meruwat energi Jakarta, gubernur siang hari vs
gubernur malam hari
Rakyat Indonesia
boleh girang, dapat bangga plus wajib tepuk tangan dan tepuk dada, betapa
tidak, ternyata daya dan gaya kehidupan malam Jakarta mampu bersaing dengan
kota dunia lainnya. Jakarta sejak dulu sudah siaga, siap secara nyata
mendahului aksi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang acap
digembar-gemborkan oleh berbagai pihak.
Tingkah ucap, laku
dan tindakan duniawi yang tabu menurut norma masyarakat, begitu masuk Jakarta
di malam hari, malah menjadi sah, legal, formal dan tidak melanggar konstitusi
negara. Gemerlap ibu kota negara di malam hari, seolah melenyapkan status
Jakarta yang akrab dengan fenomena BMKG (Banjir, Macet, Kebakaran
dan Gusur-menggusur) ditambah permukiman kumuh, rumah liar, pekerja sektor
informal, gelandangan dan pengemis, setan dan raja jalanan.
Jakarta
buka praktik 24 jam, siap melayani berbagai kasta, strata dan ideologi pasien.
Penyakit masyarakat yang menjadi bidang garap aparat keamanan,
tepatnya Polisi, kita simak UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, fokus pada penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Huruf c, yang dimaksud
dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat
dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah
darat, dan pungutan liar. Tepatnya,
penyakit masyarakat di malam hari bertransformasi menjadi penyakit pejabat,
penyakit aparat.
Jakarta
sebagai kota serba multi, termasuk kehidupan malamnya dengan multiefek,
multidampak. Rahasia umum bahwa efek nyata dan dampak terukur kehidupan malam
bisa menentukan jalannya roda pemerintah provinsi Jakarta. Pasal yang tercantum
di produk hukum, bisa-bisa bisa merupakan pesanan khusus dan spesial dari
pelaku Jakarta di malam hari.
Geliat
Jakarta, akibat dominasi lokasi ‘penyakit masyarakat’ yang seolah kebal hukum, entah
sebagai daerah tujuan atau jalur utama lalu lintas ‘penyalit masyarakat multinasional’,
malah menjadi ajang promosi aparat keamanan. Sukses mengobok-obok daerah hitam,
dianggap sebagai prestasi gemilang. Padahal sudah kewajibannya, sesuai fungsi
dan perannya.
Jangan
lupa, Jakarta punya maskot berupa Elang Bondol dan Salak Condet. Walau lambang
pemda adalah bangunan Monumen Nasional (Monas), bangunan pencakar langit yang
identik dengan ibu kota negara.
jakarta
penuh sesak dengan keanekaragaman maskot, termasuk maskot politik. Semua parpol
merasa terpanggil memikirkan nasib Jakarta. Rasa prihatin, peduli diwujudkan
dengan merasa paling berhak memimpin Jakarta, liwat kader pilihannya. Dukun
politik sekaliber apapun, tak akan mampu menjompa-jampi nasib Jakarta. Dukun
survei dengan rekam jejak internasionalpun, tak mampu menerawang, menembus
waktu dan ruang, apa siapa yang layak menjadi DKI-1.
Spesifikasi
Jakarta sebagai ibu kota negara, tidak bisa dibandingkan, disandingkan,
ditandingkan dengan provinsi lainnya. Pendekatan politik malah semakin
memporakperandakan Jakarta. Ummat Islam jangan terkena stigma sedang mengalami
keterbelakang mental politik jelang pemilihan gubernur Jakarta 2017. Semoga. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar