aroma irama dendam
politik, demokrasi Nusantara lari di tempat
Indonesia mencatat
kisah sukses demokrasi ketika pasangan presiden dan wakil presiden dipilih
langsung oleh rakyat yang telah mempunyai hak pilih. Dipraktikkan semenjak
tahun 2004, setiap lima tahun sekali. Apapun yang telah terjadi, terjadilah.
Tidak perlu disesali tujuh turunan. Walau meninggalkan trauma politik. Tak
terkecuali dendam politik arus atas maupun arus bawah ikut mewarnai dinamika
kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat.
Salah banyak watak
anak bangsa dan manusia Indonesia adalah gemar barang baru. Bahkan pelaku
tindak pidana kejahatan, jika tertangkap tangan, mengaku baru pertama kali
melakukan. Ikhwal frasa “baru” ini diterjemahkan lewat pasal pesta demokrasi.
tersurat jabatan kepala negara, kepala daerah, wakil rakyat boleh menjabat dua
periode berturut-turut. Terkesan, periode pertama, baru belajar. Kalau sudah
jatuh tempo, bisa diperpanjang. Soal antrian di ineternal partai politik,
memang itulah kejamnya ideolgi berbasis rupiah.
Karakter demokrasi
Nusantara ditengarai dengan siapa yang memperoleh suara terbanyak, otomatis
yang menang. Di sini titik lemahnya, semua serba otomatis. Menang di pemilu
legislatif, otomatis jadi ketua parlemen. Jagonya juara pertama di pemilu presiden,
otomatis mengusasi kursi pembantu presiden. Merasa berhak menjadikan demokrasi
mayoritas sebagai awal titik retak penyelenggara negara.
Pasca
Reformasi, 21 Mei 1998, terbukti tidak ada politisi (orang parpol) yang siap
jadi pemimpin nasional. Bukan sekedar karena tidak ada pengkaderan di zaman
Orde Baru atau
pengkerdilan politisi liwat penyederhanaan jumlah partai. UU Nomor 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golkar, menyederhanakan jumlah partai, mengatur
hanya ada dua partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Pemain lama hanya
mengandalkan menang merek, buka jati diri sebagai politisi sejati.
Walhasil, sehebatnya kadar politisi Indonesia, walau
teruji pernak masuk skala nasional, bukan otomatis cikal bakal negarawan.
Politisi yang sampai pucuk pimpinan di parpolnya, bukan jaminan mutu untuk
dipromosikan ke sebagai negarawan. Ironis, ketua umum sebuah parpol yang sempat
menjabat sebagai kepala negara tidak otomatis bergelar negarawan. Negarawan
bukan karena jabatan, minimal perjuangan seumur hidup untuk nusa dan bangsa. Bukan
sekedar membesarkan dan menghidupi partai.
Dampak politis, munculnya “politisi” non-sipil selama dua peridoe
2004-2009 dan 2009-2014 dengan satu presiden, pola ideologi Indonesia semakin
meneguhkan ideologi berbasis rupiah. Pekerjaan yang paling membosankan adalah
‘menunggu’. Kalau anak didik pemegang ijazah SMA berjibaku untuk masuk
perguruan tinggi, gagal tahun ini bersiap maju tahun depan. Gagal lagi, akan
memakai Rencana-B atau alternatif terakhir. Di industri politik, gagal di
pemilu dan pilpres, tunggu waktu lima tahun lagi. Pecundang politik, biasanya
tidak evaluasi diri, tetapi sibuk dan gemar mencari kambing hitam. Jika
cerdas, mulai dari nol, melakukan
perombakan total. Jika dua kali aktif ikut di pesta demokrasi, dengan hasil
maksimal hanya jadi runner-up, bukannya tak berdampak. Energi diri
terkuras di masa tunggu selama dua periode, menjadikan tidak siap menang di
pesta demokrasi 2014.
Keluh ki
dalang Sabdopawon, hidup merdeka di bawah bayang-bayang politik lawan selama
penantian dua kali pesta demokrasi, menjadikan naluri politik, insting politik
tumbuh ke bawah. Bukan tumbuh ke samping apalagi tumbuh ke atas. Daya tanggap, sifat
peka, dan rasa peduli politik hanya sebatas urusan perut ke bawah, yaitu
syahwat politik. Sepuluh tahun memendam berbagai jenis ambisi, membiakkan aroma
irama dendam politik, sekaligus menimbun berbagai ragam antipati. Dipastikan,
yang dipikirkan bukan negara ke depan, tetapi lebih bagaimana selama lima tahun
ini menjadikan negara sebagai hak milik, hak guna dan hak pakai sekaligus
sebagai warisan keluarga.[Haen]