Halaman

Selasa, 29 Maret 2016

PSSI atau parpol, tidak siap menang dan biasa kalah

PSSI atau parpol, tidak siap menang dan biasa kalah

Kemelut bangsa akibat perilaku kawanan parpolis peserta pesta demokrasi 2014, yang bersemboyan “tidak siap menang dan biasa kalah”, melebihi kabut kasus PSSI. Terlalu banyak pemain ingin tanding, kelebihan instruksi, aba-aba dan komando lapangan, sarat dengan pesan sponsor dan pemodal, porsi latihan atau pengkaderan hanya seremonial.

PSSI semangkin amburadul, berkat memadukan loyalitas politik dengan kalkulasi bisnis. Hampir semua resep dan ramuan diujicobakan. Dampak terukurnya nyata diluar akal politik, yaitu pemain menjadi kapiran. Hengkang ke tim mancanegara. Menjadi pelatih sepak bola jelang kompetisi 17 agustusan atau kompetisi tarkam (antar kampung).

Indonesia dengan revolusi mental-nya, surplus parpol diimbangi defisit, paceklik negarawan, namun banyak oknum anak bangsa yang hidup dari partai. Negara menjelma jadi perusahaan parpol. Kedaulatan NKRI, tangan kiri bebas bergerak karena masih Indonesia, tangan kanan bergerak sesuai skenario non-lokal, tepatnya non-nasional.

Kaki kanan kiri pemain PSSI bebas bergerak kian kemari. Saling menjegal, lumrah dan tdiak melangar pasal. Asal wasit pura-pura tidak melihat. Atau lupa meniup peluit pelanggaran, ada kasus yang lebih besar. Kalau di tubuh parpol? Kaki memang tugasnya menendang, dipadukan dan disinergikan dengan olah kerajinan tangan, mulut dan anggota tubuh yang tersisa.

Adakah pelaku dan pemain politik yang nasibnya mirip pesepakbola?

Parpol boleh iri ke PSSI karena punya hak transfer pemain asing. Tidak hanya TKA yang boleh adu nasib di Nusantara. Artis impor, asal kulit putih, menjadi idola penggemarnya dari berbagi segmen masyarakat. Terutama yang tidak mahir main bola dan atau kurang piawai main politik. Parpol tidak bisa mentransfer kader parpol ke mancanegara seperti PSSI,  biasa-biasa saja. Tidak iri.

Walau korupsi ala PSSI masih jauh dibawah kualitas korupsinya oknum kawanan parpolis, PSSI tidak protes, sduah tahu diri. Di tubuh parpol ada korupsi terselubung, yang pasal apapun, manapun tidak bisa membuktikan. Ironisnya, pelakunya pun tidak bisa membedakan mana hasil resmi korupsi dengan korupsi yang menjadi incaran KPK. Bukankah korupsi merupakan produk unggulan parpol. Menjadi syarat tak tertulis oknum parpol yang namanya disodorkan masuk jajaran penyelenggara negara. Wallahu a’lam [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar