demokrasi perwakilan, unjuk rasa rakyat vs unjuk raga wakil rakyat
Praktik demokrasi di
Indonesia dengan ciri komando, kendali di tangan partai politik pemenang pesta demokrasi.
Tujuan utamanya agar cita-cita partai secera tercapai dalam satu periode.
Imbalan untuk partai lain sebagai pendukung sesuai asas politik traksakional.
Berkat politik kekuasaan, asas balas jasa, balas budi sekaligus balas dendam
menjadi legal, sah, bermartabat dan konstitusional.
Partai
Politik telah membuka jalan dan peluang bagi dirinya untuk lebih mampu
memperjuangkan cita-citanya. Belum puas dengan kemanfaatan, eksistensi, keberadaan
UU 2/2008, terbitlah UU
2/2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang
Partai Politik. Bersyukur, peradaban politik di atas kertas telah dibakukan,
disuratkan. Artinya di UU 2/2011 tidak ada perubahan redaksi maupun susbtansi
dari pasal yang mengatur Tujuan Partai Politik.
Frasa
“memperjuangkan cita-cita Partai Politik” seolah tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara yuridis, hanya dalam bahasa politik. Apa tolok
ukurnya. Bagaimana cara membuktikannya.
Apakah
cita-cita Partai Politik tercapai jika oknum ketua umumnya berhasil menjadi kepala negara, liwat pesta
demokrasi lima tahun sekali.
Apakah
cita-cita Partai Politik terwujud jika ada anggotanya menapat jatah kursi
sebagai wakil rakyat, baik di tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi apalagi
di tingkat pusat atau sebagai anggota terhormat DPR RI.
Apakah
cita-cita Partai Politik tergapai jika ada kader terbaiknya mampu meraih jabatan kepala daerah, baik
sebagai bupati/walikota atau sebagai gubernur.
Apakah
cita-cita Partai Politik terbukti jika elite partai, loyalis kepada ketum, kader
jenggot, pemodal atau sebutan heroik lainnya mendapat jatah sebagai pembantu
presiden.
Rakyat semakin bingung bin bengong, apakah di éra mégatéga cita-cita puluhan Partai Politik telah tercapai.
Sejauh ini demokrasi perwakilan
hanya dimaknai dari satu sisi, sebagai betapa elemen masyarakat, komponen
rakyat, unsur warga negara turun ke jalan hanya untuk memperjuangkan nasibnya. Menyangkut urusan perut rakyat memang tanggung jawab
keluarga, bukan tangung jawab wakil rakyat. Soal harga sembako yang mengikuti
permintaan pasar, yang semakin tidak terjangkau oleh dompet rakyat, hanya
sekedar menjadi keprihatinan formal wakil rakyat. Sebentar juga sudah
terlupakan. Pokoknya yang tidak masuk agenda utama wakil rakyat, seolah bukan
menjadi tanggung jawab mereka.
Melakukan unjuk rasa,
unjuk raga, mengerahkan masa, menyuarakan tuntutan, membentuk parlemen jalanan
sambil memblokade lalu lintas dan memadati fasilitas umum, ruang terbuka atau public
space. Kejadian ini menyiratkan akankah masih berfungsi wakil rakyat.
Ironisnya, antar
kawanan wakil rakyat, khususnya di tingkat pusat yang jadi santapan rutin media
massa, sedang terjadi proses demokrasi. Begitu argo sebagai wakil rakyat
berdetak, pasca pelantikan dan pengambila sumpah, banyak kejadian dari
simbolisasi demokrasi. Mulai perebutan pimpinan DPR, Komisi, penguasa alat
perlengkapan dewan lainnya (bamus, baleg, banggar, BURT, BKSAP, MKD, pansus) yang
dilakukan berdasarkan asas musyawarah untuk mufakat.
Praktiknya secara adu
pendapat, adu argumen, baku mulut, silang sengketa, aklamsi, voting. Menyangkut
kepentingan nasib diri sendiri sebagai anggota dewan, mereka akan berjuang
mati-matian. Melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, pengawasan akan dilakukan
seoptimal mungkin, sekuat upaya dan tenaga. Nuansa kontradiksi saat sidang.
Capai melakukan kunker ke dapil, lelah blusukan ke konstituen atau pemilihnya
menjaring aspirasi atau acara seremonial di daerah, saat sidang saatnya
istirahat, duduk manis sambil otaknya merekam persidangan.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar