Halaman

Rabu, 29 November 2017

krisis cadangan devisa penguasa vs krisis ambang batas sabar pribumi



krisis cadangan devisa penguasa vs krisis ambang batas sabar pribumi

Pelajaran sejarah di bangku sekolah ternyata bisa menentukan karakter generasi pemilik masa depan bangsa. Penjajah bangsa Belanda dengan sistematis memutus mata rantai sejarah asal-muasal bangsa Indonesia.

Ahli sejarah negara adidaya dengan cerdas mengatakan, bahwa tidak ada fakta masuknya agama Islam ke Nusantara dengan cara perang saling libas.

Salah satu Wali dari Wali Songo yang pribumi, mampu menandingi ilmu dan kesaktian penguasa tanah Jawa yang bermarkas di gunung Tidar, Jawa Tengah. Gunung Tidar jika ditarika garis ke barat dan ke timur, maka posisinya ada di tengah pulau Jawa. Pusatnya pulau Jawa.

Penguasa pulau Jawa berkompromi dengan Sunan Kalijaga. Islam masuk ke relung hati, lubuk jiwa masyarakat Jawa saat itu dengan tanpa menggusur habis, menggeser tanpa sisa kepercayaan yang sudah turun temurun.

Tak heran, penguasa periode 2014-2019 sudah jamak, lazim dan budaya politiknya untuk memanupulasi, merekayasa maupun memutarbalikkan fakta sejarah. Tentunya bukan tanpa maksud, tujuan dan sasaran kondisi yang diharapkan. Bahkan agar tampak wibawa negara, maka skenario, konspirasi dengan tenaga luar negeri, diprioritaskan.

Jurus cakar naga merah menjadi andalan penguasa. Loyalis semakin menunjukkan jati dirinya sebagai perpanjangan tangan negara sponsor kudeta, makar PKI di rahun 1948 dan tahun 1965. Betul kawan, anak cucu ideologi komunis tak ada matinya, tak akan kapok, jera dan pantang surut.

Kelompok sipil bersenjata karena melaksanakan misi penebus dosa dengan menebas demokrasi dari dalam, hanya dianggap kelompok aliran kriminal kambuhan. Jelas penguasa kalah pamor dengan kelompok berlatar belakang ahli pemurtadan. Hebatnya lagi murtad ideologi malah menjadi cara naik strata.

Justru kalau tidak bisa mempraktiikan ideologi asing yang bulat-bulat non-Pancasila merasa tak bisa melaju ke periode berikutnya. [HaèN]

kerugian wisata lokal akibat bencana politik Nasional



kerugian wisata lokal akibat bencana politik Nasional

Siklus bencana politik lima tahunan, tapi tiap saat terasa sampai tulang sumsum rakyat dan tulang punggung Ibu Pertiwi. Semakin adegan, atraksi, acara gonjang-ganjing politik membara, justru menjadi daya tarik wisatawan politik mancanegara.

Investor politik dari negara paling bersahabat dengan NKRI, siap menjadikan generasi digital jadi budak di negeri sendiri. Mulai dari uang pinjaman alias utang luar negeri, teknologi asing diterapkan disemua lini kehiodupan masyarakat, sampai bantuan tenaga kerja asing, menjadi prioritas utama penguasa. Mumpung aji vs aji mumpung.

Sejarah memang selalu berulang, sebagai pelajaran bagi pribumi yang tak pernah ingkar akan manfaat serta mempraktikkan sila-sila Pancasila.

Krisis cadangan devisa negara diperkuat dengan fenomena alam, membuat pihak tertentu sudah pasang kuda-kuda. Semua merapat dalam ikatan ideologi kawanan penguasa 2014-2019. Berharap satria piningit dari negara naga merah akan turun. Menambah batuan utang luar negeri sampai mengirim manusia buangan di negerinya, tapi bisa jadi raja di NKRI.

Krisis idelogi atau tepatnya tidak adanya negarawan di periode 2014-2019 akan semangkin menyuburkan krisis cadev. Loyalis Jokowi plus/minus JK, hanya sebagai beban tetap rganda atas jalannya revolusi mental. Merongrong dari dalam persatuan dan kesatuan Indonesia.

Bukan masalah waktu. Doa rakyat sudah semakin berdengung, berdenging di telinga penguasa. Suara dari langit sudah terdengar sayup-sayup namun pasti. [HaèN]

INDOSAT ahli sedot dan mahir hisap pulsa utama IM3



INDOSAT ahli sedot dan mahir hisap pulsa utama IM3

Namanya buatan manusia, semacam teknologi informasi dan komunikasi (TIK), nyatanya bisa direkayasa untuk kepentingan diri sendiri, pihak tertentu dan/atau kelompok usaha atau korporasi. Semangkin komersial, semangkin modus modal balik menjadi lagu wajib.

