Halaman

Selasa, 15 Maret 2016

energi dan emosi rakyat tersita ulah bandot politik pe-revolusi mental

energi dan emosi rakyat tersita ulah bandot politik pe-revolusi mental

Kemajuan Teknologi informasi dan Komunikasi (TIK) di Indonesia melaju melebihi kapasitas pemakainya. Produk TIK bukan sebagai barang mewah, walau bukan termasuk kebutuhan dasar. Muncul sebutan media daring, yang dianggap umum, lumrah dan familiar. Kebalikan atau saingan, dengan sebutan luring. Belum sempat tahu, sudah muncul varian medsos. Rasanya, tidak sekedar gaptek. Malah memperbanyak mental kampungan.

Bayangkan saja, entah dari kampus atau sekolah tinggi mana muncul jurnalis tiban bak kodok di musim hujan. Kita sulit membedakan mana situs resmi, setengah resmi, atau tak perlu resmi-resmian. Yang penting berani tampil apa adanya. Mau dibilang apa oleh pemerintah, bukan masalah. Asal tidak masuk kategori pasal hina presiden, ujar kebencian atau corong teroris, aman dari breidel atau panggilan yang berwajib.

Tampilan medsos, wajar gaptek, pokoknya saat berselancar di internet cari data, informasi dan sejenisnya, banyak tampilam mirip surat kabar nasional. Tidak perlu disebut satu persatu. Jelas, keunggulan, tampil lebih atraktif, spektakuler. Bahasa gaulnya, canggih tenan. Kalau modal mental kampung, bisa terpana, terpaku terpesona saat menemukan sumber info yang agaknya akurat, ujur, berklas.

Ironisnya, mereka, jurnalis atau sejenisnya, punya info komplit, lengkap. Bisa-bisa satu obyke orang, dikerumuni, dikerebuti berember orang untuk menganalisa tingkah lakunya. Apalagi yang menjadi obyek sorotan, kupasan adalah publik figur, pejabat publik sampai tukang jual wedang bajigur.

Ulah politik kawanan parpolis yang sedang kontrak politik 2014-2019, ditampilkan dengan berbagai gaya profil. Antar jurnalis seolah tidak ada standar baku poengkabaran, malah tidak ada “kode etik jurnalistik”. Seperti industri pembuat kue, makanan ringan, minuman jajanan. Memakai pewarna, perasa buatan dan ditambah zat pengawet. Bilamana perlu mendaur ulang santapan yang sudah apkir, sudah kedaluwarsa. Tetapi banyak penikmatnya.

Ataukah sudah hukum sebab akibat, yaitu karena manusia sebagai obyek politik yang diberitakan memang kadarnya segitu saja, maka hasil tampilan tayangan juga tak jauh dari segitu saja. Begitu saja koq repot. Pinjam komen populer gus Dur.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar