antara
Sumpah Palapa dan pancasilais bintang lima
Sudah
menjadi pasal hukum rimba, siapa yang semakin berkuasa, akan semakin melupakan
asal-muasalnya. Semakin naik tingkat, naik peringkat, angin menerpa semakin
kencang. Semakin ke puncak, semakin jauh dari rakyat.
Sumpah
amukti palapa mahapatih Gadjah Mada, atau ke bekel bhayangkara Gadjah Mada, sepertinya
sudah memprediksi gelagat bahwa pihak yang berkuasalah yang justru akan memecah
belah persatuan. Motivasinya atau latar belakangnya tak sengaja. Seperti tuntutan
jabatan. Namanya di rimba belantara.
Jalmo moro jalmo mati, menjadi pasal pengaman teritorial habitatnya. Apalagi jika
merasa kekuasaan di tangan hanya seumur jagung. Tidak sampai satu periode atau
lima tahun. Atau enam tahun bagi jabatan kepala desa.
Masa
jabatan formal seperti vonis hukuman yang dijatuhkan atau diputuskan hakim. Kendati
jabatan publik, jabatan penyelenggara negara dipatok lima tahun, sesuai antar
waktu pesta demokrasi lima tahunan. Memang pejabat yang dipilih oleh rakyat
sepertinya tenang-tenang saja. Kontrak politik lima tahunan berharap skenarionya
lancar dan aman-aman saja.
Rakyat
yang menjadi asal-muasal, cikal bakal bahan baku sila-sila di Pancasila bak
hanya jadi penonton, atau mirip paribasan gajah perang karo gajah, kancil mati ing tengah.
Rakyat
berkeringat tiap saat agar kendilnya tidak miring. Beda dengan pejabat atau
penguasa yang matian-matian peras keringat, putar otak, olah akal, melakoni apa
saja, asal kursinya jangan njomplang.
Rakyat
ikhlas dengan yang dilakoninya, dijalaninya, tidak mimpi besok bisa makan atau
tidak. Penguasa sibuk dengan alam mimpinya, besok siapa saja – bukan apa saja –
yang akan “dimakan”. [HaèN]