Kaping Pitu, Ojo
Gawé Kapitunan
Sebutan anak pertama dengan pengertian anak sulung. Anak
terakhir, entah anak atau kelahiran ke berapa, dibilang sebagai anak bungsu,
ragil. Semua sebutan ini mengapa seperti mengabaikan bilangan urutan. Asumsi sederhana
tentu ada makna. Minimal ada kandungan makna yang tersurat maupun tersirat.
Memang tak mudah menerapkan urutan angka yang mulai 1,
2 dst untuk kejadian kehidupan. Lepas ada angka sial, yang diyakini oleh bangsa
maju sekalipun. Angka hoki atau pembawa keberuntungan, menjadi incaran. Ilmu otak-atik
angka, kombinasi angka bisa mendongkrak wibawa.
Bangsa Indonesia hanya mempunyai 10 angka, mulai dari
0 (nol) lanjut angka ganjil genap berurutan sampai angka atau bilangan 9 (sembilan).
Memang angka universal. Karena beda bahasa, beda penyebutannya..
Kembali ke apakah urutan ada makna terselubung. Karakter
atau kandungan jiwa yang spesifik. Yang hanya ada di angka tersebut.
Ucapan dengan mengungkap : yang pertama, yang utama,
sepertinya satu pengertian. Satu klas. Tetapi yang nomer terakhir, bukan
berarti akhir segala-galanya. Bukan penghabisan, terakhir kalinya. Penutup.
Angka diterapkan pada tanggalan, kalender. Soal bulan
Februari kebagian tugas terkadang hanya sampai 28 hari. Asumsi bahwasanya orang
menikah, berumah tangga, fokus utama adalah mempunyai keturunan. Keberhasilan rencana
menikah diwujudkan dengan lahirnya anak pertama. Wajar, anak pertama mendapatkan
porsi besar. Curahan total orang tuanya. Bukan berarti membedakan, hanya
proses.
Lahirnya bangsa dan negara Indonesia, jangan
dianalogkan dengan kelahiran anak pertama. Presiden dan wakil pertama RI,
sekaligus sang Proklamator. Aroma irama politik yang menentukan nasib
perjalanan bangsa.
Pasca Orde Lama yang seolah otomatis masuk ke babakan
Orde Baru, menjadikan lahirnya putera-puteri terbaik, sudah kehabisan tempat. Pasca
reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998. Mendadak, anak bangsa
pribumi, kaum bumiputera, putera-puteri asli daerah ingat akan sosok pemimpin.
Masih ingat dengan istilah “noto negoro”. Ilmu manusia
politik, cenderung percaya dengan nama yang berakhiran no, to, ne,
go dan terakhir ro. Artinya, seolah berlaku - dan memang itu
kejadian perkaranyanya - untuk nama presiden pertama sampai keenam saja. Ho no co ro ko . . . yang
mendunia.
Akankah nama presiden ketujuh,
dimingkinkan lain dari itu. Sejarah bukan untuk sebagai alat tipu bangsa oleh
penguasa. Utamanya sejarah sebagai pembelajaran.
Kalau begitu, periode presiden
ketujuh RI, bangsa ini memang baru belajar. Sambil belajar, sambil praktik. Akhirnya
yang masuk dan dipraktikkan adalah ilmu yang tidak-tidak. Kendati huruf hidup
dan huruf mati di nama presiden ketujuh, berimbang 5 : 5. Jangan heran kalau 80%
huruf hidupnya adalah huruf “o”. ybs suka bilang “oooo”.
Kita tidak tahu ada apa di balik
angka 7 (tujuh) atau pitu dalam bahasa Sansekerta. Pernah saya tayangkan
makna kata Jawa yang berwalan dengan “pitu”. Bahkan ada 7 contoh nyata.
Ada beberapa paribasan Jawa berbasis
“pituna” :
Palang mangan tandur = Diwènèhi kepercayan nanging malah gawé kapitunan.
Welas tanpa alis =
Karepe welas nanging malah gawé kapitunan.
Kamus
bahasa Jawa menjelaskan :
Jinjang api goyang = ora
nggugu kandhaning liyan nanging malah gawé kapitunan.
keteleng : kapitunan
amarga sembrana.
milang tatu : ngetung
lan nggetuni kapitunané.
Kamus bahasa Sansekerta menjelaskan :
pituna : rugi, buntung
Ternyata, ada kaitan, ikatan
moral antara angka, bilangan dengan makna yang tersirat. Bukan berarti presiden
ketujuh atau kaping pitu RI mempunyai peluang besar gawé kapitunané bangsa lan negara. Sejarah
yang akan membuktikan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar