sejarah,
milik pemenang atau
pecundang
Tak
salah dan tak dapat dipersalahkan jika media masa di Indonesia memberitakan
prestasi sepak bola Nusantara, tak sengaja dan tanpa rencana tendensius malah
membeberkan kisruh PSSI. Mulai dari tabiat Ketua Umum PSSI yang ahli menggocek
Rp agar masuk ke koceknya. Atau ketum yang loyal kepada ketum parpol, bukan
memajukan persepakbolaan nasional. Kondisi kekisruhan dilengkapi dengan
berbagai ulah pendukung fanatik kesebelasan daerahnya. Betapa bonek yang
mempraktikkan keahlian “menyepak” dengan mencari lawan sesama bonek beda ‘partai’.
Prestasi PSSI memancing FIFA untuk turun tangan dan mengambil langkah nyata.
Akhirnya PSSI jago kandang pun tidak.
Pemberitaan
yang bisa menandingi kisruhnya PSSI adalah sepak terjang kawanan orang parpol. Mulai
modus operandi ketua umum yang bergaya pengharu-rasa (mewakili gender hawa)
serta yang berpenampilan ujar berhiba-hiba (contoh dari kaum adam). Tingkah laku
relawan partai, bolo dupaknya, penggembira semakin menambah semarak nilai jual
media masa. Kata pemerhati sejarah, struktur PSSI mengalahkan barisan partai
politik. PSSI mampu menyelenggarakan kompetisi tingkat kampung atau laga liga
tarkam (antar kampung). Banyak benarnya jika PSSI akronim dari Partai Sepak-Sepakan
bola Indonesia.
Petarung,
pelaga, pejuang politik zaman pra-Proklamasi 17 Agustus 1945, tidak mengacu
pada kalah menang, serta tak terikat periode waktu. Kalau mereka tetap miskin,
karena kekayaan bukan tujuan perjuangan mereka. Beda zaman, beda jiwa
perjuangan. Zaman sekarang, menjadi kaya karena terjun ke gelanggang politik,
bukan hal yang tabu. Efek samping menjadikan partai politik sebagai mata
pencaharian, sah-sah saja. Jangan takjub jika nilai idelogis perjuangan bisa
ditawar dengan nominal rupiah.
Sejarah
memang tidak diwajibkan mengungkapkan kebenaran. Siapapun yang menang dalam
pesta demokrasi lima tahunan, tak ada kaitannya dengan asas baik dan benar. Kalau
kebenaran akhirnya yang akan menang, tak berlaku di kamus politik. Agumen raih
kemenangan dengan segala cara, seringkali dianggap benar. Tapi dalam bahasa
politik, terkadang adakalanya wujud dan bentuk kebenaran perlu diucapkan tetapi
tidak perlu terang-terangan. Akan jadi bumerang, senjata makan tuan. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar