Halaman

Senin, 18 Mei 2020

guru yang baik vs presiden yang baik

guru yang baik vs presiden yang baik

Jika yang dimaksud judul ada di nusantara. Pakai asas BST (banding, sanding, tanding) mungkin lebih bijak. Diterapkan per presiden. Hasil akhir bisa akumulasi semua presiden. Lebih afdal, bermanfaat, wakil presiden juga sebagai subyek.

Konsénsus nasional, aklamasi atas penggunaan tolok ukur, kriteria, spesifikasi politis atau faktor BST yang layak pakai. Menghindari fitnah sejak dini. Skenario sesuai rekayasa, modifikasi, manipulasi atau pesanan, menjadi pasal yang dipegang teguh.

Hasil akhir menyuratkan sekaligus menyiratkan, bahwasanya guru yang baik di mata muridnya tetap sama. Kendati pengertian guru bersifat umum bukan person jabatan atau perorangan. Kelebihan guru karena seumur-umur tetap jadi guru. Tak pakai batasan waktu, periode.

Melihat jam terbang presiden RI pertama dan presiden RI kedua, menginspirasi sistem zonasi. Guru terbelenggu di bawah tempurung zonasi. Sibuk menjadi pelari di tempat. Karena usia, umur, guru ybs masih aktif belum pensiun. Lebih dari itu, produktivitas guru tak terbatasi usia produktif manusia, beda dengan batasan bonus demografi.

Pendidikan tidak sekedar sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran bagi peserta didik. Proses mengembangkan potensi diri peserta didik lebih ditekankan pada penyiapan untuk masa depannya. Termasuk siap tanding mengikuti kompetisi regional bahkan nasional memperebutkan bangku pendidikan tinggi.

Menjadi manusia politik juga tak ada kriteria uzur, mendadak lupa maupun penurunan daya ingat. Jangan heran, politisi sipil dengan modal pengalaman pernah sebagai : pembantu presiden, wakil presiden bahkan presiden, atau pernah merasakan nikmat menjadi wakil rakyat, maupun merasakan empuknya takhta kepala daerah, tak menjadikannya sebagai prajurit tua, apalagi berfalsafah “old soldiers never die, they just only fade away”. Mereka merasa bahwa hidup dimulai ketika berusia 60tahun. Apalagi jika merasa bahwa negara sebagai warisan. Merasa selaku pewaris sah kursi notonegoro. Prajurit tua tak akan mati vs politisi sipil tak akan puas sampai mati.

Ingat rasa bangga masyarakat Madura atas sosok gubernur Jatim M. Noer. Defacto maupun dejure tetap dianggap sebagai gubernur Jatim sampai sekarang. Soal ada nama lain, mereka sebut hanya sebatas pengganti.

Menjadi ingatan publik ada fakta nyata berupa marginalisasi, stigmaisasi, konotasiasi maupun pelabelan, penyebutan presiden RI ketujuh sebatas petugas partai. Mau pakai kajian akademis atau bahan obrolan kosong iseng santai berhadiah, silahkan. Justru bukti lain bagaimana kesan dan pesan presiden di mata dan di hati rakyat.

“Bukan hanya meletakkan dasar tradisi keilmuan dan pengembangan teknologi yang kokoh, BJ Habibie juga mengajarkan banyak tentang adab berpolitik.  . . . “ (“Terima Kasih Habibie”, Republika, Kamis 12 September 2019).

Jadi, presiden ketigas RI, tetap dikenang rakyat bukan karena pernah jadi presiden. Pengalaman selaku pembantu presiden, wakil presiden dan presiden, berkat “buta politik”. Kadar politik BJ Habibie bertolak belakang dengan sebutan Mr Crack. Artinya dunia mengakui ide brilian, kadar jenius dirinya sebagai ahli pesawat terbang klas dunia.

Simpul ringan atas judul olah kata, tergantung “pengalaman politik” pemirsa. Kawanan peolok-olok politik cepat tanggap, reaksi cepat. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar