Halaman

Senin, 19 Maret 2018

Kaping Pitu, Ojo Gawé Kapitunan


Kaping Pitu, Ojo Gawé Kapitunan

Sebutan anak pertama dengan pengertian anak sulung. Anak terakhir, entah anak atau kelahiran ke berapa, dibilang sebagai anak bungsu, ragil. Semua sebutan ini mengapa seperti mengabaikan bilangan urutan. Asumsi sederhana tentu ada makna. Minimal ada kandungan makna yang tersurat maupun tersirat.

Memang tak mudah menerapkan urutan angka yang mulai 1, 2 dst untuk kejadian kehidupan. Lepas ada angka sial, yang diyakini oleh bangsa maju sekalipun. Angka hoki atau pembawa keberuntungan, menjadi incaran. Ilmu otak-atik angka, kombinasi angka bisa mendongkrak wibawa.

Bangsa Indonesia hanya mempunyai 10 angka, mulai dari 0 (nol) lanjut angka ganjil genap berurutan sampai angka atau bilangan 9 (sembilan). Memang angka universal. Karena beda bahasa, beda penyebutannya..

Kembali ke apakah urutan ada makna terselubung. Karakter atau kandungan jiwa yang spesifik. Yang hanya ada di angka tersebut.

Ucapan dengan mengungkap : yang pertama, yang utama, sepertinya satu pengertian. Satu klas. Tetapi yang nomer terakhir, bukan berarti akhir segala-galanya. Bukan penghabisan, terakhir kalinya. Penutup.

Angka diterapkan pada tanggalan, kalender. Soal bulan Februari kebagian tugas terkadang hanya sampai 28 hari. Asumsi bahwasanya orang menikah, berumah tangga, fokus utama adalah mempunyai keturunan. Keberhasilan rencana menikah diwujudkan dengan lahirnya anak pertama. Wajar, anak pertama mendapatkan porsi besar. Curahan total orang tuanya. Bukan berarti membedakan, hanya proses.

Lahirnya bangsa dan negara Indonesia, jangan dianalogkan dengan kelahiran anak pertama. Presiden dan wakil pertama RI, sekaligus sang Proklamator. Aroma irama politik yang menentukan nasib perjalanan bangsa.

Pasca Orde Lama yang seolah otomatis masuk ke babakan Orde Baru, menjadikan lahirnya putera-puteri terbaik, sudah kehabisan tempat. Pasca reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998. Mendadak, anak bangsa pribumi, kaum bumiputera, putera-puteri asli daerah ingat akan sosok pemimpin.

Masih ingat dengan istilah “noto negoro”. Ilmu manusia politik, cenderung percaya dengan nama yang berakhiran no, to, ne, go dan terakhir ro. Artinya, seolah berlaku - dan memang itu kejadian perkaranyanya - untuk nama presiden pertama sampai keenam saja. Ho no co ro ko . . . yang mendunia.  

Akankah nama presiden ketujuh, dimingkinkan lain dari itu. Sejarah bukan untuk sebagai alat tipu bangsa oleh penguasa. Utamanya sejarah sebagai pembelajaran.

Kalau begitu, periode presiden ketujuh RI, bangsa ini memang baru belajar. Sambil belajar, sambil praktik. Akhirnya yang masuk dan dipraktikkan adalah ilmu yang tidak-tidak. Kendati huruf hidup dan huruf mati di nama presiden ketujuh, berimbang 5 : 5. Jangan heran kalau 80% huruf hidupnya adalah huruf “o”. ybs suka bilang “oooo”.

Kita tidak tahu ada apa di balik angka 7 (tujuh) atau pitu dalam bahasa Sansekerta. Pernah saya tayangkan makna kata Jawa yang berwalan dengan “pitu”. Bahkan ada 7 contoh nyata.

Ada beberapa paribasan Jawa berbasis “pituna” :
Palang mangan tandur = Diwènèhi kepercayan nanging malah gawé kapitunan.
Welas tanpa alis = Karepe welas nanging malah gawé kapitunan.

Kamus bahasa Jawa menjelaskan :
Jinjang api goyang = ora nggugu kandhaning liyan nanging malah gawé kapitunan.
keteleng : kapitunan amarga sembrana.
milang tatu : ngetung lan nggetuni kapitunané.

Kamus bahasa Sansekerta  menjelaskan :
pituna : rugi, buntung

Ternyata, ada kaitan, ikatan moral antara angka, bilangan dengan makna yang tersirat. Bukan berarti presiden ketujuh atau kaping pitu RI mempunyai peluang besar gawé kapitunané bangsa lan negara. Sejarah yang akan membuktikan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar