daya juang pe-revolusi mental, menderitakan rakyat vs
merugikan negara
Tanpa opini
masyarakat yang mempraktikkan konstitusi “setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” serta diimbangi “hak
menyatakan pendapat wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya”, tak ayal lalu
lintas perkabaran, pemberitaan menjadi hambar. Dibalik kesunyian ini, banyak
penggerak perubahan dan peradaban bangsa malah merasa aman dan nyaman
berkiprah, berkontribusi, berdedikasi siang malam. Bekerja jauh dari kebisingan
popularitas.
Bagi anak bangsa yang minim perubahan dan miskin
peradaban, capai menunggu orang memuji atau bahkan memujanya, tanpa sungkan,
malu hati, risi, serta merta memuji dan memuja dirinya sendiri. Miminal
membanggakan jasa nenek moyangnya. Kejadian perkara ini sering kita saksikan di
media massa, khususnya media penyiaran televisi. Modal pengharu-rasa tampil
pidato atau sisi lain ada modal penghiba-hiba, berorasi dengan garang, betapa
sosok dirinya memprihatinkan nasib bangsa. Janji politisnya, kalau diberi kesempatan
memimpin bangsa secara formal, konstitusional, legal sesuai pasal komersial,
dan sesuai skenario terkonspirasi.
Hasil kompetisi, pihak yang kalah mengakui keunggulan
lawan. Bukan dari pihak kawan sendiri merasa keunggulannya lebih unggul
daripada pihak lawan. Di panggung, industri, syahwat politik, ternyata ada yang
gemar dijilat, disanjung, diangkat-angkat, dibuai dengan puja puji, dielus-elus
sampai melayang di awang-awang. Kalau perlu, dimana dipandang perlu, bisa
melakukan survei berbayar, menggerakan tukang unjuk rasa dan unjuk raga
mendukungnya, menyuruh tukang berita menampilkan atraksi kehebatannya.
Rakyat bersyukur, di periode 2014-2019 masih terdapat
sejumlah anak bangsa yang berjuang mengatasnamakan rakyat. Walhasil, mereka
terjebak dogma atau stigma menikmati hasil perjuangan politiknya diatas
pendertitaan rakyat sekaligus meraup, meraih, menadah untung dibawah kerugian
negara. [HaeN].