Halaman

Rabu, 28 Februari 2018

empat kendala pelatnas pilkada serentak 2018



empat kendala pelatnas pilkada serentak 2018

Memang enak menulis dari hasil koalisi pilkada serentak 2018 dengan Asian Games Games XVIII 2018. Hasilnya, terserah pembaca.

Pertama, kepemilikan asuransi bagi atlet. Pihak yang terkait dan terikat langsung memang wajib dilindungi nilai jual, daya juang maupun semangat berkorbanya. Jangan sampai nantinya, sudah kalah atau hanya sebagai peraih medali perunggu, perak nasibnya menjadi terlunta-lunta. Dikejar kawanan penagih utang.

Kedua, keberadaan ahli gizi dan suplemen. Sebagai duta partai politik yang telah melalui tahap seleksi, babak penyisihan yang menguras enegi tentu buntu asupan. Bisa-bisa tidak hanya 4 sehat 5 sempurna. Jangan sampai sebelum laga malah tumbang karena gara-gara gizi rendah.

Ketiga, sosialisasi zat doping. Maju ikut pilkada memang dibutuhkan nyali di atas rata-rata. Berani malu masih dirasa kurang. Pasang muka badak, muka tembok banyak kawannya berperihal sama. Biaya politik bisa menjadi perangsang sekaligus beban ganda. Kalah menang modal harus kembali.

Keempat, kebutuhan peralatan yang kurang. Bukannya belum-belum paslon sudah membutuhkan fasilitas. Simulasi sukses pilkada memang harus dipunyai. Bagimana menjaring rakyat yang mempunyai hak pilih agar mau menggunakan hak pilihnya dengan benar, baik. Perlakuan khusus hanya sebatas administrasi.

Rakyat hanya mampu berdoa sesuai agamanya masing-masing. [HaèN]

kecelakaan beruntun vs dua periode berturut-turut



kecelakaan beruntun vs dua periode berturut-turut

Bersyukurlah kita dengan adanya perubahan pertama UUD NRI 1945, khususnya pada :
Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Celakanya, manusia politik di periode 2014-2019 atau éra mégatéga merasa pasal 7 multitafsir, multimakna. Tergantung siapa penfasirnya dan untuk kepentingan apa.

Namanya bahasa hukum atau yuridis formal, memang dibuat ab-abu, agar ada pekerjaan buat pihak. Bandingkan dengan UU 6/2014 tenta Desa, simak di :

Pasal 39
(1).       Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
(2).       Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Bukan berarti aka nada gerakan nasional merubah UUD NRI 1945 yang kelima kalinya. Bukan. Kita bukan bangsa keledai.

Jadi, kalau ada pihak berperhatian dengan wapres 2014-2019, JK, yang akan dicalonkan kembali menjadi cawapres 2019. Ini baru dagelan politik. [HaèN]

kekuatan lawan vs kemampuan diri



kekuatan lawan vs kemampuan diri
Beranda » Berita » Opini
Rabu, 23/04/2008 04:11
Judul : AJI MUMPUNG vs MUMPUNG AJI

Fenomena golput dalam pilkada Jabar-1 dan Sumut-1 atau di provinsi, kabupaten dan atau kota lainnya, membuktikan bahwa pemilih pemula sudah mempunyai pilihan. Paling tidak acuannya banyak, walau lebih banyak lagi yang tak terlacak oleh media massa. Simpati atau antipati tergantung pada siapa jagonya dan siapa yang menjagokan.

Banyak yang merasa menang di atas kertas. Karena merasa menang pengalaman, menang jam terbang, menang lahir duluan, menang tua, menang pengaruh, menang kuasa, menang massa, menang jumlah, menang dukungan dana, menang penguasaan medan, menang taktik, menang strategi, menang berani malu, menang suara, menang tanpa tanding. Bukan kekuatan lawan yang diperhitungkan, justru kemampuan diri yang harus ditakar. Bukan memamerkan deretan jasa atau rangkaian ceritera sukses yang dipajang, justru kenalilah kelemahanmu.

Orang memulai segala sesuatu dari kekurangan dan kelemahan. Manfaatkan waktu sehatmu, sebelum datang sakit. Manfaatkan waktu mudamu, sebelum tua. Manfaatkan waktu luangmu, sebelum sempit. Manfaatkan kekayaanmu, sebelum miskin. Manfaatkan sisa nafasmu, sebelum kehabisan nafas. Manfaatkan masa lampaumu, sebelum datang masa depan. Manfaatkan masa kinimu, sebelum tertelan zaman. Manfaatkan kemenanganmu, seolah-olah kamu hidup selamanya (hn).

Selasa, 27 Februari 2018

main hakim sendiri vs main polisi sendiri



main hakim sendiri vs main polisi sendiri

Karena diungkap, disingkap kapan saja atau kapan-kapan dalam waktu yang tak ditentukan sampai kapannya, akhirnya menjadi ungkapan.

Ungkapan “main hakim sendiri” yang konon kalau pakai bahasa Paijo adalah eigenrichting. Penyebabnya mungkin dikarenakan sang hakim tidak hadir di setiap persoalan, kejadian perkara, kasus di masyarakat. Katakanlah, rakyat menjadi korban dari tindakan oknum yang melawan hukum.

Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) wajar kalau dilakukan oleh pihak yang buta hukum. Pelakunya bisa perseorangan atau secara massal. Biasanya dilakukan secara spontanitas, tanpa komando tetapi bisa dipicu oleh sang provokator. Memungkinkan bisa dan dapat dilakukan oleh oknum pejabat sipil, atau oknum aparat penegak hukum.

Yang dominan adalah bentuk hukuman fisik di tempat bagi pelaku yang tertangkap tangan saat melakukan aksi kejahatan. Di luar OTT KPK tentunya.

Kejadian praktik eigenrechting sebagai bentuk lain dari dalil yang menang banyak yang menentukan. Mirip atau banyak kesamaan dengan praktik demokrasi.

Betul kalau bahwasanya dalil “main hakim sendiri” secara substansial, material, kandungan dan bobotnya tak jauh dari dalil “main polisi sendiri”. Akhirnya keduanya memang jadi rancu. Tapi tak salah kalau semuanya mempunyai basis yang sama, yaitu menegakkan hukum rimba. Yang kuatlah yang kuasa.

Kasihan kalau aparat penegak hukum – baik oknum maupun institusional – dijadikan bahan baku, bahan dasar ungkapan atau sebutan lainnya yang nyata-nyata bertolak belakang dengan wewenangnya. Minimal dengan tugas pokok dan fungsi utamanya.

Kalau kasus berlapis “Cicak vs Buaya”, malah membuat hukum sendiri menjadi bingung. Hukum makan hukum. Pasal dianulir dengan pasal.

Memangnya aparat penegak hukum lebih loyal dalam hal penegakkan hukum politik. Berkat perubahan ketiga UUD NRI 1945 maka negara Indonesia adalah negara hukum. [HaèN]