Halaman

Selasa, 27 Mei 2014

Daya Juang Kandidat Pemilu Legislatif 2014 Sebatas Panggilan Perut

Politik Uang
Kesimpulan pemantauan  Indonesia Corruption Watch (ICW) di 15 provinsi membuktikan masih maraknya pelanggaran politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Jumlahnya naik dua kali lipat dibandingkan Pemilu Legislatif 2009.

Lima provinsi dengan temuan pelanggaran politik uang terbesar, Banten menduduki urutan pertama dengan 36 pelanggaran politik uang, Riau dan Bengkulu menyusul dengan jumlah yang sama, yaitu 33 kasus, diikuti Sumatera Barat dengan 30 kasus, dan Sumatera Utara dengan 29 kasus.

Menyimak laporan ICW “Pemantauan Atas Politik Uang, Politisasi Birokrasi dan Penggunaan Sumber Daya Negara Dalam Pemilu 2014”, khususnya pada Kesimpulan :
§   Praktek politik uang masih masif terjadi dalam pemilu legislatif tahun 2014 dengan moduspemberian secara prabayar dan pasca bayar.
§        Praktek curang dalam pemilu tertinggi terjadi di pencalonan tingkat kabupaten/kota. Hal ini disebabkan bahwa persaingan di wilayah yang sempit dan kandidat yang banyak mendorong maraknya politik uang.
§        Penggunaan kendaraan dinas sering dilakukan secara terselubung dengan cara mengganti nomor polisi mobil dinas tersebut saat kampanye
§        Ditemukan sejumlah kasus politisasi birokrasi oleh keluarga/kerabat kandidat yang sedang menduduki jabatan publik
§         State resource sering dijadikan kandidat incumbent sebagai modal politik

Aktor Pelaku
Temuan ICW menunjukkan bahwa telah terjadi korupsi pemilu dalam bentuk pemberian uang, pemberian barang, pemberian jasa dan penggunaan sumberadaya negara. Aktor pelaku korupsi pemilu mulai kandidat, tim sukses, aparat pemerintah, partai, tim kampanye, lain-lain, keluarga dan penyelenggara,  disimpulkan kandidat sebagai pelaku utama pembagian uang dan barang. Hal tersebut menunjukkan bahwa dominasi logistik masih dikuasai oleh kandidat sendiri.

Masih ada ketidakpercayaan kandidat pada tim sukses, karena bahaya uang kandidat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Terjadi berbagai kasus uang kandidat habis namun tim sukses tetap berpangku tangan.

Kendati kasus pemberian uang menempati posisi kedua dengan 104 kasus dari 313 kasus yang berhasil ditemukan,. disusul pemberian barang sebanyak 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya negara sebanyak 54 kasus, bukan berarti uang sebagai andalan membeli suara. Pemberian barang juga tak luput jadi “salam tempel” bagi pemilih. Dari hasil temuan, umumnya barang berbentuk pakaian yang bukan atribut kampanye seperti baju koko dan baju muslim, kebutuhan pokok, dan alat-alat rumah tangga.

Temuan sebagai pengingat bagi pemerintah provinsi adalah aspek kondisi ekonomi masyarakat turut berpengaruh. Semakin rendah kondisi ekonomi masyarakat, semakin rendah biaya politik yang digelontorkan untuk membeli suara. Di provinsi Banten banyak ditemukan pemberian dengan nominal Rp 5.000 sampai dengan Rp 25.000.

Timbal Balik
Masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih semakin cerdas mensiasati kondisi pemilu legislatif dengan asas NPWP (nomer piro wani piro), suara mempunyai harga jual. Jadi, asas timbal balik ini semakin mengkokohkan fenomena bahwa kandidat dan tim sukses memanfaatkan kondisi jual beli suara, secara tak langsung membuktikan daya juang kandidat  tidak siap untuk bertarung dalam pesta demokrasi.

Argo politik uang kandidat mulai saat di internal parpol ketika terjadi jual beli nomer urut kandidat. Persaingan antar kandidat dalam dapil yang bersangkutan disebabkan jatah kursi legislatif sangat terbatas dan sudah ditetapkan dalam UU.


Andai terjadi jual beli program antara kandidat dengan calon pemilih di dapilnya, hanya sebatas pemanis transaksi. Atau tergantung seberapa banyak modal dan umpan yang dikorbankan dengan hasil tangkapan nantinya [HaeN].

Sabtu, 24 Mei 2014

PANCAROBA

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 01/09/2004 10:35
PANCAROBA
Akumulasi rukun, spesifikasi dan strata perpolitikan di NKRI terkumpul ulang di era 2004 – 2009. Semua platform maupun praktek lapangan partai politik, baik di era Orla maupun era Orba, secara sistematis dan elegan berulang. Era Reformasi hanya menyederhanakan, membakukan dan mensosialisasikannya dalam bentuk koalisi, dsb.

Perbedaan mendasar secara historis terletak pada bagaimana mempertahankan dan menikmati buah kemerdekaan. Mulai dari tinggal memetik hasil sampai mengeruk dan menumpuk kandungan Ibu Pertiwi. Secara ekonomis, muncul dinosaurus-dinosaurus berbagai versi. Reka ulang peta politik NKRI menghasilkan perpetakaan yang sulit diterima dengan nalar, naluri, nurani; akal, okol; insting wong timur. Bahkan pihak asing atau mancanegara yang terbiasa mendikte NKRI pun bingung mencari pasal pendukungnya. Mulai dari main pecat, asal pecut sampai sanksi dipocot diberlakukan secara sah. 2004-2009 sebagai musim pancaroba dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beradab.

Walau pancaroba, banyak laron – atau ciri musim pancaroba? -bermunculan dari bawah tanah. Laron penghisap darah, laron doyan nasi, laron doyan kursi sampai laron menggerogoti pundi-pundi nasional. Banyak juga laron mati di lumbung. Tak kepalang tanggung berbagai virus menyelusup sampai ke jaringan pihak keamanan. Sampai pihak bentukan keamanan tidak bisa membedakan mana yang aman, agak aman dan yang betul-betul aman apalagi untuk keamanan bersama, keamanan nasional.

Rasa aman yang terbentuk adalah bagaimana bukannya memagari diri tetapi bagaimana menerapkan hukum sesuai tempat kejadian perkara. Spontan. Main polisi sendiri sampai main-main sebagai hakim ketika hukum hanya sekedar dokumen. 2004-2009 bisa ditandai dengan kemungkinan adanya gempa kepemimpinan nasional. Demi mempertahankan populasinya, khususnya keamanan dapur dan urusan perut golongannya banyak gejolak merebak. Setelah meliwati titik kritis krisis kepemimpinan nasional kita memasuki kuantum tarik ulur berbagai kepentingan. Kita tinggal menuai atau panen berbagai konflik terpendam. Konflik terselubung yang diredakan sementara dengan formulasi koalisi. Koalisis untuk jangka sangat pendek, untuk menggalang massa agar tergiring nuraninya. Kemampuan para ulama nyaris terpuruk di kandangnya sendiri. Terlihat adanya kiat asal jilat asal selamat. Itulah ketika agama dipolitikkan, dan politik dijadikan agama. 2004-2009 merupakan juga masa inkubasi nasional. (bersambung)

PANCAROBA I
Beranda » Berita » Opini
Selasa, 07/09/2004 08:38
PANCAROBA I
Gempa politik lokal sudah terasa di tingkat elit politik. Sumbernya koalisi kebangsaan. Sudah memakan korban. Sekejam-kejam harimau tak akan menyantap anak kandungnya sendiri. Sekejam-kejam politik tak akan menggebiri aspirasi anggotanya. Sekejam-kejam orang berwatak kejam tak akan mengejami nuraninya. Sadar pilitik adalah mengamini kehendak juragan, tanpa banyak cing-cong.

Sang juragan telah melakukan kong-kalingkong utawa menjadi cukong politik bukan urusan anggota. Juragan telah kongkow-kongkow dengan juragan dunia lain bukan urusan anggota. Bukan bagaimana berpolitik secara transparan, terbuka, manusiawi dan ber-Panca Sila. Politik utawa partai politik sudah menjadi berhala modern. Jangan setengah-setengah menggauli parpol. Parpol sudah terbukti - selain menjanjikan - juga sudah mampu mewujudkan mimpi indah. Parpol menjelma sebagai pabrik politisi berbagai strata.

Semula pemulung setelah dipoles di parpol bisa jadi pemaling. Semula modal dengkul setelah masuk salon parpol bisa tampil main cangkul. Cangkul kanan-kiri kalau belum kenyang jangan berhenti. Cangkul, cangkul yang luas kebunku bablas. Akhirnya, buta politik merupakan sikap pesimistis dan apriori terhadap modus operandi parpol yang menggadaikan masa depan bangsa dan rakyat NKRI. Terlebih melihat parpol yang membabi buta, yang menghalalkan segala upaya, cara dan skenario. (hn)

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 14/09/2004 07:56
PANCAROBA II
Industri politik NKRI melalui kemasan partai politik telah memasuki harkat primitif. Siapa kuat akan unggul. Siapa berani malu akan maju. Siapa kuasa akan menguasai berbagai sumber kehidupan, berkedok berbangsa, bernegara dan bermartabat. Tidak ada aturan main di rimba politik.

