Perang Urat Sarat di Masa Damai
Kehidupan tata
tentrem karta raharja, guyub rukun yang ada di masyarakat – yang didaulat
sebagai cikal bakal, bahan baku Pancasila – jika terjadi konflik horizontal,
friksi, gesekan antar individu, sebagai dinamika kehidupan harian. Penyelesaian
konflik insidentil dengan pasal damai di tempat, jabat tangan, bubar. Tak ada
dendam berkelanjutan. Kondisi aman, nyaman ini malah membuat pihak tertentu
resah, gerah, gelisah.
Apakah karena anak
bangsa, putera asli daerah, orang dan/atau manusia Indonesia dalam memandang
lawan politik, khususnya karena kalah dalam laga kandang pesta demokrasi, bak
memandang musuh negara yang harus dilenyapkan dari muka bumi.
Sistem demokrasi yang
berlaku di Indonesia, adalah bahwa yang baik dan benar karena tidak menguasai suara
mayoritas, menjadi tak bermakna, hambar
dan non-konstitusional. Sebaliknya, olah pikir, tindak tutur, tata laku yang
masuk kategori tidak sesuai norma yang berlaku, karena pelakunya sang penguasa
maka tidak bisa dipidana.
Ahli mengelola konflik,
baik yang dengan bakat alam sampai yang menjadi bagian dari konspirasi atau scenario,
seolah gatal tangan jika tak ada order. Mereka mampu menciptakan “musuh negara”
agar bisa menjadi proyek perang. Minimal ada alasan yuridis formal untuk
menerapkan pasal makar pada gerakan separatis.
Para penyedia jasa perang
urat saraf, ada yang berlindung di balik bentuk media massa atau membuat varian
lainnya. Mereka bukan memihak dua koalisi partai politik yang bersebarangan,
mereka mampu membuat kubu tersendiri. Mereka tidak sekedar ahli memancing di
air keruh, sudah sampai tingkatan membuat keruh suasana.
Para penyedia jasa
perang urat saraf mahir mengelola konflik. Membuat tulisan yang mensinergikan
hujatan dan jilatan. Merekayasa berita sebagai pihak yang dizalimi sekaligus
menabur benih-benih konflik. Piawai membuat “musuh rakyat”, agar rakyat terkecoh
dan terkondisikan untuk siap berjibaku. Sekaligus menyediakan jurus-jurus
sebagai si juru damai, si penjaga perdamaian. [HaèN]