Halaman

Jumat, 25 Maret 2016

revolusi mental mempertebal gincu dan bedak politik

revolusi mental mempertebal gincu dan bedak politik

Manusia politik Nusantara mendadak lupa diri, ganti ingatan, mengalami disorientasi total, bahwasanya resep revolusi mental ramuan Jokowi hanya berlaku untuk kawanan parpolis pendukungnya. Digeneralisir menjadi obat kuat kalangan legislatif, mulai dari tingkat kabupaten/kota sampai pusat. Termasuk oknum birokrasi yang merasa aman dan nyaman berbusana kebesaran parpol.

Tim revolusi mental mengadakan studi banding ke negara tetangga, Malaysia. Survei harga ecerean terbatas gabah/beras versi di tangan tengkulak. Nama “tengku’ di Malaysia termasuk gelar bangsawan, menurut tim. Tim mengira, harga beras di pasar tradisional ditentukan oleh kaum bangsawan yang notabene orang pemerintah, mengarah pada petugas partai.

Sebelum rumusan, ramuan, kode etik revolusi mental berlaku efektif, dan tidak berlaku mundur, tahu-tahu malah mempercepat proses timbangnya kawanan oknum pelaku politik 2014-2019. Terbukti, dimulai dari hat-trick partai nasdem (tidak etis dibeberkan lagi).

Pengedar utama revolusi mental mengantongi satu kelebihan, yaitu sudah kaya dulu dari dan semenjak sono-nya, berkat berjibaku di parpol keluarga, baru siap menjadi menteri. Tidak takut kena ombak dan dampak perombakan. Kalau ter-rombak, dipastikan si perombak malah kena kutukan partai.

Sopir angkutan umum yang tidak berbasis aplikasi, yang jauh dari fungsi digital (opo kuwi mbah?), turun ke jalan alias mogok, unjuk rasa, unjuk raga. Mereka lupa semboyan “sesama sopir dilarang ber-rebut calon penumpang”. Aksi mereka ternyata berbanding terbalik dengan kepuasaan dan kepercayaan rakyat terhadap kinerja parpol.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar