dilema
wibawa negara, multipartai vs multipilot
Dikisahkan oleh ki dalang Sobopawon.
Agar lebih nyata, ceta wéla-wéla dan terang benderang, maka penuturan kisah
diangkat dari kejadian dan perkara yang sedang berjalan. Sesuai dengan
periodenya, yaitu éra mégatéga. Bukan rekayasa, bukan modus, bukan sulap, bukan
sihir.
Yang mana, daripada siapa yang
menjadi kepala negara, kepala pemerintahan, menjabat presiden adalah tak lebih
dan tak kurang hanya sebagai petugas partai. Tentunya partai daripada partai
pengusungnya di pesta demokrasi 2014.
Sehingga, demokrasi yang katanya
terbaik sejak Proklamasi, secara de facto muncul presiden senior. Alkisah dan
masih berlangsung adegan, atraksi, acara yang mana sang pembantu presiden
berlagak bak presiden.
Ki dalang Sobopawon, berguman lirih,
takut disadap bak karet. Hebatnya lagi, puji ki dalang, oknum ketua umum sebuah
partai politik memposisikan dirinya sebagai aktor intelektual, sutradara di
belakang layar.
Kembali ke pakem. Masih dalam
suasana kebatinan ki dalang, sebut saja pasal si gèdhèg lan si anthuk = wong loro kang wis
padha kangsèn tumindak ala bebarengan. Peribahasa ini mengingatkan kita akan
skenario di pilpres 2019 yang merupakan kelanjutan dari kisah sukses pilkada
DKI Jakarta 2012.
Ojo gumunan. Ojo kagètan. Yèn pancèn
ing periode 2014-2019 akèh penguwasa sing garang garing. Dengan aji mumpung vs
mumpung aji, utawa sikap loyalitas total, total jenderal.
Tak kurang, ujar netral ki dalang,
akèh sing wis édan tenan, tetep ora keduman. Nganti intip kuali, kendil dikorèti,
entèk tèk.
Jika kita simak rangkaian, runtutan,
rentetan bencana politik yang bersumber dari pusat kekuasaan negara, di balik
pintu penguasa, sumber segala sumber. Teori secanggih apapun tidak bisa
menjawab. Kajian akademis klas dunia hanya bisa memberi komentar datar. Ironis
binti tragisnya, mantan pelaku utama sampai pelaku numpang duduk, tidak tahu
apa yang telah dilakukannya.
Kita bersyukur, masih ada sentiment
positif yang membangkitkan semangat kerakyatan, untuk tetap utuh. Konflik,
gesekan, friksi akibat syahwat politik di luar batas kewajaran, sudah menjadi
senjata makan tuan.
Musuh nyata di depan mata, bukan
sekedar dari dukun ahli melipatkgandakan uang, tetapi dari dukun politik yang
butuh bebanten diri sendiri, keluarga sendiri.
Tapi, ingatkan akan peribahasa jer basuki mawa béa.
Biasanya, manusia dan/atau orang di
Indonesia memang sangat tahu rasa berterima kasih. Artinya, jika diberi nikmat
dunia oleh penguasa. Kendati pasal berlaku pasal diwènèhi ati ngrogoh rempela.
Karena sudah dari sono-nya punya bakat
ésuk dhelé soré témpé.
Akankah di tahun politik 2018, tak
disangka mèntal témpé malah disanjung. Namanya politik jenderal. Siap! Siap masuk
kubangan bahwasanya yang mana daripada musuh negara vs musuh rakyat. [HaèN]