Halaman

Rabu, 30 November 2016

Alhamdulillah, betapa bermanfaatnya uang logam 100 Rp




Alhamdulillah, betapa bermanfaatnya uang logam 100 Rp

              Jika kita berjalan kaki, sejauh ukuran beberapa ratus meter, akan kita temui uang logam di badan jalan, bahu jalan.  Ada yang masih bisa dibelanjakan, ada yang sudah pipih dua sisi. Masih kalah dengan suku cadang otomotif yang berceceran. Lebih jeli, suku cadang yang terlepas, banyak yang serupa. Terlebih yang drat atau ulir kasar.

Jangan dihitung, berapa sampah anorganis, bekas kemasan makanan / minuman bertebaran bebas. Sebagai sampah logam, masih bisa kita temui paku segala bentuk, bahan dan ukuran.  Sekrup, potongan kawat, lembaran seng, atau remukan alat rumah tangga, dan masih banyak lagi yang sudah berkarat.

Tempat parkir, jalan yang dijaga pak Ogah, banyak uang logam 200 Rp, 100 Rp bertebaran. Mau dipungut, tak seberapa dan malah membahayakan lalu lintas.

Belanja di toko kelontong, warung, sang penjual harus sedia uang receh untuk kembalian atau susuk (bahasa Jawa). Sopir angkot pun juga harus sedia uang receh atau uang logam. Zaman sekarang ini uang kertas 1.000 Rp sudah langka. Uang logam 1.000 Rp juga jarang dipakai. Karena bahan beda dengan uang logam lainnya, menjadi sayang kalau dipakai untuk belanja. Manfaat lain, uang logam seribu Rp bisa untuk kerokan badan.

Di super market, ketika permen tidak boleh sebagai pengganti uang receh untuk kembalian, maka jika total pembelian yang harus dibayar ada buntut 400 Rp, 300 Rp, 200 Rp dan atau 100 Rp, sang kasir otomatis tanya apakah pembeli punya uang dimaksud.

Akhir bulan nopember 2016, alhamdulillah masih ada uang di kantong. Asumsi yang belanja ke super market kemungkinan lengang, kuputuskan untuk belanja. Tepatnya, memanfaatkan uang belanja bulanan yang tak terserap habis.

Modal dua lembar uang merah, dengan gagah dan yakin diri saya masuk super market di bilangan Tangerang Selatan. Menenteng tas kain sebagai pengganti kantong plastik yang harus bayar serta keranjang belanja, saya pilih keperluan bulanan. Jangan dislahkan kalau saya belanja keperluan diri sendiri. Beli susu dengan teraan ‘51+’. Teh hijau dengan dalih kesehatan. Susu jahe, oats impor serta makanan ringan teman main laptop. Beli ala kadarnya, untuk menyambung stok jika desember nanti kita tak tahu pasti apakah masih bisa belanja atau menghabiskan persediaan pangan.

Pengalaman belanja, yang saya beli tak sampai selembar uang merah bergambar 2 Proklamator RI. Keranjang memang agak berat dijinjing, karena saya bawa payung lipat. Sesuai peribahasa “sedia payung sebelum hujan”. Saya cari makanan ringan yang murah. Dalam arti berat berdasarkan atau sesuai komposisi yang kauh dari perasa buatan, pewarna berbahaya dan pengawet tak tentu rimbanya, lepas dari merek.

Saya pilih kasir yang sepi. Pembelinya hanya bawa kerjanjang, tidak bawa troli apalagi sampai menggunung. Memang ada kasir khusus bayar dengan uang pas. Klas rakyat, begitulah stratanya. Bahkan ada pembeli, barangnya cukup dibawa tangan.

Giliran saya, langsung ditanya : “Cuma ini pak, tidak ada yang lain?”. Saya cuma menganggukan kepala, sedikit nyengir. “Bawa tempat?”, kasir bertanya lagi. Saya tujukkan dan buka tas yang ada di keranjang belanja. Isinya saya keluarkan, bukti hanya berisi milik pribadi. Tas tak tersisi penuh. Kulirik mesin kasir, tidak sampai selembar uang merah, 3/4nya lebih 100 perak.

“Punya uang seratus rupiah pak?”

Berbegas uang logam segepok saya keluarkan dari saku celana kanan. Sebagian besar hasil temuan di jalan. Lega, masih ada uang seratus Rp. Tidak lecek, tidak lusuh, karena uang logam. Jadi uang 100 ribu Rp yang kuserahkan ke kasir, kutambah uang logam 100 Rp. Kembalinya 3 lembar uang kertas dengan nominal 25 ribu Rp.

Namanya uang kawan. Walau seratus, dua ratus, tiga ratus, harus kita bayar. Bukannya kasir tidak punya uang receh/uang logam sebagai kembalian. Dan, ini yang penting, jika tiap pembeli kurang membayar seratus, dua ratus, tuga ratus rupiah, katakana dalam sehari ada berapa pembeli. Saat cek pemasukan uang di kasir, beda atau kurang dengan total data. Kekurangannya tanggung jawab kasir. Menurut medsos, pernah terjadi selisih bayar sampai puluhan ribu. Kasir yang wong cilik, ijazah SMA, uang sekecil 10 ribu Rp sangat berharga. Bisa dibela-belain. 

