oleh : Herwin
Nur
Makna Substansi
Pasal 1 ayat 1, 2, dan 4 UU
41/2004 tentang “WAKAF” menyatakan :
1.
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
2.
Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
4.
Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk
dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
Fokus pada kata
kunci “harta benda miliknya”, posisi kita
sebagai manusia sejatinya adalah “harta benda” yang diciptakan Allah, sebagai
hak milik Allah. Diri kita bukan milik kita. Kita tidak bisa menguasai dan
mengatur diri sendiri. Kita tidak bisa menetapkan lama waktu singgah di dunia. Kita
tidak bisa menduga apa yang akan terjadi besok hari.
Lebih dari itu,
segala sesuatu pada hakekatnya milik Allah, maka janganlah kita merasa berat
menafkahkan harta dan rezeki di jalan Allah. Ikhwal ini ditegaskan oleh Allah dalam [QS Al Hadiid (57) : 7] : “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya[a].
Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari
hartanya memperoleh pahala yang besar.”
[a] Yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang
bukan secara mutlak. Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia
menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan
Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.
Allah sebagai pemilik tunggal dan mutlak diri kita, kapanpun kita bisa
di”wakaf”kan, ditegaskan oleh Allah dalam [QS Al Baqarah (2) : 156] : “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun[b]
"
[b] Artinya:
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali”.
Kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa (pernyataan kembali kepada
Allah). Disunatkan menyebutnya waktu ditimpa marabahaya baik besar maupun
kecil.
Kita
bisa memilih untuk menjadi wakif perseorangan, organisasi maupun badan hukum,
namun jika mengacu kriteria Harta Benda Wakaf (pasal 15 dan pasal 16, UU
41/2004) kita malah menjadi penonton sebatas niat, rencana unggul, cita-cita atau
paling tinggi malah menjadi nazhir.
Ketika
kita seolah “tidak memilik apa-apa”, atau kita “bukan siapa-siapa” apa yang
akan kita wakafkan. Wakaf bisa yang seolah nampak remeh, sederhana namum
dikerjakan secara ikhlas, menerus akan berdampak sistemik. Wakaf tidak harus
menunggu kaya. Islam menganjurkan umatnya agar kaya, karena zakat, infaq dan
sadakah serta wakaf menjadi berarti, menjadi kemaslahatan bagi umat. Kekayaan batin,
jiwa dan rohani bisa sebagai penyeimbang motivasi wakaf harta benda.
Ketetapan Allah
Ditegaskan oleh Allah dalam [QS At Thaqaabun (64) : 16] : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah
serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu[c].
Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung.”
[c] Maksudnya:
nafkahkanlah nafkah yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.
Peruntukan
Harta Benda Wakaf (pasal 22 UU 41/2004) artinya bagian dari kemanfaatan atau kemaslahatan
bagi bangsa dan negara. Dalil manusia untuk berbuat banyak buat bangsa dan
negara menimbulkan dogma bahkan stigma.
Terjadi
lingkaran setan korelasi antara 3 unsur :
berbuat banyak buat bangsa dan negara – menjadi pemimpin – kaya, kuat
dan kuasa. Contoh nyata, bahan kampanye : ada yang merasa prihatin dengan nasib
bangsa, minta ijin untuk berbuat baik, (syaratnya) dengan menjadi pemimpin
(presiden). Secara politis, untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama
manusia harus menjadi wakil rakyat, wajib menjadi pemimpin (kepala daerah dan terlebih
menjadi kepala negara) atau masuk jajaran pejabat publik/penyelenggara negara.
Ironis,
ketika bencana alam menyapa Nusantara, kepedulian partai politik muncul karena
ada liputan langsung media masa, khususnya stasiun TV swasta. Relawan yang
berjibaku dengan alam, peduli pada korban bencana alam, tanggap terhadap korban
pesawat jatuh di gunung/huran perawan, peka terhadap korban konflik sosial atau
SARA, luput dari ekspose pemberitaan dan bentuk sensasi dunia.
Ajaran Islam
yang bercorak universal, integral, dan terjaga, dihadapkan atau bahkan
dibenturkan pada suatu tantangan yang coba mengisolasikan ajaran wahyu dalam
ruang privat. Sementara urusan negara merupakan persoalan publik yang tidak
boleh dicampuradukkan dengan agama, karena negara tidak hanya dimiliki oleh
rakyat satu agama, akan tetapi melindungi rakyat yang serba multi.
Kita wajib
bersyukur, pemerintah telah memberikan ruang dan waktu untuk menjadi Relawan
Sosial (UU 11/2009 tentang “KESEJAHTERAAN SOSIAL”).
Kesimpulan,
mau tak mau, kita wajib mewakafkan diri kita karena Allah dan di jalan Allah.
Niat dan imbalannya adalah berniaga, berbisnis dan berjual beli dengan Allah [HaeN].
---------------
Adakah pendapat ulama yg memperbolehkan atau melarang tentang wakaf diri sendiri ?
BalasHapus