guru
yang baik vs presiden yang baik
Jika yang dimaksud judul ada di nusantara. Pakai asas BST
(banding, sanding, tanding) mungkin lebih bijak. Diterapkan per presiden. Hasil
akhir bisa akumulasi semua presiden. Lebih afdal, bermanfaat, wakil presiden
juga sebagai subyek.
Konsénsus nasional, aklamasi atas penggunaan tolok
ukur, kriteria, spesifikasi politis atau faktor BST yang layak pakai. Menghindari
fitnah sejak dini. Skenario sesuai rekayasa, modifikasi, manipulasi atau
pesanan, menjadi pasal yang dipegang teguh.
Hasil akhir menyuratkan sekaligus menyiratkan, bahwasanya
guru yang baik di mata muridnya tetap sama. Kendati pengertian guru bersifat
umum bukan person jabatan atau perorangan. Kelebihan guru karena seumur-umur
tetap jadi guru. Tak pakai batasan waktu, periode.
Melihat jam terbang presiden RI pertama dan presiden RI
kedua, menginspirasi sistem zonasi. Guru terbelenggu di bawah tempurung zonasi.
Sibuk menjadi pelari di tempat. Karena usia, umur, guru ybs masih aktif belum
pensiun. Lebih dari itu, produktivitas guru tak terbatasi usia produktif
manusia, beda dengan batasan bonus demografi.
Pendidikan tidak sekedar sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran bagi peserta
didik. Proses mengembangkan potensi diri peserta didik lebih ditekankan pada
penyiapan untuk masa depannya. Termasuk siap tanding mengikuti kompetisi
regional bahkan nasional memperebutkan bangku pendidikan tinggi.
Menjadi manusia politik juga tak ada kriteria uzur,
mendadak lupa maupun penurunan daya ingat. Jangan heran, politisi sipil dengan
modal pengalaman pernah sebagai : pembantu presiden, wakil presiden bahkan
presiden, atau pernah merasakan nikmat menjadi wakil rakyat, maupun merasakan
empuknya takhta kepala daerah, tak menjadikannya sebagai prajurit tua, apalagi
berfalsafah “old soldiers never die, they just only fade away”. Mereka
merasa bahwa hidup dimulai ketika berusia 60tahun. Apalagi jika merasa bahwa
negara sebagai warisan. Merasa selaku pewaris sah kursi notonegoro. Prajurit
tua tak akan mati vs politisi sipil tak akan puas sampai mati.
Ingat rasa bangga masyarakat Madura atas sosok gubernur
Jatim M. Noer. Defacto maupun dejure tetap dianggap sebagai
gubernur Jatim sampai sekarang. Soal ada nama lain, mereka sebut hanya sebatas
pengganti.
Menjadi ingatan publik ada fakta nyata berupa
marginalisasi, stigmaisasi, konotasiasi maupun pelabelan, penyebutan presiden
RI ketujuh sebatas petugas partai. Mau pakai kajian akademis atau bahan obrolan
kosong iseng santai berhadiah, silahkan. Justru bukti lain bagaimana kesan dan
pesan presiden di mata dan di hati rakyat.
“Bukan hanya meletakkan dasar tradisi keilmuan dan
pengembangan teknologi yang kokoh, BJ Habibie juga mengajarkan banyak tentang adab
berpolitik. . . . “ (“Terima Kasih
Habibie”, Republika, Kamis 12 September 2019).
Jadi, presiden ketigas RI, tetap dikenang rakyat bukan
karena pernah jadi presiden. Pengalaman selaku pembantu presiden, wakil
presiden dan presiden, berkat “buta politik”. Kadar politik BJ Habibie bertolak
belakang dengan sebutan Mr Crack. Artinya dunia mengakui ide brilian, kadar
jenius dirinya sebagai ahli pesawat terbang klas dunia.
Simpul ringan atas judul olah kata, tergantung “pengalaman
politik” pemirsa. Kawanan peolok-olok politik cepat tanggap, reaksi cepat. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar