perekayasa survei, skenario, dan setting politik tanpa
batas
Kata sang ahli di bidang garapnya,
bahwa film sangat ditentukan oleh penulisan skenarionya. Ukurannya sederhana,
yaitu mampu mengaduk-aduk emosi, enerji penonton. Bahkan siapa yang jadi
bintang, seolah bisa diabaikan. Seperti kompetisi sepak bola tarkam (antar
kampong) yang melahirkan pemain berbakat.
Namanya pemodal, ingin filmya laris
dengan biaya yang miring. Utamakan alur cerita atau modal nama besar pemainnya.
Film yang sepertinya biasa-biasa
saja, tak spektakuler, bisa diluar dugaan pengamat. Sebaliknya, film dengan
biaya ekonomi tinggi, balikan modalnya tak seimbang. Nyaris merugi.
Jadi, hasil tayang film yang puluhan
atau ratusan menit, merupakan hasil kerja ribuan menit. Bahkan dalam hitungan
tahun bisa jutaan menit.
Yang jelas, jangan
dihubung-hubungkan dengan drama politik Nusantara. Katakan novel politik.
Rakyat yang menggunakan hak pilihnya di bilik suara, hanya butuh waktu beberapa
menit, namun menentukan nasibnya lima tahun ke depan.
Pemain politik yang akan tampil di
panggung politik lima tahun, sudah jelas apa, siapa dan bagaimannya. Pemain
lama tak akan kapok, karena ada batas waktu tampil. Pemain baru akan
matian-matian adu akting.
Piala Citra atau yang lain sebagai
bukti sebuah film memang laku, layak dan laik tayang. Pemain politik memang
wajib berbejal citra diri, pesona diri agar bisa main politik dengan berbagai
adegan, selama lima tahun. Bukan sebagai
figuran.
Acara di panggung hiburan media TV
yang berbasis settingan terdapat juga di panggung politik. Secara awam, melihat
tampilan fisik, gaya bicara, olah ucap, cuap, ujar dan tindak mental maupun
bahasa tubuh para kader terbaik partai - sampai kepala negara - sudah bisa ditebak kadar kualitasnya.
Keprihatinan rakyat, apakah masih
ada pihak yang menggunakan skenario asing. Karena merasa lebih yakin dan sreg,
begiutlah. Namanya politik. Sepak bola saja, demi wibawa negara, bisa
menggunakan pemain hasil naturalisasi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar