Halaman

Rabu, 31 Januari 2018

cerdas ideologi vs pikun politik



cerdas ideologi vs pikun politik

Singkat kata. Kemanfaatan multipartai adalah aspirasi politik rakyat tersalurkan. Terbukti wakil rakyat seklas oknum Ketua DPR, BS, rekam jejak nikmat dunianya, tak perlu diperdebatkan. Namanya usaha. Hasilnya terukur dan dapat dinikmati keluarga ybs.

Bentuk jamaknya, adalah kalau mau miskin jangan berjuang di jalur ideologi.

Konflik politik di Nusantara sudah bisa diredam sedini mungkin. Memasuki tahun politik 2018, politik adalah panglima dan sisanya ada yang mendaulat sebagai agama. Minimal aliran kepercayaan yang mampu mewujudkan cita-cita untuk menjadi penganut aktif berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa).

Semangkin lama, semangkin tinggi manusia politik menentukan nasibnya, maka akan berbanding lurus dengan pertambahan daya pikun politiknya.

Kalau sudah duduk lupa berdiri, pariwara jadul. Diperbarui disesuaikan dengan kemajuan peradaban zaman menjadi walau sudah tidak duduk, lupa kalau sudah berdiri. Tak bisa melihat kursi kosong. Panggilan kaki yang selalu mengajak ke istana.

Ironis binti miris, tak téga jika kursi dipakai oleh bukan kelompoknya. Makanya, langkah politiknya serba mégatéga. Mulai serigala berbulu domba. Serigala mengelus-elus buaya. Semua modus, rekayasa menjadi konstitusional. [HN]

humor tahun politik 2018, mengelus-elus buaya



humor tahun politik 2018, mengelus-elus buaya

Menjalankan sebuah partai politik, tak perlu ilmu. Mengandalkan asas taat, patuh, loyal kepada sang pembuat kebijakan, maka akan aman tak diganggu gugat. Bagaimana dengan hingar-bingar sang oknum ketua umum.

Logika politiknya, bahwa semakin besar biaya politik akan berbanding lurus dengan raihan kursi di pesta demokrasi. Rekam jejaknya secara nasional, menggadaikan republik ini bukan masalah. Demi raih sukses, apa arti pengorbanan dalam bentuk apapun, siapapun.

Memang, hasil pilkada serentak 2018 sangat menentukan peta politik nasional. Seperti inden atau memberi uang tanda jadi di pemilu legislatif serentak dengan pilpres 2019.

Bukannya “belum meminang sudah menimang”, di atas kertas harus dirinci siapa akan menjadi apa, siapa kebagian apa, siapa yang harus dikambinghitamhkan, siapa yang harus dikorbankan. Bahkan semua taktik, modus, rekayasa menjadi menu hariannya. Hafal di luar kepala.

Secara yuridis historis memang ada anak cucu biologis pewaris jiwa Nasakom.

Untung ki dalang Sobopawon, masih bisa ngelus dada, lanjut garuk-garuk kepala sendiri dan punggung tetangga. Diakhiri dengan tepuk pantat, tepuk jidat. Ambil nafas panjang, buang ke segala arah. Lanjutkan tugas. Lupa sampai dimana.

Tahun politik bak permainan ular naik tangga. Makanya sang ular, siap dengan segala risiko politik.

Ingat ujaran imajiner BK :”Beri cucuku kursi presiden, jangan hanya kursi pembantu presiden”. Presiden ke-7 RI hanya terkekeh-kekeh, geli tanpa sebab.  [HaèN]

persatuan Indonesia vs per-"Indonesia 1"-an

persatuan Indonesia vs per-"Indonesia 1"-an

Rakyat ingat-ingat tahi ayam akan pepatah kuno “hanya keledai impor yang terperosok kedua kalinya di lubang yang sama”. Artinya , bangsa dan rakyat NKRI yang secara statistik didominasi buta politik jangan sampai mengulang tindakan dan dosa yang sama di periode 2019-2024.

Ki dalang Sobopawon, usai ngelus dada, lanjut garuk-garuk kepala sendiri. Diakhiri deng tepuk jidat. Ambil nafas panjang, lanjutkan tugas. Penonton berjubel. Saat acara, adegan, atraksi favorit yaitu goro-goro. Muncul di tengah malam. Banyak komponen pakem yang harus ditaati. Agar tak berurusan dengan pihak penjaga malam.

Mulai tahun 2018 ini, pembuka kata di dalang, menu politik menjadi sajian utama pemerintah. Diimbangi dengan Asian Games XVIII yang dibuka resmi oleh presiden ketujuh, usai peringatan Proklamasi. Tepatnya kalau tak salah kalender masehi, pada sabtu 18.8.2018.

Serba “8”, diucapkan oleh ki dalang dengan mantap.

Artinya lagi, bangsa dan rakyat Nusantara berharap muncul sosok presiden ke-8 di pemilu legislatif yang bareng dengan pilpres 2019.  

Rakyat seolah terbagi menjadi dua kutub, kubu.

Pertama. Harapan rakyat akan muncul wajah baru paslon pilpres 2019; dan/atau Kedua. Doa rakyat semoga tampil sosok baru sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.

Itu saja.`Sampai di sini, salam ki dalang. Goro-goro hanya disiarkan langsung, tidak boleh direkam. [HaèN]

Selasa, 30 Januari 2018

dilema wibawa negara, multipartai vs multipilot



dilema wibawa negara, multipartai vs multipilot

Dikisahkan oleh ki dalang Sobopawon. Agar lebih nyata, ceta wéla-wéla dan terang benderang, maka penuturan kisah diangkat dari kejadian dan perkara yang sedang berjalan. Sesuai dengan periodenya, yaitu éra mégatéga. Bukan rekayasa, bukan modus, bukan sulap, bukan sihir.

Yang mana, daripada siapa yang menjadi kepala negara, kepala pemerintahan, menjabat presiden adalah tak lebih dan tak kurang hanya sebagai petugas partai. Tentunya partai daripada partai pengusungnya di pesta demokrasi 2014.

Sehingga, demokrasi yang katanya terbaik sejak Proklamasi, secara de facto muncul presiden senior. Alkisah dan masih berlangsung adegan, atraksi, acara yang mana sang pembantu presiden berlagak bak presiden.

Ki dalang Sobopawon, berguman lirih, takut disadap bak karet. Hebatnya lagi, puji ki dalang, oknum ketua umum sebuah partai politik memposisikan dirinya sebagai aktor intelektual, sutradara di belakang layar.

Kembali ke pakem. Masih dalam suasana kebatinan ki dalang, sebut saja pasal si gèdhèg lan si anthuk = wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan. Peribahasa ini mengingatkan kita akan skenario di pilpres 2019 yang merupakan kelanjutan dari kisah sukses pilkada DKI Jakarta 2012.

Ojo gumunan. Ojo kagètan. Yèn pancèn ing periode 2014-2019 akèh penguwasa sing garang garing. Dengan aji mumpung vs mumpung aji, utawa sikap loyalitas total, total jenderal.

Tak kurang, ujar netral ki dalang, akèh sing wis édan tenan, tetep ora keduman. Nganti intip kuali, kendil dikorèti, entèk tèk.

Jika kita simak rangkaian, runtutan, rentetan bencana politik yang bersumber dari pusat kekuasaan negara, di balik pintu penguasa, sumber segala sumber. Teori secanggih apapun tidak bisa menjawab. Kajian akademis klas dunia hanya bisa memberi komentar datar. Ironis binti tragisnya, mantan pelaku utama sampai pelaku numpang duduk, tidak tahu apa yang telah dilakukannya.

Kita bersyukur, masih ada sentiment positif yang membangkitkan semangat kerakyatan, untuk tetap utuh. Konflik, gesekan, friksi akibat syahwat politik di luar batas kewajaran, sudah menjadi senjata makan tuan.

Musuh nyata di depan mata, bukan sekedar dari dukun ahli melipatkgandakan uang, tetapi dari dukun politik yang butuh bebanten diri sendiri, keluarga sendiri.

Tapi, ingatkan akan peribahasa jer basuki mawa béa.

Biasanya, manusia dan/atau orang di Indonesia memang sangat tahu rasa berterima kasih. Artinya, jika diberi nikmat dunia oleh penguasa. Kendati pasal berlaku pasal diwènèhi ati ngrogoh rempela. Karena sudah dari sono-nya punya bakat  ésuk dhelé soré témpé.

Akankah di tahun politik 2018, tak disangka mèntal témpé malah disanjung. Namanya politik jenderal. Siap! Siap masuk kubangan bahwasanya yang mana daripada musuh negara vs musuh rakyat. [HaèN]