Halaman

Minggu, 27 Maret 2016

”Mbiyen milih presiden, margo wonge mitayani. Wingi milih presiden ben ndang rampung . . . “

Mbiyen milih presiden, margo wonge mitayani. Wingi milih presiden ben ndang rampung . . . “

Siapa bilang wong cilik, tidak bisa membaca situasi. Tidak bisa menjadi pengamat, walau sekedar dengan akal lugunya. Kelihatannya buta politik, tetapi ternyata punya daya analisis yang tidak sesederhana orangnya. Cetusan isi hatinya yang tidak terkontaminasi berita miring produk andalan media penyiaran televisi.

Saat itu pasca pilpres 2014, siang hari saya jalan kaki perkuat stamina. Liwat dekat kerumunan PSK (pedagang sayur keliling) bercaping, istirahat di teduh pohon. Terdengar celotehan :”Mbiyen milih presiden, margo wonge mitayani. Wingi milih presiden ben ndang rampung . . . “. Sayang, hanya itu yang sempat saya dengar.

Sepanjang jalan pulang, bahkan sampai sekarang ternyata ada beberapa kejadian sebagai pertanda sesuai judul. Perombakan kabinet yang notabene adalah pembantu presiden, sebagai fakta pertama. Perombakan kabinet juga tidak menyelesaikan masalah bangsa. Bukan karena yang disasar sesuai opini masyarakat, tak terwujud. Jokowi masih mempertimbangkan praktik politik transaksional.

Entah mana yang muncul terlebih dahulu, kasus oknum sekjen nasdem dipanggil KPK atau kasus “papa minta saham”. Saya memang buka pengamat politik, sehingga tidak bisa menghafal tanggal kejadian perkara. Seperti sajian sejarah. Kita juga tidak tahu pasti, apakah nasdem dalam praktik ideologinya adalah pro-rakyat banget atau sekedar pro-rakyat saja.

Mengandalkan opini masyarakat, oknum ketua DPR RI hanya lengser dari kedudukan/jabatan ketua, bukan lengser dari tempat terhormat sebagai wakil rakyat. Untung tidak ada atau belum ada ‘kode etik penyelenggara negara’. Bahkan ybs dengan rekam jejaknya malah digadang bisa masuk bursa calon ketua Partai Golkar. Inilah hebatnya perilaku dan pelaku politik Nusantara.

Lain cerita dan beda nasib dengan oknum sekjen nasdem. Bukan korban salah sasaran dari gebrakan revolusi mental, tetapi korban dari senjata makan tuan sang bos ahli orasi mental penghiba. Sang bos mengeluarkan senjata pamungkasnya yaitu restorasi politik. Sang bos prihatin atas nasib bangsa dan ingin mengubahnya jika, jikalau, andai, andaikata, misal nanti kalau sudah besar bisa jadi presiden. Opo tumon.

Kita tidak tahu kapan rampung-nya babakan di depan mata.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar