Halaman

Sabtu, 31 Desember 2016

sekali duduk, berbagai kesempatan dan peluang jangan terlewati



sekali duduk, berbagai kesempatan dan peluang jangan terlewati

Namanya, khususnya pemakan/peminum di warung makan khas daerah atau khas lokalnya. Orang belum masuk, belum pesan makanan/minuman, beberapa sudah tersaji. Tinggal main tunjuk atau menyesuaikan diri dengan menu yang tersedia. Perbedaan antar warung, yaitu ada yang menyediakan segelas air putih gratis atau segelas air mineral yang berbayar.

Ada yang langsung duduk di bangku panjang yang kosong, atau meja yang masih bersih. Ada yang pilah pilih lokasi yang nyaman, aman dan bebas pengamen. Ada yang mojok, bebas dari hilir mudik sesama pengunjung atau pelayan warung.

Kita rujuk pola minum di warung kopi. Ada yang datang langsung ngobrol. Kalau ditanya pemilik warung, terpaksa pesan secangkir kopi manis panas. Oborolan tak terputus. Kopi tersaji, ditiup sambil ngoceh. Persidangan tetap lancar. Baru sesruput kopi, sudah minta tambah air panas. Obrolan dengan tema yang tetap, tetap gayeng.

Mereka menikmati hidup di kedai kopi. Tinggal setengah, minta tambah air panas yang gratis. Sampai kopi nyaris bening, tak hitam lagi, obrolan belum ada tanda-tanda reda. Pengunjung antri, tidak masalah, makanya kalau datang pagilah, dalih mereka.

Kenyang karena obrolan, akhirnya forum, komunitas berangsur surut. Tanpa hasil dan kesepakatan bersama. Tanpa kompromi, pada periode berikutnya akan tandang ke tempat yang sama. Atau cari lokasi lain yang lebih menjanjikan, lebih hijau dan muda. Kalau perlu loncat, pindahparpol. Memanfaatkan parpol baru, bukan perbuatan makar. Wallahu a’lam bisshawab.[HaeN]

ketika rakyat gagal paham vs pemerintah menistakan wibawa sendiri



ketika rakyat gagal paham vs pemerintah menistakan wibawa sendiri

Rakyat yang bagaimana, apalagi yang tidak mengantongi sertifikat pendidikan politik pola beberapa jam pelajaran, yang layak distigma gagal paham. Apakah rakyat yang spontan menjambut kedatangan orang politik di kampung halamannya. Apakah rakyat di pedalaman ketika ditanya Jokowi : “siapa presiden RI?”. Tanpa koordinasi, mereka menjawab bak kor : “Bung Karno!  Merdeka!”. Jokowi malah terkekeh.

Mantan wapres dan juga mantan presiden yang justru akan mengenalkan Jokowi ke masyarakat, penasaran. Dengan lantang ysb tanya : “apakah kalian kenal saya?”. Di luar nalar politik, mereka malah tertawa terbahak-bahak. Lebih keras dari kekehannya sang presiden Jokowi. Kita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Bisa saja kepala daerah ybs tidak bisa kena sanksi administrasi.

Berita di atas cuma humor politik akhir tahun 2016. Tanpa pamrih apapun. Tanpa pretense ideologi manapun. Kalau distigma sebagai ujaran kebencian, firnah, provokatif atau menistakan wibawa pemerintah, maka yang waras harus ngalah.

Jujur saja, selama tahun 2016, gonjang-ganjing politik dalam negeri didominasi lelucon politik. Menghadapi kemelut lokal, presiden terkadang malah urun komentar. Wakil presiden yang ahli celetuk, kesaing. Lebih heboh lagi. Media daring memang ciri khasnya memproduksi berita garing. Maunya menjilat tetapi sejatinya menghujat. [HaeN]

ujaran presiden Joko Widodo adalah hukum



ujaran presiden Joko Widodo adalah hukum

Masyarakat Jawa, khususnya yang nuansa kerajaan masih kental, masih lekat dengan adat istiadat, tata karma dan adab interaksi sosial. Banyak hal yang masih dilestarikan, walau ada yang disesuaikan dengan tantangan zaman. Salah satunya adalah kata-kata raja adalah undang-undang. Ada juga yang masih berpegang pada konsep budaya “Deso Mowo Toto Negoro Mowo Coro”.

Hukum tatanegara tak begitu saja melepaskan atau menafikan makna “sabdo pandito ratu”.

Kembali ke periode pemerintah 2014-2019, walau bahasa politik yang menjadi acuan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat namun yang empunya mulut masih dibawah komumikasi, koordinasi, kendali pelaku ekonomi.

Singkat kata, saya tertarik judul di laman http://nasional.kompas.com/read/2016/09/03/18252911/jokowi.yakinkan.pengusaha.china.akan.kemudahan.berinvestasi.di.indonesia :

Jokowi Yakinkan Pengusaha China akan Kemudahan Berinvestasi di Indonesia
Sabtu, 3 September 2016 | 18:25 WIB
 Saya tertarik pada alenia terakhir yang tertulis :
Oleh sebab itu, Jokowi mengundang pengusaha China untuk berinvestasi di Indonesia. Presiden menjamin akan memberi kemudahan bagi para investor saat menanamkan uangnya di tanah air.

Jadi apa saja bentuk jaminan presiden dalam hal memberi kemudahan bagi para investor China saat menanamkan uangnya di Indonesia. Hanya Jokowi dan sopir bajaj yang tahu. [HaeN]

Jumat, 30 Desember 2016

Menakar Rasio Tenaga Kerja Asing



Menakar Rasio Tenaga Kerja Asing

Antara pemerintah RI dengan negara RRT, pernah akrab, puncaknya di zaman Orde Lama. Berakhir drastis ketika meletus pemberontakan, makar, kudeta kedua kalinya oleh PKI. Madiun Affair 1948 dan G30S PKI 1965.

Pada periode 1999-2004 sesuah reformasi 21 Mei 1998, hubungan RI dengan China terjalin lagi. Sentimen historis eksistensi kaum dan peranakan Tionghwa sejak jaman penjajahan Belanda, menjadikan penguasa negara harus pandai-pandai memposisikan diri.

Terlebih ketika pelaku ekonomi, dari hulu sampai hilir, dibawah komunikasi, koordinasi dan kendali China. Singkat kata, periode pemerintah 2014-2019 tak bisa lepas dari konspirasi, kolusi, komplotan negara Tirai Bambu.

Kepedulian, apresiasi, respon dan daya tanggap presiden Jokowi atas sinyalemen serbuan 10 juta tenaga kerja China, mengindikasikan ingin membuktikan adagium “ada asap ada api”.

Agar tak terseret arus debat ala pokrol bambu, debat kusir atau sebutan zaman sekarang. Saya coba berandai-andai.

Mencuplik siaran pers Kepala BKPM “Indonesia Sebenarnya Kekurangan TKA” di laman BKPM.  Jakarta, 29 Desember 2016 - Rasio penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja yang ada masih sangat rendah. Total jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia hanya 74.000 (tujuh puluh empat ribu) atau 0,062% dari total tenaga kerja sebesar 120 juta.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong menilai angka rasio tersebut masih sangat, amat rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. "Di Qatar 94% tenaga kerja asing, di Uni Arab Emirat bahkan 96%, Singapura 36%. Yang itu mungkin ekstrem ya, tapi Amerika Serikat 16,7%, Malaysia 15,3%, dan Thailand 4.5%" ujarnya dalam keterangan resmi kepada media, Kamis (29/12).

Laman lain, milik KOMPAS, menayangkan warta “Di Era MEA, Rasio Tenaga Kerja Asing di Industri Migas Indonesia Rendah”. Rabu, 5 Oktober 2016 17:30 WIB, saya ambil 3 (tiga) alenia tertama :

BANDUNG, KOMPAS.com - Kepala Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengatakan, selama delapan tahun terakhir SKK Migas berhasil mempertahankan rasio penggunaan tenaga kerja asing (TKA) tak lebih dari empat persen.

Sementara itu, pada 2015 berdasarkan data SKK Migas tercatat jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) pada industri hulu migas mencapai 31.742 orang atau sekitar 97 persen dari total tenaga kerja di sektor hulu migas.

Amien menuturkan, dalam kurun waktu satu dekade terakhir penggunaan TKI memang mengalami peningkatan.

Hebatnya lagi, Pasal 3 yang terdiri dari dua ayat di Permenaker 16/2015 tentang Tata Cara Pengunaan Tenaga Kerja Asing, dihapus oleh Permenaker 35/2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 tahun 2015 tentang Tata Cara Pengunaan Tenaga Kerja Asing.

Entah karena di Pasal 3, khususnya ayat (1) Permenaker 16/2015 tersurat
(1)      Pemberi kerja TKA yang memperkerjakan 1 (satu) orang TKA harus dapat menyerap TKI sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pada perusahaan pemberi kerja TKA.

Lepas dari dalih penghaspusan pasal di atas, kita kembali ke rasio versi BKPM maupun pola SKK Migas. Katakana, kita pakai rasio 4% TKA dari dari total tenaga kerja di Indonesia sebesar 120 juta, atau sebanyak  4.800.000 jiwa.

Andai pasal 3 ayai (1) Permennaker 16/2015 tidak dihapus, yang hanya berlaku mulai 29 Juni 2015 sampai 23 Oktober 2015, maka akan terdapat atau diizinkan adanya 12 juta TKA.

Jadi kalau ada angka ajaib yaitu 10 juta Tenaga Kerja China, masih bisa diterima akal sehat. Namun akal, logika, nalar politik berkata sesuai arah angin yang kuat. [HaeN]