Waktu Produktif, Hilang di Jalan atau di Rumah?
Perjalanan Waktu
Firman, peringatan dan ketetapan Allah tentang waktu, diabadikan di Al-Qur’an,
dengan menyebutkan pandanan waktu di ayat pertama di beberapa surat, seperti :
“Demi fajar,” Al Fajr (fajar), “Demi malam apabila menutupi (cahaya
siang),” Al Lail (malam), “Demi bintang ketika terbenam.” An
Najm (bintang), “Demi waktu matahari sepenggalahan naik,” Ad Dhuhaa
(waktu matahari sepenggalan naik), dan “Demi masa”, Al ’Ashr
(masa).
Pada umumya
manusia melihat waktu secara maknawi, belum pada tataran hakekat. Perjalanan
dan pergantian waktu sebagai fungsi berbagai kesempatan. Waktu dikaitkan dengan
pertambahan umur dan sisa perjalanan hidup di dunia. Evaluasi dilakukan atas keberhasilan
mewujudkan keinginan, meraih cita-cita, mendapatkan sasaran, menyelesaikan
target, memperoleh harapan atau sesuatu yang terukur secara duniawi.
Semakin kita melangkah, seolah
semakin jauh dari tujuan dan harapan hidup. Kehidupan dunia semakin dilacak, dicari,
diburu, dikejar, diuber, diudak, malah semakin jauh dan menjauh. Terlebih jika
kita memakai kaca mata dunia yang menakar dan mengukur waktu berdasarkan faham
‘waktu adalah uang’ (time is money).
Waktu Produktif
Kemacetan di
perkotaan telah menyedot tingkat pemborosan sampai 2-5% dari PDB negara-negara
Asia, karena hilangnya waktu produktif dan tingginya biaya transportasi yang
harus ditanggung (ADB, 2013). Kajian Bank Pembangunan Asia ini membuktikan
betapa waktu produktif bisa hilang atau berkurang selama kita berada di perjalanan,
berangkat/pulang kerja. Kita lebih akrab dengan istilah ‘tua di jalan’. Anak
sekolah pun harus berjuang agar masuk sekolah pagi tidak terlambat.
Kalau tidak macet,
berarti bukan kota. Belum sampai di tempat kerja, sudah mandi keringat. Emosi
dipacu waktu, enerji tergerus di jalan. Pulang kerja tepat waktu, berjuang
melawan waktu di jalan, menjadi santapan harian. Karena terbiasa, kita tak
merasa rugi jika ada waktu sholat terliwati. Tingkat keamanan, kepadatan
penumpang di kendaraan umum, menjadikan waktu hanya terbuang percuma. Pasrah
pada kondisi tanpa punya hak tawar. Naik kendaraan pribadi, bisa menjadi budak
roda, menjadi pengkonsumsi BBM yang menjadi beban pemerintah.
Pada awal tahun
2013, jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 121,2 juta orang dengan TPAK
(Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) atau persentase jumlah angkatan kerja yang
bekerja dan mencari kerja dibandingkan dengan penduduk usia kerja yang ada sebesar
69,2% dan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,9%. Jika dilihat dari status
pekerjaan, 35,7 juta bekerja tidak penuh, dengan rincian 22,2 juta bekerja
paruh waktu dan 13,6 juta setengah menganggur.
Usaha Produktif
Hubungan timbal
balik antara waktu produktif dengan bekerja, sangat dinamis, fluktuatif dan
kondisional, terlebih ada batasan formal yaitu ‘bekerja tidak penuh’ dan ‘setengah
menganggur’. Jangan ditafsirkan kalau ibu rumah tangga, yang menghabiskan
waktunya di rumah, tidak mampu produktif. Mimimal jika pekerjaan rumah tangga
diserahkan ke pihak ketiga atau penyedia jasa, yaitu pramuwisma, terjadi
penghematan yang signifikan.
Waktu produktif memang menjadi hak milik manusia usia produktif (15-64).
Tantangan kehidupan, generasi muda atau pemuda (16-30 tahun) lebih menyukai
budaya instan. Bekerja bak seekor burung, berangkat pagi pulang sore menenteng
rupiah. Di rumah, tak peduli dengan urusan rumah tangga. Pulang untuk makan,
tidur, dan bangun untuk berangkat kerja. Kegiatan yang nampak sibuk, melakukan
sosialisasi alias kumpul dengan senasib. Membunuh waktu dengan berbagai cara.
Sementara ini, manusia yang lanjut usia (lansia) dikaitkan dengan angka
harapan hidup, berpotensi
memperkuat kohesi atau modal sosial (social capital) antar kelompok
penduduk maupun lintas generasi. Para penikmat usia pensiun, walau sudah tidak
mempunyai pekerjaan tetap, tetapi tetap bekerja. Walau sudah mempunyai
penghasilan tetap, tetap sibuk menjemput rezeki dari Allah. Kegiatan sosial
sampai kegiatan profesional bisa dikerjakan oleh para lansia. Sebagai usaha
produktif.dalam rentang skala finansial maupun skala amaliah. [HaeN]