Halaman

Kamis, 31 Juli 2014

Ironi Syahwat Politik Ulama

 Politika     Dibaca :33 kali , 0 komentar

Ironi Syahwat Politik Ulama

 Ditulis : Herwin Nur 31 Juli 2014 | 14:14

Peringatan tertulis “matikan HP anda” ditempel di dinding, di kolom masjid atau diumumkan sebelum sholat berjamaah, menjadi hal lumrah dan biasa. Imam yang peduli pada makmumnya, mengingatkan shaf agar rapat dan perhatikan posisi tumit di batas belakang sajadah. Sebagai sahnya sholat berjamaah. 
Masjid mengalami revolusi fisik yang bisa dibilang nyaris drastis, jamaah bisa-bisa dininabobokan, merasa dimanjakan, merasa nyaman, merasa betah beribadah maupun melaksanakan berbagai kegiatan berbasis masjid. 
Masjid secara fisik didesain dalam skala tuhan, dengan kolom besar tinggi, beratap kubah. Manusia merasa kecil berada di rumah Allah, sekaligus merasa dekat dengan-Nya. 
Pilar Politik
Di dunia ini, wajar jika manusia merasa aman, nyaman bahkan punya nyali jika berada atau dekat dengan poros kekuasaan penyelenggara negara. Petugas partai politik (parpol) atau pekerja politik mendominasi trias politika melalui arisan lima tahun sekali, yang disebut pesta demokrasi sampai tingkat kabupaten/kota. 
Ulama Indonesia terkontaminasi urusan dunia yang disajikan oleh kawanan parpolis. Secara individu, komunitas bahkan dalam tataran dan tatanan ormas (organisasi kemasyarakatan) Islam ataupun parpol Islam, secara sukarela dan nyata, bukannya sekedar menggunakan hak pilih dalam pilpres, bahkan dengan bangga mendukung pasangan capres dan cawapres. Kapasitas dan kapabilitas capres dan cawapres dinilai karena dari kaumnya, minimal anggota pasif ormas Islam. 
Tanpa basa basi, ulama Indonesia bersandar di pilar politik yang seolah nampak kuat dan pilihan rakyat. Strategi oknum atau barisan ulama Indonesia adalah sederhana, dekat penjual minyak wangi akan kebagian bau wangi. Politik transaksional menjadi dasar pendekatan. Di dunia terjadi politik balas jasa, bagi-bagi kursi kekuasaan. Ormas Islam yang secara historis menangani pendidikan, kesehatan dan berbagai aspek kemanusiaan, berharap jadi pembantu presiden. 
Pengayom Umat
Atribut haji, gelar akademis atau pengalaman politik menjadikan ulama menjadi merasa bisa mengatur negara, merasa layak mengelola rakyat yang serba multi, multi reliji, multi etnis, multi kultur. 
Di antara pilar-pilar politik, ulama bukannya merasa kecil sebagai hamba Allah, malah merasa sebagai bagian dari penguasa negara. Syahwat politik telah membelenggu hati nurani, telah mengendalikan daya juang untuk kemaslahatan umat. 
Fatwa politik ulama jauh dari menjaga eksistensi umat, membiarkan umat terjerumus ke persaingan bebas. Pada gilirannya membiarkan umat terjun bebas dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. 
Fungsi sebagai pengayom umat ditanggalkan dan ditinggalkan demi kursi kekuasaan. Mencampuradukkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Umat dibiarkan berjuang sendiri, berjibaku memperjuangkan hidup. Ulama menjadi jabatan formal, kemungkinan berkembang menjadi jabatan politik. Menempatkan posisi ulama harus diketahui dan direstui oleh negara. 
Dua periode SBY, 2004-2009 dan 2009-2014, membuktikan bahwa ulama mengkritisi kebijakan pemerintah karena ada agenda terselubung. Merasa tidak diajak dalam menyusun undang-undang. Merasa lebih pro-rakyat dan anti intimidasi asing. 
Ironis, jika ulama termakan dogma yaitu berkuasa agar bisa memimpin atau menjadi pemimpin agar bisa berkuasa. [HaeN/Wasathon.com]. 

BERSETERU BERTAMBAH MUTU vs BERMUTU BERTAMBAH SETERU

Beranda » Berita » Opini
Senin, 10/12/2007 01:31

Sebagai penghuni dan penguasa bumi, manusia jangan sekali-kali menyekutukan Allah. Bisa-bisa amal seumur hidup akan musnah pada saat kita menyekutukan Allah. Sebagai makhluk hidup sepanjang hayat dan akan berakhir dengan kematian, jangan sekejap mata pun bersekutu dengan setan. Cara gampang menuju neraka adalah dengan bersekutu dengan setan. Perang Dunia ke II diakhiri dan dimenangkan oleh sekutu (1945). Kemenangan sekutu berlanjut sebagai polisi dunia, yang melebihi sepak terjang setan.

Bumi pun, melalui perubahan iklim dunia, dikorbankan oleh sekutu dan antek-anteknya. Kata sekutu bisa sebagai lawan kata seteru. Namun kata sekutu berkonotasi negatif. Senegatif yang memakainya dengan makna tersendiri, terselubung atau dengan maksud lain daripada yang lain (hn).


Rabu, 30 Juli 2014

Seleksi Adminsitrasi Dan Seleksi Alam


Anak didik lulusan SD masuk ke SMP hanya bermodal nilai ujian dan nilai rapor, banyak faktor yang harus diantisipasi. Jika satu rayon, satu kabupaten/kota tidak masalah, bahkan seperti boyongan pindah sekolah.

Masalah muncul jika SD obral nilai agar anak didiknya bisa lanjut ke SMP favorit atau minimal sesuai idamannya, namun nantinya tidak bisa mengikuti pelajaran, anak menjadi korban sistem. Anak pandai tetapi dari SD papan bawah, dengan nilai murni atau tidak direkayasa, bisa kalah bersaing dengan SD unggulan maupun SD obral nilai tadi.


Beban dari SMP menerima anak didik dengan seleksi adminstrasi, kwartal pertama sudah terjadi persaingan dan seleksi alam,  baru ditentukan klasnya. Klas ditentukan berdasarkan kualitas anak didik. Sistem ini bisa ada kesan diskriminasi pendidikan. Dampaknya, anak di klas papan bawah bisa merasa kurang percaya diri dan berujung menjadi anak banyak ulah [HaeN].

Selasa, 29 Juli 2014

REFORMASI MOLOR MELAHIRKAN TIRANI DAN REZIM

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 16/01/2004 14:23

REFORMASI MOLOR MELAHIRKAN TIRANI DAN REZIM

Orde Lama dan Orde Baru didaulat sejarah sebagai rezim atau tirani karena dua RI-1nya memerintah terlalu lama, melebihi satu periode jabatan mandataris MPR. Di zaman Orde Lama, penaubatan presiden seumur hidup. Di zaman Orde Baru, 6 kali Pemilu dimenangkan kekuatan "Pancasila Sakti". Terbukti bahwa MPR mandul dan tumpul. Lengserkeprabon Bapak Pembangunan lebih tepat dibilang masa transisi, bukan Reformasi.

Kalaupun dibilang Reformasi, berarti umur layak hidup Reformasi hanya sebatas 5 (lima) tahun. Lebih dari itu secara perlahan dan pasti kita memasuki era tirani dan rezim. Terlebih MPR dan DPR merupakan sisa kekuatan Orde Baru, sekaligus reinkarnasi Orde Lama - minimal masih memelihara status quo. Ke depan, tirani dan rezim diwarnai oleh parpol pemenang Pemilu 2004. Bahkan parpol tak ikut Pemilu 2004 berpotensi untuk menjadi tirani-tirani kecil. (hn)


Minggu, 27 Juli 2014

MALU BERTANYA SESAT DI JALAN, BANYAK BERTANYA SESATKAN JALAN

MALU BERTANYA SESAT DI JALAN, BANYAK BERTANYA SESATKAN JALAN 
Beranda » Berita » Opini
Rabu, 13/10/2010 12:36

Awak bangsa Nusantara memang piawai. Pabriknya sudah tutup lama, namun mobil produknya masih berseliweran di jalanan kota. Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat kita dijejali dengan berbagai wacana. Gaung utawa gema dampak bencana tetap terus bergulir, walau korban bencana sudah ikhlas. Acara wawancara TV swasta berbasis dialog, diskusi, debat dengan menghadirkan figur publik yang sedang naik daun atau yang sedang jadi topik hangat terkini, dikemas dengan host yang menampilkan kepiawaiannya dalam mengajukan runtutan tanya. Bintang tamu atau saksi ahli, menjadi obyek tanya sang host. Pertanyaan bersifat ala kadarnya, sekedar memanfaatkan waktu. Skenario, alur cerita dan hasil akhir sudah dan mudah ditebak. Semangkin banyak bertanya, opini semangkin terbentuk.

Masalahnya sebenarnya malah menjadi samar dan bias. Pokok masalah tak tersentuh, mirip banyolan. Host hanya modal pandai bertanya, kemampuan analitisnya tak disyaratkan. Pertanyaan tipikal, stereotip, hafalan. Karena menaikkan peringkat TV, dukungan sponsor seolah-olah acara tersebut digandrungi pemirsa dewasa, dan digemari penonton buta politik. Apa saja bisa ditampilkan dan ditayangkan langsung.

Antar stasiun TV berlomba mengajak bintang tamu atau saksi ahli untuk mengisi acara serupa tapi tak sewajah. Kejadian yang sama, diliput oleh berbagai TV swasta, waktu ditayangkan secara kuantitas dan kualitas berbeda. Bahkan kejadian yang sudah ditonton oleh pemirsa, dibumbui dengan racikan opini yang asal beda dengan fakta. Tayang ulang dengan selipan komentar malah menghasilkan mana yang benar mana yang salah, yang penting kejara tayang. Tepatnya sponsor antri. Bintang tamu atau saksi ahli muncul di berbagai TV, dalam acara yang tak jauh beda. Menghadapi pertanyaan yang mirip dan berulang, jawaban bisa beda. Untuk menambah keharuan, bisa ditambah tayangan pada saat kejadian sedang berlangsung. Untuk menambah kesan profesionalisme jurnalis, berbagai tanggapan dan komentar masyarakat melalui media SMS diperlihatkan. Atau rekaman atas berbagai opini dari masyarakat. Banyak bertanya, serasa mengobok-obok borok dan bobrok diri sendiri [HaeN].


Jumat, 18 Juli 2014

koruptor, jagoan atau bego

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 03/08/2007 01:26
koruptor, jagoan atau bego

Mobil pribadi, tak perlu mewah, tak jelas jalur yang dipakai, kecepatan nanggung, karena pada posisi yang menentukan utawa posisi kunci bahkan menyebabkan lalulintas tersendat. tak ambil pusing, walu orang lain pusing tujuh turunan. Kendaraan lain susah menyalip, dan memang tidak diberi kesempatan oleh si sopir atau pengemudinya adalah pemilik mobil yang ingin membuktikan siapa dirinya. Di jalanan pun dia merasa raja. Jalan menjadi milik pribadi. Bis atau angkutan umum lainnya, jelas merajai jalanan tak peduli keamanan dan kenyamanan pengguna lalulintas lainnya. Mulai dari ngetem, parkir bebas semau penumpang naik turun, pindah jalur, ngerem mendadak, buangan asap knalpot merusak lingkungan, ........ sampai harus bersahabat dengan Pak Poltas untuk bagi-bagi rejeki.

Begitulah, tak terasa bahwa uang bisa menata hukum agar hukum tunduk pada besarnya nilai nominal, bukan pada pasal-pasal yang menjerat. Bisa-bisa si penegak hukum akan terjerat. Fenomena jalanan, yang kita hadapi secara seksama tiap hari merupakan cikal bakal mewabahnya virus korupsi di nusantara. Asas KUHP (kasih uang habis perkara) bisa memperpendek kasus. Menagapa pula harus bertele-tele. Raja jalanan, setan jalanan memang jagoan, terlebih sang raja setan jalanan super jagoan.

Mereka tidak lupa bahwa mereka telah menggadaikan nasibnya pada kekuatan uang. Siapa yang menguasai uang akan menguasai hukum. Padahal merekalah yang dikuasai uang. Raja setan jalanan menjelma menjadi penguasa di semua jalur kehidupan berbangsa, bernegara dan berpolitk. Tak ada rambu-rambu yang berlaku dan patut ditiru. Jadi, siapa itu dan siapa saja koruptor itu memangnya jagoan. Setiap rupiah yang digasak akan menjadi bumerang. Mungkin bukan pengadilan di dunia yang memvonisnya. (hn)


Selasa, 15 Juli 2014

BUMI KEMBAR DAN DUNIA LAIN

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 20/03/2003 14:53
KOBARKAN SEMANGAT "AA GYM" : BUMI KEMBAR DAN ..............

BUMI KEMBAR DAN DUNIA LAIN

Kita coba termenung sambil merenung tentang andaikata nun jauh di mata, hanya bisa ditembus waktu, terdapat saudara kembar bumi. Di bumi kembaran tadi terdapat diri kita seutuhnya.

Kalau di sini kita bermimpi jadi presiden maka di sana kita temukan diri kita hanya jadi rakyat papan bawah. Semua serba berketerbalikan.

Di sini kita jadi pejabat yang selalu mengatasnamakan rakyat demi meningkatkan kesejahteraan kerabat, demi menyuburkan kemakmuran leluhur dan sedulur, maka di sana kita hanya termasuk buronan yang diperjualbelikan namanya serta harus bersaing dengan buaya darat sampai sekarat.

Di sini kita jadi koruptur klas paus yang hartanya tak ludes dilahap tujuh generasi, maka di sana kita hanya jadi pengutil di pasar tradisional, nilep rontokan teri dari pedagang super mini demi mencari sebutir nasi sambil berebut rezeki melawan cecak, dari hari ke hari.

Di sini kita jadi konglomerat hitam dengan seabrek koneksitas melilit kian kemari bak gurita, dengan warisan segunung hutang yang tak terbendung, maka di sana kita terkukung dalam penjara bawah sadar terpuruk kesendirian melawan waktu yang beku membisu.

Di sini kita jadi penguasa negara tanpa tanding, maka di sana kita jadi kambing hitam perahan oleh hewan betulan, mulai dari semut sampai musang berjanggut, jadi domba aduan yang siap diadu melawan kerabat dekat, melawan sanak keluarga, melawan anak cucu, melawan diri sendiri.
Di sini kita jadi aparat keamanan tanpa pandang bulu, sikat dulu tanya nanti dulu, tanpa tanya nama gebuk jawabannya (kecuali yang bisa melakukan koordinasi terlebih awal), praktek hantam kromo, maka di sana kita jadi bancakan, jadi sasaran keroyokan amuk massa para penghuni panti pijat.

Di sini kita jadi hamba penegak hukum dengan bebasnya menjegal/menjual pasal-pasal pidana, membuka peluang tarik-ulur sanksi bagi terduga, tersangka, terdakwa; membabat habis penjahat jalanan dan mengelus-elus penjahat berdasi, maka di sana kita dipajang di etalase rumah singgah makhluk halus.

Di sini kita jadi wakil rakyat yang terhormat, mampu mewujudkan aspirasi rakyat secara nyata, menerus dan tepat manfaat - celakanya hal ini tidak dijalankan oleh sebagian besar wakil rakyat - akhirnya kita di sana akan di sidang dalam mahkamah anak rakyat, sanksi yang menanti mulai dari disuruh menganga lebar-lebar sampai lomba ketahanan pidato kampanye.

Di sini kita jadi provokator dan promotor berbagai tindak kerusuhan, beragam tindak anarkis, beragam acara kerahkan massa demi memperkeruh suasana, maka di sana kita didaulat jadi juru bicara angin, berembus bersama aroma kentut yang sudah tertahan puluhan tahun.

Di sini kita menjual asset negara dengan dalih globalisasi dan era perdagangan bebas, yang membuahkan disintegrasi bangsa dan krisis masa depan negara, akhirnya di sana kita tinggal menangguk segelas kopi pahit campur madu dan racun - diramu dengan gerogotan seombyok cacing tanah.

Di sini kita jadi politikus yang bisa bebas bicara dan kerahkan massa, dengan menghalalkan segala cara, tanpa peduli siapa kawan mana lawan, yang bisa memperjualbelikan suara, saling libas dalam lipatan akhirnya di sana kita akan jadi bahan tertawaan karena kelucuan, kekonyolan, kebanyolan, kengocolan maupun kebahenolan bersama.

Untungnya, semua ini hanya khayalan belaka tanpa embel-embel syak wasangka secuilpun, apalagi campur tangan kekuatan asing yang kita undang untuk mendikte kebijakan di bidang moneter. (hn)


DI BAWAH BENDERA REFORMASI

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 15/01/2008 06:51
DI BAWAH BENDERA REFORMASI

Siklus lima tahunan, siklus sepuluh tahunan KKN telah menjadi lagu wajib birokrasi, entah yang sedang bertengger di eksekutif, yang keenakan nongkrong di legislatif maupun yang lagi asyik nangkring di yudikatif. Di tingkat otonomi di daerah, walau telah memakan korban, KKN tetap menjadi menu favorit dan pilihan utama. Benang merah dari KKN versi Reformasi adalah jalur partai politik yang menggurita. Liga daerah sampai liga nasional lima tahunan memang mempunyai daya pikat dan daya tarik tersendiri.

Antara petualang, pialang dan pejuang nyaris tanpa batas jelas. Pagi sekutu, malam jadi seteru. Untuk urusan tertentu, terkait balas budi atau balas jasa beda warna bisa jadi sekutu. Untuk urusan berbasis balas dendam, walau satu warna bisa jadi seteru. Semua menjadi jelas, tatkala sang reformis mengincar kursi, dengan bahasa terangnya ada pamrih. Padahal, kata orang bijak, reformis tugasnya hanya sampai masa pancaroba.

Masa transisi antar generasi tidak butuh waktu lama, walau sebelumnya tak ada pengkaderan. Pergantian antar generasi memang bisa bak Bharatayudha, kalau masing-masing pihak tidak merasa kalau kepercayaan adalah amanah. Yang kalah maupun yang menang tidak legawa atau ikhlas menerima kenyataan. Artinya, yang menang berupaya nantinya jangan sampai menjadi pihak yang kalah. Begitu juga yang sedang menyandang kekalahan, akan berupaya untuk kembali menjadi pihak yang menikmati kemenangan.

Secara politis, tepatlah pepatah bahwa menang jadi arang, kalah jadi sampah. Akhirnya, untuk menjadi politisi sipil hatus pandai-pandai, tidak sekedar pandai secara akademis. Pandai membaca peluang, cerdas menempatkan diri, cerdik menyesuaikan diri, pintar mencari pegangan. Kembali ke benang merah KKN, jiwa KKN merajut dua kutub sekaligus yaitu kutub balas jasa utawa balas budi dengan kutub lainnya yaitu balas dendam. Jangan heran bin takjub, ketika seorang politisi sipil sedang mengemban amanah di birokrasi, peran ganda pun terpaksa dilakukan.

Gebrakan dan gerakan sekitar upaya memuliakan parpol pengutusnya. Tragisnya, para politisi sipil atau politikus tadi terkadang tidak menyerahkan urusan kepada ahlinya. Memang pertimbangan politis telah dilakukan untuk menjaring, menyaring, memilih atau memilah pejabat yang berkompeten. Jabatan birokratis tidak bisa dilihat dengan kacamata politik, terlebih pada strata yang menangani substansi. Jika ada pemaksaan kondisi, praktis institusi yang bersangkutan akan mengalami, mulai dari jalan di tempat sampai kemungkinan jalan mundur.

Organisasinya bukannya menjadi ramping dan kaya fungsi, mungkin malah mirip dinosaurus. Organisasi dinosaurus, utawa model kang Dino, adalah yang mendadak banyak orang menjadi kaya dan fungsinya beraliran minimalis. Pucuk pimpinan di kang Dino, akan dibebani oleh tubuhnya yang besar. Para pembantu, baik pemikir maupun operasional. yang seharusnya menjadi daya dorong atau motor organisasi malah menjadi beban tak berkesudahan, menjadi bumerang atau penggerogotan dari dalam secara sistematis. Reformasi harus ada batasan waktu, kalau berkelebihan akan menjadi orde seperti Orde Lama maupun Orde Baru, yaitu Orde Reformasi yang tidak streril dan netral, apalagi memihak rakyat (hn).


Apa lacur, Reformasi sudah basi !!!

Beranda » Berita » Opini
Senin, 29/03/2004 08:11
Apa lacur, Reformasi sudah basi !!!

Kawanan Reformasis di panggung politik 1999-2004 semakin menggelikan dan menggelakkan. Terlebih menjelang babak akhir, mereka akting habis-habisan. Tanpa basa-basi melanggar pakem. Tanpa pandang bulu melanggar rambu-rambu hukum. Tanpa tedeng aling-aling melanggar norma berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Adegan beralih rakyat antri beli minyak tanah, jelang pemilu 2004. Tak ada satu parpol pun yang peduli (hn).


Koalisi nurani

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 19/08/2004 12:56
Koalisi nurani

Menghadapi Pilpres babak final, Islam di NKRI terjebak fatwa halal-haram memiliki / memilih pimpinan dari kaum hawa; terkubang dalam emosi jangan-jangan ada setan lewat perjanjian dengan setan jika milih SBY. Islam di NKRI secara politis nyaris mandul, bak macan ompong. Mulai dengan teori membelah diri sampai takut miskin, takut lapar, takut kapiran.

Parpol dengan platform agamais dan relijius malah merisaukan urusan dunia, hanya memikirkan angka-angka duniawi. Urusan kursi menjadi acuan utama pergerakan politik Islam. Kapan kalau tidak dimulai dari diri sendiri untuk memfaktakan nurani. 20 September 2004 bulatkan tekad, datangi TPS dan tentukan pilihan di antara dua alternatif. Jangan sia-siakan nurani yang tinggal..... (hn)


KEMBALI KE HATI NURANI

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 03/11/2004 08:40
KEMBALI KE HATI NURANI

Alih kuasa Orde Lama ke Orde Baru di awali dengan paradigma tuntutan hati nurani rakyat (hanura), dengan Tritura (inti kandungan lokal adalah antikomunis dan antikemiskinan) yang heroik. Itu dulu kata pariwara. Perjalanan hanura mengalami pasang surut. Pemerintah Orba sangat alergi dengan kata ‘rakyat’. Sampai-sampai wakil rakyat diindoktrinasi untuk membebek pada penguasa tunggal negara. Bagi kekuatan berbasis rakyat, atau mengatasnamakan rakyat  walau senyatanya dimensi keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan menjadi hak milik rakyat  akan mudah dibungkam.

Anti kemampanan merupakan stigma yang paling mudah dituduhkan. Anti Pancasila dan anti UUD 1945 sebagai solusi jitu untuk memvonis pemikiran apalagi pergerakan yang mengedepankan demokrasi. Daulat rakyat menyebabkan pemerintahan Bapak Pembangunan bisa melampaui waktu kepemimpinan Pemimpin Besar Revolusi. Di era Reformasi, muncul stigma teroris untuk meninabobokan nurani. Persoalan yang mencuat bak puncak gunung es. Antitheis berubah ragam menjadi pemurtadan secara sistematis.

Kemiskinan lebih terstrukturkan dan formal. Dengan bekal miskin inilah muncul partai politik yang platformnya serupa tapi tak jauh beda. Yaitu takut miskin dan takut kelaparan. Pertikaian antara dan antar penyelenggara negara lebih transparan dan nyaris tanpa sabuk pengaman. Beritanya menyaingi tindak kriminal. (hn)


MERAJUT POLA KEPEMIMPINAN NASIONAL LIMA TAHUNAN

Beranda » Berita » Opini
Kamis, 31/07/2003 08:27

MERAJUT POLA KEPEMIMPINAN NASIONAL LIMA TAHUNAN

Fatamorgana yang menghalang pandang demokrasi kita adalah Pemilu 2004 yang akan tampil beda dengan 7 kali pemilu sebelumnya. Banyak parpol yang sudah curi start di jalanan. Diperparah dengan langkah awal capres untuk unjuk raga dengan pertolongan media massa. Potret buram era Reformasi menyisakan "dendam" 3 RI-1, dengan segudang alasan yang berbeda tapi nyaris sedarah.

Agar MPR proaktif dengan berbagai Tap yang mengandung muatan antisipasi agar lima tahun jabatan RI-1 dan RI-2 bisa terpenuhi atau diliwati dengan aman. Jika ada tindak gangguan di masa jabatan, gangguan inilah yang harus ditangani secara arif, bijak dan indonesiawi. Bukan sekedar mengganti sang sopir! Apa guna adanya rambu-rambu penyelenggara negara, polisi pengawas lancarnya roda pemerintahan.

