Halaman

Rabu, 30 Agustus 2017

Perang Urat Sarat di Masa Damai



Perang Urat Sarat di Masa Damai

Kehidupan tata tentrem karta raharja, guyub rukun yang ada di masyarakat – yang didaulat sebagai cikal bakal, bahan baku Pancasila – jika terjadi konflik horizontal, friksi, gesekan antar individu, sebagai dinamika kehidupan harian. Penyelesaian konflik insidentil dengan pasal damai di tempat, jabat tangan, bubar. Tak ada dendam berkelanjutan. Kondisi aman, nyaman ini malah membuat pihak tertentu resah, gerah, gelisah.

Apakah karena anak bangsa, putera asli daerah, orang dan/atau manusia Indonesia dalam memandang lawan politik, khususnya karena kalah dalam laga kandang pesta demokrasi, bak memandang musuh negara yang harus dilenyapkan dari muka bumi.

Sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, adalah bahwa yang baik dan benar karena tidak menguasai suara mayoritas, menjadi  tak bermakna, hambar dan non-konstitusional. Sebaliknya, olah pikir, tindak tutur, tata laku yang masuk kategori tidak sesuai norma yang berlaku, karena pelakunya sang penguasa maka tidak bisa dipidana.

Ahli mengelola konflik, baik yang dengan bakat alam sampai yang menjadi bagian dari konspirasi atau scenario, seolah gatal tangan jika tak ada order. Mereka mampu menciptakan “musuh negara” agar bisa menjadi proyek perang. Minimal ada alasan yuridis formal untuk menerapkan pasal makar pada gerakan separatis.

Para penyedia jasa perang urat saraf, ada yang berlindung di balik bentuk media massa atau membuat varian lainnya. Mereka bukan memihak dua koalisi partai politik yang bersebarangan, mereka mampu membuat kubu tersendiri. Mereka tidak sekedar ahli memancing di air keruh, sudah sampai tingkatan membuat keruh suasana.

Para penyedia jasa perang urat saraf mahir mengelola konflik. Membuat tulisan yang mensinergikan hujatan dan jilatan. Merekayasa berita sebagai pihak yang dizalimi sekaligus menabur benih-benih konflik. Piawai membuat “musuh rakyat”, agar rakyat terkecoh dan terkondisikan untuk siap berjibaku. Sekaligus menyediakan jurus-jurus sebagai si juru damai, si penjaga perdamaian. [HaèN]

Selasa, 29 Agustus 2017

Teror Kata dan Modus Cuci Otak



Teror Kata dan Modus Cuci Otak

Indonesia dalam situasi dan kondisi aman, nyaman, tenteram. Jauh dari perang. Perubahan Keempat UUD RI 1945 menghaslkan :
Pasal 11
(1)      Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

Dalam keadaan tidak perang, maka hukum perang apa yang tetap berlaku. Jika keamanan dalam negeri stabil, terkendali, pasal apa yang tetap diberlakukan agar eksistensi, harga diri, citra diri, wibawa tetap terjaga.

Bagaimana pemerintah menjaga pihak yang sudah “gatal tangan”. Karena mereka dibentuk untuk menjadi tukang perang, mesin tempur.

Bagaimana jika Indonesia terjebak perang non-konvensional. Perang dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Sasarannya utama sudah bukan pada “penghilangan nyawa seseorang, orang lain dengan sengaja”, tetapi lebih dari itu.

Kita masih ingat adanya upaya pembunuhan karakter. Semua pihak dengan fasih, latah menggunakannya. Dua kutub yang berseberangan dengan gagah memggunakan kata yang sama.

Rakyat sebagai permirsa, penonoton semakin bingung bin linglung. Emosi dan enerji rakyat terserap untuk menikmati adegan, atraksi, acara di panggung politik Nusantara. Bukan sekedar terjadi transaksi pembodohan tetapi praktik adu pintar, adu lihai antar penyeleggara negara.

Lazim, pada saat NKRI tenang tentu akan muncul watak yang tidak sekedar “menjaring ikan di air keruh”, kalau perlu dengan berbagai modus malah memperkeruh suasana. Mereka mengambil berbagai keuntungan dari dua kutub, dua kubu, dua pihak, dua koalisi yang sedang “perang dingin”.

Keberadaan media massa bisa menghakimi, mengadili bahkan memberi vonis – minimal memberi stigma – pada kejadian perkara.

Opini rakyat mudah dibentuk dengan dari apa yang dilihat,  didengar dan/atau dibaca. Kondisi ini sebagai lahan basah, lahan menggiurkan bagi penyedia jasa pembuatan konten bermuatan kebencian dan hoaks. Tak mau tahu siapa yang jadi korban. Seperti biasanya, kemungkinan kebijakan pemerintah bukan menguak, menyibak, membongkar akar permasalahan, tetapi malah diduga akan mennggunakan jurus perpu. Atau kasus diambangkan, karena berhasil mengalihkan perhatian masyarakat atas kasus yang lebih besar, pada saat yang sama. [HaèN]

Indonesia di bawah sugesti Pancasila



Indonesia di bawah sugesti Pancasila

Indonesia memang Indonesia. Aneka tindakan, serba peristiwa, berbagai kejadian, variasi perkara yang tak masuk akal pun bisa terwujud. Atau kontradiksinya, demi mendukung jalannya cerita, maka direkayasa telah terjadi sesuatu.

Yang semula samar-samar, karena mengganggu wibawa negara, maka  dibuat tampak jelas tanpa batas pagar. Semula remang-remang, atas kehendak, keinginan dan tuntutan pasar bisa ditayangkan secara terang-benderang.

Berhal kemajuan, Indonesia punya riwayat sendiri. Kalau didorong maju, malah bersikukuh dengan posisinya. Tidak mau maju. Merasa aman, nyaman di tempat kedudukannya. Sebaliknya, kalau didorong ke belakang agar jangan mengganggu lalu lintas. Malah dengan sekuat daya mempertahankan diri, jangan sampai tergusur, tergeser apalagi tersingkir.

Kata “dilarang” malah sebagai pratanda “boleh”, sesuai takaran masing-masing. Terlebih dengan ungkapan”barang siapa”, semakin menjadikan semua pihak mempunyai kebebasan, sesuai daya tahan, kekebalan jiwa raga.

Lembaran peta politik Indonesia tak akan lepas dari sejarah pergerakkan menuju Indonesia Merdeka. Salah banyak fakta terjadi adalah bahwasanya ideologi tak ada matinya. Mereka para penganut paham, aliran politik tertentu, bisa bergerak bebas dengan organisasi tanpa bentuk. Menumpang hidup di sebuah partai politik yang berorientasi pada orang, tokoh. Bukan berorientasi pada sistem politik.

Jangan heran jika sampai periode 2014-2019 aroma irama politik Nusantara sudah terkontaminasi skenario investor politik negara paling bersahabat.

 Allah swt tak akan meninggalkan bangsa ini. Di lapisan dasar masyarakat, di ambang bawah rakyat, suasana persatuan dan kesatuan bangsa masih terjadi. Keberadaan Pancasila masih terasa nyata. Walau tanpa rumusan yang bak buku suci. Yang penting praktiknya. [HaèN]

Jumat, 18 Agustus 2017

Ibadah Umrah, Bisnis Dengan Allah Perlu Ilmu



Ibadah Umrah, Bisnis Dengan Allah Perlu Ilmu

Berulangnya kasus penyelenggaraan ibadah umrah, dengan modus tipikal, berulang, mau tak mau harus ada resep jitu untuk menggangulanginya. Jangan sampai terkesan pemerintah melakukan tindak pembiaran. Karena pemerintah merasa hanya wajib memfasilitasi pelaksaan ibadah haji, yang setahun sekali dan skala nasional.

Jangan heran, jika masih terjadi perulangan kasus oleh pelaku yang berbeda. Seolah tidak ada pembelajaran atau bahkan sanksi hukum yang jelas, tegas dan menimbulkan efek jera.

Jujur saja, memang salah satu watak anak bangsa yaitu ingin harga, tarif, biaya, ongkos atas barang dan/atau jasa yang murah, di bawah harga eceran tertinggi, harga standar, harga rata-rata daerah. Inilah titik lemah yang dimanfaatkan pebisnis ibadah umrah.

Pihak penyelenggara ibadah umrah, dimulai yang profesional sampai yang amatiran, abal-abal atau yang memanfaatkan peluang, kesempatan demi keuntungan finansial. Berbagai menu disajikan, dipromosikan secara atraktif.

Tak salah jika pihak penyelenggara ibadah umrah adalah bisnis yang tak merugi. Tepatnya harus ada keuntungan. Untuk menghindari pengulangan tindak kesalahan dan dosa yang sama, perlu payung hukum yang jelas dan menjadi “pengetahuan” semua pihak. [HaèN]