Parpol yang mempunyai prospek sama nasibnya dengan parpol sempalan yang tinggal nunggu waktunya untuk lebur. Sekali lagi, jangan pakai kacamata moral untuk menilai fakta yang menular dan menjalar. Semua ironis akan tersaji manis jika dihitung akurat. Pengorbanan tak akan sia-sia dipersembahkan di rimba politik ini. Kalau perlu kepala pun akan disodorkan, untuk diinjak !!!! asal tujuan tercapai – minimal dalam hidup tidak akan kapiran, tidak akan merasakan rasa takut. Takut miskin dan takut lapar.

Ragam dan karakter tanpa karakter, sebagai pemain elite politik, ibarat raja tanpa mahkota. Pada kondisi tertentu mereka bak dalang yang mengatur kehidupan di luar habitatnya. Rambu-rambu politik mereka yang mengatur. Mereka kita kehidupan di rimba politik akan permanen. Justru secara tak sadar mereka telah terisolasi agar tak mencemari hidup berbangsa dan bernegara – yang masih didambakan oleh bangsa dan rakyat NKRI. Usaha penyelamatan generasi penerus lebijh diutamakan. Regenerasi di berbagai relung kehidupan sudah harus dipersiapkan. (hn)





BEREBUT TAKHTA ISTANA vs MEREBUT HATI RAKYAT

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 19/06/2009 03:33
BEREBUT TAKHTA ISTANA vs MEREBUT HATI RAKYAT
herwin nur
BEREBUT TAKHTA ISTANA vs MEREBUT HATI RAKYAT
Kalau caleg dalam Pileg 2009 bingung dirinya tak dikenal di dapilnya, jangankan di dapil, jangan-jangan di lingkungan tempat tinggalnya kurang kesohor. Seperti masyarakat perkotaan, atau di kompleks perumahan elite, meraka hanya kenal wajah tetapi tak kenal nama.

Bahkan pernah terjadi dalam suatu rapat departemen, mereka baru tahu kalau satu kompleks. Ada yang menarik dalam pileg 2009, dua caleg dari RW saya bisa melaju karena modal minimalnya pernah jadi Ketua RT dan satunya pernah jadi Ketua RW. Walhasil apapun kendaraan parpolnya, secara matemathis mereka melenggang ke kursi wakil rakyat, DPRD provinsi.

Fenomena ini menggambarkan bahwa wakil rakyat sebaiknya bukan kader parpol. Celakanya, sebagai negara kaya idiologi, penuh dengan politisi kambuhan, serta sesak dengan politikus papan nama maka tak pelak parpol merupakan pabrik penyelenggara negara. Bahkan warna parpol bisa mempengaruhi dan menentukan nasib seseorang. Takdir sebagai hak prerogratif Allah, nasib tergantung kadar amal dan perbuatan manusia. Artinya manusia masih mempunyai otoritas mengelola nasibnya. Pilpres 2009 memberi nuansa dan pencerahan, bukan penggerahan, dari 3 kandidat pasangan capres dan cawapres, terdapat nama Boediono sebagai cawapres bukan dari unsur parpol, apalagai ketua umum. Ketiga pasang RI-1 dan RI-2 total kopral sudah menusantara.

Bagi pembaca setia media cetak, pendengar fanatik radio, sisanya pemirsa yang kelebihan waktu gemar melototi media kaca, jelas akan tahu siapa peragu (kata orang), siapa yang merasa bisa serba lebih, tukang protes dan kritik yang membanggakan masa lampau (secara langsung menunjukkan klas dan kadarnya), serta sampai pendamping yang modal jenderal.

TANPA IMAN JADI HITLER
Pos Kota, Sabtu 13 Juni 2009, dengan cerdas wapres Jusuf Kalla (JK) yang juga capres dalam pilpres 2009 berujar bahwa keimanan itu perlu karena bisa saja pemimpin kuat tapi tidak memiliki iman maka akan menjadi Hitler. Pengetahuan JK tentang Perang Dunia II cukup hafal, terutama pada tokoh Nazi. Keimanan JK cukup tebal dan handal, terutama ketika masih bernama Muhammad Jusuf Kalla. Entah sejak kapan nama depannya, karena berat nama, jadi ditanggalkan dan ditinggalkan. Akhirnya yang dominan nama belakangnya yaitu Kalla.

