Politika Dibaca :33 kali , 0 komentar
Ironi Syahwat Politik Ulama
Ditulis : Herwin Nur, 31 Juli 2014 | 14:14
Peringatan tertulis “matikan HP anda” ditempel di dinding, di kolom masjid atau diumumkan sebelum sholat berjamaah, menjadi hal lumrah dan biasa. Imam yang peduli pada makmumnya, mengingatkan shaf agar rapat dan perhatikan posisi tumit di batas belakang sajadah. Sebagai sahnya sholat berjamaah.
Masjid mengalami revolusi fisik yang bisa dibilang nyaris drastis, jamaah bisa-bisa dininabobokan, merasa dimanjakan, merasa nyaman, merasa betah beribadah maupun melaksanakan berbagai kegiatan berbasis masjid.
Masjid secara fisik didesain dalam skala tuhan, dengan kolom besar tinggi, beratap kubah. Manusia merasa kecil berada di rumah Allah, sekaligus merasa dekat dengan-Nya.
Pilar Politik
Di dunia ini, wajar jika manusia merasa aman, nyaman bahkan punya nyali jika berada atau dekat dengan poros kekuasaan penyelenggara negara. Petugas partai politik (parpol) atau pekerja politik mendominasi trias politika melalui arisan lima tahun sekali, yang disebut pesta demokrasi sampai tingkat kabupaten/kota.
Ulama Indonesia terkontaminasi urusan dunia yang disajikan oleh kawanan parpolis. Secara individu, komunitas bahkan dalam tataran dan tatanan ormas (organisasi kemasyarakatan) Islam ataupun parpol Islam, secara sukarela dan nyata, bukannya sekedar menggunakan hak pilih dalam pilpres, bahkan dengan bangga mendukung pasangan capres dan cawapres. Kapasitas dan kapabilitas capres dan cawapres dinilai karena dari kaumnya, minimal anggota pasif ormas Islam.
Tanpa basa basi, ulama Indonesia bersandar di pilar politik yang seolah nampak kuat dan pilihan rakyat. Strategi oknum atau barisan ulama Indonesia adalah sederhana, dekat penjual minyak wangi akan kebagian bau wangi. Politik transaksional menjadi dasar pendekatan. Di dunia terjadi politik balas jasa, bagi-bagi kursi kekuasaan. Ormas Islam yang secara historis menangani pendidikan, kesehatan dan berbagai aspek kemanusiaan, berharap jadi pembantu presiden.
Pengayom Umat
Atribut haji, gelar akademis atau pengalaman politik menjadikan ulama menjadi merasa bisa mengatur negara, merasa layak mengelola rakyat yang serba multi, multi reliji, multi etnis, multi kultur.
Di antara pilar-pilar politik, ulama bukannya merasa kecil sebagai hamba Allah, malah merasa sebagai bagian dari penguasa negara. Syahwat politik telah membelenggu hati nurani, telah mengendalikan daya juang untuk kemaslahatan umat.
Fatwa politik ulama jauh dari menjaga eksistensi umat, membiarkan umat terjerumus ke persaingan bebas. Pada gilirannya membiarkan umat terjun bebas dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Fungsi sebagai pengayom umat ditanggalkan dan ditinggalkan demi kursi kekuasaan. Mencampuradukkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Umat dibiarkan berjuang sendiri, berjibaku memperjuangkan hidup. Ulama menjadi jabatan formal, kemungkinan berkembang menjadi jabatan politik. Menempatkan posisi ulama harus diketahui dan direstui oleh negara.
Dua periode SBY, 2004-2009 dan 2009-2014, membuktikan bahwa ulama mengkritisi kebijakan pemerintah karena ada agenda terselubung. Merasa tidak diajak dalam menyusun undang-undang. Merasa lebih pro-rakyat dan anti intimidasi asing.
Ironis, jika ulama termakan dogma yaitu berkuasa agar bisa memimpin atau menjadi pemimpin agar bisa berkuasa. [HaeN/Wasathon.com].