibnya, melalui unjuk rasa dan unjuk raga turun ke jalan.

Wakil rakyat mendadak peduli dan tampil di media, seolah membela rakyat, jika menyangkut popularitasnya. Strategi mendapat simpati dari pemilih, khususnya pemilih pemula, langkah kampanye terselubung. Kedaulatan rakyat diartikan, hak rakyat sekaligus kewajiban rakyat adalah ikut aktif saat coblosan di hari pemilu legislatif, pilpres dan pilkada.

Periode 1999-2004 diisi dua presiden, serta periode 2004-2009 dan 2009-2014 atau satu dekade hanya diisi satu presiden bukannya tampa dampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Walau DPR dianggap  taman kanak-kanak oleh Gus Dur, namun cengkeramannya bisa memplesetkan bahkan menggelincirkan eksekutif dan yudikatif.

Legislatif memang sebagai jalur khusus parpol. Karena buta politik dan serakah dunia, parpol ingin merambah jalur lain. Mengincar jatah kursi pembantu presiden. Jabatan strategis di jalur yudikatif jadi arisan parpol pemenang pesta demokrasi. Parpol menjadi orang tua tunggal, semua peran dilakukan atau di bawah kendali. Antar komponen trias politika tidak terjadi saling kontrol, saling mengawasi, saling mengingatkan. Tidak terjadi asas keseimbangan.


Pasal UU direkayasa agar menguntungkan atau mendukung kepentingan pekerja politik. Kebijakan parpol adalah perpaduan buah politik balas jasa dengan balas dendam. Rakyat secara individu dan independen tidak diberi ruang dan peluang maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Ironisnya, bahkan rakyat tidak mempunyai hak pilih untuk memilih gubenur maupun bupati/walikota. DPRD sesuai UU Pilkada diberi wewenang memilih kepala daerah. Disintegrasi dicari jalan keluarnya dengan otonomi daerah, agar industri politik tetap jalan, agar parpol merasa berhasil jika mendapat kursi wakil rakyat atau pemimpin rakyat. [HaeN].

PARTAI POLITIK CACAT SEJARAH

Senin, 24/02/2003 08:15
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : PARTAI POLITIK CACAT SEJARAH.
Pemerintah Hindia Belanda sejauh ini, melalui Kementrian Aliran Kepercayaan belum menarik berbagai produk Partai Politik (parpol) yang "terbukti" cacat sejarah, cacat idiologi maupun cacat bawaan. Kendati masyarakat luas yang dalam posisi dirugikan sudah beribu kali mengajukan komplain ke Lembaga Ngawula Waduk. Rakyat secara spontan maupun terorganisir berbondong-bondong turun ke jalan, unjuk raga dan sambung suara. Sementara itu berbagai parpol yang terkena tuduhan masih adem ayem, se adem ayem pemerintah yang memang dikuasai oleh parpol. Asas "walau berbeda tetap satu" sebagai dasar pembentukan parpolyang telah mengalami berbagai modifikasi dan rekayasa genetik. Bahkan ahli komunikasi dan rekonstruksi bom bunuh diri mancanegara menegaskan bahwa untuk memecah belah ukhuwah ummat cukup dengan mengkotak-kotakan idiologinya.

Tak ada perbedaan idiologi antar parpol, apalagi mereka menyatakan sebagai atas nama rakyat, demi rakyat, oleh rakyat dan untuk kepentingan partai politiknya. Lambang parpol bisa sama tetapi beda warna. Warna bisa sedarah tetapi beda makna. Makna bisa sama tetapi beda kulit. Kulit bisa mirip tetapi beda isi. Isi bisa serupa tetapi beda karakter. Karakter bisa sealiran tetapi beda peran. Peran bisa sebangun tetapi beda pendapatan. Pendapatan bisa sebentuk tetapi beda penghasilan. Penghasilan bisa seukuran tetapi beda penerimaan. Penerimaan bisa sebesar tetapi beda kesempatan. Kesempatan bisa seluas tetapi beda waktu.

Ternyata waktu selama 5 tahun terasa kurang, apalagi belum kembali modal. Jangan heran kalau ketua umum parpol otomatis sebagai kandidat calon presiden. Para petinggi parpol yang tersebar di seantero wilayah Hindia Belanda akan tak putus meraih untung. Lengkap sudahlah pemecahbelahan bangsa dengan hak mendirikan partai politik. Sedangkan para ulama dalam urusan dunia bukannya merapatkan barisan, bahkan membuat barisan baru - barisan tandingan - daripada antri di barisan paling belakang atau jadi oposan tetapi miskin. (hn).


Sabtu, 27 September 2014

Dadu politik akan bergulir

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 21/05/2004 07:03
Dadu politik akan bergulir

Zaman Orba dadu politik dengan 6 sisi hanya memiliki satu gambar saja, gambar Bapak Pembangunan si Jenderal Besar Soeharto. Walau ratusan kali dilempar tetap menghasilkan dan menampakkan gambar Pak Harto.

Di era Reformasi yang sudah kebablasan dan melenceng ini 6 sisi dadu politik terpasang 6 gambar capres dan cawapres. Kampanye pada umumnya hanya akan bergerak atau menghasilkan dua hal yang kontradiktif, antara simpati / empati atau antipati. Banyak bergerak malah menguntungkan lawan main. Banyak lagak dan cakap malah membuka bopeng sendiri. Walau diam bukan berati akan memenangkan kontes. Pasang badan dan saling menjagal dan menjegal sudah bukan zamannya. Kita tunggu lempatan dadu 5 Juli 2004. (hn)


Selasa, 23 September 2014

Posisi Tawar Umat Islam

 Humaniora     Dibaca :60 kali , 0 komentar

Posisi Tawar Umat Islam

 Ditulis : Herwin Nur 12 September 2014 | 04:03

 Bicara soal peta dunia, kondisi dan potensi geografi dan demografi Indonesia patut diperhitungkan. Ironis, di kancah politik dunia dan pasar maupun perdagangan bebas dunia, posisi dan peran Indonesia kurang mempunyai nilai tawar, apalagi sebagai penentu. Minimal hanya sebagai mediator atau penengah konflik antar agama di suatu negara. Bangga jika berhasil sebagai tuan rumah pertemuan kepala negara negara-negara berkembang. Merasa sukses setelah mempertemukan para menteri keuangan negara penghutang.
Politik luar negeri yang bebas aktif dibuktikan dengan mengirim Kontingen Garuda sebagai pasukan perdamaian ke negara konflik. Respon terhadap konflik berkepanjangan, menghimbau pun seolah tidak mampu, apalagi mengkritik pedas.  Format ekonomi nasional mengacu pada kepentingan ekonomi global, sesuai petunjuk dan arahan kepentingan asing. Indonesia pensuplai utama tenaga kerja ke mancanegara, semakin menambah daftar panjang nilai jual sebagai bangsa besar. 
Bincang tentang sejarah Indonesia, tak akan lepas dari kiprah, kontribusi maupun kinerja umat Islam. Ironis, jumlah penduduk Indonesia terbanyak memeluk agama Islam, tidak otomatis menjadikan umat Islam mayoritas dalam hal unggul, menjadi tuang rumah. Bahkan menentukan nasibnya sendiri hanya sebatas di atas kertas. Atas nama HAM menghalalkan tirani minoritas menjelma menjadi penguasa tunggal atas berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
Perjalanan waktu industri politik Nusantara, saat Pemilu Legislatif 9 April 2014 dan Pilpres 9 Juli 2014, eksistensi partai politik Islam tak jauh meleset dari opini masyarakat, tak jauh menyimpang dari ramalan para ahli pengamat politik atau tak jauh bergulir dari dugaan hasil lembaga survei. Politik dalam negeri tidak mengacu pada negara maju, kecuali upah buruh, harga BBM, tarif dasar listrik. Pakem politik Pancasila secara sah dan konstitusional menjadikan politik sebagai panglima. Trias politik dibawah satu kendali yaitu partai politik. Parpol hanya di legislatif sebagai wakil rakyat merasa tidak punya taring, ikut nangkring dan nongkrong di eksekutif (paling tidak sebagai kepala daerah), agar lebih bernyali sekalian buka kapling di yudikatif. 
Pelaku ekonomi negara agraris didominasi petani gurem, petani penggarap, jauh dari kategori pemodal. Pasar tradisional selalu kalah dan salah melawan perambahan pasar modern yang menjangkau setiap jalur jalan stategis. Tanaman non-pangan yaitu tembakau, dari hulu sampai hilir, dikuasai sistem perdagangan bebas. Ahli hisap dan perokok pasif jadi korban rupiah / kesehatan. 
Tahu dan tempe sebagai makanan rakyat, ketersediaan bahan bakunya yaitu kedelai tergantung kebijakan luar negeri. Urusan garam dapur sudah ada yang menangani secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Daging sapi memang bagian intergral dari politik dagang sapi, harganya sesuai selera. Muncul istilah daging gelonggong. Rakyat mengkonsumsi daging ayam pedaging yang besar karena hormon atau rekayasa kimiawi. Muncul isitilah ayam tiren. Lagi-lagi, rakyat jadi korban. 
Menghadapi masalah bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, umat Islam berada dalam satu barisan, bukan karena semangat ukhuwah. Karena kepentingan dengan kalkulasi duniawi. Tentunya umat Islam tak mau mengulang tindakan dan kesalahan yang sama, yang nyata-nyata kita bisa bercermin pada parpol Islam. 
Wajar, kalau umat Islam terjebak nuansa panjang angan-angan, entah karena tekanan kondisi nyata atau acap melihat ke rumput tetangga. Jangan lupa, bahwa pembalasan itu sesuai dengan perbuatan bukan menurut angan-angan, tersurat dalam [QS An Nisaa'   (4) : 123] : "(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” 
Ironis, dunia pendidikan dan kesehatan yang juga ditangani ormas Islam, pengurusnya merasa akan lebih bisa berbuat banyak jika dapat jatah kursi menteri pendidikan dan menteri kesehatan. Apa kata dunia? [HaeN/Wasathon.com].

Senin, 22 September 2014

BAGI HASIL vs HASIL BAGI

Beranda » Berita » Opini
Senin, 21/04/2008 08:51
BAGI HASIL vs HASIL BAGI

Kursi penumpang angkutan umum sudah didesain untuk sekian orang, walau ada batas toleransi untuk penumpang atau penduduk sambil mangku bayi atau anak balita. Bagi penumpang yang bebas ukuran dan berat badan tak akan ditarik biaya tambahan. Masalahnya, jika kendaraan dipadati penumpang, adakah yang mau berbagi kursi. Sekadar menaruh pantat atau numpang duduk. Yang muda dengan tenang dan enteng duduk tanpa peduli lingkungan. Yang tua atau yang merasa tua tak dipersilahkan akan marah, kalau dipersilahkan duduk akan menampik dengan halus. Sehalus basa basi politik dalam negeri. 

Di alam nyata politik, baik aliran hitam maupun aliran putih, tidak dikenal istilah bagi hasil. Pakem yang menjadi lagu wajib adalah balas dendam atau balas jasa. Bahkan kapal keruk, kapal pukat harimau bisa menjadi lambang parpol. Kalau bisa menang mengapa harus kalah. Menang secara politis adalah tujuan utama kawanan politisi utawa politikus nusantara. Tentunya jangan pakai kacamata dan kriteria moral (hn).


BAHAYA SAMA vs SAMA BAHAYA

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 05/06/2008 10:21
BAHAYA SAMA vs SAMA BAHAYA

Diriwayatkan bahwa kekuatan Islam pada saat mereka bersatu, ketika menghadapi bahaya yang sama. Jika kondisi terkendali, ummat Islam bisa jadi akan saling menyalip dan saling libas, terutama saat berebut kekuasaan, pengaruh dan massa. Bahaya bisa datang dari mana saja, bisa bersifat alami maupun buatan manusia atau rekayasa. Bahaya ada yang datangnya cukup sopan, bak denging nyamuk memberi tanda bahaya. Paling berbahaya adalah bahaya dari dalam, atau dari konco dewe.

Sesuai tuntutan dan tantangan zaman. Islam dipolitisir, pencampuradukan antara pemimpin agama atau ummat dengan pemimpin negara. Ummat Islam yang bercokol di kutub pemerintahan atau penyelenggara negara, tentu akan menjalankan lagu wajibnya sebagai birokrat. Bisa jadi lagu wajib ini melunturkan semangat keislaman, yang pada gilirannya akan menawar aqidahnya. Sebagai contoh, ada orang mengaku nabi atau mendirikan agama baru, tak dilarang dan dianggap sebagai kebebasan beragama. Kebebasan beragama dianggap termasuk mendirikan agama baru, menjadi nabi zaman modern, mempunyai aliran berbasis agama, dan sebangsanya.

Mendeklarasikan partai politik dengan platform Islam, sejalan dengan menanam bibit perpecahan, karena beda politik bisa beda segalanya. Konflik horinzontal antar aktor intelektual, atau konflik internal di tubuh ummat Islam sangat rentan dengan sentuhan provokasi. Salah sebut nama bisa jadi alasan naik darah. Salah hormat bisa jadi kiamat, jadi jangan asal salah malah tidak apa-apa, tidak ada dampak negatifnya (hn).


POSISI REFORMASI vs REFORMASI POSISI

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 21/05/2008 02:57
POSISI REFORMASI vs REFORMASI POSISI

Tidur, kita lakukan sembarang waktu, tempat dan posisi - bisa. Jangan iri kalau kawanan wakil rakyat bisa tidur dan tidur-tiduran sembari sidang biasa DPR. Jangan iri kalau pemulung di siang bolong dengan nyenyak tidur di gerobagnya. Jangan iri kalau abang becak duduk sambil mendengkur di jok. Walau kita tidur dalam posisi yang benar dan baik, belum tentu langsung pulas atau menghasilkan pola tidur yang sehat dan manusiawi. Terkadang dengan posisi seadanya, sekenanya dan sebisanya kita malah bisa terbuai dan terbawa mimpi kemana-mana. Akibat kemajuan zaman, banyak pribadi yang sulit tidur, terpaksa harus didongkrak dengan obat tidur. Kebanyakan orang mengalami sulit bangun, terutama menjelang fajar.

Jadi, dua kutub sulit tidur maupun sulit bangun, sebagai hal yang manusiawi bukan kejahatan maupun tindak kriminal. Kita jangan malu dan tak perlu risau menyandang salah satu atau bahkan salah duanya. Persoalan apakah orang hidup tenang dengan barang, uang atau kekayaan yang diperoleh secara berkelebihan, terutama merampas hak orang lain, bukan masalah kita. Termasuk, kelompok KKN klas nasional, apakah ybs bisa tidur nyenyak tiap malamnya, bukan urusan kita.

Padahal yang tak bisa tidur nyenyak adalah mereka yang berharap banyak dari NKRI. Mereka yang takut miskin, takut kelaparan, takut sengsara. Terlebih bagi mereka yang pernah tampil di pentas dan panggung nasional. Berlaku hukum dan prinsip ekonomi bukan Pancasila, yaitu timbun-menimbun demi kepentingan bukan golongan. Apapun yang bisa dilipat, ditimbun, dialirkan lakukan dengan seksama secara bersama agar luput dari jeratan dan jebakan pasal hukum. Kalau dulu ada istilah maling teriak maling, atau pernah habis lengser keprabon, Pak Harto marah karena sebagai rampok koq cuma diteriaki copet. Sekarang maling teriak duluan, memproklamirkan diri, saya maling ! (hn).


duduk perkara vs perkara duduk

Beranda » Berita » Opini
Senin, 26/11/2007 07:16
duduk perkara vs perkara duduk

Acara seremonial Rapimnas III dan HUT ke 43 Partai Golkar (PG) diliput oleh berbagai media massa. Cerita dan derita di balik berita pun ditayangkan. Pos Kota, Sabtu 24 November 2007, dengan tinta buram, kertas kusam menyajikan sisi dalam wacana yang sedang melanda PG. Tak bisa dipungkiri, ibarat kesebelasan, maka PG penuh dengan pemain bintang papan atas, pemain asing belum diturunkan, bekas atau veteran perang kompetisi nasional, pemain merangkap kapten, pemain serba bisa, pemain nekat gol bunuh diri, ahli pemberi umpan, spesialis pencetak gol, kiper berjibaku, wasit netral asal dapat wangsit, taktis menjegal lawan, khusus operan pendek, strategis menghadang lawan, kaki makan kaki, mahir menjatuhkan lawan tanpa terasa anginnya ......... artinya penguasaan bola jauh di atas kesebelasan lawan.

Hasil statistik pertandingan tandang maupun pertandingan kandang, PG lebih banyak kebobolan daripada membobol gawang lawan. Bukan kalah bertanding, cuma lawan hanya beberapa kali tendangan langsung ke gawang dan dipungut oleh kipernya. Permainan PG didominasi operan, sentuhan dan aba-aba pelatih. Sekarang, PG sibuk memilih dan memilah, menyensor dan menyortir, menyaring dan menjaring pemain inti. Siapa yang akan diposisikan menjadi calon RI-1, siapa yang akan disiapkan menjadi RI-2, siapa yang patut menjadi pembantu presiden, siapa yang layak jadi legislator.

