Halaman

Senin, 14 Maret 2016

demokrasi perwakilan, unjuk rasa rakyat vs unjuk raga wakil rakyat

demokrasi perwakilan, unjuk rasa rakyat vs unjuk raga wakil rakyat

Praktik demokrasi di Indonesia dengan ciri komando, kendali di tangan partai politik pemenang pesta demokrasi. Tujuan utamanya agar cita-cita partai secera tercapai dalam satu periode. Imbalan untuk partai lain sebagai pendukung sesuai asas politik traksakional. Berkat politik kekuasaan, asas balas jasa, balas budi sekaligus balas dendam menjadi legal, sah, bermartabat dan konstitusional.

Partai Politik telah membuka jalan dan peluang bagi dirinya untuk lebih mampu memperjuangkan cita-citanya. Belum puas dengan kemanfaatan, eksistensi, keberadaan UU 2/2008, terbitlah UU 2/2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Bersyukur, peradaban politik di atas kertas telah dibakukan, disuratkan. Artinya di UU 2/2011 tidak ada perubahan redaksi maupun susbtansi dari pasal yang mengatur Tujuan Partai Politik.

Frasa “memperjuangkan cita-cita Partai Politik” seolah tidak bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis, hanya dalam bahasa politik. Apa tolok ukurnya. Bagaimana cara membuktikannya.

Apakah cita-cita Partai Politik tercapai jika oknum ketua umumnya  berhasil menjadi kepala negara, liwat pesta demokrasi lima tahun sekali.

Apakah cita-cita Partai Politik terwujud jika ada anggotanya menapat jatah kursi sebagai wakil rakyat, baik di tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi apalagi di tingkat pusat atau sebagai anggota terhormat DPR RI.

Apakah cita-cita Partai Politik tergapai jika ada kader terbaiknya  mampu meraih jabatan kepala daerah, baik sebagai bupati/walikota atau sebagai gubernur.

Apakah cita-cita Partai Politik terbukti jika elite partai, loyalis kepada ketum, kader jenggot, pemodal atau sebutan heroik lainnya mendapat jatah sebagai pembantu presiden.

Rakyat semakin bingung bin bengong, apakah di éra mégatéga cita-cita puluhan Partai Politik telah tercapai.

Sejauh ini demokrasi perwakilan hanya dimaknai dari satu sisi, sebagai betapa elemen masyarakat, komponen rakyat, unsur warga negara turun ke jalan hanya untuk memperjuangkan nasibnya. Menyangkut urusan perut rakyat memang tanggung jawab keluarga, bukan tangung jawab wakil rakyat. Soal harga sembako yang mengikuti permintaan pasar, yang semakin tidak terjangkau oleh dompet rakyat, hanya sekedar menjadi keprihatinan formal wakil rakyat. Sebentar juga sudah terlupakan. Pokoknya yang tidak masuk agenda utama wakil rakyat, seolah bukan menjadi tanggung jawab mereka.

Melakukan unjuk rasa, unjuk raga, mengerahkan masa, menyuarakan tuntutan, membentuk parlemen jalanan sambil memblokade lalu lintas dan memadati fasilitas umum, ruang terbuka atau public space. Kejadian ini menyiratkan akankah masih berfungsi wakil rakyat.

Ironisnya, antar kawanan wakil rakyat, khususnya di tingkat pusat yang jadi santapan rutin media massa, sedang terjadi proses demokrasi. Begitu argo sebagai wakil rakyat berdetak, pasca pelantikan dan pengambila sumpah, banyak kejadian dari simbolisasi demokrasi. Mulai perebutan pimpinan DPR, Komisi, penguasa alat perlengkapan dewan lainnya (bamus, baleg, banggar, BURT, BKSAP, MKD, pansus) yang dilakukan berdasarkan asas musyawarah untuk mufakat.

Praktiknya secara adu pendapat, adu argumen, baku mulut, silang sengketa, aklamsi, voting. Menyangkut kepentingan nasib diri sendiri sebagai anggota dewan, mereka akan berjuang mati-matian. Melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, pengawasan akan dilakukan seoptimal mungkin, sekuat upaya dan tenaga. Nuansa kontradiksi saat sidang. Capai melakukan kunker ke dapil, lelah blusukan ke konstituen atau pemilihnya menjaring aspirasi atau acara seremonial di daerah, saat sidang saatnya istirahat, duduk manis sambil otaknya merekam persidangan.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar