Halaman

Minggu, 31 Mei 2020

kisah nasib ikan kaleng bansos covid-19


kisah nasib ikan kaleng bansos covid-19

Bukan karena dimensi mungil. Pas untuk lauk satu orang, malah kurang karena berkuah. Dikocok bunyi. Produksi Banyuwangi. Namanya rezeki mampir, saat warga amalkan kebijakan pemerintah #dirumahaja. Tak perlu uber virus sampai jalanan.

Asas bonus demografi terkoreksi total. Manusia umur produktif bukan sistem gaji plus tunjangan, mirip PHK. Macam semboyan “roda obah, rejeki nambah” bagi go-jek dan sebangsanya. Pekerja/buruh di rumahkan dan tunggu sampai kondisi nasional melegalkan. Sekolah di rumah.

Bentuk kepedulian bagi-bagi sembako dari berbagai pihak. Terutama dari APBN dan atau APBD. Akhir Ramadhan 1441H pembagian sembago dari Polri liwat anggotanya untuk dibagikan ke warga kompleks. Soal sembako, masih hangat pengalaman banjir di awal tahun 2020.

Bansos APBN ke semua warga terdampak. Kemasan bukan dos, artinya agak berklas. Pakai tas besar plus logo. Berat ditenteng. Isi sembako hanya beda kualitas. Seperti disesuaikan dengan penerima manfaat..

Kembali ke judul. Kendati peruntukkan bansos sudah terukur akibat agresi covid-19. Beda penerima beda permanfaatan, perlakuan, khususnya ikan kaleng.

Pihak pertama, seorang nenek single-parent. Dikenal tak mau diam duduk manis di rumah. Usaha kuliner demo alat masak langsung di depan kaum ibu. Akhir tahun 2019 mendapat titipan kucing ras dari anaknya. Bersykukur, tidak dititipi cucu. Singkat kata. Kucing betina diduga hamil. Beranak di tetangga. Menyesuaikan adat kucing yang bersertifikat. Didekati pejantan lokal, jelas main tolak. Dua kaleng ikan kaleng menjadi menu lauk kucing. Satu kaleng dituang langsung ke nasi ludes dilahap.

Pihak kedua, di rumah Pepabri. Isi dua keluarga, tetap dapat satu paket sembako. Dihitung per rumah, bukan KK. Sang pensiunan polisi, kalau pensiun usia 56 tahun, sudah 32 menikmati. Terlatih masak sendiri, tak masalah dengan status duda. Soal ikan kaleng. Tahu-tahu pagi hari, dua kaleng kosong tergeletak di bak sampah. Tak sempat inap atau masuk kulkas. Pas untuk lima mulut dan atau perut 3 generasi.

Pengalaman saya dengan sembako dan atau bansos, sudah kutayangkan di blogspot, dengan judul “daya tahan kutu #diberassaja”. [HaéN]

kapan-kapan kita ber-Pancasila lagi


kapan-kapan kita ber-Pancasila lagi

Golongan darah yang terkandung di badan anak bangsa pribumi nusantara, selaku indikator utama kadar kandungan Pancasila sehat. Secara awam, apakah semua golongan darah membawa sifat dan kadar kepancasilaan yang sama. Golongan darah apa pada orang tua yang mempengaruhi golongan darah anaknya.

Ternyata, nyatanya statistik pemilik golongan darah menunjukkan fakta golongan darah AB minim penggemarnya. Karakter tiap golongan darah tidak sama pada aspek tertentu. Bahkan bisa terjadi menjadi perseteruan terbuka. Merasa unggul dan pembawa nasib baik perbaikan keturunan.

Faktor bawaan lain, apakah sang manusia pengguna aktif otak kanan atau sebaliknya otak kiri mendominasi tabiat, martabat, jati diri. Belum lagi guratan garis tangan yang berpola acak atau masuk pola tertentu. Panjang jari tangan sesuai kaidah atau efek asupan gizi. Pokoknya karakter anatomi tubuh identik dengan sila-sila Pancasila.

Lalu lintas peradaban politik nusantara sebagai wujud nyata praktik Pancasila. Sepak jegal terjang, ujaran bebas, tindak tanduk seruduk penyelenggara negara menjadi cerminan komposisi sila-sila. Abaikan simbol partai politik yang memakai simbol Bintang, Banteng, Beringin.

Ibarat ilmu maka Pancasila hanya sebatas melatih cara berpikir. Soal praktik, mau pakai sistem oplosan, pola kanibal, teknik gado-gado, sah-sah saja. Tergantung tujuan akhir periode atau kontrak politik.

Setiap presiden punya lagu dan berlagu soal menu Pancasila. Agar tak terpinggirkan di arus deras global. Oleh karena itu, menjadi jago kandang, jawara lokal lebih aman, nyaman. [HaéN]

dari Pancasila kembali ke Pancasila


dari Pancasila kembali ke Pancasila

Justru kawanan penyelenggara negara yang gemar menjungkirbalikkan formulasi, rumusan utama sila-sila Dasar Negara. Seolah menjad bola panas atau bola liar. Aneka pendekatan, serba aspek uji kaji nyali ketahanan serta daya lentur, daya dukung, daya tampung.

Hukum politik, kamus politik, kebijakan pemerintah menjadi agenda terselubung penguasa dan atau pengusaha. Main coba-coba banding, sanding, tanding dengan kedigdayaan, keperkasaan Sumber Hukum Tertinggi. Tentunya sudah siap dengan pihak yang siap sedia jadi kambing hitam, dikorbankan demi negara. Tunas bangsa menjadi tumbal politik jika tampak beda.

Selaku Pandangan Hidup (way of life) bangsa dan negara, masih sedang akan selalu sering acap sampai ‘susah hidup’. Komponen anak bangsa berketurunan paham global merasa selaku penyambung hidup plus menghidupi negara. Milik negara terutama uang negara menjadi sumber kehidupan.

Latar belakang, halaman depan pendorong semangat merdeka. Diimbangi terbentuknya partai politik, organisasi kemasyarakatan. Ikatan moral, tradisi luhur antar suku bangsa nusantara lebih diformalkan dengan bentukan Ideologi Bangsa. Basis pemikiran politik dengan subyek hidup proletar plus wong cilik. Ibarat memasukkan atau sengaja main mata. Ambisi politik menjadi biang krisis ideologi berkelanjutan.

Masyarakat bangsa secara horizontal menjadi bentuk dasar sistem kependudukan. Sistem hierarkis piramidal berdasarkan skala ekonomi melahirkan kasta sosial. Daya jangkau gerakan aksi demi kuasa politik, memacu plus memicu nilai tukar negara. Di tangan ahlinya, Alat Pemersatu selain sakti, bisa menjadi alat pemukul. Efektif menggandakan berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa). [HaéN]

Sabtu, 30 Mei 2020

generasi gagap gemulai, lelet mikir vs latah nyinyir


generasi gagap gemulai, lelet mikir vs latah nyinyir

Bukan kesimpulan sejarah apalagi sejalan dengan efektivitas bonus demografi. Subyek kian atraktif di musim kering. Panas bumi meningkatkan libido selaku petarung bebas. Maunya semua pihgak beda pilihan dilibas dengan makian, olok-olok politik. Penghafal kata nista, kalimat hujat plus jilat tersalurkan liwat media massa arus lambat.

Tindakan aksi brutal sambil duduk manis. Bebas ujar bak tak kenal wajah diri, rupa diri di cermin. Tahu diri bahwa pengetahuannya melebihi orang berakal sehat. Rekam jejak atau daya empiris pribadi seolah musnah tanpa sampah. Tak ada masukan dari evaluasi diri, mawas diri sejak dini.

Nafsu duniawi menjadikan dirinya fokus ke depan, jangan lengah sekejap mata. Waspadai decak cicak pembawa sial. Agar tak kesalip atau kecolongan di jalan lurus. Melakukan dua kegiatan beda tata cara sekaligus.

Daya analisis berbaur dengan daya sintesis ketika mencerna kehidupan harian. Kecanduan ingin menelan hidup-hidup kuman di seberang lautan bebas. Orang berak di pelupuk mata disangka berkah tak terduga. Itulah sinergitas anatara daya analisis logis dengan daya sintesis logis. Hasilnya ybs sigap balik arah, balik badan.

Akhirnya sampai derajat akademis mampu menduplikasi, mereplikasi, mendaur ulang ilmu yang oleh orang tak berilmu pun tak mau pakai. Sadar bahwa BAB di celana adalah laku bayi atau badut yag bebas hukum agama. Saking betah duduk manis, sampai lupa pantat ditaruh sembarang tempat. [HaéN]

dilema hak berpancasila, politik sehat vs sehat politik


dilema hak berpancasila, politik sehat vs sehat politik

Ketika perkembangan ilmu politik banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum, pusat perhatian utama adalah negara, yang dikenal sebagai tradisi yuridis formal. Tradisi ini terutama berkembang di Jerman, Austria dan Prancis. Sedangkan di Inggris, perkembangan ilmu politik banyak dipengaruhi oleh filsafat moral. Prancis dan Inggris memang kemudian menjadi ujung tombak dalam perkembangan ilmu politik sebagai disiplin tersendiri, setelah dibentuknya Ecole Libere des Sciences Politiques di Perancis (1870) dan London School of Economics and Political Science di Inggris (1895).

Tradisi yuridis formal yang dipengaruhi oleh ilmu hukum ini juga mempengaruhi kajian ilmu politik Indonesia. Melalui sarjana-sarjana Belanda misalnya, tradisi ini membekas pada sebagian besar pemikiran tokoh-tokoh pergerakan nasional. Mereka ini memperoleh pengetahuan politik dari mata kuliah ilmu negara maupun karya-karya dari tokoh-tokoh seperti: R. Kranenburg dan Logemann.

(sumber: Modul 1 “Ilmu Politik: Ruang Lingkup dan Konsep”, Prof. Miriam Budiardjo, dkk)


Pasca bergulirnya reformasi mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, bertaburan ratusan parpol di bumi Pancasila. Umur teknisnya ada yang hanya semusim pemilu. Parpol kelanjutan zaman Orde Lama maupun Orde Baru, masih bisa eksis. Bukti historis, ideologi tak ada matinya. Anak cucu pewaris darah ideologi. merasa menemukan jalan yang benar, jalan yang lurus. Tak perlu merintis dari nol dan makan keringat sendiri. Merasa pewaris kursi notonegoro kian balik adab.

Baik atau buruk;  benar atau salah; betul atau keliru; bagus atau buruk berdasarkan demokrasi adalah ditentukan suara terbanyak, mayoritas. Secara aklamasi, voting atau adu suara. Terlebih untuk kepentingan penguasa. Bukan sesuai ketentuan agama, norma, tradisi moral yang berlaku di masyarakat.

Moral tanpa politik buta sepihak, politik tanpa moral membabi buta. Judul merupakan kesimpulan dari kejadian nyata, praktik demokrasi ataupun modus operandi manusia politik. Sehingga tak perlu dibuktikan. Jangan lupa fakta, pelaku politik nusantara tidak didominasi oleh kawanan atau oknum politisi sipil. Pelajaran ‘Pancasila Sakti’ penguasa tunggal Orde Baru dan dua periode SBY menambah catatan khusus. Memperpanjang modul pembelajaran dan pendidikan politik praktis.

Piramida struktur kekuasaan, semakin runcing. Kian runcing, tapi tumpul dalam skala global. Ahirnya struktur puncak menjadi rentan, riskan, rawan. Namanya politik, yang haram asal konstitusional, tidak bisa dipidanakan. Yang tak masuk akal, namun sesuai kamus politik, menjadi lagu wajib. Semua kejadian ini berlangsung di periode presiden ketujuh RI.

Sekaliber petugas partai sampai dua jilid, kian membuktikan politik sebagai panglima. Atas nama (partai) politik, menghalalkan segala bentuk manipulasi, serba rekayasa fakta,  aneka cara modus koalisi, maupun bentukan lain biaya politik. Tenaga dalam negeri kurang manjur, sah-sah saja pakai jurus cakar naga.

Ada tidaknya demokrasi, seperti apa demokrasi yang ada, tersedia. Lacak pada praktik semu demokrasi multipartai. Partai politik lokal sampai eksistensi elite lokal mampu menentukan pilkada. Laik tanding antar partai politik malah menambah besaran pasar biaya politik. Serangan fajar plus pengelembungan suara hasil pungutan suara, bukti lain praktik demokrasi.

Tanpa himbauan pihak mana pun, sudah terjadi perilaku hidup swadési. Alias gerakan nyata menggunakan produk bangsa sendiri. Interaksi antara  modal sosial dengan perwujudan masyarakat sipil, masyarakat sosial dan identitas manusia sosial. Kesemuanya akan menentukan praktik nyata demokrasi.

Diléma moral Pancasila, jenuh pedoman vs hampa panutan. Tak ada yang salah dengan Pancasila. Bisa dikaburkan, bisa memang dijadikan budaya luhur. Rakyat tak pernah memusingkan diri dengan pengejawantahan Pancasila. Sila-sila Pancasila ada disekeliling kehidupan harian.

Manusia politik yang terjebak kebijakan partai. Sejatinya adalah aneka pribadi yang sedang aktif mengkerdilkan diri. Suasana kebatinan berbasis fakta satu pintu, “moral politik rubuh-rubuh gedhang Nusantara, pendhèrèk vs nganthèk”. Modal utama cukup dengan modal loyal total. Tak perlu berpihak pada nilai luhur kemanusiaan. Tak perlu pura-pura loyal karena perwatakan.

Oknum ketua umum yang nyaris seumur hidup. Pola alih peran, kaderisasi akan jalan di tempat. Tak heran, siapa saja asal kuat bayarannya, penyandang nama komersial, tukang tapi punya massa bayaran, bisa langsung jadi elie partai. Atau mendapat nomer jadi saat pesta demokrasi. [HaéN]