Politik Uang
Kesimpulan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) di 15
provinsi membuktikan masih maraknya pelanggaran politik uang dalam Pemilu
Legislatif 2014. Jumlahnya naik dua kali lipat dibandingkan Pemilu Legislatif
2009.
Lima provinsi dengan temuan
pelanggaran politik uang terbesar, Banten menduduki urutan pertama dengan 36
pelanggaran politik uang, Riau dan Bengkulu menyusul dengan jumlah yang sama,
yaitu 33 kasus, diikuti Sumatera Barat dengan 30 kasus, dan Sumatera Utara
dengan 29 kasus.
Menyimak laporan ICW “Pemantauan Atas Politik
Uang, Politisasi Birokrasi dan Penggunaan Sumber Daya Negara Dalam Pemilu 2014”,
khususnya pada Kesimpulan :
§
Praktek politik uang
masih masif terjadi dalam pemilu legislatif tahun 2014 dengan moduspemberian
secara prabayar dan pasca bayar.
§ Praktek curang dalam
pemilu tertinggi terjadi di pencalonan tingkat kabupaten/kota. Hal ini disebabkan bahwa persaingan di wilayah yang sempit dan kandidat yang banyak
mendorong maraknya politik uang.
§ Penggunaan kendaraan
dinas sering dilakukan secara terselubung dengan cara mengganti nomor polisi
mobil dinas tersebut saat kampanye
§ Ditemukan sejumlah
kasus politisasi birokrasi oleh keluarga/kerabat kandidat yang sedang menduduki
jabatan publik
§ State resource sering
dijadikan kandidat incumbent sebagai modal politik
Aktor Pelaku
Temuan ICW
menunjukkan bahwa telah terjadi korupsi pemilu dalam bentuk pemberian uang,
pemberian barang, pemberian jasa dan penggunaan sumberadaya negara. Aktor pelaku korupsi pemilu mulai kandidat, tim sukses,
aparat pemerintah, partai, tim kampanye, lain-lain, keluarga dan
penyelenggara, disimpulkan kandidat
sebagai pelaku utama pembagian uang dan barang. Hal
tersebut menunjukkan bahwa dominasi logistik masih dikuasai oleh kandidat
sendiri.
Masih ada ketidakpercayaan kandidat pada tim
sukses, karena bahaya uang kandidat dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadi. Terjadi berbagai kasus uang kandidat habis namun tim sukses tetap
berpangku tangan.
Kendati kasus pemberian uang menempati posisi kedua
dengan 104 kasus dari 313 kasus yang berhasil ditemukan,. disusul pemberian
barang sebanyak 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya
negara sebanyak 54 kasus, bukan berarti uang sebagai andalan membeli suara. Pemberian
barang juga tak luput jadi “salam tempel” bagi pemilih. Dari hasil temuan,
umumnya barang berbentuk pakaian yang bukan atribut kampanye seperti baju koko
dan baju muslim, kebutuhan pokok, dan alat-alat rumah tangga.
Temuan sebagai pengingat bagi pemerintah provinsi adalah
aspek kondisi ekonomi masyarakat turut berpengaruh. Semakin rendah
kondisi ekonomi masyarakat, semakin rendah biaya politik yang digelontorkan
untuk membeli suara. Di provinsi Banten banyak ditemukan pemberian dengan
nominal Rp 5.000 sampai dengan Rp 25.000.
Timbal Balik
Masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih
semakin cerdas mensiasati kondisi pemilu legislatif dengan asas NPWP (nomer
piro wani piro), suara mempunyai harga jual. Jadi, asas timbal balik ini
semakin mengkokohkan fenomena bahwa kandidat dan tim sukses memanfaatkan kondisi jual beli suara,
secara tak langsung membuktikan daya juang kandidat tidak siap untuk bertarung dalam pesta
demokrasi.
Argo
politik uang kandidat mulai saat di internal parpol ketika terjadi jual beli
nomer urut kandidat. Persaingan antar kandidat dalam dapil yang bersangkutan disebabkan
jatah kursi legislatif sangat terbatas dan sudah ditetapkan dalam UU.
Andai
terjadi jual beli program antara kandidat dengan calon pemilih di dapilnya,
hanya sebatas pemanis transaksi. Atau tergantung seberapa banyak modal dan
umpan yang dikorbankan dengan hasil tangkapan nantinya [HaeN].