Dari sekian jajaran yang anti Pancasila dan UUD 1945 (meminjam istilah stigma Orde Baru terhadap oposan) diduga pasti datangnya dari kawanan kader partai politik yang tidak kebagian kursi apalagi pundi-pundi. Sejarah satu babak Reformasi telah membuktikan bahwa bongkar pasang "sopir negara" di tengah jalan atau ketika kontraknya belum usai tidak menjamin perjalanan bangsa ini menjadi lebih mulus - malah menimbulkan banyak lubang hutang kemasyarakatan (disintegrasi, krisis berkelanjutan, preman berdasi) dan masuk perangkap pemurtadan massal hampir di segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Sedangkan bagi kader partai politik yang sedang naik panggung ataupun sedang melayang naik daun, akan menanggung "beban hutang balas jasa". Fenomena inilah yang menjadikan masa jabatan lima tahun mungkin dirasa sebentar, terlebih jika dikalkulasi belum balik modal. Akhir kata, janganlah rakyat dijadikan obyek tata kepemerintahan yang betul, benar dan baik. (hn)


LELANG OTAK vs LELANG MULUT

Beranda » Berita » Opini
Senin, 04/11/2002 07:23

ANTARA LELANG OTAK DAN LELANG MULUT.

Buat Mekar - konon, ketika diadakan lelang otak berskala dunia, otak bangsa Indonesia sanggup meraup harga dan prestasi penawaran tertinggi. Kemenangan tersebut diraih berkat kategori "JARANG DIPAKAI", sebagai kategori wajib yang harus diikuti. Berdasarkan pengalaman tadi, maka ketika diadakan lelang mulut antar benua Indonesia sangat berharap sebagai pemenang.

Tanpa melalui seleksi nasional, maka diutuslah sebuah mulut dengan kategori/spesifikasi "SERING DIPAKAI" khususnya untuk urusan dalam negeri, sebagai duta bangsa mengikuti acara bergengsi tersebut. Setelah mengalami proses lelang yang rumit, bertele-tele dan adu argumentasi yang sangat melelahkan, akhirnya Indonesia menempati posisi juru kunci. Bahkan tak ada yang mengajukan penawaran, dijadikan souvenirpun bangsa termiskinpun enggan menerimanya. Untuk menghargai partisipasi Indonesia akhirnya panitia mengambil kebijakan dengan mengawetkan "mulut" tersebut sebagai bahan pajangan di museum.

Minimal kita bisa berharap suatu saat akan jadi bahan kloning makhluk hidup pasca kiamat. Amien. "Diam adalah emas" atau sejenis Gerakan Tutup Mulut yang dipraktekkan oleh Presiden RI ke 5, di babak akhir era Reformasi, justru membuat pesaingnya kebakaran jenggot kehabisan kata.

Banyak bicaralah yang selama ini mewarnai era Reformasi. Hasilnya adalah polusi udara. Sulit dibedakan untuk menentukan mana yang benar antara bicaranya tukang jual obat dengan buka mulutnya pejabat.

Maklum di zaman Orde Baru sudah ada perintis Bung Hari demi hari Omong Kosong, sebagai juru penjelas atas petunjuk bapak presiden. (hn)


Senin, 14 Juli 2014

RINDU ORDER POLITIK

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 23/09/2003 11:29
RINDU ORDER POLITIK

Dalam panggung politik jika pemeran utamanya sedang full-order tentu akan mengatakan sanggup membagi waktu, semua dilakoni demi karir dan perjalanan hidup berbasis politiknya. Tidak ada kata sakit, sulit; tak ada kamus capai; tak mengenal istilah letih, loyo, lesu, lunglai, lemas, letoy, layu, linu - pokoknya yang serba "L". Yang tersirat hanya semboyan benang, genang, jenang, kenang, menang, renang, senang, tenang, wenang. Ketika pamor mulai kendor, ketika belang warnyanya mulai tersingkap terang, ketika bobot mulai melorot sejalan dengan proses pembenaran yang dibelakanginya. Tiba-tiba mereka rindu ... pada rasa sakit kepala tujuh keliling, pada rasa capai. Mendadak mereka alergi terhadap satu kata "L" yaitu lengser keprabon alias masuk kotak sang dalang tanpa pesangon. Berbagai dalih dan alasan akan mengemuka ketika wartawan lepas mewancarai kekekendoran aktivitasnya. Lebih berkonsentrasi pada kegiatan sebelum berpolitik. Lebih memperhatikan keluarga dan lingkungan. Akan melanjutkan studinya yang tertunda. Akan memperbaiki diri agar tampil lebih elegan di putaran berikutnya. Semua akan diluncurkan secara sistematis sebagai bentuk nyata adanya rindu order politik. Memang politik adalah segalanya dan segalanya untuk politik. Kita sudah menjadi manusia politik, yang memakan sesama, yang melahap kawan dalam lipatan, yang menelan hidup-hidup lawan seiring, yang mengunyah bayangan dan angan-angan sendiri. Apa menu politik hari ini ??? Siapa memakan siapa !!! (hn)


BASA BASI POLITIK

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 23/09/2003 11:01
BASA-BASI POLITIK

Curi start dalam mensukseskan Pemilu 2004 bukan hal yang aib, nista ataupun tabu. Selama ada pengkaderan pasti sebuah partai politk tak perlu repot sewot memikirkan tabiat parpol lain, tak usah berfikir udik menyelidik delik "kuman di seberang lautan" mitra lain haluan. Cerminan kinerja para politisi di bidang pemerintah dan pembangunan sebagai kampanye yang praktis, gratis dan bisa mendongkrak ataupun mengubur pamor parpolnya. Mulut rayu manis sebelum kebagian kursi akan berubah total ketika merasakan empuknya kursi milik rakyat. Masa kampanye ibarat masa pacaran yang serba menjanjikan.

Reformasi telah menjadi masa pancaroba bagi perjalanan keutuhan dan ketuhanan bangsa dan rakyat NKRI. Politik dagang sapi bak penjual obat di kaki lima, menawarkan selera yang seharusnya diperjelas bentuk dan figurnya. Politik reformasi sudah sedemikan basinya, sehingga mereka tak bisa membedakan apakah mereka pura-pura tahu atau tahu pura-pura. (hn)


JAMINAN POLITIK

Beranda » Berita » Opini
Selasa, 23/09/2003 11:20
JAMINAN POLITIK

Beberapa gelintir ketua umum parpol, khususnya pemenang Pemilu 1999, menduduki jabatan puncak dan pucuk pimpinan di legislatif dan eksekutif. Masalahnya, kondisi krisis berkelanjutan multi dimensi mau tak mau dipengaruhi kinerja para ketua umum parpol tadi. Kaki kiri berpijak sebagai penyelenggara negara, kaki kanan bertumpu seperan ketua umum parpol. Setiap langkah sudah memperhitungkan untung rugi, setiap ayunan kaki sudah memprediksi risiko dan dampaknya. Pilihan dilematis maupun dikotomis merupakan menu harian. Kewaspadaan diarahkan kepada lawan politik, yang siap siaga menjegal setiap waktu. Bahkan intrik intern parpol bisa menjadi hantu di siang bolong. Banyak pihak yang berang dengan adanya rangkap jabatan.

Belajar dari sejarah memang mahal, lebih mahal lagi kalau memungkiri garis edar orbit sejarah ke depan. Daya juang, pola pikir dan sodok terkam mereka dibelit oleh batasan waktu - antara pemilu dengan pemilu berikutnya. Balas jasa, kembali modal, bekal hari tua menjadi wacana pergolakan hati selama duduk di kursi panas. Jika pasca Pemilu 2004 masih senasib dengan pasca Pemilu 1999, dipastikan kecuali kalau terjadi perimbangan perolehan suara, dimungkinkan perulangan Reformasi yang lebih parah, yang lebih memperpuruk tatanan hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. (hn)


warisan setan

Beranda » Berita » Opini
Senin, 17/01/2005 12:10
WARISAN SETAN

Dari berbagai warisan yang disandang bangsa dan rakyat NKRI, kadar dan karatnya terkadang mempengaruhi keseimbangan dalam berbangsa, bernegara, dan beragama. Kalau warisan penjajah dengan politik nini boboknya menjadikan kita termasuk kategori pemalas. Warisan nenek moyang berdaya adi luhung, menjadi kebanggaan yang sulit dilestarikan. Warisan setan, yang telah ada hak patennya, yang memecah belah kerukunan ummat dalam melaksanakan agamanya. Pemurtadan berbagai versi, tahapan dan karakter akan semakin makmur karena sebagaian kita mengalami fase takut miskin dan takut kelaparan. Sebagai warisan setan, maka dimensi pemurtadan akan berada di mana saja, kapan saja. Korbannya memang sulit diperhitungkan. Terlebih mereka mempunyai penyandang dana tetap, menghalalkan segala cara dan upaya, sulit dilacak modus operandinya (tahu-tahu ada korban). Jadi, yang sulit dicabut kenyataan di lapangan !!! (hn)


MENANG MERK vs MERK MENANG

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 25/04/2008 10:13

MENANG MERK vs MERK MENANG

Silsilah sejarah membuktikan golongan darah B alias biru, bagaimana kalau masuk kategori B utawa budak. Budak dalam arti takut untuk menjadi tuan, untuk berada di depan. Mengekor asal selamat, atau secara politis Orde Baru dengan dalih atas petunjuk bapak presiden, maka orang bari berani bertindak. Secara politis pula banyak orang atau golongan mengatasnamakan rakyat untuk menghalalkan modus operandi yang dipakai.

Merasa telah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Mengandalkan garis keturunan orang bisa terjebak untuk berlari di tempat atau hidup dalam angan-angan masa lampau yang telah berlalu. Tak jarang orang mengorbankan masa lampau, karena merasa berat menanggung dan menjaga nama baik. Tak bisa meneruskan, meluruskan, merumuskan dan menjuruskan ceritera sukses. Akhirnya, ybs lebih memilih diam daripada berbuat malah salah, takut salah. Tak jarang pula orang bangga dengan nenek moyangnya, semisal Ken Arok atau Minak Jinggo, sehingga boleh berbuat apa saja, kapan saja, dimana saja.

Ada kalanya, justru bekas yang merasa pelaku sejarah ingin memperbaiki atau mengulang kisah suksesnya. Dengan modal menang nama, khususnya menang merk ingin berlaga di palagan hidup nyata. Padahal menurut logika dan akal sehat masa depan bangsa ini terletak di generasi muda. Bukan di generasi bahula. Tidak mempercayai generasi muda sebagai penerus, bukan berarti harus campur tangan atau turun tangan. Keberhasilan di masa lampau bukan jaminan berhasil untuk masa depan (hn).


Minggu, 13 Juli 2014

angkat senjata vs angkat bicara

angkat senjata vs angkat bicara
Beranda » Berita » Opini
Kamis, 15/05/2008 09:22

KEBANGKITAN NASIONAL

Nasionalisme atau rasa kebangsaan bangsa ini secara lokal maupun interlokal telah teruji dan ada yang patut dipuji. Komponen bangsa sebagai pelaku tindak nasionalisme sangat beragam. mulai dari wong cilik sampai wong kegedean kepala. Penyebab, pembangkit dan perangsang semangat karena ada faktor tuntut dan tantang sampai kepada kondisi adanya faktor hasut dan galang. Bedanya, pernah kita memasuki waktu dan ruang ketika rasa nasionalisme bersifat spontanitas, tanpa direkadaya apalagi direkayasa.

Puncaknya, ketika kita bersatu menghadapi penjajah dengan bambu runcing atau dengan kata dan tulisan yang tajam. Angkat senjata dan angkat bicara telah kita lakukan dengan gemilang sampai kini, jelang seratus tahun 1908 . . .


KETIKA ......

Beranda » Berita » Opini
Senin, 28/04/2003 09:19

KETIKA . . . . .

Suatu kali terjadi di Indonesia
Sebuah negara yang kaya mantra
Sebuah bangsa yang sarat fatwa
Sebuah negeri yang bebas adu kata

Di jalanan, sekumpulan rakyat yang senyum sesama
Di istana, sekawanan pejabat yang ramah curiga
Semua berubah sekejap mata
Manakala uang beranjak jadi berhala
Manakala orang dahaga akan puja
Manakala hidup cinta dunia
Manakala takut alam baka

Segala cara seolah tanpa dosa
Segala upaya seolah tanpa norma
Segala daya seolah tanpa noda
Segala akal seolah tak ada dusta

Saling memfitnah menjadi biasa
Saling menteror tak boleh lupa
Saling menuduh banyak pasal bebas bea
Saling libas sebagai hak bersama
Semua menjadi gelap mati rasa

Dengan modal gitar tua
Sang kelana murtad menjadi hamba penguasa
Daripada tak bisa tampil di panggung budaya
Daripada tak bisa menghirup harumnya cendana
Kaki dijadikan kepala
Kepala dipersembahkan ke paduka raja
Sang kelana melibas persaudaraan demi unjuk muka

Dari masa ke masa
Dalihnya cukup sederhana
Membudayakan agama
Dan mengagamakan budaya
Mengorbankan nada agar tetap meraih pahala dunia
Mengatur irama agar tetap bisa ngumbar goyang raga

Ketika anak lele hendak menjadi raja
Di kerajaan kubangan lumpur tinja
Ketika ndangdhut menjadi mahkota
Ketika selera syahwat menjadi menu utama
Ketika agama dijadikan landasan selera
Ketika panggung tak lagi punya nama
Ketika panggung hanya menyajikan berhala
Haram dan halal tinggal kata tanpa makna

Yang tersisa hanya naluri berjaga
Yang tersisa hanya insting berlaga
Yang tersisa hanya nafsu berkuasa
Yang tersisa hanya nafas angkara

Ketika menghadapi pesaing secara tidak ikhlas rela
Ketika menghadapi pendatang baru secara tidak terbuka
Ketika menghadapi pemula secara tidak lapang dada
Ketika menghadapi kenyataan hidup dengan buruk sangka
Ketika menghadapi kebangkrutan jiwa tanpa usaha nyata

Semua silang kata dan adu fakta di media massa
Semua unjuk raga sumbang rasa menjadi komoditas hampa
Semua hujatan telah menjadi angka

Bahwa sesama saudara mereka rela
Bahwa sesama kerabat mereka tega

Asal tetap menjadi hamba berhala dunia
Asal tetap bisa menipu usia
Asal tetap saling menjegal nama
Asal mereka tetap jadi raja dan ratu lumpur tinja
Asal mereka tetap bisa goyang dan jual raga

Kita tak perlu iri dan buruk muka cermin dijelaga
Daripada mereka hidup tanpa nama
Lebih baik mereka ribut adu sengketa
Lebih baik mereka mati berkalang harta
Lebih baik mereka ajal berselimut takhta
Lebih baik mereka binasa di rahang serigala
Lebih baik mereka mampus di ujung dunia

Mereka kira rezeki bisa diraih karena usaha jual suara
Mereka duga rezeki mampu dikumpulkan berkat goyang raga
Mereka sangka rezeki dapat dikejar tak perlu do'a
Mereka lupa bahwa perjalanan rezeki telah diatur oleh-Nya
Mereka alpa bahwa curah kucuran rezeki telah ditentukan oleh-Nya

Semua perebutan kuasa hanya rekayasa
Terjadi di bumi Pancasila Ketika lapang mereka foya-foya sambil bermusik ria
Ketika terpuruk mereka putus asa sambil mengutuk siapa
Mana kawan mana lawan tak ada beda

Sekarang dipuja besok dinista
Sekarang dihina besok dimanja
Sekarang dihujat besok disapa
Sekarang dijilat besok buang muka (hn)