Bagi kita, sedikan uang logam 100 rupiah, 200 rupiah, justru saat belanja di super market. Kecuali akai uang atau kartu gesek. Ternyata jika saya tak bisa bayar 100 Rp, termasuk menzalimi sang kasir. Uang tetap uang. Apalagi uang logam hasil temuan. Mau apa lagi. [HaeN]










             


makar konstitusional, papa minta saham vs papa minta kursi ketua DPR kembali



makar konstitusional, papa minta saham vs papa minta kursi ketua DPR kembali

Sejarah Orde Baru ditulis, dirilis, dilansir, dipublikasikan oleh penguasa atau minimal yang tahu diri dengan situasi dan kondisi zaman. Pancasila Sakti menggema sepanjang era Orde Baru.

Kedigdayaan, kepahlawanan sang penguasa tunggal Orde Baru, dikisahkan secara heroik. Dengan mengedepankan, mengutamakan seloka “mikul dhuwur mendhem jero” (bisa njunjung drajade wong tuwa), menjadi jiwa dan warna otobiografi senyum sang jenderal.

Di sisi lain, tepatnya pihak yang bisa membaca zaman, katakan dia adalah Golongan Karya (golkar), wujudnya bukan partai politik. Golkar menyediak diri menjadi kendaraan politik sang penguasa tunggal Orde Baru. Sehingga selama 6x berturut-turut lewat pemilu berhasil mempertahankan bapak Suharto sebagai RI-1 yang kedua.

Selain produk utama, prodk unggulan berupa ‘presiden’ golkar juga membuat produk sampingan, mulai dari pembantu presiden sampai aparat di tingkar desa/kelurahan. Tak terkecuali merekrut preman jalanan untuk menjadi herder-nya. Contoh, munculnya Gabungan Anak Liar (gali) di Yogya dan sekaligus dijadikan onyek petrus (penembak misterius) di awal atau sekitar tahun 1980-an.

Nyaris lupa, apa kaitan rangkaian kata di atas dengan judul.

Kisah selanjutnya, sejak era Reformasi yang mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, golkar mengalami penggembosan, pengkeroposan dari dalam, secara internal. Golkar melahirkan banyak partai politik. Golkar secara sistematis mengalami proses mritili, mrutuli dan mrotoli diri. Golkar mengalamai penyederhanaan ideologis menjadi partai politik.

Sempalan golkar ada yang bisa berkibar, Berjaya. Katakan SBY yang dua periode jadi RI-1 ke-6, adalah terdampak program kuningisasi di tubuh militer.

Bagaimana dengan oknum petinggi golkar peninggalan Orde Baru. Karena pola rekrutmen, akhirnya banyak petualang, pialang politik merasa aman berlabu di partai Golkar (PG). Banyak pesohor yang numpang nampang, numpang liwat, numpang hidup di PG.

Posisi PG terhadap pemerintah yang sedang berjalan, dengan menjalankan asas “tahu sama tahu”. Menjadi semacam benalu politik, parasit politik. Masih ingin mengulang kejayaan di masa Orde Baru, dengan menghalalkan segala tindak dan cara. Semua langkah politik yang diambil oleh oknum PG, dengan merekayasa serta berbasis pasal, hukum, konsitusi yang diolah sah dan masuk akal politik.

PG, kalau tak bisa mendengkul bisa pakai cara merangkul lawan, khususnya lawan politik. Ini cara ampuh, manjur, mujarab, cespleng yang menjadi andalan golkar sejak di Orde Baru. Tak salah jika jangan memakai kacamata moral untuk menakar kadar ideologi/politik oknum PG, tak terkecuali bahkan ketum PG sekalipun.[HaeN]

Selasa, 29 November 2016

uji nyali calon "tukang makar"



uji nyali calon "tukang makar"

Kendati Kapolri merestui  aksi damai 212 yang merupakan Aksi Bela Islam III, malah semakin melagukan lagu wajib klasik. Betapa  secara adat, Kapolri memposisikan diri di antara penguasa dan pengusaha.

Pemerintah hanya mengukur berapa kerugian pelaku ekonomi atau pengusaha non-pribumi akibat roda ekonomi di ibukota negara tidak bisa ngebut atau terhenti akibat pergerakan massa.

Sinyalemen makar versi Kapolri yang digulirkan jauh hari sebelum rencana 2511, yang kemudian diperhalus hanya ditujukan kepada pendompleng, lagi-lagi semakin buka aib diri. Kemana keperpihakan Kapolri semakin nyata.

Agar opini ini tidak masuk kategori ujar kebencian (hate speech) sebagaimana Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/06/X/2015, tanggal 8 Oktober 2015, tentang PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH). Saya ajak pembaca menyimak dengan seksama UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 5 Ayat (1) : “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.”

Secara hukum, penjelasan atas Pasal 5 yang terdiri dari 2 ayat, dengan tulisan “cukup jelas”. Justru oknum Kaplori dalam mengartikan Pasal 5 Ayat (1) tersebut menjadi multitafsir, multimakna, multiguna.  Bila dianggap layak, bisa dipraktikkan secara kontra produktif.

Jika geliat rakyat, walau sebatas hanya pada Aksi Bela Islam, sudah menjadi momok bagi Polri, yang menjadikan Kapolri malah menebar angin, agar bisa menuai badai. Bukan berarti operasi gaduh Kapolri sesuai skenario penguasa. Katakan sejujurnya, bahwa Presiden tidak mampu menghadapi makar konstitusional. Dalam situasi gaduh politik, kemelut politik, akibat makar konstitusional yang selalu tetap bergulir, sebagai efek domino politik transaksional, tak heran jika penguasa/pengusaha menggulirkan wacana makar inkonstusional. [HaeN]