PSSI atau parpol, tidak siap menang dan biasa kalah
Kemelut
bangsa akibat perilaku kawanan parpolis peserta pesta demokrasi 2014, yang
bersemboyan “tidak siap menang dan biasa kalah”, melebihi kabut kasus PSSI.
Terlalu banyak pemain ingin tanding, kelebihan instruksi, aba-aba dan komando
lapangan, sarat dengan pesan sponsor dan pemodal, porsi latihan atau
pengkaderan hanya seremonial.
PSSI
semangkin amburadul, berkat memadukan loyalitas politik dengan kalkulasi
bisnis. Hampir semua resep dan ramuan diujicobakan. Dampak terukurnya nyata
diluar akal politik, yaitu pemain menjadi kapiran. Hengkang ke tim mancanegara.
Menjadi pelatih sepak bola jelang kompetisi 17 agustusan atau kompetisi tarkam
(antar kampung).
Indonesia
dengan revolusi mental-nya, surplus parpol diimbangi defisit, paceklik
negarawan, namun banyak oknum anak bangsa yang hidup dari partai. Negara
menjelma jadi perusahaan parpol. Kedaulatan NKRI, tangan kiri bebas bergerak
karena masih Indonesia, tangan kanan bergerak sesuai skenario non-lokal,
tepatnya non-nasional.
Kaki
kanan kiri pemain PSSI bebas bergerak kian kemari. Saling menjegal, lumrah dan
tdiak melangar pasal. Asal wasit pura-pura tidak melihat. Atau lupa meniup
peluit pelanggaran, ada kasus yang lebih besar. Kalau di tubuh parpol? Kaki
memang tugasnya menendang, dipadukan dan disinergikan dengan olah kerajinan
tangan, mulut dan anggota tubuh yang tersisa.
Adakah
pelaku dan pemain politik yang nasibnya mirip pesepakbola?
Parpol
boleh iri ke PSSI karena punya hak transfer pemain asing. Tidak hanya TKA yang
boleh adu nasib di Nusantara. Artis impor, asal kulit putih, menjadi idola
penggemarnya dari berbagi segmen masyarakat. Terutama yang tidak mahir main
bola dan atau kurang piawai main politik. Parpol tidak bisa mentransfer kader
parpol ke mancanegara seperti PSSI, biasa-biasa
saja. Tidak iri.
Walau
korupsi ala PSSI masih jauh dibawah kualitas korupsinya oknum kawanan parpolis,
PSSI tidak protes, sduah tahu diri. Di tubuh parpol ada korupsi terselubung,
yang pasal apapun, manapun tidak bisa membuktikan. Ironisnya, pelakunya pun
tidak bisa membedakan mana hasil resmi korupsi dengan korupsi yang menjadi
incaran KPK. Bukankah korupsi merupakan produk unggulan parpol. Menjadi syarat
tak tertulis oknum parpol yang namanya disodorkan masuk jajaran penyelenggara
negara. Wallahu a’lam [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar