Halaman

Sabtu, 23 Juni 2012

FAKTOR PENYEBAB NEGARA GAGAL


Akar permasalah atau penyebab Indonesia masuk kategori negara gagal :
(1) Kawanan parpolis dari berbagai paltform, kalah menang pemilu/pilpres, masuk koalisi atau oposisi, bertingkah laku seperti anak KURANG AKAL, menghalalkan segala cara, tindakan dan omongannya serba brutal.
(2) Wakil rakyat dari semua fraksi, komisi bertingkah laku bak orang gila KEHILANGAN AKAL. Utamakan kesejahteraan diri, dahulukan kemakmuran keluarga, pentingkan kembali modal. Kinerja politisnya mirip tukang jagal. 
(3) Media massa dan geng jurnalis yang hidup dari bencana politik dengan dalih menaikkan peringkat, gelar acara dialog, diskusi dan debat, tanpa merasa malu bergaya mirip orang pikun TANPA AKAL, memainkan peran sebagai tukang jagal. Membentuk opinis sesuai selera, lebih kejam daripada fitnah.
(4) Penyelenggara dan pelaku ekonomi, mampu pesan pasal sampai jual beli pasal, mereka KELEBIHAN AKAL, mereka selalu menang modal. Tak perlu jadi birokrat, jadi aparat keamanan, jadi hamba hukum.
(5) Rakyat pemilih yang dibutuhkan suaranya saat coblosan dalam sehari, setelah itu, di sisa waktu dalam lima tahun disuruh berjuang sendiri, menjadi korban para pemain akal, minimal ketiban sial [HaeN].

Minggu, 08 April 2012

IBU (2)


IBU*)
(tempat kami berteduh)


Menghadapi rutinas dan tantangan hidup aku terkadang cepat jenuh
Mengatasi beban dan masalah hidup aku merasa kurang teguh
Beratnya peran dan tanggung jawab menjadikan aku mudah mengaduh
Aku bagaikan seonggok daging yang rapuh

Ibuku, ibu rumah tangga, tiap hari mandi peluh
Orang masih lelap, ibuku sudah siaga melakukan gerakan subuh
Menjalankan kewajiban sebagai hamba-Nya dengan patuh
Waktu demi waktu jadwal kesibukan dilakoni tanpa kenal keluh
Mengisi  waktu tiap minggu mulai hari pertama sampai hari ke tujuh
Masak, cuci baju, setrika, sapu lantai .. berat, sampai tangan melepuh
Ibu sakit, kurang enak badan, tetap berbakti untuk keluarga seolah pantang jatuh
Kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, menjaga keluarga tetap utuh
Kesabaran, kesetiaan dan keuletan ibu tak tergoyah walau langit runtuh
Ibu dengan semangat keibuanmu, sampai kapan pun kami tetap butuh

Ibu, bayang-bayangmu tak akan jauh
Tempat kami buang sauh
Tempat kami berlabuh
Tempat kami berteduh [HaeN]


21 mei 2011
______________________________________________________________________ *) penulis puisi oleh : Herwin Nur

IBU (1)


IBU*)
(katakan dengan senyum)
Melihat aku bahagia, ibu cuma tersenyum
Melihat aku menderita, ibu sangat merasakan penderitaanku

DALAM KANDUNGAN
Sejak dalam kandungan aku sudah terbiasa berontak
Dengan kaki aku belajar menyepak
Dengan tangan aku belajar menyentak
Tanpa kenal waktu aku selalu bergolak
Kiri kanan berputar pindah gerak
Tak pernah berhenti walau sejenak                              

Berbulan-bulan perut ibu aku acak
Memacu jantung ibu cepat berdetak
Setiap saat ibu selalu terhenyak
Tidur pun tak pernah nyenyak
Mau duduk, mau berdiri, mau rebahan serba tak enak
Jalan pun sulit tegak
Kandungan ibu semakin bengkak
Kandungan ibu semakin sesak
Derita ibu semakin pepak
Perjalanan waktu terasa merangkak
Kata dokter waktu persalinan ngacu ilmu falak

Derita ibu sampai puncak
Soal hidup dan mati tanpa jarak
Ketika aku keluar menyibak
Ketika aku lahir menyeruak
Tangis jabang bayi sebagai awal kontrak
Disambut riang dan suka cita bapak
Derita ibu baru selesai satu babak
(ibu hanya tersenyum melihat diriku)

ASUPAN ASI
Hari pertama aku hidup di dunia disambut suara decak
Ada suara bisik kerabat sanak
Ada yang bilang aku mirip ibu, mirip bapak
Aku menjadi pusat perhatian khalayak

Aku bisa mulai melihat tanpa membelalak
Aku habiskan waktu 24 jam sehari dengan tergolek nyenyak
Haus lapar tinggal tangis sampai serak
Tempat tidur jadi tempat berak
Kasur basah ompol penuh bercak
Aku tak mampu buang ingus dan dahak

Ketika aku mulai bisa merangkak
Kian kemari main tabrak
Kucoba berdiri seolah tonggak
Langkahku disambut sorak
Jatuh bangun langkahku disambut gelak

Asupan ASI sampai aku bisa jalan tegak
Kuhisap puting ibu sampai bengkak
Apa yang aku minta ibu tak bisa mengelak
Semua keinginanku ibu tak mampu menolak
Walau aku bukannya berlagak
Rasa lelah letih ibu tak pernah tampak
Pengorbanan ibu tanpa diminta demi anak
(ibu hanya tersenyum melihat diriku)

KETIKA AKU SAKIT
Ketika aku sakit ibu penuh cemas nan syak
Aku didekap terasa hati ibu bergejolak
Aku diusap sambil berdoa menahan isak
Begitu aku sembuh ingin melonjak
Bergelayut menggapai pundak
(ibu hanya tersenyum melihat diriku)

MASA PUBER
Lepas dari dunia kanak-kanak
Memasuki masa puber yang andalkan otak
Terkadang aku merasa tak punya watak
Melawan nasihat ibu dengan bentak
Tak jarang perhatian dan kasih sayang ibu aku labrak
Agar tak direcokin ibu, aku pasang wajah galak
Seolah ada tradisi yang ingin aku dobrak
Seolah akulah yang punya hak
Ketika kutahu, betapa susah jadi ibu bijak
Ketika kusadar, memang susah jadi ibu berhati lembut dan bertutur lunak
Ketika kufaham, di hati ibu cercaanku bagai onak
Ketika kumaklumi, apa gunanya sombong congkak
Aku merasa hidup bagai telur di ujung tombak
(ibu hanya tersenyum melihat diriku)


MASA DEWASA
Kutuntut dan kuraih ilmu setapak demi setapak
Untuk bekal melakoni kehidupan masa kelak
Aku tak ingin jadi orang bodoh yang terjebak
Dalam arus duniawi yang tak berpihak
Aku tak ingin jadi orang bodoh yang terinjak
Dalam kejamnya dunia yang semakin sulit ditebak
Aku tak ingin jadi orang bodoh yang terdepak
Dalam sulitnya hidup di dunia yang makin luluh lantak
Aku tak ingin jadi orang bodoh yang terbudak
Dalam persaingan hidup di dunia bagai gelas retak
Aku tak ingin jadi orang bodoh yang tergeletak
Dalam kemelut dunia yang penuh gertak

Aku juga tak mau hidup bagai tukang pajak
Aku tetap ingin hidup di tempat bumi kupijak
(ibu hanya tersenyum melihat diriku)

MENJADI ORANGTUA
Peralihan generasi, usiaku ikut menanjak
Banyak sudah aku tinggalkan jejak
Terbayang betapa ternyata ibuku mewariskan umpak
Berguna dalam menggeluti nasib membina keluarga kompak
Bermanfaat agar aku bisa berbuat banyak

Derita juang sebagai ibu baru terasa tampak
Sejarah berulang, ada sesuatu yang sulit dielak
Perjalanan hidup seolah sudah tercetak
Aku tinggal melakoni babak demi babak
Berurutan anakku lahir seolah kuajak

Ibuku menikmati usia senja tetap menjaga kontak
Curahan kasih sayangnya tak pernah sepi bagai ombak
Kasih sayang ibuku jika aku tampung akan mbludak

Aku tak mau air susu dibalas tuak
Aku tak ingin jabat tangan dibalas tepuk tapak
Habis manis sepah dibuang jelas aku tak hendak
Walau tak berharap tanpa kata telak
Aku tahu ibu ingin agar anak cucunya datang berarak
(ibu hanya tersenyum melihat diriku)
16 mei 2011
______________________________________________________________________ *) penulis puisi oleh : Herwin Nur

Minggu, 01 April 2012

KARENA AYAHKU, WALAU SEPERTIGA IBUKU (aku anak guru)


SEKILAS RENUNGAN
Pepatah pun bertutur : “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah”. Bukannya tanpa latar belakang yang mendasari pepatah tersebut atau makna filosofis dan filsafatinya. Sejarah secara tak sadar membuktikan betapa daya juang seorang ibu yang bisa melebihi kaum pria, tahan banting dan tahan menderita. Peran ibu diberbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tak kurang contohnya. Ibu sebagai orang tua tunggal (single parent) lebih tangguh daripada seorang bapak. Gema diskriminasi gender mengalami pasang surut, tergantung kepedulian politisi. Jangan mengambil iman sholat dari kaum hawa, sudah ditegaskan dalam Islam. Di dalam keluarga, demi masa depan anak, dibutuhkan proses dengan pendekatan akal sampai iman.

Dalam kehidupan yang universal, sesuai hadist rasul, sabda nabi Muhammad saw yaitu agar rasa hormat, rasa sayang, rasa bakti yang dicurahkan ke ibu, yang wajib anak lakukan,  sekecil 3 (tiga) kali dibanding ke ayah. Saat pelaksanaan tidak perlu memakai urutan, ke bapak dulu atau utamakan ibu. Bakti sebagai anak ke kedua orang tua dilakukan sampai akhir hayat.

Kewajiban anak terhadap orang tua :
§  Taat setiap saat kepada orang tua
§  Berbakti kepada orang tua
§  Memberi nafkah kedua orang tua
§  Nasihat anak kepada orang tua
§  Panjatkan doa untuk orang tua
§  Merawat orang tua

ANTARA MITOS DAN FAKTA
Apakah anda masuk kategori anak mama atau anak papa, dalam kondisi tertentu bisa masuk stigma, bisa menjadi anak manja atau menjelma menjadi anak tomboy. Bagaimana nasib anak yang diasuh oramg tua tunggal, apakah beda dengan yang diasuh oleh ayah bundanya. Aku bukan sebagai anak mama atau anak papa. “Anak saya yang ragil”, jelas ayah saat memperkenalkan aku. Mungkin dalam usia SR, aku sudah kelihatan bakat tinggi badan bisa melebihi ayah.

Perkembangan anak secara fisik dan emosional dipengaruhi oleh faktor gen atau keturunan, dalam perkembangannya ditentukan oleh proses, terutama faktor ajar yang terjadi di keluarga. Asupan, gizi dan nutrisi bisa memacu pertumbuhan fisik, sehingga bisa melebihi ukuran tinggi maupun berat badan orang tuanya. Perpaduan kualitas pasutri, menghasilkan sinerjitas serta faktor-X yang menyebabkan anak lebih dinamis, enerjik dan proaktif.

Kemajuan zaman bisa mempengaruhi pola hubungan anak dengan orang tua. Dampaknya nampak dalam kehidupan sehari-hari. Ketika BUDI PEKERTI sudah tidak diajarkan di tingkat SD, atau orang tua dengan berbagai kesibukan, sehingga semua aspek didik dan ajar diserahkan ke guru, terjadi pergeseran nilai hubungan anak dengan orang tua. Anak dewasa secara alami, tumbuh dalam lingkungan yang serba bebas, dengan dalih demokratis. Di lain pihak, terkadang orang tua bisa menganggap anak sebagai mitra, teman, bisa sebagai sparing partnet dalam dialog, diskusi dan debat.


KELUARGA PANCAWARGA
Punya anak satu, anak dua sampai beranak banyak, beban orang tua tetap sama. Banyak anak, banyak rezeki sampai ikhwal bahwa tiap anak bawa rezekinya masing-masing menjadikan orang tua tetap optimis. “Anak polah bapak kepradah”, menyiratkan tingkah laku anak jika bertingkah, bapak kena akibatnya, baik atau buruk.

Program Nasional antara lain cita-cita mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (KKBS), serta mampu menjadi contoh, model, panutan, idola, dan sumber informasi dan inspirasi bagi teman sebayanya, bisa kita wujudkan. Realita keluarga miskin keluarga banyak anak.

Aku dilahirkan dalam Keluarga Pancawarga, bungsu dari tiga bersaudara. Sebenarnya empat bersaudara, yang ragil meninggal saat lahir (tahun 1957).  Sebagai keluarga ‘Sendang kapit pancuran’ artinya satu putri diapit dua putra, tentunya tak akan lepas dari adat Jawa yaitu acara ruwatan. Ruwatan tidak pernah dilaksanakan secara khusus, hanya sebagai acuan orang tua dalam mengelola kami. Aku lahir sebagai bayi prematur, di musim bediding (Jawa, dingin karena hujan), jadi sekarang tahan di hawa dingin. Betapa ibu jadi inkubator, dengan dekapannya. “Sebesar irus”, kata bidan yang menangani kelahiran ibu.

PENDIDIKAN ANAK
Kami dilahirkan dari dua suku yang “berbeda” jauh. Ayah dari Padang Panjang, Sumatera Barat, sedangkan ibu dari Yogyakarta, bertemu di HIK Yogyakarta zaman pendudukan Jepang. Pancer lanang tidak ada di suku Minang, anak keturunan adalah anak perempuan. Walhasil, kami tidak punya kampung halaman. Kalau ditanya suku, atau harus mengisi formulir, kami jawab/tulis : Suku Indonesia !!! Paling tidak kami bergolongan darah Barat (Sumbar) dan Istimewa (DIY).

Justru kawin antar suku, menyebabkan wawasan kami mempunyai nilai lebih. Mulai urusan perut, bisa mengenal dan merasakan masakan Padang sejak dini, yang sekarang Warung Padang sebagai ciri perkotaan. Ibu mau tak mau harus praktek resep Padang, yang serba cabai/lombok. Susahnya, kalau lebaran jadi jauh kunjungi kakek nenek, malah belum pernah! Sehingga kami tidak mengenal tradisi mudik. Eyang putri di Yogya, sekota.

Persamaan atau benang merah orang tua kami yaitu karena sama-sama dari sekolah guru (HIK Yogya) dan mahir berbahasa Belanda. Jika ayah ibu bicara pakai bahasa Belanda berarti ada hal penting yang didiskusikan atau sedang bertengkar.

Sejak anak sulung sudah kelihatan karakternya, ibu diminta bapak berhenti jadi guru, pengabdian dialihkan dan difokuskan buat keluarga. Ayah mengamblil alih urusan cari nafkah, lanjut jadi guru sampai akhir hayat.

Salah satu beban hidup kami bertiga adalah, bahwa punya orang tua guru jangan sampai pendidikan anak tertinggal. Kalau bisa melebihi orang tua! Alhamdulillah, sampai sekarang kami betiga minimal mengantongi ijazah Strata 1 (S1), dari UGM Yogyakarta.

Ayah lebih banyak memberi contoh dalam hal pendidikan. Ayah tidak pernah tidur siang, sibuk dengan membaca, menulis atau mengetik. Bangun selalu pagi sebelum azan subuh, sebelum kami bangun. Kertas bekas dijadikan sarana menulis. Karena keadaan dan tuntutan ekonomi, ayah ngobyek jadi guru di sana-sini, dilakoni dengan naik sepeda onthel. Zaman aku SR/SD ayah punya sepeda motor Solex. Tanpa rantai, motor menempel langsung menggerakkan ban depan.

Ibu sebagai ibu rumah tangga sibuk dengan acara rutinitas urusan dapur, bersih-bersih rumah sampai menata uang dengan bijak agar bisa sampai akhir bulan. Tidur paling akhir. Sebelum tidur kami dicek ayah. Terkadang sambil mengusir nyamuk di kelambu, lampu kamar tidur dimatikan.

Secara tak sadar, kedua orang tua kami melaksanakan pendidian anak secara Islami. Pernik-perniknya ada yang tidak sama, misal dalam berwudhu. Kata ayah jangan dikeringkan sebagai bukti di akhirat, ujar ibu jangan sampai membasahi sajadah. Mengormati suadara, kerabat orang tua ternyata ada perbedaan mendasar.

Secara substansial pendidikan anak yang dipraktekkan orang tua kami, bisa aku formulasikan sebagai berikut :
o  Cinta orang tua kepada anak setiap hari, tanpa diucapkan.
o  Anak sebagai fitnah (cobaan) karena hanya sebagai amanah.
o  Mendoakan anak dengan keberkahan, mengenalkan kekuatan doa.
o  Kebaikan orang tua bermanfaat untuk anaknya, karena nantinya anak akan jadi orang tua.
o  Berlaku adil di antara anak-anak, sesuai kebutuhan dan kondisi anak.
o  Nasehat orang tua untuk anaknya, dilakukan dalam rangka pengendalian.
o  Memerintahkan anak untuk selalu berbuat baik, untuk menjadi hamba Allah yang bermanfaat.
o  Pengajaran anak
§  Mengajarkan anak berdikari/mandiri, hanya bersandar kepada-Nya untuk semua urusan.
§  Mengajarkan anak beribadat, mendirikan sholat di awal waktu, serta dilakoni dengan ikhlas.


FAKTOR AJAR
Ayah sering cerita kalau anak lelaki harus kerja di bidang teknik. Ayah tidak pernah mengeluh sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia yang sepi penggemar dan tidak bergengsi, sekaligus tidak pernah merasa bangga bahwasanya bahasa Indonesia adalah bahasa Nasional sesuai Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928.

Andil ayah dalam membentuk kami seolah tanpa kata, tanpa fatwa. Tidak pernah mengatakan harus begini, harus begitu. Seolah kami diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan masa depan. Ayah hanya melaksanakan kewajibannya secara total dan formal. Ibu tidak sekedar merawat, justru melengkapi apa yang kurang. Dengan modal sebagai mantan guru, anak nomer dua dari sepuluh bersaudara, ibu dengan tekun mendampingi kami.

Singkat kata, keinginan ayah bisa aku penuhi. Aku menyandang gelar sarjana teknik arsitektur UGM. Ikut membaca buku ayah (dipilih yang berbahasa Indonesia), bahkan terkadang membantu mengetik tulisan tangan ayah, akhirnya aku bisa menulis. Menulis dengan benar dan baik. Di sela-sela kesibukan sebagai PNS, aku punya nilai jual sebagai penulis. CV atau Daftar Riwayat Hidup didominasi oleh karya tulis yang telah dipublikasikan, sebagai pemenang dalam lomba, dsb.

Dua kali promosi dalam jabatan struktural karena punya nilai jual bisa menulis. Persyaratan adminstrasi berdasarkan pendidikan formal jelas kalah dengan S2/S3. Itulah hidup di birokrasi, terkadang terbelenggu atau terkungkung dengan hukum buatan manusia.


ALIH GENERASI
Ibu termasuk bertangan dingin, biji cabai yang dibuang saja bisa tumbuh. Ampas teh dijadikan pupuk tanaman dalam pot. Dari ketiga anak, agaknya hanya aku yang senang bercocok tanam, gemar berkebun, hobi mengolah tanah.

Sampai sekarang aku terbiasa buat jogangan (bhs Jawa, maksudnya buat lubang tanah diisi sampah organis sampai penuh baru ditimbun) dengan metode gali lubang tutup lubang. Tanah terbuka menjadi RTH (Ruang Terbuka Hijau) sekaligus sumur resapan, tidak ada yang ditutup dengan beton, kecuali tempat parkir. Tanah bertambah untuk menguruk bangun kamar baru, tanaman jadi subur, ada pohon nangka yang buahnya dinanti tetangga.

Anak sulung aku heran, melihat aku sebagai arsitek tidak pernah praktek. Kesannya, atau pernah jumpa arsitek yang merancang bangun, mulai daru rumah tinggal sampai bangunan tinggi, mendesain kompleks perkantoran, bangunan komersial, bandar udara, dsb.

Anak sulung aku berujar, tidak masalah kalau kerja, cari nafkah, uber rezeki Allah dengan memanfaatkan keahlian. Tidak sekedar mengandalkan disiplin ilmu.

WARISAN ORANG TUA
Ayah masih kirim uang liwat wesel, teman kantor heran. Sebetulnya tidak perlu heran, ada teman kuliah dibangunkan rumah tinggal oleh ayahnya. Padahal ybs tidak miskin. Wesel dari  ayah saat itu untuk bayar kost sebulan masih sisa.

Orang tua hanya bisa mewariskan nama baik dan ilmu. Kalau mau rumah bagus, mobil bagus, beli sendiri. Ujar ayah suatu saat, ketika aku balik kandang ke Yogya. Keinginan  ayah aku anggap sebagai wasiat. Alhamdulillah, sudah terlaksana. Aku, isteri dan tiga anak bisa huni rumah pribadi. Tidak perlu beli mobil baru, karena isteri aku dapat mobil dinas. Keahlian menulis sebagai warisan ayah, aku tularkan ke anak. Mau tak mau anak aku harus rajin membaca dan menguasai bahasa asing. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memacu gemar membaca dan menulis. Bahkan aku bisa membantu isteri yang sedang kuliah S3 di IPB Bogor.


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------