ironi
bangsa besar, lupa sejarah vs bangga sejarah
Kalau mau dan beritkad menulusuri akar
permasalahan dinasti politik atau sebuatn lainnya, sistem keluarga, pemerintah
bayangan, makar konstitusional maka akan mengarah pada karakter, dan daya adab
anak bangsa, putera-puteri asli daerah.
Betapa anak cucu ideologis, tidak
hanya hak milik PKI saja, tetapi sampai ke sebuah parpol spesialis pesta
demokrasi. modal nama besar kakek-nenek moyangnya sebagai pejuang bangsa. Minimal
pejuang politik, manusia politik yang sukses karir duniawi.
Oknum pelanjut atau pewaris 3TA
(takhTA, harTA, jeliTA yang disederhanakan liwat sang reformis menjadi Berhala Reformasi
3K (kuasa, kaya, kuat), urat malu sudah putus. Diganti dengan urat berani malu,
ditambah urat berani malu-maluin.
Zaman Orde Baru, yang menjadi musuh
rakyat adalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Pemerintah tetap
berupaya mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pasca reformasi yang bergulir mulai
dari puncaknya, 21 Mei 1998, saat presiden kedua RI lengser keprabon,
maka proses masyarakat adil dan makmur bertambah dengan sejahtera.
Periode 2014-2014 variasi
kesenjangan, ketimpangan membuahkan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.
Puncak kesenjangan terjadi pada reklamasi teluk atau pantai utara Jakarta.
Kecerdasan ideologi ditandai dengan
cerdas sejarah. Katakana, ada generasi penerus yang alergi, antipasti dengan
kata pribumi. Ini bukti keterbelakangan mental. Namun kuat daya patuh, loyal,
taat, setia. Khususnya kepada piihak non-pribumi. Pemihak ini menyusun barisan,
berdiri paling depan membela kepala negara. Pejah gesang entah nderek siapa. Lambaian
surga dunia lebih memikat ketimbang bela negara.
Main politik dengan manusia ekonomi
atau mbahnya manusia ekonomi yang berasal dari negara paling bersahabat,
menjadikan serbatega merajut sejarah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar