energi dan emosi rakyat tersita ulah bandot politik
pe-revolusi mental
Kemajuan Teknologi informasi dan
Komunikasi (TIK) di Indonesia melaju melebihi kapasitas pemakainya. Produk TIK
bukan sebagai barang mewah, walau bukan termasuk kebutuhan dasar. Muncul
sebutan media daring, yang dianggap umum, lumrah dan familiar. Kebalikan atau
saingan, dengan sebutan luring. Belum sempat tahu, sudah muncul varian medsos.
Rasanya, tidak sekedar gaptek. Malah memperbanyak mental kampungan.
Bayangkan saja, entah dari kampus atau
sekolah tinggi mana muncul jurnalis tiban bak kodok di musim hujan. Kita sulit
membedakan mana situs resmi, setengah resmi, atau tak perlu resmi-resmian. Yang
penting berani tampil apa adanya. Mau dibilang apa oleh pemerintah, bukan
masalah. Asal tidak masuk kategori pasal hina presiden, ujar kebencian atau corong
teroris, aman dari breidel atau panggilan yang berwajib.
Tampilan medsos, wajar gaptek,
pokoknya saat berselancar di internet cari data, informasi dan sejenisnya,
banyak tampilam mirip surat kabar nasional. Tidak perlu disebut satu persatu.
Jelas, keunggulan, tampil lebih atraktif, spektakuler. Bahasa gaulnya, canggih
tenan. Kalau modal mental kampung, bisa terpana, terpaku terpesona saat
menemukan sumber info yang agaknya akurat, ujur, berklas.
Ironisnya, mereka, jurnalis atau
sejenisnya, punya info komplit, lengkap. Bisa-bisa satu obyke orang,
dikerumuni, dikerebuti berember orang untuk menganalisa tingkah lakunya.
Apalagi yang menjadi obyek sorotan, kupasan adalah publik figur, pejabat publik
sampai tukang jual wedang bajigur.
Ulah politik kawanan parpolis yang
sedang kontrak politik 2014-2019, ditampilkan dengan berbagai gaya profil.
Antar jurnalis seolah tidak ada standar baku poengkabaran, malah tidak ada “kode
etik jurnalistik”. Seperti industri pembuat kue, makanan ringan, minuman
jajanan. Memakai pewarna, perasa buatan dan ditambah zat pengawet. Bilamana
perlu mendaur ulang santapan yang sudah apkir, sudah kedaluwarsa. Tetapi banyak
penikmatnya.
Ataukah sudah hukum sebab akibat,
yaitu karena manusia sebagai obyek politik yang diberitakan memang kadarnya
segitu saja, maka hasil tampilan tayangan juga tak jauh dari segitu saja.
Begitu saja koq repot. Pinjam komen populer gus Dur.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar