Halaman

Jumat, 05 Agustus 2016

sejarah, milik pemenang atau pecundang



sejarah, milik pemenang atau pecundang

Tak salah dan tak dapat dipersalahkan jika media masa di Indonesia memberitakan prestasi sepak bola Nusantara, tak sengaja dan tanpa rencana tendensius malah membeberkan kisruh PSSI. Mulai dari tabiat Ketua Umum PSSI yang ahli menggocek Rp agar masuk ke koceknya. Atau ketum yang loyal kepada ketum parpol, bukan memajukan persepakbolaan nasional. Kondisi kekisruhan dilengkapi dengan berbagai ulah pendukung fanatik kesebelasan daerahnya. Betapa bonek yang mempraktikkan keahlian “menyepak” dengan mencari lawan sesama bonek beda ‘partai’. Prestasi PSSI memancing FIFA untuk turun tangan dan mengambil langkah nyata. Akhirnya PSSI jago kandang pun tidak.

Pemberitaan yang bisa menandingi kisruhnya PSSI adalah sepak terjang kawanan orang parpol. Mulai modus operandi ketua umum yang bergaya pengharu-rasa (mewakili gender hawa) serta yang berpenampilan ujar berhiba-hiba (contoh dari kaum adam). Tingkah laku relawan partai, bolo dupaknya, penggembira semakin menambah semarak nilai jual media masa. Kata pemerhati sejarah, struktur PSSI mengalahkan barisan partai politik. PSSI mampu menyelenggarakan kompetisi tingkat kampung atau laga liga tarkam (antar kampung). Banyak benarnya jika PSSI akronim dari Partai Sepak-Sepakan bola Indonesia.

Petarung, pelaga, pejuang politik zaman pra-Proklamasi 17 Agustus 1945, tidak mengacu pada kalah menang, serta tak terikat periode waktu. Kalau mereka tetap miskin, karena kekayaan bukan tujuan perjuangan mereka. Beda zaman, beda jiwa perjuangan. Zaman sekarang, menjadi kaya karena terjun ke gelanggang politik, bukan hal yang tabu. Efek samping menjadikan partai politik sebagai mata pencaharian, sah-sah saja. Jangan takjub jika nilai idelogis perjuangan bisa ditawar dengan nominal rupiah.

Sejarah memang tidak diwajibkan mengungkapkan kebenaran. Siapapun yang menang dalam pesta demokrasi lima tahunan, tak ada kaitannya dengan asas baik dan benar. Kalau kebenaran akhirnya yang akan menang, tak berlaku di kamus politik. Agumen raih kemenangan dengan segala cara,  seringkali dianggap benar. Tapi dalam bahasa politik, terkadang adakalanya wujud dan bentuk kebenaran perlu diucapkan tetapi tidak perlu terang-terangan. Akan jadi bumerang, senjata makan tuan. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar