Halaman

Rabu, 23 Maret 2016

meruwat energi Jakarta, gubernur siang hari vs gubernur malam hari

meruwat energi Jakarta, gubernur siang hari vs gubernur malam hari

Rakyat Indonesia boleh girang, dapat bangga plus wajib tepuk tangan dan tepuk dada, betapa tidak, ternyata daya dan gaya kehidupan malam Jakarta mampu bersaing dengan kota dunia lainnya. Jakarta sejak dulu sudah siaga, siap secara nyata mendahului aksi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang acap digembar-gemborkan oleh berbagai pihak.

Tingkah ucap, laku dan tindakan duniawi yang tabu menurut norma masyarakat, begitu masuk Jakarta di malam hari, malah menjadi sah, legal, formal dan tidak melanggar konstitusi negara. Gemerlap ibu kota negara di malam hari, seolah melenyapkan status Jakarta yang akrab dengan fenomena BMKG (Banjir, Macet, Kebakaran dan Gusur-menggusur) ditambah permukiman kumuh, rumah liar, pekerja sektor informal, gelandangan dan pengemis, setan dan raja jalanan.

Jakarta buka praktik 24 jam, siap melayani berbagai kasta, strata dan ideologi pasien. Penyakit masyarakat yang menjadi bidang garap aparat keamanan, tepatnya Polisi, kita simak UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fokus pada penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Huruf c, yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar. Tepatnya, penyakit masyarakat di malam hari bertransformasi menjadi penyakit pejabat, penyakit aparat.

Jakarta sebagai kota serba multi, termasuk kehidupan malamnya dengan multiefek, multidampak. Rahasia umum bahwa efek nyata dan dampak terukur kehidupan malam bisa menentukan jalannya roda pemerintah provinsi Jakarta. Pasal yang tercantum di produk hukum, bisa-bisa bisa merupakan pesanan khusus dan spesial dari pelaku Jakarta di malam hari.

Geliat Jakarta, akibat dominasi lokasi ‘penyakit masyarakat’ yang seolah kebal hukum, entah sebagai daerah tujuan atau jalur utama lalu lintas ‘penyalit masyarakat multinasional’, malah menjadi ajang promosi aparat keamanan. Sukses mengobok-obok daerah hitam, dianggap sebagai prestasi gemilang. Padahal sudah kewajibannya, sesuai fungsi dan perannya.

Jangan lupa, Jakarta punya maskot berupa Elang Bondol dan Salak Condet. Walau lambang pemda adalah bangunan Monumen Nasional (Monas), bangunan pencakar langit yang identik dengan ibu kota negara.

jakarta penuh sesak dengan keanekaragaman maskot, termasuk maskot politik. Semua parpol merasa terpanggil memikirkan nasib Jakarta. Rasa prihatin, peduli diwujudkan dengan merasa paling berhak memimpin Jakarta, liwat kader pilihannya. Dukun politik sekaliber apapun, tak akan mampu menjompa-jampi nasib Jakarta. Dukun survei dengan rekam jejak internasionalpun, tak mampu menerawang, menembus waktu dan ruang, apa siapa yang layak menjadi DKI-1.

Spesifikasi Jakarta sebagai ibu kota negara, tidak bisa dibandingkan, disandingkan, ditandingkan dengan provinsi lainnya. Pendekatan politik malah semakin memporakperandakan Jakarta. Ummat Islam jangan terkena stigma sedang mengalami keterbelakang mental politik jelang pemilihan gubernur Jakarta 2017. Semoga. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar