Halaman

Kamis, 24 April 2014

Mewakafkan Diri Sendiri

oleh : Herwin Nur

Makna Substansi
Pasal 1 ayat 1, 2, dan 4 UU 41/2004 tentang “WAKAF”  menyatakan :
1.     Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
2.     Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
4.     Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.

Fokus pada kata kunci “harta benda miliknya”, posisi kita sebagai manusia sejatinya adalah “harta benda” yang diciptakan Allah, sebagai hak milik Allah. Diri kita bukan milik kita. Kita tidak bisa menguasai dan mengatur diri sendiri. Kita tidak bisa menetapkan lama waktu singgah di dunia. Kita tidak bisa menduga apa yang akan terjadi besok hari.

Lebih dari itu, segala sesuatu pada hakekatnya milik Allah, maka janganlah kita merasa berat menafkahkan harta dan rezeki di jalan Allah. Ikhwal ini ditegaskan oleh Allah dalam [QS Al Hadiid (57) : 7] : Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya[a]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”

[a] Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.

Allah sebagai pemilik tunggal dan mutlak diri kita, kapanpun kita bisa di”wakaf”kan, ditegaskan oleh Allah dalam [QS Al Baqarah (2) : 156] : (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun[b] " 

[b] Artinya: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali”. Kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun kecil.

Kita bisa memilih untuk menjadi wakif perseorangan, organisasi maupun badan hukum, namun jika mengacu kriteria Harta Benda Wakaf (pasal 15 dan pasal 16, UU 41/2004) kita malah menjadi penonton sebatas niat, rencana unggul, cita-cita atau paling tinggi malah menjadi nazhir.

Ketika kita seolah “tidak memilik apa-apa”, atau kita “bukan siapa-siapa” apa yang akan kita wakafkan. Wakaf bisa yang seolah nampak remeh, sederhana namum dikerjakan secara ikhlas, menerus akan berdampak sistemik. Wakaf tidak harus menunggu kaya. Islam menganjurkan umatnya agar kaya, karena zakat, infaq dan sadakah serta wakaf menjadi berarti, menjadi kemaslahatan bagi umat. Kekayaan batin, jiwa dan rohani bisa sebagai penyeimbang motivasi wakaf harta benda.

Ketetapan Allah
Ditegaskan oleh Allah dalam [QS At Thaqaabun (64) : 16] : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu[c]. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

[c] Maksudnya: nafkahkanlah nafkah yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.

Peruntukan Harta Benda Wakaf (pasal 22 UU 41/2004) artinya bagian dari kemanfaatan atau kemaslahatan bagi bangsa dan negara. Dalil manusia untuk berbuat banyak buat bangsa dan negara menimbulkan dogma bahkan stigma.

Terjadi lingkaran setan korelasi antara 3 unsur :  berbuat banyak buat bangsa dan negara – menjadi pemimpin – kaya, kuat dan kuasa. Contoh nyata, bahan kampanye : ada yang merasa prihatin dengan nasib bangsa, minta ijin untuk berbuat baik, (syaratnya) dengan menjadi pemimpin (presiden). Secara politis, untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia harus menjadi wakil rakyat, wajib menjadi pemimpin (kepala daerah dan terlebih menjadi kepala negara) atau masuk jajaran pejabat publik/penyelenggara negara.

Ironis, ketika bencana alam menyapa Nusantara, kepedulian partai politik muncul karena ada liputan langsung media masa, khususnya stasiun TV swasta. Relawan yang berjibaku dengan alam, peduli pada korban bencana alam, tanggap terhadap korban pesawat jatuh di gunung/huran perawan, peka terhadap korban konflik sosial atau SARA, luput dari ekspose pemberitaan dan bentuk sensasi dunia.

Ajaran Islam yang bercorak universal, integral, dan terjaga, dihadapkan atau bahkan dibenturkan pada suatu tantangan yang coba mengisolasikan ajaran wahyu dalam ruang privat. Sementara urusan negara merupakan persoalan publik yang tidak boleh dicampuradukkan dengan agama, karena negara tidak hanya dimiliki oleh rakyat satu agama, akan tetapi melindungi rakyat yang serba multi.

Kita wajib bersyukur, pemerintah telah memberikan ruang dan waktu untuk menjadi Relawan Sosial (UU 11/2009 tentang “KESEJAHTERAAN SOSIAL”).

Kesimpulan, mau tak mau, kita wajib mewakafkan diri kita karena Allah dan di jalan Allah. Niat dan imbalannya adalah berniaga, berbisnis dan berjual beli dengan Allah [HaeN].


---------------

1 komentar:

  1. Adakah pendapat ulama yg memperbolehkan atau melarang tentang wakaf diri sendiri ?

    BalasHapus