Menggantang calon berbobot dan berkualitas hal yang paling sulit, lebih sulit dari hanya sekedar mendata pemain potensial, unggulan dan familiar utawa populer. Yang sudah menampakkan diri jelas tak akan menampik jabatan. Yang sudah menampikkan hati nurani jelas tanpa ragu dan basa-basi akan menampakkan diri (hn).


Minggu, 21 September 2014

Mencari Format Tampilan Generasi Islam Di Industri Politik

Mencari Format Tampilan Generasi Islam Di Industri Politik


Satunya Kata Dengan Tindakan
Menarik kita simak analisa Pengamat Perilaku, pada acara TVone Jumat, 19 September 2014 sore, yang merespon Rakernas IV PDIP di Semarang, Jawa Tengah. Salah satu sosok yang disorot adalah Ketua DPP PDIP, yang kebetulan anak kandung Ketum PDIP, saat memberikan sambutan pembuka.

Nada dan suara pidato Puan  datar, komentar pertama yang disampaikan sang Pengamat. Artinya, tanpa emosi, hambar dan tidak ada penekanan pada substansi yang penting. Bahkan, cara jalan pun jadi bahan bicara sang Pengamat. Jalannya Puan saat menuju mimbar, tidak menunjukkan keakuan sebagai parpol besar, pemenang pemilu, komentar kedua yang diutarakan sang Pengamat sambil merenung. Komentar ketiga, atau terakhir, sang Pengamat sambil geleng kepala bilang, Puan diwawancarai tentang peluang jadi Ketua DPR terjegal UU MD3. Jawaban Puan tidak menyangkut substansi. Bahkan peluang jadi menteri di kabinet, tidak direspon secara substansial.

Padahal semua rakyat sadar politik, bahwa ilmu dan kadar politik Puan berkat di bawah asuhan, didikan maupun praktek langsung oleh mantan Wakil Presiden RI ke-8 sekaligus mantan Presiden RI ke-5. Bayangkan, jika individu generasi muda Islam, yang bukan siapa-siapa, bukan anak siapa-siapa, bukan dan tidak mempunyai keturunan darah politik, tidak punya akses publikasi media masa, tidak punya modal politik, jangan-jangan bisa tumpas sebelum tunas. Layu sebelum melaju. Tumbang sebelum maju ke gelanggang.

Generasi muda Islam optimis untuk terjun ke industri politik secara total, dari hulu sampai hilir. Bukan sebagai penggembira, bukan sebagai pelengkap penderita, bukan sebagai pembeli produk partai politik. Karena umat Islam pada umumnya mempunyai paket reliji, yaitu antara pikiran, ucapan dan tindakan dikemas dalam satu sistem kesatuan. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sudah menyuratkan serta menyuratkan adab berjalan, berbicara, dsb.

Paket Reliji
Bahkan cara berjalan berkorelasi dengan cara bicara, telah digariskan [QS Luqman (31) : 19] :Dan sederhanalah kamu dalam berjalan[*] dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

[*] Maksudnya: ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat.

Batasan ‘janganlah terlampau cepat dan jangan pula terlalu lambat’ sebagai adab berjalan atau mencontoh cara Rasulullah saw berjalan. Dalam strata tertentu bisa bersifat universal. Bisa juga dirumuskan berdasarkan berbagai aspek ilmu pengetahuan maupun adat istiadat.

Acara, atraksi, adegan berbasis dialog, diskusi dan debat yang menjadi andalan media penyiaran tv, bukannya tanpa dampak bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa politik generasi muda Islam. Kontaminasi akibat secara tak sadar mengidolakan cara bicara artis, selebiris atau politisi sipil saat diwawancarai wartawan tv. Gaya bicara memang berkaitan erat dengan kualitas diri. Tak salah pendapat orang jika IQ seseorang bisa dilacak dari gaya bicaranya. ESQ tercermin pada cara berbicara dan cara bertindak.