Di telatah tanah Jawa, Betara Kalla harus diruwat. Coba tanya ke Gus Dur. Mengapa JK mengambil sampel Hitler, mungkin karena mempunyai persamaan energi negatifnya. Perbedaan mencolok yaitu Hitler sebagai penguasa, sedangkan JK sebagai pengusaha lokal. BLT (mBesok Lu Takpilih) alias Bantuan Langsung Tunai, menurut rumus Ratu Wong Cilik (tuwolik), yaitu dia pikir dia pintar, merendahkan martabat manusia.

Apa bedanya dengan BLT dan pembagian sembako lima tahun sekali oleh tuwolik dalam rangkaian kampanye pilpres. Artinya, untuk berbuat banyak untuk wong cilik harus jadi presiden. Kalau pembusukan mulai dari kepalanya, rakyat percaya. mBesok kata wong Jawa, konotasinya kapan-kapan, kalau tidak mbesok habis lebaran, ya mbesoknya lagi nek kelingan (kalau ingat). Sejak 2004 memang ada pemeo untuk mBak Mega yaitu sing wis malih ora milih-milih; sing arep milih malah molah-malih.

MODUS OPERANDI KAMPANYE
Pandai-pandainya media massa mengkemas dan menyajikan olah-polah capres dan cawapres. Dalam peliputan kampanye lapangan, aksi jalanan sampai sajian langsung acara dialog, diskusi dan debat dengan format betapa mereka berebut takhta istana. Mereka mempunyai tujuan yang sama, tetapi dengan motif dan latar belakang yang tak sama.

Elektabilitas atau entah apa namanya, mereka yakin dengan peta dan rekaman jejak ke istana. Modal pengalaman mereka nyaris tak jauh beda. Tingkat emosi mereka, dalam kondisi berebut, ingat ketika rakyat ngalap berkah dari gunungan sekaten, atau bagaimana mereka setor nyawa demi zakat (ingat Detasemen Pasuruan 21) atau aksi panggung pendukung, penggembira pasangan capres dan cawapres. Paling hingar-bingar, dan tentunta peran batin, adalah tim sukses yang notabene memperubutkan jabatan pembantu presiden. Tim sukses penuh dengan pemakar dan pemikir dengan teori akademis, strategi lapangan, skenario di atas kertas, pengaruh lingkungan dan cuaca, taktik pengerahan masa sampai anggaran tak teranggarkan.


Tim sukses ibarat melempar boomerang, bisa senjata makan tuan atau sebaliknya mensukseskan diri sendiri. Sayangnya, seribu kali sayang, tepatnya apakah rakyat menonton. Terlebih ada sajian alternatif yang lebih manusiawi, tak perlu mikir dan informatif. Komunitas penonton pada umumnya sudah tahu siapa yang bicara, bukan pada apa yang akan dibicarakannya. Tiap saat mereka tampil seadanya sampai yang pakai metode hafalan. Hiburan alternatif, yang dibutuhkan rakyat sangat sederhana, mulai dari film kartun, pertandingan olahraga mancanegara, wisata kuliner, rumah idaman, otomotif (hn).

Jumat, 23 Mei 2014

Ketika Parpol Islam Mengalami Gangguan Orientasi Politik

Setelah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) meski harus melalui lika-liku yang sangat tajam, dukungan dari Partai Amanat Nasional (PAN), bergabunglah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk mendukung pencapresan Prabowo Subianto. Dukungan terhadap jago dari Partai Gerindra tersebut oleh Presiden PKS Anis Matta disebut sebagai aspirasi dari kaum muslim di Indonesia.

“Prabowo didukung oleh tiga partai Islam, artinya hal tersebut telah mewakili aspirasi umat dan ormas Islam,” kata Anis Matta di Kantor DPP PKS, Jln TB Simatupang, Jakara, Sabtu, (17/5/2014). (diolah dari sumber http :// news.metrotvnews.com/ tanggal 17 Mei 2014).

Wajar, persaingan bebas di panggung politik, orang  sulit menentukan mana kawan mana lawan, orang susah memilih mana sekutu mana seteru, orang rumit memilah mana sahabat mana pengkhianat, orang muskil menyaring mana suara menghujat mana suara menjilat, karena manusia mengulang kata iblis : “saya lebih baik”, lebih bisa, lebih layak, lebih pantas, lebih cerdas dari orang lain.

Namun jika kalah sebelum tanding, jangan mudah main sanding, main banding mengatasnamakan orang lain agar nampak ikut menang. Asumsi politis ini malah membuktikan betapa mencampuradukkan politik dengan agama, atau menjual agama untuk tujuan politik seolah sebagai hal yang wajar.

Regenerasi
16 tahun Reformasi, pemain lama masih betah di panggung politik atau bermain di balik layar sebagai dalang. Generasi muda, tokoh muda politik hanya jadi penggembira. Ada yang gugur sebelum bertempur karena terkontaminasi penyakit politik, yaitu jika sedang berkuasa ingin cepat kaya, paling tidak menggunakan ilmu aji mumpung.

Pasca pemilu legislatif 9 April 2014, parpol Islam bukannya merapatkan barisan, malah tanpa komando dan koordinasi melakukan gerakan selamatkan diri masing-masing. Ataukah karena tidak ada korelasi pasti antara parpol Islam dengan anggotanya. Ataukah karena ada niatan dari pihak tertentu agar kolom agama dihilangkan dari E-KTP.

Awam memahami bahwa koalisi parpol Islam menghadapi pilpres 9 Juli 2014, di atas kertas pun sebagai hal yang mustahail, karena memperebutkan kursi yang sama. Internal parpol Islam pun diwarnai persaingan secara sistematis, masif dan berkelanjutan.

Pernyataan Semu
Memang perjuangan umat Islam akan lebih berdaya guna dan berhasil guna melalui wadah formal, resmi, strultural dan berskala nasional. Mengandalkan ormas Islam, parpol Islam, MUI, ICMI atau apapun bentuknya, umat Islam tidak bisa bergerak bebas. Mereka terkungkung oleh jabatan formal dalam periode waktu tertentu dan lebih dominan berinteraksi dengan pemerintah atau penyelenggara negara daripada kontrak dengan rakyat atau umat Islam.

Negara sebagai organisasi besar, perusahaan besar, rakyat sebagai anggota pasif sehingga posisinya hanya sebagai obyek, bukan subyek. Terbukti, pendekatan ke rakyat hanya dilakukan saat kampanye pilkada maupun pemilu.

Mengatasnamakan umat Islam untuk kepentingan politik merupakan pernyataan semu. Urusan agama Islam  termasuk urusan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tidak menempatkan urusan negara sebagai tujuan utama. Politisi  Islam jangan sampai terjebak dogma “berkuasa untuk memimpin”. Jangan sampai terulang fakta “karena nila setitik rusak susu separpol”.

 Antara umat Islam dengan wadah formal, terkadang ada batas jelas dan tegas. Banyak umat Islam yang berjuang membela agama Allah secara senyap, mandiri, tekun, cerdas tanpa tergantung serta tidak terikat waktu dan tempat.


Kontribusi, kiprah dan kinerja umat Islam berbasis budaya lokal, dengan menerapkan asas pendidikan Ki Hajar Dewantara yaitu “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, yang mungkin kemanfaatannya dirasakan setiap saat dan menjangkau lingkungan nyata[HaeN].

Selasa, 20 Mei 2014

Stigma “Uneducated People” Dan Semangat Ukhuwah Wathaniyah

Pangsa pasar “uneducated people” mengusik logika para pengamat politik, mereka adalah pemilih dari strata masyarakat akar rumput yang fanatik terhadap si raja ndangdut sebagai capres (calon presiden). Jumlahnya mampu mendongkrak perolehan suara PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) nyaris dua kali lipat, usai pemilu legislatif 9 April 2014.  Terlebih yang disasar bergelar Profesor atau guru besar, anugerah dari universitas di Amerika (aku yang punya) dan bertitel Doktor (maksudnya doktor kehormatan). Ironis, terdapat “kesenjangan pendidikan formal” antara pemilih dengan yang dipilih.

Umat Islam wajib prihatin, karena tak jadi maju capres, ybs dengan pendukungnya putus kontrak dengan PKB. Secara tak langsung sebagai sampel menggambarkan kadar melek politik umat Islam.

Masalah Bangsa Dan Negara
Pesta demokrasi lima tahun sekali, khususnya pada tanggal 9 Juli 2014 untuk memilah dan memilih siapa calon presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Umat Islam seolah sudah terkondisikan menghadapi dua pilihan. Sentimen agama sampai sentimen kebangsaan menjadi dasar menentukan pilihan.

