Halaman

Kamis, 31 Maret 2016

daya juang pe-revolusi mental, menderitakan rakyat vs merugikan negara

daya juang pe-revolusi mental, menderitakan rakyat vs merugikan negara


Tanpa opini masyarakat yang mempraktikkan konstitusi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” serta diimbangi “hak menyatakan pendapat wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya”, tak ayal lalu lintas perkabaran, pemberitaan menjadi hambar. Dibalik kesunyian ini, banyak penggerak perubahan dan peradaban bangsa malah merasa aman dan nyaman berkiprah, berkontribusi, berdedikasi siang malam. Bekerja jauh dari kebisingan popularitas.

Bagi anak bangsa yang minim perubahan dan miskin peradaban, capai menunggu orang memuji atau bahkan memujanya, tanpa sungkan, malu hati, risi, serta merta memuji dan memuja dirinya sendiri. Miminal membanggakan jasa nenek moyangnya. Kejadian perkara ini sering kita saksikan di media massa, khususnya media penyiaran televisi. Modal pengharu-rasa tampil pidato atau sisi lain ada modal penghiba-hiba, berorasi dengan garang, betapa sosok dirinya memprihatinkan nasib bangsa. Janji politisnya, kalau diberi kesempatan memimpin bangsa secara formal, konstitusional, legal sesuai pasal komersial, dan sesuai skenario terkonspirasi.

Hasil kompetisi, pihak yang kalah mengakui keunggulan lawan. Bukan dari pihak kawan sendiri merasa keunggulannya lebih unggul daripada pihak lawan. Di panggung, industri, syahwat politik, ternyata ada yang gemar dijilat, disanjung, diangkat-angkat, dibuai dengan puja puji, dielus-elus sampai melayang di awang-awang. Kalau perlu, dimana dipandang perlu, bisa melakukan survei berbayar, menggerakan tukang unjuk rasa dan unjuk raga mendukungnya, menyuruh tukang berita menampilkan atraksi kehebatannya.

Rakyat bersyukur, di periode 2014-2019 masih terdapat sejumlah anak bangsa yang berjuang mengatasnamakan rakyat. Walhasil, mereka terjebak dogma atau stigma menikmati hasil perjuangan politiknya diatas pendertitaan rakyat sekaligus meraup, meraih, menadah untung dibawah kerugian negara. [HaeN].

Rabu, 30 Maret 2016

dinamika politik menjajah bangsa sendiri

dinamika politik menjajah bangsa sendiri

Doeloe, pejoeang republik berani mati, mempertahankan NKRI yang baru beberapa tahun merdeka. Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, tanpa komando, rakyat bersatu dengan satu tujuan. Mempertahankan kedaulatan negara dari sisa penjajahan dan rongrongan dalam negeri.

Sekarang, para petarung politik, menjadi dua kutub yang kontradiktif. Kutub pertama, pemain dan pelaku politik yang siap ‘pejah gesang nderek’ ketua umum partai politik. Orang partai wajib patut dan layak tunduk pada kebijakan partai. Total loyal, tanpa harus berfikir, kepada ketua umum partai. Wewenang ketum partai sebagai penentu kader, di internal partai dan terlebih saat menjadi petugas, pesuruh, kurir partai untuk menjadi penyelenggara negara.

Demikian kewenangan ketum partai, terlebih partai juara umum pesta demokrasi dengan pileg dan pilpres-nya. Ketua umum serta merta memposisikan dirinya sebagai presiden senior. Merasa kedudukannya di atas kepala negara yang merupakan pegawai partai yang diasuhnya.

Kutub lainnya, atau kutub kedua, tidak bisa disimpulkan seberapa kewenangan ketua umum partai. Minimal membuktikan jabatan ketum partai sebagai jabatan prestisius, prospektus dan serba menjanjikan. Sebagai syarat umum, syarat administrasi mendaftarkan diri sebagai calon presiden.

Celakanya, dua kutub tadi dalam praktiknya hanya sebagai syarat sebuah demokrasi perwakilan, demokrasi keterwakilan. Rakyat berjibaku mengurus urusan dapur keluarga/rumah tangganya agat tetap mengepul. Pihak lain, kawanan parpolis yang magang sebagai penyelenggara negara liwat kontrak politik lima tahunan, seolah sibuk mengurus urusan dapur negara agar tetap berasap.

Pasca Reformasi 21 Mei 1998, perjuangan kawanan parpolis sampai tingkat lokal, malah menjelma menjadi penjajah bangsa sendiri. Pelaku tipikor yang lahir dari rahim partai. Masih banyak lagi fakta yang luput dari pemberitaan.[HaeN].

Ahok sebut banyak orang salah menilai Megawati. Maunya?

Ahok sebut banyak orang salah menilai Megawati. Maunya?

Merdeka.com - Kamis, 24 Maret 2016 01:46 - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyambut baik diterbitkannya buku kisah hidup Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang ditulis oleh 22 wartawan. Buku itu diberi judul 'Megawati dalam Catatan Wartawan, Menangis dan Tertawa Bersama Rakyat'.

Ahok menilai buku tentang kiprah Megawati di pemerintahan dan dunia politik ini bisa menjadi catatan sejarah dan referensi bagi generasi muda tentang sosok pemimpin yang turut membangun bangsa sampai detik ini.

"Selama orang kalau masih pejabat mereka bisa menulis yang bagus-bagus, jadi kalau sudah turun, pengalaman teman-temannya sudah enggak menjadi wartawan lagi, dia tuliskan apa yang mereka rasakan tentang seorang Megawati, ini bagian dari catatan sejarah buat bangsa ini," kata Ahok di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, Rabu (23/3).

Lebih lanjut, dia menganggap buku ini dapat meluruskan cerita dan anggapan buruk masyarakat Indonesia terhadap sosok Megawati. Opini ini disampaikan Ahok sebab dia mengaku telah mengenal dekat dengan putri proklamator Soekarno.

"Bagaimana orang bisa menilai Bu Megawati, selama ini orang menilai salah terhadap beliau. Saya kebetulan dekat dengan beliau, dan saya kira banyak orang salah, makanya buku ini bisa menjelaskan siapa Ibu Megawati nah ini penting," klaim Ahok.

Dengan adanya buku ini, Ahok mengatakan masyarakat akan semakin mengenal dengan baik Megawati selama hidupnya. Mulai dari perjalanan politiknya saat orde baru, PDIP menang dalam pemilihan umum tahun 1999 sampai menjadi wakil presiden hingga presiden kelima Indonesia.

MAUNYA?
Selama ini rakyat sudah bisa “mikul sing duwur, mendem sing jero’. Kalau bunga mawar, bunga melati, tahu diri, tak pernah membanggakan dirinya sendiri. Tak pernah memuji dan memuja dirinya sendiri.

Rakyat sudah bisa membedakan mana bunga mawar, bunga melati mana bunga-bungaan. Mana yang memang harum dari sono-nya dan mana yang suka diharum-harumkan namanya.

Karya anak bangsa yang bermanfaat, tidak perlu digembar-gemborkan. Kerja ikhlas tidak perlu promosi, apalagi puji diri sendiri.

Rakyat yang tidak mau terjun ke dunia politik, takut kerjanya menjadi tidak ikhlas. Rakyat tetap melakoni segala kewajiannya sebagai hamba Allah. Tidak kenal kalkulasi nama tenar, dikenal, tersohor.


Ajaran Islam : “Jika tangan kanan memberi, jangan sampai tangan kiri tahu” [HaeN].

Selasa, 29 Maret 2016

PSSI atau parpol, tidak siap menang dan biasa kalah

PSSI atau parpol, tidak siap menang dan biasa kalah

Kemelut bangsa akibat perilaku kawanan parpolis peserta pesta demokrasi 2014, yang bersemboyan “tidak siap menang dan biasa kalah”, melebihi kabut kasus PSSI. Terlalu banyak pemain ingin tanding, kelebihan instruksi, aba-aba dan komando lapangan, sarat dengan pesan sponsor dan pemodal, porsi latihan atau pengkaderan hanya seremonial.

PSSI semangkin amburadul, berkat memadukan loyalitas politik dengan kalkulasi bisnis. Hampir semua resep dan ramuan diujicobakan. Dampak terukurnya nyata diluar akal politik, yaitu pemain menjadi kapiran. Hengkang ke tim mancanegara. Menjadi pelatih sepak bola jelang kompetisi 17 agustusan atau kompetisi tarkam (antar kampung).

Indonesia dengan revolusi mental-nya, surplus parpol diimbangi defisit, paceklik negarawan, namun banyak oknum anak bangsa yang hidup dari partai. Negara menjelma jadi perusahaan parpol. Kedaulatan NKRI, tangan kiri bebas bergerak karena masih Indonesia, tangan kanan bergerak sesuai skenario non-lokal, tepatnya non-nasional.

Kaki kanan kiri pemain PSSI bebas bergerak kian kemari. Saling menjegal, lumrah dan tdiak melangar pasal. Asal wasit pura-pura tidak melihat. Atau lupa meniup peluit pelanggaran, ada kasus yang lebih besar. Kalau di tubuh parpol? Kaki memang tugasnya menendang, dipadukan dan disinergikan dengan olah kerajinan tangan, mulut dan anggota tubuh yang tersisa.

Adakah pelaku dan pemain politik yang nasibnya mirip pesepakbola?

Parpol boleh iri ke PSSI karena punya hak transfer pemain asing. Tidak hanya TKA yang boleh adu nasib di Nusantara. Artis impor, asal kulit putih, menjadi idola penggemarnya dari berbagi segmen masyarakat. Terutama yang tidak mahir main bola dan atau kurang piawai main politik. Parpol tidak bisa mentransfer kader parpol ke mancanegara seperti PSSI,  biasa-biasa saja. Tidak iri.

Walau korupsi ala PSSI masih jauh dibawah kualitas korupsinya oknum kawanan parpolis, PSSI tidak protes, sduah tahu diri. Di tubuh parpol ada korupsi terselubung, yang pasal apapun, manapun tidak bisa membuktikan. Ironisnya, pelakunya pun tidak bisa membedakan mana hasil resmi korupsi dengan korupsi yang menjadi incaran KPK. Bukankah korupsi merupakan produk unggulan parpol. Menjadi syarat tak tertulis oknum parpol yang namanya disodorkan masuk jajaran penyelenggara negara. Wallahu a’lam [HaeN]

Pilgub DKI Jakarta 2017, titik balik moral dan mental politik parpol berlabel Islam

Pilgub DKI Jakarta 2017, titik balik moral dan mental politik parpol berlabel Islam

Mengingat, gaduh, riuh, kisruh, rusuh akibat perilaku persekutuan vs perseteruan antar partai politik, pasca laga pesta demokrasi 2014, yang seolah malah semakin membuktikan semboyan “rakyat siap memilih dan siap menerima siapa yang kalah/menang” sekaligus ada yang pamer jargon “parpol tidak siap menang”. Pemerintah Jokowi-JK terpaksa melakukan bongkar pasang muatan dan penumpang agar tidak mogok atau turun di tengah jalan sebelum jatuh tempo. Jokowi menggembalakan domba yang berbaur dengan serigala. Jokowi waspada 24 jam, mewaspadai kursinya menjadi incaran semua pihak yang berkepentingan, khususnya siaga menghadapi serudukan banteng babon dari tetangga sebelah.

Sukses pilkada serentak 9 Desember 2015, membuat pengamat politik bingung memprediksi peta politik, khususnya di tataran dan tatanan daerah. Rakyat sudah memasuki fase alergi parpol, walau belum menjurus ke antipati parpol. Cuma masalah waktu, kata ahli survei berbayar atau survei tanpa survei.

Perbedaan ideologi antar parpol, mungkin hanya beda dalam susunan kata di AD dan ART-nya. Praktik ideologi antar parpol tidak ada perbedaan yang mencolok. Bukti sederhana dan mudah dicerna hati rakyat adalah ketika oknum kader/anggota parpol berurusan dengan KPK. Diperkuat dengan perilaku menyimpang terkait pasal pidana/perdata.

Semua parpol mengandalkan senjata revolusi mental untuk memberdayakan rakyat sekaligus memperdayakan rakyat. Padahal parpol hidup mengandalkan dari keberadaan dan eksistensi rakyat.

Bagaimana dengan kinerja dan prospektus parpol berlabel Islam? PPP sedang berproses adu kuat secara internal, sedang menjalani nasib metamorfosis, mencari bentuk tanpa bentuk.

Menghadapi pilgub DKI Jakarta 2017, hanya satu kata : parpol berlabel Islam, bersatulah! Entak melalui teman sekampung bertarung di pligub, atau ada jawara lain yang layak tanding. Bukan mengandalkan kader partai yang disodorkan ketua umumnya. Atau tergantung restu dukun politik. Parpol berlabel Islam harus kompromi dan fokus pada satu jago. Tapi jangan coba-coba main pasang dan asal taruh. [HaeN].

Ironis, ratio kapasitas lapas sesuai jumlah penduduk

Ironis, ratio kapasitas lapas sesuai jumlah penduduk

Beberapa kejadian di lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah tahanan (rutan) atau sebutan lainnya, yang bisa menjadi multifungsi, multimanfaat tergantung siapa warga binaan didalamnya, menandakan praktik hukum ditentukan siapa yang berperkara.Tahanan tipikor, kasus narkoba, terpidana teroris, tapol (tahanan politik) menjadi tamu primadona di lapas.

Lapas menjadi sekolah peningkatan keahlian nara pidana kriminal klas teri, kambuhan, sebagai syarat umum. Yang tak kalah umumnya adalah bisa-bisa bisa menjadi sumber penghasilan tambahan para oknum sipir atau petugas lapas.

Gaduh, rusuh, kisruh di lapas akibat kelebihan kapasitas, menjadi agenda rutin, tidak mengusik kementerian yang bertanggung jawab. Karena tidak akan mempengaruhi kondite jabatan sebagai menteri. Bahkan lapas menjadi sarang bandar narkoba dengan semua eksesnya sudah diantisipasi di atas kertas. Didiamkan dari jangkauan telingan publik, agar tak menjelma menjadi opini publik. Sejalan dengan berjalanannya periode pemerintahan. Terlebih bisa dikalahkan dengan berita perkara lain yang menghebohkan dan mendahsyatkan perilaku pelakunya.

Ironis, jika akhirnya Pemerintah menetapkan kapasitas lapas yang tersebar di seluruh Indonesia, akumulasi kapasitas lapasnya sesuai ratio atau perbandingan ideal dengan jumlah total penduduk. Jangan-jangan penetapan standar klas lapas mengacu penetapan klas atau klasifikasi rumkit (rumah sakit). Sehingga ketersediaan tempat tidur, ruang tahanan, sesuai dengan ratio jumlah penduduk setempat.


Pemerintah bekerja sama dengan pelaku usaha, pemodal atau pihak manapun mendirikan lapas khusus, mendirikan lapas klas melati sampai lapas berbintang. Rencana tata ruang juga sudah mengantisipasi pemekaran lapas/rutan. Kalau terjadi, Indonesia memang negara hukum, masyarakat sadar hukum, bagaimana dengan hamba hukum?. [HaeN] 

Senin, 28 Maret 2016

Wong Jawa kok dikadali

Wong Jawa kok dikadali

Agar mempunyai persamaan persepsi, satu bahasa, khususnya untuk menghindarkan diri dari sia-sia buang kata,  kita simak lema : stereotip 1 a berbentuk tetap; berbentuk klise: pernyataan yg --; 2 n konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yg subjektif dan tidak tepat – yang tersurat di Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Kita mendadak lupa sejarah, betapa dakwah Islam dan agama Islam yang dibawakan para wali, yang dikenal dengan Wali Songo atau Wali Sembilan, gemilang di pulau Jawa, khususnya di kalangan wong Jawa, karena pendekatan budaya.

Dakwah kultural untuk menghindari konflik frontal dengan penganut agama bumi yang sedang dalam masa kemampanan. Budaya penjajah, gaya hidup ala orang barat, sudah menjadi gaya hidup masyarakat saat itu. Bangsawan dalam lingkungan keraton dan rakyat jelata yang tersebar bebas, tak bisa lepas dari kontaminasi dan dampak negatif budaya barat, yang notabene tak sesuai dengan norma orang timur.

Wong Jawa nyaris terbuai dengan asas kebebasan yang dibawa penjajah, yang semakin menyuburkan penyakit masyarakat berjudul mo-limo atau 5M. Takut salah, apa itu berjudul mo-limo atau 5M, sengaja tidak dipaparkan. Ekses jangka panjang mo-limo atau 5M yang mengilhami, menginspirasi perilaku LGBT, bukan wewenang penulis untuk membeberkannya.

Perjalanan watak wong Jawa yang masih mengandalkan daya juang ruang batinnya, mampu mempraktikan syari’at, thariqat dan hakikat Islam secara total, bunder kepleng, ireng tunteng. Wong Jawa yang bahkan merantau sebagai transmigran, sampai ke negeri orang, tidak serta merta berbaur total dengan lingkungan barunya. Wong Jawa yang tanpa sayap mampu melanglang buana, tetap eksis ke-Jawa-annya.

Ruang batin wong Jawa mampu memindai, menengarai siapa saja yang bermaksud tertentu dengan dirinya. Bukan sekedar “weruh sakdurunge winarah” atau bisa juga dapat memakai siasat “ngeli nanging ora keli”.  Daya rasa wong Jawa yang memakai ramuan asah, asih, asuh, menyebabkan mampu berada di mana saja, bergaul dengan siapa saja.

Wong Jawa melakoni hidup dengan posisi walau sebagai “abdi”, tetap dijalankan tanpa banyak tanya.  Menerima kenyataan hidup sebagai tantangan yang harus dihadapi secara total. Ambisi wong Jawa sudah diwakili semboyan “mangan ora mangan, sing penting kumpul”.

Jika saat ini, 2014-2019, ada wong Jawa mendapat amanah sebagai “abdi negara” atau bahasa politiknya adalah kepala negara.

Jika ada partai politik yang jargonnya partainya wong cilik, namun atau tepatnya dibawah kendali, komando, ketiak komunitas wong licik, serta mengganggap kepala negara sebagai suruhan parpol, pekerja parpol, pegawai parpol, kurir parpol, dan seabrek jargon – yang terjadi justru sebaliknya, parpol menjadi kendaraan politik sang kepala negara.

Kita masih merasakan sisa nafas dan bau keringat Orde Baru, namun mengapa kita begitu cepat melupakan fakta bahwa Suharto bisa awet menjadi penguasa tunggal selama lebih dari tiga dasar warsa atau 6 kali pemilu, berkat sukses menjadikan Golkar sebagai kendaraan politik. Tidak perlu mendirikan parpol utawa menjadi ketua umum parpol. [HaeN]

Minggu, 27 Maret 2016

”Mbiyen milih presiden, margo wonge mitayani. Wingi milih presiden ben ndang rampung . . . “

Mbiyen milih presiden, margo wonge mitayani. Wingi milih presiden ben ndang rampung . . . “

Siapa bilang wong cilik, tidak bisa membaca situasi. Tidak bisa menjadi pengamat, walau sekedar dengan akal lugunya. Kelihatannya buta politik, tetapi ternyata punya daya analisis yang tidak sesederhana orangnya. Cetusan isi hatinya yang tidak terkontaminasi berita miring produk andalan media penyiaran televisi.

Saat itu pasca pilpres 2014, siang hari saya jalan kaki perkuat stamina. Liwat dekat kerumunan PSK (pedagang sayur keliling) bercaping, istirahat di teduh pohon. Terdengar celotehan :”Mbiyen milih presiden, margo wonge mitayani. Wingi milih presiden ben ndang rampung . . . “. Sayang, hanya itu yang sempat saya dengar.

Sepanjang jalan pulang, bahkan sampai sekarang ternyata ada beberapa kejadian sebagai pertanda sesuai judul. Perombakan kabinet yang notabene adalah pembantu presiden, sebagai fakta pertama. Perombakan kabinet juga tidak menyelesaikan masalah bangsa. Bukan karena yang disasar sesuai opini masyarakat, tak terwujud. Jokowi masih mempertimbangkan praktik politik transaksional.

Entah mana yang muncul terlebih dahulu, kasus oknum sekjen nasdem dipanggil KPK atau kasus “papa minta saham”. Saya memang buka pengamat politik, sehingga tidak bisa menghafal tanggal kejadian perkara. Seperti sajian sejarah. Kita juga tidak tahu pasti, apakah nasdem dalam praktik ideologinya adalah pro-rakyat banget atau sekedar pro-rakyat saja.

Mengandalkan opini masyarakat, oknum ketua DPR RI hanya lengser dari kedudukan/jabatan ketua, bukan lengser dari tempat terhormat sebagai wakil rakyat. Untung tidak ada atau belum ada ‘kode etik penyelenggara negara’. Bahkan ybs dengan rekam jejaknya malah digadang bisa masuk bursa calon ketua Partai Golkar. Inilah hebatnya perilaku dan pelaku politik Nusantara.

Lain cerita dan beda nasib dengan oknum sekjen nasdem. Bukan korban salah sasaran dari gebrakan revolusi mental, tetapi korban dari senjata makan tuan sang bos ahli orasi mental penghiba. Sang bos mengeluarkan senjata pamungkasnya yaitu restorasi politik. Sang bos prihatin atas nasib bangsa dan ingin mengubahnya jika, jikalau, andai, andaikata, misal nanti kalau sudah besar bisa jadi presiden. Opo tumon.

Kita tidak tahu kapan rampung-nya babakan di depan mata.[HaeN]

Sabtu, 26 Maret 2016

revolusi mental versi mobkas

revolusi mental versi mobkas

TANGAN PERTAMA. Mau tak mau, pengendusan, perenungan, penerawangan Joko Widodo (Jokowi), dengan modal ilmu kehutanannya, bisa memprakirakan mental perilaku pelaku kawanan parpolis di periode 2014-2019. Resep dan ramuan revolusi mental menjadi bahan jualan utama Jokowi. Jangan heran, mengapa terkekehnya Jokowi, saat jadi gebernur DKI Jakarta dan terlebih saat menjabat presiden RI, seperti bukan meremehkan manusia lain. Jokowi terheran sendiri, ilmu coba-cobanya ternyata terbukti.

BODI LURUS. Skenario Jokowi untuk menjalankan revolusi mental di tangan pembantunya, dengan modal bak menadah durian runtuh, atau bak berjuang tanpa keringat, semakin membuktikan langkah caturnya. Bahasa Jawa-nya memakai cara nylondoh. Pihak yang terbuai kursi kekuasaan, semakin berkacak pinggang. Jokowi tinggal pijat tombol, revolusi mental langsung tersalur gratis. Perjalanan revolusi mental selalu di jalan lurus, di jalan yang benar. Tanpa ada yang berani menyalip.

CAT MULUS. Namanya saja perjuangan tanpa keringat. Mengandalkan jasa kakek moyangnya, tinggal tangan tengadah. Revolusi mental menjadi acara kenegaraan, seremonial. Paparan, tayangan berbagai modul revolusi mental bagi penyelenggara negara, masuk telinga kiri, keluar melalui telinnga kiri. Atau tanpa proses pengendapan, langsung keluar. Utamakan tampilan luar, biar disangka pro-rakyat yang compang-camping. Semakin dielus, mentalnya semakin menujukkan akal bulus. Ngranyak, nglunjak, sindir wong Jawa.

SUARA MESIN HALUS. Buatan manusia, apa saja bisa direkayasa, dimanipulir. Tepuk tangan, teriak yel-yel penggembira lebih berisik dibanding suara isi hati penyelengara negara dari unsur kawanan parpolis pro-pemerintah dan sisanya. Jangan dikira KP3 adem-ayem, justru sedang terkontaminasi perang batin. Asas di éra mégatéga yang sesak, padat, masif dengan berbagai elemen mégakasus menjadikan mereka serbatéga, multitéga.

KAKI EMPUK. Agar kekuasaan stabil, tak heran kursi dibuat anti goyang. Jaminan sang emak menjadikannya tidur nyenyak. Revolusi mental memang tak jauh-jauh blusukan, kunjungan kerja, inspeksi mendadak, cukup jalan di tempat. Sayang kaki, hemat bicara, sekali bicara sesuai isi perutnya. Obyek ajaran atau penerima indoktrinasi revolusi mental ikut-ikutan goyang kaki sambil kepala mengangguk-angguk. Yang penting aman tanpa goresan, bisa sampai finish, sampai batas waktu kontrak politik.

PAJAK TELAT. Sampai hati mewujudkan amanat penderitaan rakyat, dengan mewakili praktik adil, makmur dan sejahtera di dirinya sendiri. Inilah hakikat demokrasi terwakili. Peduli rakyat hanya saat hari-H pemilu (pileg dan pilpres) dan pilkada. Demokrasi hanya berlaku 5 menit selama lima tahun. Rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri. Di jalanan, antar elemen masyarakat yang beda kepentingan saling adu lempar batu, baku hantam, bakar-bakaran, dianggap sebagai dinamika demokrasi. [HaeN]

Jumat, 25 Maret 2016

revolusi mental mempertebal gincu dan bedak politik

revolusi mental mempertebal gincu dan bedak politik

Manusia politik Nusantara mendadak lupa diri, ganti ingatan, mengalami disorientasi total, bahwasanya resep revolusi mental ramuan Jokowi hanya berlaku untuk kawanan parpolis pendukungnya. Digeneralisir menjadi obat kuat kalangan legislatif, mulai dari tingkat kabupaten/kota sampai pusat. Termasuk oknum birokrasi yang merasa aman dan nyaman berbusana kebesaran parpol.

Tim revolusi mental mengadakan studi banding ke negara tetangga, Malaysia. Survei harga ecerean terbatas gabah/beras versi di tangan tengkulak. Nama “tengku’ di Malaysia termasuk gelar bangsawan, menurut tim. Tim mengira, harga beras di pasar tradisional ditentukan oleh kaum bangsawan yang notabene orang pemerintah, mengarah pada petugas partai.

Sebelum rumusan, ramuan, kode etik revolusi mental berlaku efektif, dan tidak berlaku mundur, tahu-tahu malah mempercepat proses timbangnya kawanan oknum pelaku politik 2014-2019. Terbukti, dimulai dari hat-trick partai nasdem (tidak etis dibeberkan lagi).

Pengedar utama revolusi mental mengantongi satu kelebihan, yaitu sudah kaya dulu dari dan semenjak sono-nya, berkat berjibaku di parpol keluarga, baru siap menjadi menteri. Tidak takut kena ombak dan dampak perombakan. Kalau ter-rombak, dipastikan si perombak malah kena kutukan partai.

Sopir angkutan umum yang tidak berbasis aplikasi, yang jauh dari fungsi digital (opo kuwi mbah?), turun ke jalan alias mogok, unjuk rasa, unjuk raga. Mereka lupa semboyan “sesama sopir dilarang ber-rebut calon penumpang”. Aksi mereka ternyata berbanding terbalik dengan kepuasaan dan kepercayaan rakyat terhadap kinerja parpol.[HaeN]

Kamis, 24 Maret 2016

Indonesia terbuai nujum dukun politik kambuhan

Indonesia terbuai nujum dukun politik kambuhan

Konon, praktik demokrasi di Indonesia sangat dinamis, luwes, genit, sesuai permintaan pasar. Tergantung konsepsi tak tertulis di atas kertas, siapa yang melaksanakannya, dan bagaimana kondisi terkini di lapangan. Suka-suka siapa yang sedang berkuasa. Demokrasi antar kabupaten/kota pun seolah tidak ada benang merahnya. Kalau ada, bagaimana politik kekuasaan dipelihara dengan seksama dalam tempo selama mungkin.

Konon, begitu era Reformasi bergulir tanpa kendali dari puncaknya t.m.t 21 Mei 1998, tanpa komando lahirlah demokrasi perwakilan. Perjalanan waktu dan usia Reformasi yang ditata sesuai tahapan menu dan selera politik Nusantara, menjadikan politik sebagai berhala yang menentukan nasib bangsa dan negara. Asas keterwakilan, entah siapa mewakili siapa, mulai urusan dapur agar tetap ngepul sampai urusan negara agar dapur negara (partai politik) tetap berasap.

Konon, penyakit politik yaitu merasa bisa jadi pemimpin telah merasuki jiwa raga para petarung politik, tidak pandang jenis dan ukuran kelamin. Nafsu yang mendominasi otak, logika, akal politiknya, tepatnya syahwat politiknya, adalah bagaimana bisa menang dalam setiap lomba konstitusional, liwat ajang pesta demokrasi. Minimal di ajang pilkada bisa tampil, syukur kalau jadi pemenang. Biaya politik menyandera keikhlasan untuk padamu negeri kami berbakti, menjadi bagimu partai jiwa raga kami.

Konon, kenapa presiden RI kedua bisa awet dan tetap eksis liwat 7 kali pemilu, dikarenakan lihai menggunakan parpol sebagai kendaraan politik. Pak Harto dikenal pandai memanfaatkan orang-orang pandai. Kalau tidak bisa dirangkul, akan didengkul dengan halus. Pihak yang bersebarangan akan dibuat mati kutu, mati kapiran, mati kaliren. Pihak yang anti kemapanan, jalur masa depannya sudah diblokade secara sistematis. Pihak yang kritis bisa berakhir tragis, bisa dibreidel nuraninya.


Konon, di periode 2014-2019, Jokowi tanpa JK, jauh tahu sudah bisa mengendus dengan gaya dan daya wong Jawa, yaitu ada parpol yang bisa diperalat hidup-hidup. Mengacu kejadian politik semasa era SBY, 2004-2009 ditambah 2009-2014, Jokowi sudah berani mengambil langkah jitu. Proses sejak menjabat walikota Surakarta nan Solo, menjadikan Jokowi meluncurkan dendang revolusi mental. Terbukti, siapa pemegang kendali revolusi mental, tepatnya sebagai pembantu presiden, bagaikan memberi mainan kepada anak kecil. Agar sang anak diam, duduk manis menunggu nasi matang. Biar sang anak tidak berulah, merengek minta jabatan yang lebih tinggi, merajuk minta kursi yang lebih empuk. Supaya emak sang anak menjadi jinak jinak-jinak kucing garong yang suka mengeong-ngeong minta perhatian. Wedi rai wani bokong [HaeN].

Rabu, 23 Maret 2016

perlu pemahaman politik bahwa Jakarta adalah ibukota negara

perlu pemahaman politik bahwa Jakarta adalah ibukota negara

Ternyata, gubernur DKI Jakarta yang belum jatuh tempo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang jelas tidak mau turun di tengah jalan, bahkan minat maju di pilgub 2017, secara konstitusional sah-sah saja.  Ahok ingin bertarung melalui jalur perseorangan atau dibilang independen, tidak menyalahi konstitusi yang berlaku. Dampaknya, muncul isu deparpolisasi atau menghilangkan peran partai, justru semakin membuktikan kawanan parpolis Nusantara terkena virus keterbelakangan mental politik yang akut.

Adat politik tak tertulis yang memaklumatkan bahwasanya barang siapa hendak maju ikut pilkada, mengikuti nafsu politik masuk jajaran pembantu presiden, atau memperoleh bagian sebagai penyelenggara negara, diutamakan sowan dan mohon restu pada dukun politik juara utama pesta demokrasi. Nasib politik kandidat dengan rekam jejak sehebat apapun, garis tangannya sudah “diramal” oleh dukun politik.

Tiap hutan ada rajanya, tiap suku ada dukun politiknya, menjadikan demokrasi Nusantara sebagai ajang pertarungan bebas. Jakarta terletak di pulau Jawa, pertarungan dukun politik lokal berbagai aliran menambah maraknya pilgub 2017. Ironisnya, parpol sendiri tidak punya stock kader tulen yang siap turun berlaga di setiap pilkada. Apalagi Jakarta belum pernah mempunyai gubernur perempuan. Bukti betapa Orde Baru mampu memberi format mujarab bahwa parpol hanya sebagai kendaraan politik.

Kaca mata politik memang jitu melihat nilai jual Jakarta, yang serba basah. Kerangka logika politik hanya memandang Jakarta sebagai provinsi yang serba khusus. Kurang memahami tatanan dan tataran Jakarta, bukan hanya sebagai provinsi, tetapi secara fungsional membentuk kawasan. Provinsi tetangga Jakarta, juga memberlakukan Jakarta sekedar sebagai mitra sejajar sesama provinsi. Pelaku ekonomi nasional yang bermukim di Jakarta, perannya tak bisa dipandang sebelah mata. Perpanjangan tangan tangan-tangan tak kelihatan, sudah selalu mendiktekan kepentingannya. [HaeN].

meruwat energi Jakarta, gubernur siang hari vs gubernur malam hari

meruwat energi Jakarta, gubernur siang hari vs gubernur malam hari

Rakyat Indonesia boleh girang, dapat bangga plus wajib tepuk tangan dan tepuk dada, betapa tidak, ternyata daya dan gaya kehidupan malam Jakarta mampu bersaing dengan kota dunia lainnya. Jakarta sejak dulu sudah siaga, siap secara nyata mendahului aksi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang acap digembar-gemborkan oleh berbagai pihak.

Tingkah ucap, laku dan tindakan duniawi yang tabu menurut norma masyarakat, begitu masuk Jakarta di malam hari, malah menjadi sah, legal, formal dan tidak melanggar konstitusi negara. Gemerlap ibu kota negara di malam hari, seolah melenyapkan status Jakarta yang akrab dengan fenomena BMKG (Banjir, Macet, Kebakaran dan Gusur-menggusur) ditambah permukiman kumuh, rumah liar, pekerja sektor informal, gelandangan dan pengemis, setan dan raja jalanan.

Jakarta buka praktik 24 jam, siap melayani berbagai kasta, strata dan ideologi pasien. Penyakit masyarakat yang menjadi bidang garap aparat keamanan, tepatnya Polisi, kita simak UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fokus pada penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Huruf c, yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar. Tepatnya, penyakit masyarakat di malam hari bertransformasi menjadi penyakit pejabat, penyakit aparat.

Jakarta sebagai kota serba multi, termasuk kehidupan malamnya dengan multiefek, multidampak. Rahasia umum bahwa efek nyata dan dampak terukur kehidupan malam bisa menentukan jalannya roda pemerintah provinsi Jakarta. Pasal yang tercantum di produk hukum, bisa-bisa bisa merupakan pesanan khusus dan spesial dari pelaku Jakarta di malam hari.

Geliat Jakarta, akibat dominasi lokasi ‘penyakit masyarakat’ yang seolah kebal hukum, entah sebagai daerah tujuan atau jalur utama lalu lintas ‘penyalit masyarakat multinasional’, malah menjadi ajang promosi aparat keamanan. Sukses mengobok-obok daerah hitam, dianggap sebagai prestasi gemilang. Padahal sudah kewajibannya, sesuai fungsi dan perannya.

Jangan lupa, Jakarta punya maskot berupa Elang Bondol dan Salak Condet. Walau lambang pemda adalah bangunan Monumen Nasional (Monas), bangunan pencakar langit yang identik dengan ibu kota negara.

jakarta penuh sesak dengan keanekaragaman maskot, termasuk maskot politik. Semua parpol merasa terpanggil memikirkan nasib Jakarta. Rasa prihatin, peduli diwujudkan dengan merasa paling berhak memimpin Jakarta, liwat kader pilihannya. Dukun politik sekaliber apapun, tak akan mampu menjompa-jampi nasib Jakarta. Dukun survei dengan rekam jejak internasionalpun, tak mampu menerawang, menembus waktu dan ruang, apa siapa yang layak menjadi DKI-1.

Spesifikasi Jakarta sebagai ibu kota negara, tidak bisa dibandingkan, disandingkan, ditandingkan dengan provinsi lainnya. Pendekatan politik malah semakin memporakperandakan Jakarta. Ummat Islam jangan terkena stigma sedang mengalami keterbelakang mental politik jelang pemilihan gubernur Jakarta 2017. Semoga. [HaeN]

Selasa, 22 Maret 2016

JAKARTA BUKAN JAKARTA

JAKARTA BUKAN JAKARTA

Banyak  hikmah di balik hasil Pemilukada DKI Jakarta, Rabu 11 Juli 2012. Mulai dari  sudah tidak ada dogma bahwa hanya Putra Asli Daerah yang layak memimpin daerahnya sampai fakta bahwa parpol bukan jaminan untuk mendulang suara. Jejak rekam kandidatlah yang akan mempengaruhi dan menentukan pilihan rakyat.

Sebagai ibukota negara, Jakarta milik bangsa Indonesia, Jakarta harus menjadi Jakarta [HaeN]. 18 Juli 2012

Jakarta kota BMKG, perlu serba khusus

Jakarta kota BMKG, perlu serba khusus

Jakarta sebagai ibukota negara, sarat dengan berbagai fungsi. Jakarta sebagai kota serba ada. Tempat perwakilan negara sahabat sampai kantor perwakilan provinsi NKRI. Ada gula bertebaran di mana saja sampai gang-gang kecil, bantaran sungai, rel k.a, kolong jembatan layang, trotoar, tanah terlantar - memancing berbagai klas masyarakat semut untuk adu nasib, adu akal, adu nyali, adu otot. Mereka datang sekedar jual jasa, jual barang, jual harga diri atau jual badan. Rupiah bisa dikais bak ayam, bisa ditadah dalam hitungan menit, bisa dikutip di jalanan, bisa dikeruk sambil melipat kaki (tipikor dengan tsk oknum wakil rakyat).

Jakarta menjadi tujuan dan masa depan anak bangsa. Jakarta menjadi serba khusus, maka segala masalah utama Jakarta, yaitu BMKG = Banjir, Macet, Kebakaran dan Gusur-menggusur harus ditangani secara sinergi, serba khusus dan terpadu.

Penyebab BMKG adalah faktor manusia. Akibat kebodohan sampai keserakahan manusia. Penyakit BMKG harus ditangai bersama antar pelaku pembangunan : pemerintah, swasta dan masyarakat. Jakarta harus dikelola dalam 24 jam. Keberanian, atau bahkan tangan besi yang diperlukan adalah :

Pertama, rencana pembangunan jangka panjang 25 tahun, khususnya yang berbasis dan fokus pada BMKG, harus ditangani per periode gubernur lima tahun. Ada estafet dan kesinambungan pembangunan lima tahunan. Produk hukum terkait pembangunan harus ditegakkan tanpa tebang pilih, misal Rencana Tata Ruang Provinsi Jakarta.

Kedua, optimalisasi sumber dana dan sumber daya pembangunan. Pemanfaatan hutang maupun hibah dari luar negeri sesuai dengan kemampuan nyata pemprov dan warga Jakarta. Investor mancanegara, termasuk lokal, diikat dalam kerja sama yang saling menguntungkan.

Ketiga, intervensi secara politis harus berani diatasi secara total. Kalau perlu ada syarat khusus untuk jadi anggota DPRD DKI Jakarta, misal didukung oleh masyarakat. Fungsi RT, RW dioptimalkan secara nyata, untuk menampung aspirasi mastarakat.

Tentunya masih banyak faktor yang harus dicermati. Kita masih optimis, jika suatu masalah ditangani bersama, akan terselesaikan [HaeN].

dikotomi degradasi mental politik bangsa, politik perempuan vs perempuan politik

dikotomi degradasi mental politik bangsa, politik perempuan vs perempuan politik

Tanpa mengajak pembaca berpolemik utawa adu fakta dan realita sejarah, bahwasanya jika ada kepala daerah masuk kategori sukses. Minimal bisa menyelesaikan masa jabatannya, satu periode, tanpa catatan khusus, khususnya yang melekat di daya ingat rakyat, selain kandungan politiknya yang tidak diragukan daya cengkeramnya, juga karena ybs bisa menempatkan diri sebagai birokrat tulen.

Terlebih jika kepala daerah atau pasangannya ada kaum hawanya, prestasi yang diraih bisa di atas rata-rata kaum adam. Begitu juga sebaliknya, jika terpuruk, akan lebih parah ketimbang terkaparnya politik kaum adam. Kaum hawa menjadi kepala daerah atau pasangannya, jika mengandalkan naluri perempuannya, dimungkinkan bekerja secara naluriah, normatif, sloganistik, menghabiskan waktu, tepatnya hanya sebatas  adat business as usual.

Polemik perempuan dalam politik, menurut pengamat politik lokal, akibat adanya anugerah politik karena silsilah. Ada politik tiban yang menjadi nasib perempuan mengemban kekuasaan. Matang di partai, bukan jaminan layak dan becus menjadi pemimpin, apalagi berlaga, bertarung, mengadu untung di jalur birokrasi. Sejarah tak terulis sudah banyak membuktikannya.

Perempuan yang seolah cepat matang kandungan politiknya, akan terjebak dilema keuntungan pribadi vs kepentingan politik. Kapasitas intelektual perempuan dalam politik, sekedar persyaratan administrasi, formal dan umum sesuai konstitusi, tidak ada korelasinya dengan kinerja yang bisa diciptakannya. Dipanggung politik, selain wajib menggunakan bahasa politik, juga wajib menggunakan akal politik.

Akal politik yang dikandung kepala negara yang perempuan sampai logika politik yang dicerna kartini-kartini masa kini yang bergelut dan menggeluti kehidupan bermodal dengkul, hanya beda tipis. Tergantung itikad baik dalam melaksanakan kewajiban sebagai individu.

Acap liwat di depan rumah saya, pemulung perempuan, yang bekerja masih tampak sifat hawanya. Tidak serakah hanya melihat sampah di bak sampah. Tidak ambisi menyabet benda-benda tak bertuan tergeletak di depan rumah warga. Tidak bergegas rebutan, saingan, adu otot jika ada pemulung segender yang beroperasi di wilayah kerja yang sama.

Peningkatan kapasitas diri perempuan, memang tidak sekedar menjalani nasib kondratinya dengan iklhlas, tabah saja, namun bisa meningkatkan martabat, hakikat, harkat, derajat sebagai perempuan. Jika memaksakan diri, atau merasa dirinya pantas, layak, patut tampil di syahwat politik Nusantara, harus sering-sering dan pandai-pandai bercermin, berkava dan ukur baju. [HaeN]

Senin, 21 Maret 2016

beri Indonesia sejuta parpol, akan segera bebas korupsi

beri Indonesia sejuta parpol, akan segera bebas korupsi

Sejuta parpol, mengakomodir aspirasi masyarakat mulai dari tingkat RT/RW. Mengacu daya dalih hak asasi manusia, setiap RW wajib mendirikan satu parpol lokal.

Sejuta parpol, mewujudkan amanat penderitaan rakyat, mulai urusan perut, setiap parpol wajib mempunyai sawah yang diprediksi cukup memenuhi kebutuhan pangan lokal.

Sejuta parpol, mengkibarkan kedaulatan politik, maka pendidikan politik dimulai sejak dini. Anak didik jenjang SD wajib bersertifikat ahli politik sesuai muatan lokal.

Sejuta parpol, menjaring kepemimpinan nasional mulai dari lapis paling bawah, diadakan seleksi calon pemimpin lokal. Pemimpin lokal tingkat RT diikutsertakan dalam kompetisi pemilihan pemimpin lokal tingka RW. Demikian seterusnya sampai tingkat provinsi.

Sejuta parpol, memungkinkan tidak ada lagi yang bisa dikorupsi. Semua bentuk kehidupan sudah dikapling-kapling untuk parpol.

Tiba-tiba : “Mas, mas Joko. Bangun. Becaké ngglinding déwé, wis mblusuk ning peceren.”

Mas Joko njenggirat tangi, koyo disundang, diseruduk kebo, ngoyak becaké. [HaeN]

praduga maksud hati tim situs revolusi mental

praduga maksud hati tim situs revolusi mental

Andai mengikuti kata dan komen rakyat, tak urung tim situs revolusi mental dibuat bingung sambil berdiri. Betapa tidak, situs yang dikelola kementerian koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan, seyogyanya, sewajarnya, seharusnya merupakan resultan dari kementerian yang dikoordinirnya. Minimal tidak kalah elegan dengan suatu kementerian, walau nomenklatur baru sesuai selera politik 2014-2019. Terlebih jika tim situs revolusi mental adalah PNS/ASN yang merupakan pejabat karir. Contoh di penutup press release 11 September 2015 dicantumkan :

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Dr. Hazwan Yunus, Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan
HP: 0918806635
Drs. Sugihartatmo, MPIA, Sekretaris Kemenko PMK
HP: 08128164885

Jika petani ingin tahu saja harga jual gabah di tingkat tengkulak, tersedia di situs revolusi mental. Petani selalu jadi obyek tata niaga, selalu dalam posisi tak punya nilai tawar. Ketahanan pangan jadi andalan nasional pemerintah Jokowi-JK sebagai perwujudan Trisakti dan Nawa Cita, tak berdampak nyata bagi nasib petani.

Atau penyedia jasa mau ikut lelang pengandaan barang/jasa di kemenko pmk, bisa tahu taksiran untung ruginya. Mental penyedia jasa jelas terang-benderang cari untung, sedangkan negara tak mau rugi.

Bukan salah bunda mengandung, apabila tim situs revolusi mental  sibuk 36 jam sehari semalam nongkrong dan nangkring, selain membuat kabar gembira juga menunggu opini dari rakyat. Sebelum ditayangkan, diadakan seleksi dan rapat bersama. Sebelum layak tayang melalui berbagai tingkatan seleksi, melalui asas mufakat untuk sepakat. Proses birokratif ini jelas memakan waktu.

Ibarat mau menolong orang mau tenggelam, diadakan sayembara mencari solusi yang paling jitu, mujaran, manjur dan cespleng. Tahu-tahu periode 2014-2019 sudah berakhir, baru tersadar. Tim situs revolusi mental baru bisa bernafas lega, melepas topengnya. [HaeN]