dilema hak berpancasila, politik sehat vs sehat politik
Ketika perkembangan ilmu politik banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, pusat
perhatian utama adalah negara, yang dikenal sebagai tradisi yuridis formal.
Tradisi ini terutama berkembang di Jerman, Austria dan Prancis. Sedangkan di
Inggris, perkembangan ilmu politik banyak dipengaruhi oleh filsafat moral.
Prancis dan Inggris memang kemudian menjadi ujung tombak dalam perkembangan
ilmu politik sebagai disiplin tersendiri, setelah dibentuknya Ecole Libere
des Sciences Politiques di Perancis (1870) dan London School of
Economics and Political Science di Inggris (1895).
Tradisi yuridis formal yang dipengaruhi oleh ilmu hukum ini juga
mempengaruhi kajian ilmu politik Indonesia. Melalui sarjana-sarjana Belanda
misalnya, tradisi ini membekas pada sebagian besar pemikiran tokoh-tokoh
pergerakan nasional. Mereka ini memperoleh pengetahuan politik dari mata kuliah
ilmu negara maupun karya-karya dari tokoh-tokoh seperti: R. Kranenburg dan
Logemann.
(sumber: Modul 1 “Ilmu Politik: Ruang
Lingkup dan Konsep”, Prof. Miriam Budiardjo, dkk)
Pasca bergulirnya
reformasi mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, bertaburan ratusan parpol di bumi
Pancasila. Umur teknisnya ada yang hanya semusim pemilu. Parpol kelanjutan
zaman Orde Lama maupun Orde Baru, masih bisa eksis. Bukti historis, ideologi
tak ada matinya. Anak cucu pewaris darah ideologi. merasa menemukan jalan yang
benar, jalan yang lurus. Tak perlu merintis dari nol dan makan keringat
sendiri. Merasa pewaris kursi notonegoro kian balik adab.
Baik atau buruk; benar atau salah; betul atau keliru; bagus
atau buruk berdasarkan demokrasi adalah ditentukan suara terbanyak, mayoritas.
Secara aklamasi, voting atau adu suara. Terlebih untuk kepentingan penguasa.
Bukan sesuai ketentuan agama, norma, tradisi moral yang berlaku di masyarakat.
Moral tanpa politik buta
sepihak, politik tanpa moral membabi buta. Judul merupakan kesimpulan dari
kejadian nyata, praktik demokrasi ataupun modus operandi manusia politik.
Sehingga tak perlu dibuktikan. Jangan lupa fakta, pelaku politik nusantara
tidak didominasi oleh kawanan atau oknum politisi sipil. Pelajaran ‘Pancasila
Sakti’ penguasa tunggal Orde Baru dan dua periode SBY menambah catatan khusus.
Memperpanjang modul pembelajaran dan pendidikan politik praktis.
Piramida struktur
kekuasaan, semakin runcing. Kian runcing, tapi tumpul dalam skala global. Ahirnya
struktur puncak menjadi rentan, riskan, rawan. Namanya politik, yang haram asal
konstitusional, tidak bisa dipidanakan. Yang tak masuk akal, namun sesuai kamus
politik, menjadi lagu wajib. Semua kejadian ini berlangsung di periode presiden
ketujuh RI.
Sekaliber petugas partai
sampai dua jilid, kian membuktikan politik sebagai panglima. Atas nama (partai)
politik, menghalalkan segala bentuk manipulasi, serba rekayasa fakta, aneka cara modus koalisi, maupun bentukan
lain biaya politik. Tenaga dalam negeri kurang manjur, sah-sah saja pakai jurus
cakar naga.
Ada tidaknya demokrasi,
seperti apa demokrasi yang ada, tersedia. Lacak pada praktik semu demokrasi
multipartai. Partai politik lokal sampai eksistensi elite lokal mampu
menentukan pilkada. Laik tanding antar partai politik malah menambah besaran
pasar biaya politik. Serangan fajar plus pengelembungan suara hasil pungutan
suara, bukti lain praktik demokrasi.
Tanpa himbauan pihak
mana pun, sudah terjadi perilaku hidup swadési. Alias gerakan nyata menggunakan produk bangsa
sendiri. Interaksi antara modal sosial
dengan perwujudan masyarakat sipil, masyarakat sosial dan identitas manusia
sosial. Kesemuanya akan menentukan praktik nyata demokrasi.
Diléma moral Pancasila,
jenuh pedoman vs hampa panutan. Tak ada yang salah dengan Pancasila. Bisa
dikaburkan, bisa memang dijadikan budaya luhur. Rakyat tak pernah memusingkan
diri dengan pengejawantahan Pancasila. Sila-sila Pancasila ada disekeliling
kehidupan harian.
Manusia politik yang
terjebak kebijakan partai. Sejatinya adalah aneka pribadi yang sedang aktif
mengkerdilkan diri. Suasana kebatinan berbasis fakta satu pintu, “moral politik
rubuh-rubuh gedhang Nusantara, pendhèrèk vs nganthèk”. Modal utama cukup dengan
modal loyal total. Tak perlu berpihak pada nilai luhur kemanusiaan. Tak perlu
pura-pura loyal karena perwatakan.
Oknum ketua umum yang
nyaris seumur hidup. Pola alih peran, kaderisasi akan jalan di tempat. Tak
heran, siapa saja asal kuat bayarannya, penyandang nama komersial, tukang tapi
punya massa bayaran, bisa langsung jadi elie partai. Atau mendapat nomer jadi saat pesta
demokrasi. [HaéN]