Asas “the man behind the gun” dioptimalkan untuk semua langkah dan tahapan berbasis komersial atau uber untung. Saking rajinnya, bisa-bisa memang bisa Rp demi Rp diraih, diraup. Kalau perlu dengan langkah proaktif, jemput bola. Bilamana dirasa perlu malah rogoh kantong pelanggan. Maksudnya seperti layanan Indosat.

Sebagai pemilik nomor berawal 0856, Indosat menawarkan paker SMS  dan paket utama. Beli paket sms 10 ribu dapat 600 sms ke ISAT dan 200 sms ke operator lain. Beli paket utama 10 ribu, bisa untuk menelpon.

Masalahnya, kalau Indosat kirim sms dengan berita ulang, tiap hari. Atau bahkan sehari bisa 3x. Maka tanpa ba-bi-bu-be-bo, otomatis pulsa utama akan berkurang.

Hebatnya lagi, dalam hitungan hari, pulsa utama di hp-ku tinggal Rp 97, t.m.t 29 November 2017 pukul 07:10:36.

In sya Allah, dengan saldo pulsa utama sekecil Rp 97, semoga sms masuk dari Indosat semangkin gencar. Dengan berita ulang. [HaèN]

Selasa, 28 November 2017

wibawa negara vs nasionalisme pribumi



wibawa negara vs  nasionalisme pribumi

Hukum keseimbangan menyebutkan bahwasanya :

Pertama, barangsiapa dengan sengaja semakin meninggalkan akar rumput, rakyat papan bawah, demi kejar, raih nikmat dunia, maka akan berbanding lurus dengan lunturnya nilai-nilai Pancasila.

Kedua, barangsiapa dengan dalih menjaga wibawa negara di mata negara paling bersahabat, maka dengan aneka pasal mégatéga akan menjadikan kesenjangan ideologi malah menjadi acuan utama.

Rakyat bersyukur karena pilihan dan pilihannya semanakin mengkerucut, dengan adanya modus operandi penguasa malah semakin mendekatkan diri dengan Allah swt. Ibarat naik bisa kota di ibukota NKRI atau ibukota provinsi, yang mana dimana, sang sopir karena uber setoran, saling berebut penumpang. Bahkan dengan satu perusahaan.

Satu kaki penumpang baru masuk satu, langsung bis tancap gas. Bis sudah sarat penumpang, tetap dijejali. Itu doeloe, sebelum angkutan online belum ada. Saat itu, angkutan umum semisal bis kota (sebut saja metro mini di Jakarta) dengan fasilitas full doa.

Sang sopir di periode 2014-2019, tentunya tidak sekedar ugal-ugalan bak sopir maut metro mini. Tidak sekedar membahayakan penumpang. Tapi sudah membahayakan pengguna jalan atau bahkan masyarakat sekitar jalan.

Jika untuk mendapatkan bintang jasa perang sudah susah, karena tidak ada konflik atau medan perang. Bisa direkayasa, sehingga aparat pertahanan dan keamanan masih mendapat ajang permainan.

Aroma irama daya juang ideologis penguasa sudah tidak memperhitungkan seberapa jauh pengorbanan rakyat atau seberapa besar rakyat akan dikorbankan.

Antara penjilat dan/atau penghujat, merapatkan barisan menjadi korporasi penebar, penabur fitnah dunia. Merekaya ujar kebencian sebagai dalih untuk memasukkan unsur asing sebagai perpanjangan tangan atau bantuan dengan imbal balik menjual negara. [HaèN]

Hukum Tergantung Tersangka



Hukum Tergantung Tersangka

Indonesia sebagai negara yang sedang, akan dan selalu berkembang, maka praktik hukum bersifat dinamis. Ditambah dengan status sebagai negara multipartai maka kamus politik dab bahasa politik bisa menjadi sumber dan acuan utama hukum.

Pedang Dewi Keadilan ternyata punya mata. Tahu siapa sasarannya. Bukannya mengacu pada pasal yang dilanggar, tetapi lebih berpihak kepada siapa yang berperkara. Hukum kesimbangan berlaku, yaitu semakin kaya, kuat, kuasa pihak tergugat, tersangka maka akan semakin tumpul pedang hukum.

Periode 2014-2019 ditandai sebagai éra mégatéga, serbatéga, multitéga. Penguasa dalam kondisi terkendali saja sudah mempraktikkan pasal serbatéga. Dengan dalih menjaga kestabilan wibawa negara serta mengamankan konsistensi citra, pesona kepala negara, maka aparat penegak hukum berhak melakukan tindak réprésif. Kendati sikap réprésif pemerintah, tanda lemah diri vs sarat beban sponsor.

Walhasil, jika hukum menyibak  mégakasus terkait  mégakorupsi, bisa-bisa bisa saja KPK bak menabrak dinding yang kokoh. Pedang keadilan bisa menjadi senjata makan tuan, balik menebas leher, senjata makan tuan. KPK tak akan melupakan episode Cicak vs Buaya, sebagai sinyalemen akan kualat melawan penguasa.[HaèN]