Alhamdulillah,
betapa bermanfaatnya uang logam 100 Rp
Jika kita berjalan kaki, sejauh ukuran beberapa ratus meter, akan kita temui uang logam di badan jalan, bahu jalan. Ada yang masih bisa dibelanjakan, ada yang sudah pipih dua sisi. Masih kalah dengan suku cadang otomotif yang berceceran. Lebih jeli, suku cadang yang terlepas, banyak yang serupa. Terlebih yang drat atau ulir kasar.
Jangan dihitung, berapa sampah anorganis, bekas kemasan makanan / minuman
bertebaran bebas. Sebagai sampah logam, masih bisa kita temui paku segala
bentuk, bahan dan ukuran. Sekrup,
potongan kawat, lembaran seng, atau remukan alat rumah tangga, dan masih banyak
lagi yang sudah berkarat.
Tempat parkir, jalan yang dijaga pak Ogah, banyak uang logam 200 Rp, 100 Rp
bertebaran. Mau dipungut, tak seberapa dan malah membahayakan lalu lintas.
Belanja di toko kelontong, warung, sang penjual harus sedia uang receh
untuk kembalian atau susuk (bahasa
Jawa). Sopir angkot pun juga harus sedia uang receh atau uang logam. Zaman sekarang
ini uang kertas 1.000 Rp sudah langka. Uang logam 1.000 Rp juga jarang dipakai.
Karena bahan beda dengan uang logam lainnya, menjadi sayang kalau dipakai untuk
belanja. Manfaat lain, uang logam seribu Rp bisa untuk kerokan badan.
Di super market, ketika permen tidak boleh sebagai pengganti uang receh
untuk kembalian, maka jika total pembelian yang harus dibayar ada buntut 400
Rp, 300 Rp, 200 Rp dan atau 100 Rp, sang kasir otomatis tanya apakah pembeli
punya uang dimaksud.
Akhir bulan nopember 2016, alhamdulillah masih ada uang di kantong. Asumsi yang
belanja ke super market kemungkinan lengang, kuputuskan untuk belanja. Tepatnya,
memanfaatkan uang belanja bulanan yang tak terserap habis.
Modal dua lembar uang merah, dengan gagah dan yakin diri saya masuk super
market di bilangan Tangerang Selatan. Menenteng tas kain sebagai pengganti
kantong plastik yang harus bayar serta keranjang belanja, saya pilih keperluan
bulanan. Jangan dislahkan kalau saya belanja keperluan diri sendiri. Beli susu
dengan teraan ‘51+’. Teh hijau
dengan dalih kesehatan. Susu jahe, oats impor serta makanan ringan teman main
laptop. Beli ala kadarnya, untuk menyambung stok jika desember nanti kita tak
tahu pasti apakah masih bisa belanja atau menghabiskan persediaan pangan.
Pengalaman belanja, yang saya beli tak sampai selembar uang merah bergambar
2 Proklamator RI. Keranjang memang agak berat dijinjing, karena saya bawa payung
lipat. Sesuai peribahasa “sedia payung sebelum hujan”. Saya cari makanan ringan
yang murah. Dalam arti berat berdasarkan atau sesuai komposisi yang kauh dari
perasa buatan, pewarna berbahaya dan pengawet tak tentu rimbanya, lepas dari
merek.
Saya pilih kasir yang sepi. Pembelinya hanya bawa kerjanjang, tidak bawa troli
apalagi sampai menggunung. Memang ada kasir khusus bayar dengan uang pas. Klas rakyat,
begitulah stratanya. Bahkan ada pembeli, barangnya cukup dibawa tangan.
Giliran saya, langsung ditanya : “Cuma ini pak, tidak ada yang lain?”. Saya
cuma menganggukan kepala, sedikit nyengir. “Bawa tempat?”, kasir bertanya lagi.
Saya tujukkan dan buka tas yang ada di keranjang belanja. Isinya saya
keluarkan, bukti hanya berisi milik pribadi. Tas tak tersisi penuh. Kulirik mesin
kasir, tidak sampai selembar uang merah, 3/4nya lebih 100 perak.
“Punya uang seratus rupiah pak?”
Berbegas uang logam segepok saya keluarkan dari saku celana kanan. Sebagian
besar hasil temuan di jalan. Lega, masih ada uang seratus Rp. Tidak lecek,
tidak lusuh, karena uang logam. Jadi uang 100 ribu Rp yang kuserahkan ke kasir,
kutambah uang logam 100 Rp. Kembalinya 3 lembar uang kertas dengan nominal 25
ribu Rp.
Namanya uang kawan. Walau seratus, dua ratus, tiga ratus, harus kita bayar.
Bukannya kasir tidak punya uang receh/uang logam sebagai kembalian. Dan, ini
yang penting, jika tiap pembeli kurang membayar seratus, dua ratus, tuga ratus
rupiah, katakana dalam sehari ada berapa pembeli. Saat cek pemasukan uang di
kasir, beda atau kurang dengan total data. Kekurangannya tanggung jawab kasir. Menurut
medsos, pernah terjadi selisih bayar sampai puluhan ribu. Kasir yang wong
cilik, ijazah SMA, uang sekecil 10 ribu Rp sangat berharga. Bisa dibela-belain.
Bagi kita, sedikan uang logam 100 rupiah, 200 rupiah, justru saat belanja
di super market. Kecuali akai uang atau kartu gesek. Ternyata jika saya tak
bisa bayar 100 Rp, termasuk menzalimi sang kasir. Uang tetap uang. Apalagi uang
logam hasil temuan. Mau apa lagi. [HaeN]