Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Dan Untuk (Bukan) Rakyat
Strip Abang
Di dunia militer dikenal prajurit strip abang, serdadu yang siap maju duluan
(atau bahkan dikontrak mati duluan). Peran mereka sebagai serdadu ujung
tombak terkait keamanan atau bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan
kedaulatan negara. Serdadu strip abang
tidak mengenal politik luar negeri, namun mereka siap ditempatkan di daerah
perbatasan negara, berjaga 24 jam. Rombongan pertama yang berjibaku di lokasi
bencana alam, ketika kawanan politisi sipil di jajaran pemerintah yang peduli
nasib rakyat sibuk rapat koordinasi.
Unjuk rasa dan unjuk raga berbagai elemen masyarakat, yang acap menjurus
anarkis, mengganggu ketertiban dan kepentingan umum, merongrong eksistensi
negara, mau tak mau, serdadu/polisi strip abang diterjunkan berhadapan langsung
dengan warga negara strip abang alias rakyat.
Sosok Rakyat
Di jalanan, sosok rakyat yang
mempunyai keahlian / keterampilan mengemudi angkutan umum, tanpa peduli ngetem
di bahu jalan, di tikungan, di persimpangan atau berhent mendadak. Bunyi
klakson, raungan bajaj serta sumpah serapah pemakai lalu lintas yang antri di
belakangnya, tak mampu mengusik nuraninya (utawa soal moral?). Kepentingan
menjaring penumpang dan uber setoran menjadi pilihan utama.
Di jalanan, motor telah menjadi
raja jalanan. Menjadi angkutan pribadi yang praktis dan berdaya tampung
melebihi kapasitasnya. Antar anak sekolah, berangkat kerja, angkut barang
dagangan sampai menjadi ojeg. Dalam kategori tertentu mereka jadi setan
jalanan.
Di jalanan, memang banyak rakyat
berkeliaran. Mengkais rejeki pagi. Menjadi pemulung, tukang kais sampah. Mencari
sesuap nasi. Mengelola ekonomi sehari. Mereka hidup dari jalanan. Jalan menjadi
ladang utama. Menjalankan bisnis jalanan.
Di jalanan, ada hukum yang
berlaku. Aturan main tilang, tarif parkir, PKL, tukang palak, tukang parkir,
penjual koran di lampu merah, Pak Ogah yang berbagai pasalnya tidak memihak
rakyat. Ironis, di jalanan tergelar episode rakyat makan rakyat?.
Di jalanan, demokrasi berjalan
bebas berbasis manusia bebas, melahirkan free man. Preman. Banyak
kejadian di jalanan yang mengilhami penguasa negara. Celakanya banyak rakyat
yang pandai menghujat para pemimpin bangsa. Tetapi mereka tak pernah bercermin,
bagaimana caranya menjadi rakyat bermartabat.
Wacana Politik
Di industri politik, warga negara strip abang alias rakyat dibutuhkan
secara kuantitas saat pesta demokrasi lima tahun sekali. Bakal calon wakil
rakyat, bakal calon kepala daerah sampai bakal calon kepala negara, mendadak
peduli rakyat. Turun ke lapangan, blusukan ke kantong-kantong rakyat, merangkul
rakyat, merebut simpati rakyat. Ujung-ujungnya agar rakyat memilihnya saat hari
coblosan. Rakyat diposisikan hanya sebagai
pembeli produk parpol yang loyal, bukan sebagai order produk parpol.
Menjadi wakil rakyat,
kepala daerah maupun kepala negara di pasca Reformasi cukup berat dan sarat
aturan main secara politis. Salah tindak bisa ditindak, salah pilih orang bisa
jadi bumerang, salah hafal bisa terjerat pasal, salah kata bisa menjadi fakta,
salah fatwa bisa menjadi terdakwa. Tidak hanya pada prasyarat, tetapi juga
khususnya pada waktu menerima amanah sebagai wakil/pemimpin rakyat. Konflik
internal parpol malah membuktikan bagaimana urusan dapurnya.
Tidak semua babakan kehidupan bisa dipelintir apalagi dipolitisir. Tidak
semua kejadian patut ditayangkan sebagai ajang gengsi percaturan politik
tingkat nasional. Tidak semua peristiwa menjadikan kita semakin merana, atau
semakin waspada, siapa mencurigai siapa. Bahasa jelasnya, rakyat masih
dijadikan obyek politik. Fungsi rakyat hanya sebagai pelengkap penderita
jalannya revolusi mental.
Jebakan
Dunia
Fiman Allah yang
berlaku sepanjang zaman, diabadikan
dalam Al-Qur’an [QS Huud (11) : 15] : “Barangsiapa yang menghendaki
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan.”
Dalam berbagai aspek dan sendi kehidupan bermasyarakat, seolah
rakyat dibiarkan berjuang sendiri, berjuang menentukan nasib dan masa depannya.
Domain, kutub, atau mazhab berbangsa dan bernegara bisa bertolak belakang
dengan kesejahteraan rakyat.
Terjadi, pekerja politik bisa “sejahtera” duniawi dengan
mengorbankan nasib rakyat, membisniskan amanah, menggadaikan masa depan bangsa
[Haen]
-----------------