Halaman

Kamis, 31 Desember 2020

olah kata akhir 2020 tanpa judul

 olah kata akhir 2020 tanpa judul

 Menulis dikarenakan keahlian, kebisaan terminimal yang tersisa terorganisir secara adab kedirian. Hanya waktu yang membuktikan. Niatan baku tidak tahu pasti topik, tema apalagi judul. Modal berdoa kepada-Nya usai subuh berjamaah di masjid.

 Mohon dibukakan digerakkan jiwa ini agar mampu menterjemahkn bisikan, kata hati menjadi bahan simak bermanfaat bagi pemirsa. Doa berikutnya tapi bukan lanjutkan. Semoga cikal bakal pemirsa hingga pemirsa aktif merasa rugi jika tidak menyimak produk perenungan secara mendalam.

 Standar lokal harian, dibilang berkenormalan skala wajar jika selama 24 jam mampu menayangkan 3 judul. Masih banyak kilas balik yang mau diungkapkan. Demi menjaga stabilitas hubungan baik dengan pemirsa. Bersambut di 2021. [HaéN]

waktu masih normal

 waktu masih normal

 Bukan berarti ada proses perbandingan. Memanfaatkan peluang naik banding, sanding apalagi tanding. Bisa sampai status terkini, mutakhir, sudah lebih sekedar bersyukur. Sejarah masa depan sigap dengan segala perubahan. Harga sekarang menentukan tahapan, babakan kehidupan tanpa hak gugat.

 Setiap tarikan nafas menjadi tanda alih waktu secara biologis. Sekejap mata manusia, sepersekian detik atau berkeadaan di ruang tanpa waktu, sesuai ketetapan awal-Nya terjadi perubahan nasib manusia. Yang semula bagaimana berubah menjadi begitu saja. Sebagaimana tidak diharapkan.

 Konsistensi, konsekuensi, kontinuitas ketaatan penyebab terjadinya perulangan waktu jarang diperhitungkan secara seksama. Apalagi dengan memahami demi waktu. Keterlekatan kewajiban seorang anak manusia dengan seluruh aspek kemanusiaan.

 Jika waktu melekat pada obyek berupa manusia. Langkah yang tersisa menuju zaman abadi, keabadian terasa selalu kurang waktu. Tahu-tahu waktu berlalu, telah lewat begitu saja dan tidak akan kembali. [HaéN]

luncuran sisa bukti 2020

luncuran sisa bukti 2020

Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”, suratan Pasal 184 ayat (2) UU 8/1981 tentang KUHP. Agar lebih berbunyi, surut sidik ke Pasal 1 butir 2:

 

2.             Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

 Frasa “guna menemukan tersangkanya”. Padahal jika kita simak lanjut ke Pasal 1 butir 14 tertera:

14.          Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

 Agar lebih nyaman perangkaian kalimat sesuai judul dan menghindari bias emosi. Malah ajak pemirsa kembali balik ke Pasal 1 butir 5:

 5.             Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

 Namanya UU walau produk politik terkendali zaman Orde Baru. Sudah mengenal main kata susun kalimat agar tampak berpikir. Kiranya dengan demikian ada eloknya simak:

Pasal 17

Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betu-betul melakukan tindak pidana.

 Asas tepat manfaat, simak Pasal 66 dan penjelasannya:

 Pasal 66

Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

 Penjelasan Pasal 66.

Ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas "praduga tak bersalah".

 Media massa arus utama, bahkan khususnya media massa arus pendek punya sebutan: terduga, tertuduh. Ironis binti miris jika nyatanya di UU 8/1981 tidak menerapkan lema, kata ‘tuduh’. [HaéN]

Rabu, 30 Desember 2020

otoritas kegamangan penguasa lokal nusantara

 otoritas kegamangan penguasa lokal nusantara

 Rentang waktu 1920-1930 atau seabad yang telah lewat, yang lalu sekali. Menentukan babakan eksistensi perdampakan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Sejarah akan berulang dengan beda pelaku. Bisa jadi jejak pelaku sejarah tertelan adab berbangsa dan bernegara.

