revolusi mental
mempertebal gincu dan bedak politik
Manusia
politik Nusantara mendadak lupa diri, ganti ingatan, mengalami disorientasi
total, bahwasanya resep revolusi mental ramuan Jokowi hanya berlaku untuk
kawanan parpolis pendukungnya. Digeneralisir menjadi obat kuat kalangan
legislatif, mulai dari tingkat kabupaten/kota sampai pusat. Termasuk oknum
birokrasi yang merasa aman dan nyaman berbusana kebesaran parpol.
Tim
revolusi mental mengadakan studi banding ke negara tetangga, Malaysia. Survei
harga ecerean terbatas gabah/beras versi di tangan tengkulak. Nama “tengku’ di
Malaysia termasuk gelar bangsawan, menurut tim. Tim mengira, harga beras di
pasar tradisional ditentukan oleh kaum bangsawan yang notabene orang
pemerintah, mengarah pada petugas partai.
Sebelum
rumusan, ramuan, kode etik revolusi mental berlaku efektif, dan tidak berlaku
mundur, tahu-tahu malah mempercepat proses timbangnya kawanan oknum pelaku
politik 2014-2019. Terbukti, dimulai dari hat-trick partai nasdem (tidak
etis dibeberkan lagi).
Pengedar
utama revolusi mental mengantongi satu kelebihan, yaitu sudah kaya dulu dari
dan semenjak sono-nya, berkat berjibaku di parpol keluarga, baru siap
menjadi menteri. Tidak takut kena ombak dan dampak perombakan. Kalau
ter-rombak, dipastikan si perombak malah kena kutukan partai.
Sopir
angkutan umum yang tidak berbasis aplikasi, yang jauh dari fungsi digital (opo
kuwi mbah?), turun ke jalan alias mogok, unjuk rasa, unjuk raga. Mereka
lupa semboyan “sesama sopir dilarang ber-rebut calon penumpang”. Aksi mereka
ternyata berbanding terbalik dengan kepuasaan dan kepercayaan rakyat terhadap
kinerja parpol.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar