Memantapkan Peran Dan Interaksi
PNS Dengan Pemerintah
Ikatan
Islam
Diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah
SAW bersabda :
”Ikatan-ikatan
Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh
lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan Islam yang pertama kali lepas adalah
pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR Ahmad)
PNS sebagai mata rantai dan rangkaian gerbong Pemerintah (Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 [UU 32/2004 tentang “PEMERINTAHAN DAERAH”])
mempunyai tanggung jawab moral 24 jam, dan sebagai makhluk relijius, menyandang
legitimasi moral yang akan menghadapi berbagai tantangan dan kenyataan hidup di
luar jangkauan nalar bahkan bisa bersifat dilematis.
Kesatuan dan persatuan PNS selama ini tak bisa
lepas dari sistem pemerintahan. Di zaman Orde Baru, PNS mehgalami proses
kuningisasi secara sistematis, masif dan terstruktur. Di era Reformasi dengan
adanya penempatan pembantu presiden dari berbagai warna parpol bisa memberikan
dinamika tersendiri. Syariat
memerintahkan agar segenap manusia menjaga persatuan dan kesatuan di bawah
pemerintahnya
Pemerintah dalam sistem demokrasi, berkewajiban
dalam mengatur urusan dunia atau urusan umum bagi seluruh anak bangsa,
sekaligus menjalankan urusan akhirat atau urusan khusus bagi penduduknya. Dampak untuk menjaga keseimbangan tersebut,
membuat rakyatnya rela dan mencintainya dengan menjaga agar selalu sesuai
dengan syariat. Rasulullah SAW bersabda :
“Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah mereka yang kalian mencintainya dan mereka pun mencintai
kalian. Kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Adapun
sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan mereka pun
membenci kalian, kalian mencela mereka dan mereka pun mencela kalian.” (HR. Muslim)
Kedudukan pemerintah dalam Islam sangat agung.
Bahkan, termasuk anugerah yang Allah SWT tetapkan untuk manusia. Allah SWT, sebagaimana sebagian terjemahan [QS Al Baqarah (2) : 251] :
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan)
sebahagian umat manusia dengan sebagian yang
lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan)
atas semesta alam”.
Jika
Allah SWT tidak menetapkan
adanya pemerintahan di muka bumi, sudah pasti manusia akan saling
mengalahkan. Kehidupan
dan berbagai urusan mereka pun akan menjadi kacau dan
keadaannya menjadi tak menentu.
Asas Taat
Penduduk yang bisa tampil di layar
kaca, dengan asas kebebasan untuk
menyatakan pendapat, tanpa malu dan bangga mengkritisi kebijakan dan kinerja pemerintah, bahkan menuntut
SBY-Boediono turun. Jumlahnya bisa banyak, dari kalangan kampus yang melek
politik sampai kelompok kampung yang buta politik.
Para tukang unjuk raga dan unjuk rasa di jalanan yang menuntut SBY-Boediono
turun di masa jabatannya, atau turun di tengah jalan, secara tak langsung
menunjukkan dirinya masuk kategori golongan tidak berakal. Minimal buta hukum.
Diperparah jika aksi berjalan dengan anarkis.
Ironis, umat Islam, secara individu atau penganut asas kebebasan untuk
berorganisasi, mengenakan atribut kebesaran kelompok tampil habis-habisan
ikut arus inkonstitusional dengan tema
anti pemerintah.
PNS bukannya buta hukum, bukan pula tidak peka, peduli dan tanggap serta
prihatin atas keadaan dan kondisi negara. Bukannya pangku tangan saja melihat
perkembangan zaman yang memposisikan dan memojokkan Indonesia tidak mempunyai
posisi tawar, bahkan di tingkat ASEAN.
PNS wajib sedikit menengok ke belakang, ada apa dan bagaimana menyikapi
pemerintah, sebagaimana terjemahan [QS An Nisaa’ (4) : 59] :
“Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Kita pakai pengertian ulil amri adalah umara (pimpinan pemerintahan) bersama ulama (pemimpin agama). Pemimpin agama bisa bersifat formal, melalui pemilihan,
mempunyai periode waktu jabatan, atau ulama sebagai individu karena
ketokohannya menjadi panutan.
Realita di era Reformasi, pemimpin
formal organisasi keagamaan (misal Muhammadiyah), memilih kutub berseberangan
dengan pemerintah tetapi sekaligus mengharapkan jabatan presiden. Partai
politik Islam dalam mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi umat, masih
sebatas di visi dan misi di atas kertas.
Kewajiban PNS Sebagai
Rakyat
Hubungan antar umat Islam, bentuk kerja sama
yang saling menguntungkan atau asas memberi dan menerima, bahkan untuk urusan
akhirat sudah diatur dalam Al-Qur’an dan dirinci, dimantapkan lebih lanjut
melalui Hadist. Keterikatan hati antar umat Islam, akan lebih bermakna dengan
ukhuwah. Sebagai contoh, kita simak sebagian terjemahan [QS Al Maa’idah (2) : 5] :
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
PNS sebagai rakyat terikat secara moral dengan
batas geografis, untuk menghasilkan sinergitas, harus memasuki kuadaran
kuat-optimis, seperti terjemahan [QS Ali ‘Imran (3) : 139] :
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),
jika kamu orang-orang yang beriman”.
Kontribusi PNS dalam berbangsa dan bernegara,
tidak sekedar mengandalkan jumlah. Sebagai dinamisator dan katalisator dalam
pembangunan nasional, harus mempunyai posisi yang menentukan. Dari sahabat Abu Hurairah,
bersabda Rasulullah
saw :"Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah,
dan masing-masing memiliki kebaikan”. (HR Muslim
Asy
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).
Tinggal
bagaimana PNS mengelola potensi diri.
Kebebasan Sipil
Ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan
utama PNS sebagai makhluk sosial adalah antara kiprah dan kinerja di kantor
dengan kontribusi dan peran serta dalam bermasyarakat di tempat tinggalnya. Efek
berantai ataupun efek domino Reformasi adalah Kebebasan Sipil yang kebablasan.
Salah satu unsur untuk menjadi
negara demokratis adalah adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan untuk
berorganisasi, atau yang dikenal sebagai Kebebasan Sipil (Civil Lliberties).
Tingkat Kebebasan Sipil bersama Hak-hak Politik (Politic Rights) dan Lembaga-lembaga
Demokrasi (Institutions of Democracy) bisa diukur dalam Indeks Demokrasi
Indonesia (IDI).
Pada kontek IDI, kebebasan sipil
dibatasi pada kebebasan individu dan kelompok yang berkaitan erat dengan
kekuasaan Negara dan atau kelompok masyarakat tertentu, dengan Variabel
kebebasan sipil sebagai berikut :1) Kebebasan Berkumpul dan Berserikat, 2)
Kebebasan berpendapat, 3) Kebebasan berkeyakinan, 4) Kebebasan dari
diskriminasi. Term “Kebebasan berkeyakinan” dan “Kebebasan dari diskriminasi”
tidak termasuk sub unsur negara demokratis.
IDI 2010 mengalami penurunan
akibat meningkatnya eskalasi kekerasan dan perlakuan tak adil terhadap kelompok
tertentu, demikian hasil laporan dari Badan Program Pembangunan PBB (UNDP)
bekerja sama dengan sejumlah lembaga pemerintah. IDI 2010 (dirilis Desember
2012) sebesar 63,17%, menurun dari 67,30% pada 2009.
Penurunan pada indikator
Kebebasan Sipil 82,53% pada 2010 (menurun, 86,97% di 2009). Indikator
Hak-Hak Politik 47,87% pada 2010 (menurun, 54,60% di 2009). Peningkatan
pada Lembaga Demokrasi 63,11% di 2010 (naik, 62,72% di 2009). Penghitungan IDI
membutuhkan waktu yang panjang, sehingga yang bisa diukur adalah data pada 2009
dan 2010. Untuk 2011 masih diproses, sedang 2012 masih berjalan.
Penurunan IDI bukan berarti
Indonesia menjadi atau mengarah ke rezim yang antidemokratik. Penurunan ini,
yang disumbang terutama oleh angka-angka Kebebasan SIpil dan Hak-hak Politik,
terutama disebabkan oleh tuntutan masyarakat yang lebih tinggi terhadap
kinerja pemerintah. [HaeN] 14april2013