uber pahala berlipat
tapi bukan haknya
Namanya saja kejadian peristiwa, perkara perikehidupan
manusia. Internal keluarga saja, urusan sepele bisa menjadi bertele-tele. Kasus
sederhana menahun menimbulkan merana berjilid. Peri keamalan manusia dimulai
dan dipupuk di keluarga. Laku seseorang di masyarakat, cerminan jati diri
keluarga.
Sistem pemerintahan model, gaya apapun tak akan
mampu melepaskan diri dari eksistensi kominitas, himpunan akar rumput, papan
bawah. Adab antar tetangga, rukun tangga plus guyub, tepo sliro menjadi
perekat, ikatan moral.
Perang kemanusiaan melawan hawa nafsu selama
Ramadhan. Pasal yang meringankan karena setan dibelenggu, tak berpengaruh pada
kinerja manusia. Agresi covid-19 menjadikan defisit kesenyapan masjid. Jamaah dihadapkan
tantangan dilematis, antara ikhtiar bersama dengan takdir individual.
Mengacu dan mengaca Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Nomor: 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi
Wabah COVID-19 yang dimaksud dengan COVID-19 adalah corona virus desease 2019,
penyakit menular yang disebabkan oleh corona virus yang ditemukan pada tahun
2019. Fatwa MUI secara substansial selaku langkah keagamaan untuk pencegahan
dan penanggulangan COVID-19 agar tidak meluas. Sejalan dengan protokol
kesehatan, medis dan kebijakan pemerintah sampai tingkat RW/RT.
Ketetentuan Hukum kedua Fatwa MUI 14/2020
menyuratkan:
Orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri
agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat
diganti dengan shalat zuhur, karena shalat jumat merupakan ibadah wajib yang
melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara
massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang
terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih
dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan
tabligh akbar.
Shalat memang bisa dikerjakan di rumah. Lain pasal
dengan majelis ilmu. Walau ada siaran dalam jaringan atau rekaman semaksud. Tapi
dirasa kurang afdal jika tidak langsung tatap muka. Ditambah sesi tanya jawab
saling alih pengetahuan.
Contoh nyata, kasat mata judul. Jamaah datang gelar
sajadah di shaf terdepan, ditinggal. Kembali jelang azan atau pas qomat. Terjadi
pada mereka yang aktif buka bareng, lanjut shalat maghrib. Lanjut kumpul bahas
apa saja, sajadah ditinggal. Kalau dilakukan oleh seorang oknum karena
kepraktisan, sesuai hak asasinya. Kalau sudah ada 3 orang atau lebih. Membuat jamaah
Isya’ sudah kedahuluan sajadah tanpa orang. Mau main geser, malah tambah dosa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar