Halaman

Rabu, 31 Agustus 2016

revolusi politik mental karakter babi


.revolusi politik mental karakter babi


Pernah tenar di akhir tahun 80-an, lagu dengan gubah lirik diplesetkan menjadi “andai dipisah mulut dengan lutut”. Padahal semenjak manusia pertama diciptakan Allah, secara fisik anatomis letak mulut terpisah dan jauh di atas lutut. Namanya manusia, acap agar biar terlihat eksistensi, agar diperhitungkan di panggung politik, maka mulut dan atau lutut dijadikan senjata.

Hidup merupakan fungsi waktu. Detik waktu berpacu melawan detak jantung kita. Kita dalam memanfaatkan waktu sampai memasuki jebakan dan jeratan tak kenal waktu. Banting tulang, peras otak, peras keringat sampai kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala. Semua usaha, upaya maupn ikhtiar disiasati dengan segala cara. Mencari yang haram pun susah, apalagi yang halal, menjadi pedoman bagi kelompok tertentu. Kalau bisa dikeruk, kenapa cuma harus seteguk. Kalau bisa dikuras, kenapa cuma harus sebatas. Kalau bisa diperas sampai tuntas, kenapa cuma menadah ampas. Kalau tidak bisa korupsi, manfaatkan dana aspirasi.

Kendati kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, menjadi semboyan hidup manusia dalam menyelesaikan urusan dunia, sebagai tindakan nyata  menjemput rezeki-Nya. Biarpun peras keringat dan peras otak, tak kenal waktu, hidup diuber waktu, nyawa bisa jadi taruhan. Persaingan hidup menjadikan manusia siap berjibaku, di mana saja, kapan saja, bahkan tidak pandang bulu. Semua ada aturan mainnya.

Kita jangan lupa, bahwa yang halal pun ada batasnya ada takarannya. Kita simak [QS Asy Syuura (42) : 27] :Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”

Arus dan aliran politik di periode 2014-2019 bergerak bebas nyaris liar. Indikator utamanya yaitu masih ada pemain, pelaku, pekerja politik yang rangkap jabatan sebagai wakil rakyat, berurusandengan KPK. Mereka jangan serta merta dipersalahkan, mereka justru pahlawan ideologi bagi partainya.  Efek domino revolusi mental dengan komandan yang mental politiknya pas-pasan, menyuburkan mental babi yang dianut kawanan parpolis Nusantara. Kita ingat betapa seekor babi yang didorong pantatnya biar maju, malah berupaya mau mundur. Babi ditarik moncongnya, malah mengeluarkan tenaga dan tindakan perlawanan untuk bergerak mundur. Kalau di depan mata babi diiming-imingi segepok kursi kekuasaan, serta merta babi sigap meraihnya. [HaeN]

ketika wakil dan pembantu bak duri dalam daging Jokowi



ketika wakil dan pembantu bak duri dalam daging Jokowi

Jangankan anak kemarin sore, anak yang masih suka mengompol pun tahu liwat tayangan media penyiaran televisi, bahwasanya  peran dan posisi JK sebagai wapres dengan sang presiden Jokowi bukan sebagai dwitunggal. Pengalaman JK dengan SBY di periode 2004-2009 membuktikan seolah ada matahari kembar. JK merasa lebih cepat, lebih hebat. Sudah adatnya sebagai manusia Indonesia bagian timur, bukan bangsa timur, maunya nyelonong sendiri. Namun ketika dipersilahkan menyelonong malah bengong. Seperti mau maju ikut pilpres 2009.

Walhasil hubungan Jokowi dengan JK dibatasi aturan main barter politik. JK bisa bermain sebagai tukang pukul gong saat peresmian proyek negara, acara kenegaraan lainnya. Nilainya sebagai sesepuh kaum kuning utawa golongan karya, memang menjadikan ybs merasa di atas angin mamiri.

Perombakan kedua kabinet kerja tanpa kejar paket khusus, semangkin membuktikan malah Jokowi unjuk gigi. Terkekehnya tawa Jokowi menyuratkan dan menyiratkan bahwa si pembicara sudah ketebak lagak lagunya. Adab mengalahnya Jokowi sebagai ancang-ancang untuk meloncat, menyalip yang lebih dahulu lahir atau yang lebih awal mengabiskan asam garam politik. Jokowi membiarkan diri dan atau memang di bawah kendali, koordinasi, komunikasi bandar politik, dukun politik, pawang politik lintas negara. Opo tumon.

Menyoal kedudukan pembantu presiden, disinilah langkah catur politik Jokowi yang luput dari analisa pengamat politik lokal. Awal pelantikan, semua keinginan syahwat politik diakomodir habis-habisan. Biar rakyat yang menilai secara jujur. Opini masyarakat dijadikan dalih utama untuk melakukan pembenahan atau sebagai sumber masukan rasa keadilan dan rasa baik dan rasa benar. Sebagian masih dibiarkan bertindak seenak jidatnya sendiri. Karena, kalau Jokowi ikut campur tangan, walau secara konstitusional, ibarat babi yang didorong biar maju malah mau mundur. Babi ditarik moncongnya malah mengeluarkan tenaga dan tindakan perlawanan untuk bergerak mundur. Jadi banyak babi politik di lingkaran Jokowi.

Pasca rombak kedua kabinet kerja, langkah catur politik Jokowi memakai jurus membiarkan bola melambung setinggi-tingginya, kalau jatuh baru merasa. Artinya, ada pembantu presiden dibiarkan awet, betah duduk manis di kursinya. Biar sejarah yang mengadilinya. Ini salah satu cara jitu Jokowi merintis ke periode 2019. Jokowi tidak ingin memperbanyak ‘lawan politik’. Padahal, artinya masih ada model pelaku, pemain, pekerja politik yang jauh di atas rata-rata karakter ‘babi politik’. Wapres secara tak sadar malah diposisikan sebagai tukang berkoar, selain sebagai tukang pukul gong. Aliran air politik biar JK yang basah-basah, biar ybs girang dapat mainan basah, biar ybs sibuk dengan acara seremonial yang jadi fokus jurnalis. Bisa menjadi bahan baku lelucon, guyonan politik. [HaeN]

Selasa, 30 Agustus 2016

resah gelisah spiritual kawanan politik abal-abal



resah gelisah spiritual kawanan politik abal-abal

Secara sistem otot, pertulangan, serta struktur fisik, raga, lahir manusia jika kelamaan duduk berdampak di luar akalnya sendiri. Salah duduk atau duduk di bukan kursinya, atau karena kuasa bisa duduk di kursi yang bukan haknya, berdampak pada tampilan jiwanya. Sibuk menikmati kesenangan duniawi, pegal pantat tidak begitu dirasakan. Nikmatnya angin surga dunia menjadikan orang merasa betah di habitatnya.

Penyegaran diri dengan menjaga kesimbangan pendayagunaan waktu secara parallel. Duduk menulis memanfaatkan jasa laptop, sambil santap nasi atau cemilan, sembari mengobrol kalau ada lawan bicara, sekali lalu mendengarkan suara TV, seraya mata melirik surat kabar hari ini. Kegiatan harian walau rutin, nyaris tipikal, tetap harus disiasati, dicermati dan dilengkapi evaluasi diri.

Jiwa politik anak bangsa tidak sekedar ditempa oleh keadaan, tetapi diperkuat sejak dini. Kejadian di masyarakat membuktikan perilaku, tabiat pelaku, olah laku pemain, pekerja politik berpotensi mengalami gangguan kecemasan menyeluruh atau Generalized Anxiety Disorder (GAD). Faktor penyebab munculnya GAD, yaitu faktor genetic atau keturunan, lingkungan, biologik dan kepribadian.

Produktivitas politik anak bangsa sejauh ini berkaitan langsung dengan kejiwaan orangnya. Tak heran jika kalau ‘sudah duduk lupa berdiri’ menjadikan bolo dupak partai sampai oknum ketua umum berlangganan gangguan jiwa ringan. Resah gelisah spiritual menjadikan kawanan politik seolah linglung, tidak tahu mau berbuat apa lagi. Semangat bawah sadar yang masih aktif cuma bagaimana harus berjalan sampai tujuan. Jangan turun di tengah jalan sebelum jatu tempo. Di atas bawah sadar, syahwat politiknya masih membara diwujudkan nafsu maju lagi di periode yang akan datang.

Penderita resah gelisah spiritual, obat buatan manusia hanya dengan manajemen mengatur derita jiwa. Rasa resah gelisah spiritual bisa melanda kawanan politik pemula, terutama ketika namanya masuk daftar calon legislatif dari partainya. Rasa resah gelisah spiritual bisa dimiliki dedengkot partai ketika atas permintaan rakyat dirinya tidak dipercaya. Walau rekam jejaknya tak ada yang mampu menyaingi bahkan melebihinya. [HaeN]

kesenjangan pancasila di negara multi partai



kesenjangan pancasila di negara multi partai

KOCAP  KACARITA
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) pada Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2017, Senin (29/8/2016), di Hotel Aryaduta, Jakarta.

IKP 2017 ini adalah salah satu produk hasil penelitian Bawaslu RI terhadap penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu), baik Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

IKP 2017 merupakan upaya dari Bawaslu RI untuk melakukan pemetaan dan deteksi dini terhadap berbagai potensi pelanggaran dan kerawanan dalam menghadapi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2017

Bawaslu menyusun IKP di 101 daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2017, yang terdiri dari 7 provinsi dan 94 kabupaten/kota. IKP 2017 ini mengukur 3 (tiga) aspek utama yang saling berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Yaitu aspek penyelenggaraan, aspek kontestasi, dan aspek partisipasi. Dari ketiga aspek tersebut, dirumuskan menjadi 10 variabel dan 31 indikator. Hasil pengukuran dari masing-masing aspek, variabel, dan indikator 101 daerah tersebut yang kemudian disusun menjadi IKP 2017.

Pengukuran untuk menghasilkan skor akhir IKP menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Metode ini bekerja dengan cara membandingkan secara berpasangan (pairwise comparison) setiap wilayah (Provinsi atau Kabupaten/Kota) satu persatu untuk tiap indikator.

Dari metode tersebut, skoring IKP 2017 dibedakan ke dalam 3 kategori kerawanan, yaitu kategori rawan rendah (0-1,99), kategori rawan sedang (2,00-2,99), dan kategori rawan tinggi (3,00-5,00).

Berdasarkan hasil skoring IKP 2017, daerah yang menyelenggarakan pemilihan Gubernur yang masuk kedalam kategori kerawanan tinggi adalah provinsi Papua Barat (skor: 3,38), Aceh (skor: 3,32), dan Banten (skor: 3,14) sedangkan 4 provinsi lainnya, Sulawesi Barat, DKI Jakarta, Kepulauan Bangka Belitung, dan Gorontalo masuk ke dalam kategori kerawanan sedang. Berarti, sisanya masuk dalam kategori kerawanan rendah, dengan skore antara 0 hingga 1,99.

Provinsi Papua Barat memiliki kerawanan untuk dimensi penyelenggaraan terkait integritas dan profesionalitas penyelenggara. Ancaman tindak kekerasan terhadap penyelenggara juga perlu diantisipasi.

Provinsi Aceh memiliki kerawanan pada aspek penyelenggaraan, kontestansi, dan partisipasi. Aceh memiliki jumlah kabupaten/kota terbanyak yang akan melaksanakan pilkada.

Provinsi Banten dipengaruhi dimensi kontestansi terutama faktor kekerabatan dan hubungan keluarga calon yang bisa berdampak pada dimensi integritas penyelenggara.

Provinsi DKI Jakarta kerawanannya bukan dari aspek penyelenggara, tapi terkait kontestasi, ada dinamika yang perlu dicermati bersama,  hal tersebut ini berpotensi terjadi konflik horizontal jika tidak diantisipasi dari sekarang.

PENGEJAWANTAHAN PANCASILA
IPK bersifat dinamis, artinya komponen penyusunan bisa disesuaikan dengan kondisi yang ada. Aspek utama sekarang yaitu aspek penyelenggaraan, aspek kontestasi, dan aspek partisipasi, sangat mungkin berkembang. Malah mungkin aspek pendukung justru yang bicara apa adanya. Atau pernik-pernik aspek pendukung menggambarkan realitas fakta. Kita tidak boleh berburuk prasangka. Walau selama ini yang terjadi memang begitu adanya, sudah jadi rahasia umum.

Pasca reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, menghasilkan bahwasanya keberadaan partai politik sebagai perekat atau peretak bangsa. Di dalam tubuh internal partai bisa terjadi konflik, apalagi saat menghadapi lawan politik. Nafsu syahwat kawanan politikus jebolan Orde Baru menjadi penyubur dendam politik tak berkesudahan. Pengkhianat politik bukan pasal tercela. Tipikor menjadi produk unggulan partai. Bagaimana parpol memposisikan presiden hanya sebagai petugas partai. Ketua umum parpol yang mempunyai hak prerogatif lokal. Bencana politik menjadi menu harian kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. [HaeN]