Umat Islam harus bersikap realistis, konsekuensi hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, atau sebagai warga negara, penduduk maupun keluarga yang terikat dalam teritorial tertentu, wajib mengutamakan, mengedepankan persaudaraan (ukhuwah). Khususnya persaudaraan kebangsaan atau ukhuwah wathaniyah.

Umat Islam tidak bisa menggunakan secara formal kriteria memilih imam sholat berjamaah untuk diterapkan dalam pemilihan presiden. Sebagai individu, ukhuwah wathaniyah sebagai dasar menentukan pilihan, walau tidak bisa ideal. Ikatan ideologis para petarung dan petaruh politik tergantung kepentingan. Koalisi adalah bagi hasil berhala Reformasi yaitu kekuasaan, kekayaan dan kekuatan sampai tingkat desa. Ikatan moral menjadi barang langka di panggung politik.

Adil Dan Pilihan
Betapa Allah telah menjadikan dan memposisikan umat Islam, sebagai ketetapan Allah dalam awal [QS Al Baqarah (2) : 143] : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[a] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

[a] : Maksudnya umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.

Menjalankan urusan dunia, umat Islam mempunyai peran sentral, strategis dan dominan, yang secara langsung maupun tak langsung dapat menentuikan nasib bangsa lima tahun ke depan. Ketahanan umat Islam sedang teruji jelang pilpres. Umat islam sudah tidak bisa mengandalkan atau berharap dari kiprah, kontribusi dan kinerja ulama maupun politikus Islam, karena mereka menganggap sebagai jabatan formal, bukan sebagai amanah.

Sebaran uneducated people” tidak sekedar kaum yang mudah goyang pantat karena mengikuti aroma irama lagu picisan, tetapi bisa juga karena kondisi geografis menjadikan mereka sebagai pelengkap penderita, tidak ada tokoh panutan di tingkat lokal. Patut kita renungkan, apakah kondisi ini menjadi alasan mereka tidak menggunakan hak pilihnya atau menyebabkan suara tidak sah. Tidak ada survei resmi apakah rakyat papan bawah yang terisolir, terpencil, terbelakang atau sebagai umat minoritas, atau yang buta politik mendapat surat undangan pemungutan suara Model C6 DPR/DPD/DPRD atau tidak.


Saatnya umat Islam sebagai pemilih tidak terjebak emosi politik, khususya karena jagonya kalah sebelum bertanding, tidak tampil sebagai kandidat. Umat Islam jangan sampai mengulang tindakan dan kesalahan yang sama karena terjebak fanatisme sesat dan menyesatkan. Utamakan semangat ukhuwah wathaniyah [HaeN].

Kontrak Politik Sebagai Ikatan Moral


Bahasa politik sarat dengan fungsi kepentingan. Karena menyangkut nasib bangsa, negara dan masyarakat, para petarung dan petaruh di panggung politik wajib patuh aturan main. Anak bangsa yang berebut simpati rakyat untuk meraih jabatan publik, sebagai wakil rakyat, kepala daerah dan khususnya kepala negara, jika ambisinya terpenuhi wajib menyelesaikan masa baktinya sampai tuntas.

Catatan sejarah Reformasi, pecah kongsi kepala daerah di tengah jalan menjadi bumbu politik, artinya ideal dan kalkulasi di atas kertas hanya untuk meraup suara. Wakil  rakyat yang melirik jabatan eksekutif rumputnya lebih hijau membuktikan syahwat politik telah menjadi kanker hati nuraninya. Kepala daerah yang belum jatuh tempo melirik jabatan di tetangga, terlebih kursi di atasnya nampak lebih menggiurkan karena mengutamakan kepentingan sesaat dan sesat, rakyat hanya dijadikan obyek politik.


Aroma politik memang bisa mengalahkan ikatan moral untuk menyelesaikan masa jabatan, untuk memenuhi kewajiban dalam masa jabatan. Jabatan untuk diselesaikan, bukan untuk sebagai batu loncatan. Karena serba terburu, serba tergesa, tidak menuntaskan pekerjaan adalah pekerjaan setan [HaeN].

Sabtu, 17 Mei 2014

Reformasi, kalah di kandang sendiri

Reformasi, kalah di kandang sendiri
Beranda » Berita » Opini
Rabu, 18/08/2004 12:16
Herwin Nur


Usai lengser keprabon Bapak Pembangunan rakyat NKRI berharap banyak. Menyangkut soal perut sampai adanya biaya pendidikan PTN yang menyengat. Kawanan Reformis di awal sejarahnya kelihatan rukun, kompak. Begitu angin surga berhembus, terjadilah "sesama penjagal dilarang saling menjegal" atau "sesama penjegal dilarang saling menjagal", seperti rekaman sejarah berikutnya. Sekarang, jelang Pilpres tahap 2 atau tahap akhir, terjadi iklim koalisi. Bukan koalisi dengan rakyat. Jadi, Reformasi melahirkan jargon politik untuk tujuan hidup. (hn)

Belajar Dari Masa Depan

 Humaniora     Dibaca :213 kali , 0 komentar

Belajar Dari Masa Depan

 Ditulis : Herwin Nur 12 Mei 2013 | 21:23


Hitung Mundur
Bicara soal kematian, semua manusia mempunyai persepsi yang tidak jauh beda, yaitu sebagai makhluk hidup akan berakhir. Beda keyakinan pada bagaimana dan apa yang akan terjadi setelah kematian. Jangankan manusia, suatu kaum bahkan bangsa bisa berakhir sebelum bumi ini musnah.

Perjalanan waktu dan masa depan suatu bangsa atau kaum,  Al-Qur’an telah menjelaskan dan menetapkannya karena berbagai sebab. Bahkan perjuangan hidup orang beriman, akan terusik dengan keberadaan suatu bangsa atau kaum. Bangsa atau kaum yang dimaksud dan dijelaskan dalam Al-Qur’an adalah Yahudi, tersurat dalam kalimat pertamaterjemahan [QS Al Maa’idah (5) : 82] : Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.

Yahudi sampai detik ini menghiasi sejarah dunia.  Mereka berhasil menyelusup dalam sistem pemerintahan negara adidaya. Selain itu mereka juga menambah sikap anti orang beriman, secara frontal dan nyata dengan berbagai modus operandinya anti-Islam. Dengan menguasai media massa, menyetir organisasi dunia, membiayai berbagai organisasi dan kegiatan dilakukan secara sistematis oleh Yahudi.

Menghadapi ulah Yahudi, apa yang harus umat Islam perbuat, tentunya tidak sekedar mengacu penggalan terakhirterjemahan [QS Al Baqarah (2) : 109] : Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Maksud “sampai Allah mendatangkan perintah-Nya” adalah keizinan memerangi dan mengusir orang Yahudi.

Bagaimana sikap Yahudi terhadap Islam? Secara historis, mereka tahu tentang berbagai ayat dalam Al-Qur’an menyangkut sejarah dan nasib mereka.

Menurut berbagai berita, khususnya yang bisa kita unduh dari media online, Yahudi percaya pada hadits shahih tentang hari akhir, khususnya mengenai pohon Ghorqod (nama latin: Nitraria retusa) adalah:
“Tidak akan terjadi kiamat hingga kaum Muslimin memerangi kaum Yahudi, lalu membunuh mereka, sehingga seorang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon berkata: ‘Hai Muslim! Hai hamba Allah! Ini Yahudi di belakangku, kemarilah, bunuhlah dia! Kecuali pohon ghorqod, maka, itu adalah dari pohon-pohonnya orang Yahudi,” (HR Bukhari dan Muslim).

Jadi, di satu sisi Yahudi mengaku sangat yakin akan bisa mengalahkan seluruh umat manusia, khususnya umat Islam, dan menjadi pemimpin dunia, namun di sisi lain Yahudi juga berlomba-lomba menanami Tanah Palestina yang mereka duduki secara tidak sah dengan pohon ghorqod. Proyek menanam pohon ghorqod dilakukan secara besar-besaran sejak 1984 hingga sekarang.

Tindakan Yahudi bersifat antisipatif dan proaktif. Mereka melakukan hitung mundur dari kejadian kiamat, artinya ratio pohon terhadap jumlah ras Yahudi sudah diperhitungkan. Menunggu kiamat, ras Yahudi sudah menyebar ke berbagai negara maju. Nah, bagaimana dengan umat Islam yang masa depannya sudah disuratkan dalam Al-Qur’an dan diperjelas dalam berbagai Sunnah Rasul?

Pejalanan waktu
Perjuangan hidup manusia masih panjang dan seolah tak akan berakhir, namun perjalanan waktu selalu semakin dekat dan semakin berkurang. Umat Islam tidak merisaukan masa depan, tetapi selalu menyiapkan bekal.

Manusia sebagai makhluk sosial dalam semangat ukhuwah, selain bertanggung jawab atas dirinya sendiri (beriman dan mengerjakan amal soleh) juga bertanggung jawab atas diri orang lain (saling menasihati dalam mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran). Al-Quran menekankan bahwa sistem sosial umat manusia akan dikuasai oleh sistem tauhid yang akan mengalahkan sistem kemusyrikan dan thaghut (setan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT). Jadi sudahkah kita belajar dari kehidupan masa depan? [Herwin Nur/wasathon.com]

Menjadi Sosok Suami Ideal

 Humaniora     Dibaca :251 kali , 0 komentar

Menjadi Sosok Suami Ideal

 Ditulis : Herwin Nur  23 Mei 2013 | 15:10

Betapa kaum Adam dimulaikan dengan posisi sebagai pengemban amanah untuk menerima ciptaan Allah, sebagaimana tersurat terjemahan [QS Ar Ruum (30) : 21] :Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” 

Ayat di atas dicantumkan dalam undangan pernikahan, sebagai pengingat untuk menjadi suami yang ideal. Salah satu kesiapan dalam membina keluarga adalah menghargai dan menghormati keunikan pasangan kita. Kita tidak harus melihat pasangan secara realistis, apa adanya, tapi kita juga harus peka terhadap karakter dan perkembangannya, karena hidup bersifat dinamis.
Sabda Rasulullah SAW : “Barang siapa menikah, maka dia telah menguasai separuh agamanya, karena itu hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (HR al-Hakim) 
Beberapa peraturan hidup pasangan suami isteri (pasutri) telah disuratkan dalam Al-Qur’qan, a.l lihat [QS An-Nisaa’ (4) : 34]. Disebutkan bahwa suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari isterinya, karena tanggung jawabnya terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga. Rumah tangga dalam Islam dimaksudkan sebagai wadah untuk tempat berteduh dan bernaung keluarga. Berfungsi sebagai tempat ibadah, sebagai tempat terwujudnya keluarga dalam suasana sakinah (tenteram) yang disempurnakan dalam mawaddah (cinta) dan warahmah (kasih-sayang). Sabda  Rasululah saw : `baitii jannatii', rumahku adalah surgaku.
Jadi, sosok suami ideal tak lepas bagaimana ikhtiarnya untuk menghadirkan rasa selamat dan sejahtera di rumah tangganya.
Profil Suami Ideal 
Diriwayatkan, Rsulullah SAW acap turun tangan dalam urusan pekerjaan rumah tangga atau untuk keperluan pribadi. Rasulullah dengan bijak menolak keinginan sahabatnya yang mau membuat beliau tidur nyaman, tidak perlu beralaskan tikar daun kurma.
Mulai bagaimana suami memposisikan isterinya, tidak sekedar sebagai konco wingkingkonco sekasur, atau sesuai pepatah “swarga katut, neroko nunut”, menempatkan isteri sebagai mitra, yang bisa diajak diskusi, tukar fikiran. Interaksi pasutri mengikuti Al-Qur’an terkait selain bertanggung jawab atas dirinya sendiri (beriman dan mengerjakan amal soleh) juga bertanggung jawab atas diri orang lain (saling menasihati dalam mentaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran).
Zaman sekarang, dalam keluarga terkadang isteri merangkap sebagai wanita karir. Suami dituntut, bisa momong anak, sekaligus bisa ngemong isteri. Pasutri sama-sama sibuk, mungkin secara finansial tidak bermasalah, muncul masalah lain.
Bagaimana suami membawakan diri di keluarga, di sisa sibuk kerjanya. Mengingat jam kerja memang menyita waktu untuk peduli keluarga, apalagi bisa peduli lingkungan. Apakah sama sosok suami ideal, antara suami yang bekerja sendiri dengan yang pasutri bekerja. Tak kurang, sebelum pensiun, pasutri sudah menggeluti profesi sebagai MC (momong cucu).
Faktor ajar yang dipraktekkan suami dalam menangani urusan keluarga akan berdampak pada anak, lebih ampuh dan mujarab daripada perintah. Anak tidak hanya membutuhkan orangtua sebagai teladan, panutan bahkan idola, tetapi juga membutuhkan berbagai peran aktif orangtuanya. Di era demokratis, interaksi anak dengan orangtua bisa menimbulkan masalah tersendiri, dampak negatifnya sudah kita rasakan.  
Kewajiban utama seorang kepala rumah tangga terhadap anggota keluarganya, Allah SWT berfirman pada kalimat pertama terjemahan [QS At Tahrim (66) : 6] :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;” (Herwin Nur /Wasathon.com)