Halaman

Jumat, 30 September 2016

era megatega, tiwas edan tenan tetep ora keduman



era megatega, tiwas edan tenan tetep ora keduman

Ki dalang Sobopawon bingung binti linglung. Arep sambat utowo protes, wedi digeguyu pitik walik sobo pawon. Arep bengak-bengok ora ilok. Meneng wae dikiro nrimo ing pandum. Rerasan karo tonggo, biso-biso kesambet betara Kala. Uneg-uneg yen dipendem kuatir jerawaten ning rai, bisul ning bokong. Mumet tenan, milih uro-uro ning pawon.

Jika kita simak rangkaian, runtutan, rentetan bencana politik yang bersumber dari pusat kekuasaan negara, teori secanggih apapun tidak bisa menjawab. Kajian akademis klas dunia hanya bisa memberi komentar datar. Ironis ninti tragisnya, mantan pelaku utama sampai pelaku numpang duduk, tidak tahu apa yang telah dilakukannya.

Kita bersyukur, masih ada sentiment positif yang membangkitkan semangat untuk tetap utuh. Konflik, gesekan, friksi akibat syahwat politik di luar batas kewajaran, sudah menjadi senjata makan tuan.

Musuh nyata di depan mata, bukan sekedar dari dukun ahli melipatkgandakan uang, tetapi dari dukun politik yang butuh bebanten diri sendiri, keluarga sendiri. [Haen]

Perlu Penjaga Pintu Jaringan Internet



Perlu Penjaga Pintu Jaringan Internet

Ikhwal siber Indonesia rentan diserang asing, bukan masalah dan hal baru. Setiap kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tentu ada efek sampingan, khususnya dampak buruk, efek domino atau memancing tumbuhnya berbagai jenis kejahatan yang belum ada pasalnya. Ingat makna istilah asing “the man behind the gun”.

Terkadang, dibanding dengan negara lain, “bersyukur” bahwa penyerangan sistem siber Indonesia masih masuk katergori aman terkendali. Katakan, belum menjadi isu nasional. Mengingat luas dan panjangnya Nusantara, serta tingkat keawaman atau ke-gaptek-an pengguna komputer, disertai tugas instansi pemerintah sebagai pengatur lalu lintas informasi, perlu langkah preventif, pro aktif yang terukur.

Kita tidak bisa tutup mata jika ada anak bangsa, dengan kecerdasan dan hobi otak-atik TIK bisa menjadi alat yang multi fungsi, multi manfaat, multi guna. Dalih ‘siapa menguasai informasi akan menguasai dunia’ didukung TIK dalam genggaman, tidak sekedar waktu dan jarak bukan lagi menjadi kendala. Tidak sekedar pabrik kata dan kalimat, bisa menimbulkan bencana terselubung.

Mengingat penyerang sistem siber Indonesia dimungkinkan tidak sekedar dari “kerja orang iseng”, bisa dari system atau negara asing. Masalah laten muncul jika pihak asing ngobok-obok dapur negara.

Mengantisipasi banjir lokal dan khususnya banjir kiriman dari negara asing, tak ayal layak Indonesia mempunyai sistem pengamanan dan pertahanan. Setiap pengguna selain mempunyai sistem pengaman tersendiri, namun diharapkan terintergrasi. Perlu “penjaga pintu” yang mengendalikan arus lalu lintas informasi serta peringatan dini terhadap penyerang asing sekaligus berdaya cegah tangkal. Artinya, TIK buatan manusia jangan sampai kita malah menjadi budaknya. Opo tumon. [HaeN]

aroma irama dendam politik, demokrasi Nusantara lari di tempat



aroma irama dendam politik, demokrasi Nusantara lari di tempat

Indonesia mencatat kisah sukses demokrasi ketika pasangan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat yang telah mempunyai hak pilih. Dipraktikkan semenjak tahun 2004, setiap lima tahun sekali. Apapun yang telah terjadi, terjadilah. Tidak perlu disesali tujuh turunan. Walau meninggalkan trauma politik. Tak terkecuali dendam politik arus atas maupun arus bawah ikut mewarnai dinamika kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat.

Salah banyak watak anak bangsa dan manusia Indonesia adalah gemar barang baru. Bahkan pelaku tindak pidana kejahatan, jika tertangkap tangan, mengaku baru pertama kali melakukan. Ikhwal frasa “baru” ini diterjemahkan lewat pasal pesta demokrasi. tersurat jabatan kepala negara, kepala daerah, wakil rakyat boleh menjabat dua periode berturut-turut. Terkesan, periode pertama, baru belajar. Kalau sudah jatuh tempo, bisa diperpanjang. Soal antrian di ineternal partai politik, memang itulah kejamnya ideolgi berbasis rupiah.

Karakter demokrasi Nusantara ditengarai dengan siapa yang memperoleh suara terbanyak, otomatis yang menang. Di sini titik lemahnya, semua serba otomatis. Menang di pemilu legislatif, otomatis jadi ketua parlemen. Jagonya juara pertama di pemilu presiden, otomatis mengusasi kursi pembantu presiden. Merasa berhak menjadikan demokrasi mayoritas sebagai awal titik retak penyelenggara negara.

Pasca Reformasi, 21 Mei 1998, terbukti tidak ada politisi (orang parpol) yang siap jadi pemimpin nasional. Bukan sekedar karena tidak ada pengkaderan di zaman Orde Baru atau pengkerdilan politisi liwat penyederhanaan jumlah partai. UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, menyederhanakan jumlah partai, mengatur hanya ada dua partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Pemain lama hanya mengandalkan menang merek, buka jati diri sebagai politisi sejati.

Walhasil, sehebatnya kadar politisi Indonesia, walau teruji pernak masuk skala nasional, bukan otomatis cikal bakal negarawan. Politisi yang sampai pucuk pimpinan di parpolnya, bukan jaminan mutu untuk dipromosikan ke sebagai negarawan. Ironis, ketua umum sebuah parpol yang sempat menjabat sebagai kepala negara tidak otomatis bergelar negarawan. Negarawan bukan karena jabatan, minimal perjuangan seumur hidup untuk nusa dan bangsa. Bukan sekedar membesarkan dan menghidupi partai.

Dampak politis, munculnya “politisi” non-sipil selama dua peridoe 2004-2009 dan 2009-2014 dengan satu presiden, pola ideologi Indonesia semakin meneguhkan ideologi berbasis rupiah. Pekerjaan yang paling membosankan adalah ‘menunggu’. Kalau anak didik pemegang ijazah SMA berjibaku untuk masuk perguruan tinggi, gagal tahun ini bersiap maju tahun depan. Gagal lagi, akan memakai Rencana-B atau alternatif terakhir. Di industri politik, gagal di pemilu dan pilpres, tunggu waktu lima tahun lagi. Pecundang politik, biasanya tidak evaluasi diri, tetapi sibuk dan gemar mencari kambing hitam. Jika cerdas,  mulai dari nol, melakukan perombakan total. Jika dua kali aktif ikut di pesta demokrasi, dengan hasil maksimal hanya jadi runner-up, bukannya tak berdampak. Energi diri terkuras di masa tunggu selama dua periode, menjadikan tidak siap menang di pesta demokrasi 2014.

Keluh ki dalang Sabdopawon, hidup merdeka di bawah bayang-bayang politik lawan selama penantian dua kali pesta demokrasi, menjadikan naluri politik, insting politik tumbuh ke bawah. Bukan tumbuh ke samping apalagi tumbuh ke atas. Daya tanggap, sifat peka, dan rasa peduli politik hanya sebatas urusan perut ke bawah, yaitu syahwat politik. Sepuluh tahun memendam berbagai jenis ambisi, membiakkan aroma irama dendam politik, sekaligus menimbun berbagai ragam antipati. Dipastikan, yang dipikirkan bukan negara ke depan, tetapi lebih bagaimana selama lima tahun ini menjadikan negara sebagai hak milik, hak guna dan hak pakai sekaligus sebagai warisan keluarga.[Haen]

Kamis, 29 September 2016

Selamatkan dari Bahaya Rokok



Selamatkan dari Bahaya Rokok

Cara melemahkan generasi penerus bangsa adalah dengan membiarkan anak merokok. Usia perokok pemula semakin muda. Mereka menjadi pecandu sejak dini, sehingga usia produktif mereka semakin berkurang. Tubuh mereka yang seharusnya masih kuat menjadi rapuh, bahkan mudah terserang penyakit akibat gangguan pernafasan.

Inilah yang diharapkan dan diincar oleh pihak penjajah NKRI secara tidak langsung, agar anak usia sekolah dasar sudah menjadi perokok. Bahkan, rokok sudah dikenalkan sejak dini. Indonesia memang bebas dari penjajahan bangsa asing, tetapi belum merdeka dari penjajahan bangsa sendiri. Bangsa sendiri yang jumlahnya tak seberapa, cuma beberapa gelintir, tetapi mampu berkubang resmi di industri rokok yang nyatanya menjadi musuh bersama.
 

Generasi muda harus diselamatkan dari bahaya rokok. Mereka harus tumbuh sehat dan kuat agar meneruskan kepemimpinan bangsa ini di masa depan. [HaeN]

peradaban demokrasi Nusantara di tangan generasi pemilih pemula



peradaban demokrasi Nusantara di tangan generasi pemilih pemula


Betul kawan. Ideologi Nusantara yang dipraktikkan oleh kawanan parpolis merupakan fungsi rupiah. Artinya, uang sebagai baban bakar utama mesin politik sekaligus sebagai tujuan utama dan pertama perjuangan politik anak bangsa.

Sejarah pesta demokrasi sejak 1955, denyut kampanye mengalir, mengerucut ke arah membuktikan bahwa mazhab “hamba uang” yang akan gemilang. Sejak zaman Orde Baru, karpet merah digelar menyambut tamu agung, yang serba merah. Presiden yang sudah berkuasa pun masih butuh sentuhan tangan asing, aneh, ajaib.

Sejauh ini bangsa Indonesia dininabobokan oleh fenomena politik yang tampak sakral. Perjalanan waktu, dengan masih banyaknya anak bangsa yang peduli nasib bangsa, apa yang selama ini dilindungi dalih konsistensi, menjadi terang benderang.

Bukan salah bunda mengandung kawan. Wajar, yang ditakuti oleh umat manusia di muka bumi ini adalah kemiskinan, kelaparan. Bagi yang cerdas politik, melek politik, yang ditakuti cuma eksistensinya tidak diakui. Jangan heran, di negara yang selalu sedang berkembang, ulah politik mantan kepala negara, kepala pemerintahan, presiden atau sebutan lainnya, menimbulkan gelombang alergi politik.

Mewariskan ideologi ke anak cucu, sah-sah saja. Tentu karena diikuti dengan rekam jejak di atas rata-rata.

Debat kampanye bakal calon, khususnya jabatan publik, seperti wajib dilakukan. Demokrasi terjegal pasal politik. Ini yang menjadikan kalkulasi politik di atas kertas menghalalkan segala cara. Ini lagu lama yang selalu dikemas ulang.

Nasib pemilih pemula, seolah menjadi asset semua pihak yang mendadak peduli dan mempunyai kepentingan sesaat saja. Modus operandi menggadang, menimang calon pemilih pemula sampai kaderisasi. Sistem perkawanan atau getok tular, cara ampuh, jitu, mujarab untuk menggaet minat generasi pemilih pemula.

Memang, generasi masa depan ada yang steril atau bahkan alergi politik. Akibat tayangan dagelan politik yangmenjadi andalan media penyiaran TV. Diperparah bebas ujar, bebas cuap, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Ironis binti miris, antar penyelenggara negara malah pamer adu kuat. [Haen]