terkenal tapi tidak dikenal
Peribahasa bahasa Jawa jagad ora mung sagodhong
kelor membuktikan betapa wong Jawa melakoni peran yang
multitafsir. Artian sempit, saat mencari atau ingin mendapatkan sesuatu. Tak
dapat yang diharapkan masih banyak harapan lain. Ambisi meraih harapan karena
merasa mampu. Harga mati. Mampu tidak mampu, pokoknya menang.
Fakta pihak lain punya
gaya bahasa lebih praktis. Tanpa protokol kesehatan, cari keringat pagi. Keluar
rumah belok ke kiri agar punggung terpapar langsung sinar matahari. Meliwati 4
rumah, belok kiri. Masuk jalan antara blok dengan lapangan RT. Berjumpalah dengan
kakek sedang momong cucu perempuan. Sesama orang awak, pakai salam.
Kujawab, mau bayar PBB
2020. Kalau beliau, PBB urusan anaknya. Jalan pelan meliwati tonggak kayu
sengaja ditanam. Tunas daun kelor, menang tanaman kelor. Ingat peribahasa Jawa
di atas, iseng kebertanya kepada beliau tentang pohon apa. Beliau geleng kepala
tapi sambil berpikir.
Ketika kusebut bisa usir
makhluk halus. Beliau langsung sigap tanggap “daun kelor” plus cerita khasiat
secara medis, herbal. Dari keponakannya yang kerja di apotik, mendapat daun
kering siap sedu. Karena repot bin ribet, dikirimi kapsul. Kulit saya jadi
licin, ujarnya. Sambil membuktikan kulit tangan yang jauh lebih berusia
daripada saya. Pencernaan jadi enteng dan kurangi kolesterol.
Jadi, beliau baru tahu
wujud daun kelor. Soal daya magis, klenik, takhayul menjadi kekayaan budaya
atau ciri kedaerahan. Basis pada paham, aliran, keyakinan anismisme dan
dinamisme. [HaéN]