Kemenangan partai politik dalam pesta demokrasi diukur dari peroleh suara sah dari pemilih. Di industri politik masih berlaku faham/dogma yaitu siapa yang banyak bicara, yang mahir mengolah dan mempermainkan kata, yang pandai berucap dan bercuap, yang pakar silat lidah, yang ahli berdebat, akan unggul. Yang nampak bekerja seolah peduli nasib bangsa. Modal utama menjadi pekerja politik adalah modal mulut.

Keutamaan orang yang meninggalkan berdebat walaupun dia benar, sebagai -mana sabda Rasulullah saw : “Aku adalah pemimpin pada sebuah tempat di surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia benar” (HR Bukhari).


Bukan berarti generasi muda Islam memilih gerakan tutup mulut [HaeN].

Jumat, 19 September 2014

SAATNYA PARTAI GOLKAR MENJILAT LIUR SENDIRI

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 22/04/2009 09:25
SAATNYA PARTAI GOLKAR MENJILAT LIUR SENDIRI

Sebagai single mayority saat ditungganggi Bapak Pembangunan, penguasa tertinggi Orde Baru, Golkar menjadi pabrik pejabat penyelenggara negara. Walhasil setelah ganti kulit menjadi Partai Golkar (PG) di era Reformasi, tak pelak PG tak pernah punya kader. Kebanyakan hanya main comot atau asal pasang orang yang kelihatannya sebagai pemangku berhala baru (kekuasaan, kekuatan dan kekayaan). Konflik internal PG membuktikan banyaknya orang yang tak mau antri, bentuk barisan sendiri.

Pileg 2009, membuktikan pula bahwa PG tak punya konsep visi dan misi yang jelas, bersifat dinamis dengan dalih harga diri partai. Menghadapi Pilpres 2009 PG menunjukkan klasnya dengan dalih martabat partai terpaksa banting harga. Tepatnya, menang meradang, kalah berang (hn).


Kamis, 18 September 2014

Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk (Bukan) Rakyat

Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk (Bukan) Rakyat


Strip Abang
Di dunia militer dikenal prajurit strip abang, serdadu yang siap maju duluan (atau bahkan dikontrak mati duluan). Peran mereka sebagai serdadu ujung tombak terkait keamanan atau bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Serdadu strip abang tidak mengenal politik luar negeri, namun mereka siap ditempatkan di daerah perbatasan negara, berjaga 24 jam. Rombongan pertama yang berjibaku di lokasi bencana alam, ketika kawanan politisi sipil di jajaran pemerintah yang peduli nasib rakyat sibuk rapat koordinasi.

Unjuk rasa dan unjuk raga berbagai elemen masyarakat, yang acap menjurus anarkis, mengganggu ketertiban dan kepentingan umum, merongrong eksistensi negara, mau tak mau, serdadu/polisi strip abang diterjunkan berhadapan langsung dengan warga negara strip abang alias rakyat.

Sosok Rakyat
Di jalanan, sosok rakyat yang mempunyai keahlian / keterampilan mengemudi angkutan umum, tanpa peduli ngetem di bahu jalan, di tikungan, di persimpangan atau berhent mendadak. Bunyi klakson, raungan bajaj serta sumpah serapah pemakai lalu lintas yang antri di belakangnya, tak mampu mengusik nuraninya (utawa soal moral?). Kepentingan menjaring penumpang dan uber setoran menjadi pilihan utama.

Di jalanan, motor telah menjadi raja jalanan. Menjadi angkutan pribadi yang praktis dan berdaya tampung melebihi kapasitasnya. Antar anak sekolah, berangkat kerja, angkut barang dagangan sampai menjadi ojeg. Dalam kategori tertentu mereka jadi setan jalanan.

Di jalanan, memang banyak rakyat berkeliaran. Mengkais rejeki pagi. Menjadi pemulung, tukang kais sampah. Mencari sesuap nasi. Mengelola ekonomi sehari. Mereka hidup dari jalanan. Jalan menjadi ladang utama. Menjalankan bisnis jalanan.

Di jalanan, ada hukum yang berlaku. Aturan main tilang, tarif parkir, PKL, tukang palak, tukang parkir, penjual koran di lampu merah, Pak Ogah yang berbagai pasalnya tidak memihak rakyat. Ironis, di jalanan tergelar episode rakyat makan rakyat?.

Di jalanan, demokrasi berjalan bebas berbasis manusia bebas, melahirkan free man. Preman. Banyak kejadian di jalanan yang mengilhami penguasa negara. Celakanya banyak rakyat yang pandai menghujat para pemimpin bangsa. Tetapi mereka tak pernah bercermin, bagaimana caranya menjadi rakyat bermartabat.

Wacana Politik
Di industri politik, warga negara strip abang alias rakyat dibutuhkan secara kuantitas saat pesta demokrasi lima tahun sekali. Bakal calon wakil rakyat, bakal calon kepala daerah sampai bakal calon kepala negara, mendadak peduli rakyat. Turun ke lapangan, blusukan ke kantong-kantong rakyat, merangkul rakyat, merebut simpati rakyat. Ujung-ujungnya agar rakyat memilihnya saat hari coblosan. Rakyat diposisikan hanya sebagai pembeli produk parpol yang loyal, bukan sebagai order produk parpol.

Menjadi wakil rakyat, kepala daerah maupun kepala negara di pasca Reformasi cukup berat dan sarat aturan main secara politis. Salah tindak bisa ditindak, salah pilih orang bisa jadi bumerang, salah hafal bisa terjerat pasal, salah kata bisa menjadi fakta, salah fatwa bisa menjadi terdakwa. Tidak hanya pada prasyarat, tetapi juga khususnya pada waktu menerima amanah sebagai wakil/pemimpin rakyat. Konflik internal parpol malah membuktikan bagaimana urusan dapurnya.

Tidak semua babakan kehidupan bisa dipelintir apalagi dipolitisir. Tidak semua kejadian patut ditayangkan sebagai ajang gengsi percaturan politik tingkat nasional. Tidak semua peristiwa menjadikan kita semakin merana, atau semakin waspada, siapa mencurigai siapa. Bahasa jelasnya, rakyat masih dijadikan obyek politik. Fungsi rakyat hanya sebagai pelengkap penderita jalannya revolusi mental.

Jebakan Dunia
Fiman Allah yang berlaku sepanjang zaman,  diabadikan dalam Al-Qur’an [QS Huud (11) : 15] :  Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”

Dalam berbagai aspek dan sendi kehidupan bermasyarakat, seolah rakyat dibiarkan berjuang sendiri, berjuang menentukan nasib dan masa depannya. Domain, kutub, atau mazhab berbangsa dan bernegara bisa bertolak belakang dengan kesejahteraan rakyat.

Terjadi, pekerja politik bisa “sejahtera” duniawi dengan mengorbankan nasib rakyat, membisniskan amanah, menggadaikan masa depan bangsa [Haen]

-----------------






Senin, 15 September 2014

APA LACUR SUDAH JADI MEGAPOLITAN JABODETABEKJUR

Rabu, 22/02/2006 01:19

APA LACUR SUDAH JADI MEGAPOLITAN JABODETABEKJUR

Jakarta, jangan dipandang dengan sebelah mata. Bahkan mata hati pun tak bias menembus siapa sejatinya Jakarta itu. Lain cerita kalau Jakarta ditempatkan sebagai ibukota negara, buka kota ibunegara yang pernah di Solo. Konsep megapolitan Jabodetabekjur merupakan adab bertetangga, dengan asas saling menguntungkan. Jakarta, mencolok beda jumlah penduduk di siang hari / jam kerja dengan waktu malam hari / jam tidur.

Walau Jakarta tak pernah tidur, bahkan ada gubernur malam hari. Orang dapat duit di Jakarta, beraknya di luar Jakarta. Mobil / motor kandangnya di luar Jakarta, polusinya menghias udara Jakarta. Biaya parkir ditanggung sopir. Jakarta, surplus sampah, limbah, air bah, sisa olah ...... akan tetapi minus air baku / air bersih. Walhasil, perlu aliran air baku dari tetangga, perlu pematusan air bah yang di buang ke tetangga, perlu tempat pemusnahan akhir sampah di lokasi belakang Jakarta sampai perlu daur ulang para pendatang haram.

Jakarta, memang perlu belas kasihan. Sebagai ibukota negara memang harus dimanja, diutamakan, dan dianakemaskan yang lain kalau perlu dan bila perlu [HaeN].


Sabtu, 13 September 2014

Kepercayaan Masyarakat Terhadap Polisi

Kepercayaan Masyarakat Terhadap Polisi


Sebagai alat negara yang berkewajiban memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman; Polri juga berkewajiban memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri (kamdagri). Oleh karena itu, kebijakan peningkatan profesionalisme Polri dilakukan melalui pembinaan kinerja Polri dengan meningkatkan kompetensi pelayanan inti, manajemen operasional, pengembangan sumber daya organisasi dan manajemen perilaku, termasuk penerapan program “quick win” oleh Polri sampai ke tingkat Polres di seluruh wilayah NKRI. Dalam periode 2010 – 2014, Polri telah melakukan penambahan sebanyak 50.000 anggota Polri untuk mencapai tingkat rasio dengan masyarakat menjadi 1 : 575. Rekrutmen personil Polri dilakukan secara transparan dan telah mendapat sertifikat manajemen mutu ISO 9001:2008. Dalam hal penuntasan penanganan tindak kejahatan, selama tahun 2010 sampai dengan Juni 2013 rata-rata terselesaikan lebih dari 55% untuk semua kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan konvensional, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara, dan kejahatan yang berimplikasi kontijensi. Sementara itu, pelanggaran anggota Polri baik dalam bidang tata tertib, disiplin, pidana, etika profesi, maupun pemberhentian tidak hormat menunjukkan kecenderungan menurun.

Sebagai salah satu bagian proses reformasi, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah menjadi institusi yang mandiri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sejak 1 April 1999. Polri yang sebelumnya disubordinasi oleh militer kini dituntut menjadi kekuatan sipil negara yang melindungi jiwa, harta benda dan hak rakyat Indonesia serta tugas dan tanggungjawabnya dengan kemampuan teknis profesional yang khusus. Kemampuan profesional tersebut antara lain intelijen kepolisian, reserse, satuan bhayangkara, lalu lintas, dan brigade mobil yang didukung pula dengan teknologi kepolisian seperti laboratorium kriminil, identifikasi kriminil, komunikasi elektronik, serta manajemen kepolisian yang dibarengi dengan kualitas sumber daya manusia dan dukungan anggaran. Tugas polisi akan jauh lebih mudah jika masyarakat mendukung, bekerjasama, dan mempercayai polisi sebagai institusi keselamatan publik. Dukungan ini vital karena tugas polisi sendiri merupakan ‘the impossible mandate’ (mandat mustahil), yang mencakup penerapan hukum (yang terkadang tidak populer), melindungi dari kejahatan (dari yang ringan, terkejam, sampai dengan yang paling berbahaya), menyelesaikan masalah (dari yang ringan hingga paling berat), melayani kebutuhan publik (terlepas dari sikap dan sendirian publik) dengan santun, rasa hormat, profesionalisme dan sikap tidak berpihak (Haberfeld, 1998).

Kolaborasi masyarakat dengan Polri dalam menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban yang efektif hanya dimungkinkan jika Polri tidak terkesan sebagai pelaku kekerasan, penembakan, atau pemburuan di mata masyarakat. Alih-alih menjadi dekat dan mendukung polisi, dengan kesan sangar seperti itu, masyarakat akan cenderung merasa awas dan menjaga jarak terhadap polisi. Dukungan masyarakat terhadap Polri menjadi lebih sulit lagi didapatkan ketika citra yang tertanam di benak publik adalah yang negatif yang pada gilirannya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Ketidakpercayaan terhadap polisi terlihat dari banyaknya aksi penyerangan terhadap markas dan anggota Polri. International Crisis Group (ICG) mencatat sejak Agustus 2010 - Februari 2012 terdapat 40 aksi penyerangan terhadap markas dan anggota Polisi. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa pemolisian masyarakat (Polmas) belum berjalan secara optimal. Fakta ini juga didukung oleh masih tingginya pelanggaran anggota Polri meskipun kecederungannya semakin menurun. Dalam kurun waktu tahun 2009 – Juni 2013 sebanyak 79.984 anggota melanggar tata tertib, 25.512 anggota melanggar disiplin, 2.749 anggota melakukan pidana, 2.001 anggota melakukan pelanggaran etika profesi, dan 1.442 anggota diberhentikan dengan tidak hormat. Bahkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2013 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden yang disurvei menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum dan hampir 50% responden tidak percaya polisi dapat bersikap adil. Risiko ketidakpercayaan masyarakat terhadap polisi dapat berujung pada ketidakpercayaan terhadap pemerintah, pelanggaran hukum, serta main hakim sendiri.

(sumber RKP 2015, Buku II Prioritas Pembangunan Bidang, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2014)