 Ternyata, motor dan roda penggerak kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dimonopoli oleh pihak kontraktor politik. Justru didominasi oleh bidang teknologi dan industri selaku pemilik modal dan sekaligus penguasa pasar. Fake news dan hoax lebih ampuh ketimbang sebaran varian baru.

 Jangan ditafsirkan, bahwasanya kekuasaan penguasa formal terbatas, sebatas pada teritorial kamar kerja istana. Pemutarbalikkan pembahasaan kendati pada satu koridor satu bahasa. Cara mudah, ringan menyesatkan logika, nalar maupun akal sehat seorang anak manusia, Generasi tanpa jejak usia, sadar diri dalam jeratan, jebakan ujaran bebas. [HaéN]

cerdasan hukum nusantara butuh saksi, wasit atau médiator

 cerdasan hukum nusantara butuh saksi, wasit atau médiator

Ketika aparat penegak hukum, hamba hukum, otoritas pelaksana hukum main hukum sendiri di jalan milik umum. Sedemikianlah hukum rimba belantara nusantara tak bertuan. Tidak terlantar justru bukti hukum bisa ditegakkan dimana saja. Demi nama baik, martabat dan kinerja penguasa. Daya tahan krédibiitas supremasi hukum sesuai karena perintah atasan atau jabatan.

 Krédibiitas pelaksana hukum, di negara selaju adab bernegara macam Amerika Serikat. Nusantara tidak kenal apartheid atau politik pembedaan warna kulit. Justru nusantara sarat dengan tindakan aksi kriminalisasi terhadap beda pilihan, beda warna politik.

 Tirani minoritas diperagakan oleh golongan manusia superkaya atau sebutan lebih lagi. daya apa saja mereka punyai. Pesan pasal dalam proses legislasi sampai praktik jalan tegaknya hukum. Siapa menjadi apa liwat jalur pesta demokrasi, adat kebiasaan sejak nenek moyangnya. Mereka tidak sendirian, tak main sendiri dan kenyang sendiri. Walau yang paling kenyang. Banyak pihak yang ikut bermain. [HaéN]

demokrasi kontraktual, keterpilihan kepala daerah di bawah suara golput

 demokrasi kontraktual, keterpilihan kepala daerah di bawah suara golput

 Semenjak bangsa ini mengenal pilkada serentak. Golongan putih poduk sampingan era Orde Baru, mengalami pergeseran, perubahan makna. Refleksi dari modal politik peserta. Dinasti politik yang masih eksis, tidak kekurangan cikal bakal, jago aduan. Kandidat tiban, dadakan, karbitan, titipan, tukar guling, barter maupun kader janggut akan menentukan sehatnya demokrasi.

 Fenomena calon tunggal kian menggambarkan demokrasi sesungguhnya. Berapa persen kader partai yang berani maju, terpilih walaupun dengan status wakil kepala daerah. Pasal putra-putri asli daerah yang berkesempatan ikut pilkada, menjadi PR besar bangsa. Disparitas politik menambah rangkaian dan jenjang kesenjangan antar daerah.

 Kabupaten/kota dan atau provinsi karena potensi SDM dan keunggulan wilayah di bawah standar nasional, secara politis menjadi beban negara, negara dalam negara. Dikarenakan di bawah satu kendali secara turun temurun. Elit lokal, kolaborasi pengusaha, tokoh masyarakat, tokoh etnis, tokoh adat, tokoh agama plus pemain bayaran yang menentukn nasib daerah di maksud. Otonomi daerah memperkuat daya cengkeram pemegang otoritas politik.

 Akan terjadi pemerintah de jure dan pemerintah de facto di setiap periode. Antara pemerintah siang dengan pemerintah malam terjadi sinergi dan saling menguntungkan. Mufakat untuk tidak mufakat menjadi ciri. Pembagian wilayah kerja, daerah operasional; penguasaan pasar gelap terjaga secara dinamis. [HaéN]

wong cilik, komoditas politik kawanan pencari nikmat kursi

 wong cilik, komoditas politik kawanan pencari nikmat kursi

 Wong cilik di negara Amerika Serikat tetap menjadi langganan obyek kampanye calon presiden. Masing-masing pihak berseteru mencari celah, peluang atau pendekatan yang berbeda. Bedanya status wong cilik dengan di NKRI. Varian, versi, subversi wong cilik di sana tergantung sebagai kebutuhan obyek janji politik.

 Sebut saja wong cilik identik kaum imigran gelap, beda warna kulit, pekerja musiman, minoritas, suku aseli, pemukim liar dan illegal, dsb. Kendati sama-sama pakai pasal HAM, tetap saja tidak mengubah nasib wong cilik. Dua partai politik, Demokrat dan Republik, menjadikan satu periode 4 tahun, konsolidasi nasional teruji. Yahudi tetap pegang kendali.

 Status statis wong cilik di nusantara, lebih bersifat stigmatif. Khususnya di hadapan hukum. Secara politis golongan masyarakat yang mapan, dengan mudah berbalik nasib menjadi pesakitan. Gara-gara beda pilihan. Atau kelompok masyarakat secara teritorial tidak sesuai atau bertentangan dengan kebijakan lokal apalagi nasional.

 Efektivitas praktik tanah-air. Daya jangkau aksi penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah menjadi dalih, dalil formal penguasa plus pengusaha untuk melakukan hukum rimba tak bertuan “tembak di tempat” untuk mempercepat proses hukum.

 Ikhwal pasal lain. Di jalan protokol, jalan negara, jalan bebas hambatan bisa menjadi ajang main hukum ramai-ramai. Tidak pakai proses, serba cepat. Bukti menyusul. Ketika “kotak kosong” mengalahkan calon tunggal. Saatnya suara golput di atas perolehan suara kandidat tiban. [HaéN]

Selasa, 29 Desember 2020

kealpaan negara menyebabkan rakyat menjadi melarat

 kealpaan negara menyebabkan rakyat menjadi melarat

 Tersebutlah di UUD NRI 1945 tanpa perubahan, tepatnya tersurat Pasal 27 fokus pada ayat (2):

(2)          Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

 Jadi, secara awam frasa “herhak atas pekerjaan yang layak” adalah tidak menjadi pengangguran, tidak sedang belum punya pekerjaan. Soal cocok atau tidak. Sedangkan frasa “berhak atas penghidupan yang layak” lebih diartikan tidak miskin. Boleh miskin asal jangan miskin-miskin banget.

 Haluan, paham politik nusantara dengan nyata menyatakan bahwa penduduk miskin menurunkan martabat penguasa di mata dunia internasional. Menurut ahlinya, yang namanya predikat miskin, bodoh, terbelakang merupakan penyakit keturunan, bawaan bayi rakyat akar rumput, penduduk papan bawah.

 Namun kiranya, akibat faktor eksternal skala global, NKRI terdampak agresi pandemi covid-19. Banyak pihak merasa dirugikan secara finansial. Pekerjaan hilang tanpa batas waktu layak. Layak hidup di rumah (s)aja. Protokol kesehatan mendominasi kepedulian penguasa. Orang miskin baru, bukan sekedar angka statistik.

 Esok tahun 2021 lebih cerah. Berkenormalan berdampingan dengan varian baru. Super vaksin Merah Putih menjadi andalan terakhir. Pemerintah sudah sigapkan detasemen khusus anti miskin. [HaéN]

yang ringan justru memperberat peluang

 yang ringan justru memperberat peluang

 Anomali adil, setara, seimbang menjadi dinamis. Tergantung sentimen dan kekuatan pasar lokal. Tidak bisa dirumuskan apalagi jadi pasal hukum yang multitafsir. Kedudukan adil, setara, seimbang pada lokalitasnya kian bias. Ragam bahasa yang muncul, bak bahasa jalanan. Siapa saja merasa layak sumbang saran. Faktor jiwa bebas kendali melunturkan akal sehatnya.

 Jika hujan sehari seolah bisa menghapus panas sebulan. Banjir semalaman tidak akan kering walau air sudah surut lebih sebulan. Pengalihan isu atau isu pengalihan atas fakta yang meluncur bebas. Proaktif menjadi gaya saling tunggu. Peringatan dini alam dianggap sekedar basa-basi. Sigap saling libas, tancap gas sebelum aba-aba start bunyi.

 Penganekaragaman beban kehidupan bernegara, mengikuti deret ukur sampai babak akhir. Aksi bongkar pasang kursi penyelenggara negara kian terasa skenario dasarnya. Biaya politik bisa diputihkan, dianulir demi politik atau tukar guling dengan babak pasca 2024. Protokol politik tetap mendominasi aksi selamatkan diri masing-masing. Jangan sampai tergilas revolusi. [HaéN]

nusantara berpancasila, lain halnya dengan

 nusantara berpancasila, lain halnya dengan

 Jangan salah kaprah dengan sebutan negara agraris. Lebih parah kaprah lagi predikat negeri beras. BPS tetap merilis bahwasanya mayoritas penduduk penyuka nasi. Sehari tanpa nasi tidak menjadikan. Tol laut menambah kemudahan pasokan beras sesuai protokol dagang model CAFTA, MEA, dll.

 Mana yang lebih dahulu, alih fungsi lahan pertanian dengan susutnya keluarga tani, rumah tangga tani atau regenerasi petani mogok total. Dinasti petani secara konsisten dan konsekuen mendukung penuh kebijakan pengadaan pangan oleh pemerintah. Infrastruktur irigasi sawah tetap terbangun tiap tahun.

 Sila-sila dasar negara mengalami reduksi alamiah. Semakin dijabarkan, diformalkan, diagendakan menjadi pedoman hidup penyelenggara negara, kian redup dan susah dipraktikkan. Masuk tataran regional maka yang berlaku hukum, tatanan, tarif global. Rakyat plonga-plongo tertinggal di landasan pacu. [HaéN]

kalah pamor menang rumor

kalah pamor menang rumor

Seorang manusia punya daya selidik, gaya sidik yang menjadikan dirinya merasa serba bisa. Lebih serba lebih disbanding pihak lain, walau sekandung. Kalau sudah begini, urusan kemanusiaan terabaikan. Persaingan lebih karena tidak mau disaingi.

 Bayangkan batas realita kehidupan sebuah keluarga. Anak sulung lulusan secaba bayangkara. Adiknya alumnus akpol. Si bungsu jadi satpam. Banyak realitas harian terjadi secara realistis dinamis. Satu-satunya anak perempuan menjadi penyeimbang, penengah, penglipur duka lara ortu. Ketika mereka yatim, dinamika keluarga makin bergulir sesuai ombak waktu.

 Si sulung sudah 4x mengedarkan undangan nikah. Di lingkungan alat negara yang pengayom, ikhwal kawin boleh lebih dari sekali. Isteri tetap satu. Si bungsu yang anak sulungnya sejak bayi sudah diasuh mbahnya. Setelah sang anak injak SMA, sang isteri pilih dengan pilihan lain. Status suami kurang lihai mengamankan keutuhan rumah tangga.

 Sang nenek tetap konsisten dengan kebanggaan punya anak pamen polri. Hidup memang tidak ada duanya. [HaéN]

 

penantian tidak pakai nanti-nanti

penantian tidak pakai nanti-nanti

Sejak seorang manusia tahu bagaimana nantinya. Lebih bersifat pasif dalam penantian. Aktif diri bergelut dengan segala kemungkinan, jangan-jangan. Pemunya rasa optimis, yakin dengan kondisi terkini akan menentukan babakan kehidupan senantinya. Awal langkah seawall mungkin, lebih utama ketimbang menantikan hari baik.

 Ketika diri tahu tahu-tahu sudah ganti hari, ganti tanggal. Tetap bersyukur dengan raihan hari ini sekaligus sigap dengan proses penantian berikutnya. Akumulasi waktu harian, tahu-tahu sudah senja sarat kesenjangan. Mau apa lagi. Selagi masih ada esok.

 Ketahuan diri dengan melihat kanan kiri. Masihkah ada yang sama posisi dan status statis. Wajah anyar nyaris tak dikenal, malah melenggang bebas di depan mata. Rasa diri merasa tersesat dalam barisan bukan kaumnya. Keterasingan langsung membuka wawasan. Jauh di depan, suara yang akrab dengan jiwa memanggilnya. Mengajak meninggalkan batas penantian. Suara anak cucunya. [HaéN]