khianat pemimpin vs apa daya rakyat
Ambisi Bacharudin Jusuf Habibie
pasca selesai kontrak di pemerintah, yang pernah dilakoninya sebagai pembantu
presiden, wakil presiden dan berakhir sebagai presiden, memasuki dunia bebas. Bebas
melanjutkan tradisi otak-atik ilmu pesawat terbang. Konon, beberapa penggantinya pernah
bertanya bagaimana rasanya atau apa yang dirasakan sekarang, dengan statusnya
yang serba mantan. Dengan enteng, ringan, tanpa beban menjawab lugu dengan
logat daerahnya : “ora dadi presiden, ora duwe parpol, ora
patheken”.
Tema yang
sama, dibawakan oleh dalang yang tidak sama menghasilkan lakon yang tidak sama,
wajar. Hebatnya, hanya dengan satu tema, dalang bisa menayangkan adegan
berbagai versi. Antar versi bisa bertolak belakang. Pakemnya adalah wani piro. Dalang gemar bebahasa politik,
ramuan ekstremnya adalah memadukan pasal menjilat dengan pasal menghujat.
Bagaimana
dengan kisah presiden keenam RI, yang dikenal dengan akronim SBY. Survei tanpa survei
malah menengarai betapa lawan politiknya kehabisan akal sehat. Terlebih dua
periode menerus SBY jadi presiden. JK jadi wapres dua periode tetapi tidak
menerus. Ikhwal ini semakin memperteguh betapa tidak ada bibit unggul dari generasi
muda yang layak tanding. PR pasca SBY menjadikan bangsa ini sibuk lari di
tempat.
Presiden
kelima RI, dengan segudang gelar DR dari kampus dalam negeri dan kampus luar
negeri, ternyata belum puas tersanjung. Satu dekade semasa SBY hanya duduk
manis di bangku cadangan menjadikan nalar, akal, logika politiknya menerawang
jauh melebihi kapasitas idiologi dirinya. Drama politik babak demi babak, di éra mégatéga, mégakasus mungkin
yang menjadi tulang punggung negara adalah politik kekuasaan. KP3 utawa Koalisi
Partai Pro-Pemerintah bukan bukti original, otentik bahwa politik kekuasaan
hanya mengutamakan dan mengedepakan nafsu kuasa, yang mungkin jauh dari
pro-rakyat. Hanya sejarah yang membuktikan nantinya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar