Halaman

Sabtu, 29 Februari 2020

manfaatkan sisa kepercayaan dan cadangan kesabaran rakyat


manfaatkan sisa kepercayaan dan cadangan kesabaran rakyat

Tidak ada apa-apanya pada narasi berikut. Kejar jam tayang di akhir bulan Februari yang 29 hari. Bulan lain masih ada sisa waktu 1@2 hari. Manuver laga bebas hindari “salah-ketik”. Daya encer otak tetap dijaga. Agar pembaca segala aneka umur, tak merasa digurui atau dimuridi.

Era digital menuntut manusia ahli “diperalat” alat multimedia.Oleh karena itu,  generasi sumbu pendek pengguna aktif ujung jari tangan.  Menghabiskan energi negatif  menyelam di dunia maya. Wajar dan wajib memodali diri plus memiliki kecakapan multimedia.

Proses verifikasi menegakkan kebenaran di panggung politik. Manajemen konflik merupakan langkah antisipatif, proaktif, preventif sebagai aksi mitigasi yang dipilih semua pelaku. Pihak ketiga lebih jeli melihat peluang praktik demokrasi nusantara.

Manajemen konflik politik nusantara didominasi oleh versi metode pembiaran oleh penguasa. Pemanfaatan media internet yang bersifat digital dan ‘dalam jaringan,  sebagai ajang  menu kampanye digital demi menjaga wibawa sekaligus alat pemusnah, pembasmi maupun pembunuh karakter lawan politik.

Sekedar info sehat menyehatkan. Bahwasanya ada sejumlah responden menyatakan setuju atas pemanfaatan akun media sosial sebagai salah satu alat mensosialisasikan visi misi kandidat. Sejumlah lain, bisa beda atau sama responden, berargumentasi bahwa aksi pesan politik yang disajikan hanya melalui media sosial,  tindakan yang nyaris sia-sia binti mubazir. Fakta  tidak semua anak bangsa pribumi paham dan melek TIK. Terlebih memanfaatkan  media sosial sebagai pegangan hidup harian.

Pesta demokrasi daripada Soeharto yang diaykin sebagai pesta rakyat. Namun, perhelatan rakyat tradisional ini tidak bergulir statis terkendali. Kendati rakyat masih pada ambang bawah buta politik. Tidak demikian halnya dengan logika politknya. Kadar bermasyarakat menjadikan rakyat lebih nalar, paham menggunakan akal sehat ketimbang manusia politik. [HaéN]

restorasi total parpol panas-adem


restorasi total parpol panas-adem

Modus politik sebuah parpol akan terbukti klinis, medis pasca vonis kejadian kasus perkara moral pasal memalukan plus memilukan. Sebatas puncak gunung es. Tradisi perpolitikan kiat dasar berbangsa nusantara kian menambah deretan tragedi.

Mendirikan parpol macam anak bangsa pribumi membangun pasar tradisional. Justru pasar kaget tak butuh wadah formal. Mengacu pada pedagang kaki-lima sejak zaman penjajahan Belanda. Batas lima-kaki satuan jarak, sebagai zona pejalan kaki (?).  Dimana terjadi interaksi positif antara penjual dengan pembeli, lokasi potensial ‘pasar’.

Kontribusi, dukungan moral, sumbangsih rakyat bak mubazir, sia-sia, terabaikan jika parpol yang dipilih, karena layak diduga pro-rakyat, malah berujung menjadi penjual bangsa. [HaéN]

getir rakyat vs karier pejabat


getir rakyat vs karier pejabat

Malah menjadi faktor pertimbangan sehingga pemerintah wajib impor pangan lengkap bahan baku lauk-pauk. Menentukan kebijakan ekonomi kerakyatan yang sekaligus mensejahterakan pemberi izin. Paket pangkas demokrasi untuk menambah jenis kursi yang kebal geser.

Langkah catur politik penguasa tak lepas dari perimbangan sesuai judul, seolah berlaku hukum rimba. Format praktik demokrasi lima tahunan memacu memicu modus janji politik ke penggadaian masa depan bangsa. Paket politik lima tahunan bernilai jual di pasar bebas. Menarik minat investor.

Daya miskin bangsa menjadi modal promosi mencari bantuan tak mengikat luar negeri. Sekedar pola barter politik. Jaminan nusantara per pulau. [HaéN]

Jumat, 28 Februari 2020

yang lain sudah


yang lain sudah

Judul sebagai jawaban atas dua pertanyaan, dua pernyataan yang tak ada hubungan diplomatik. Beda periwayatan. Pasti beda tempat, waktu dan pelaku. Urutan uraian bukan menunjukkan kualitas perkara. Bukan bukti empiris atau yang probabilitasnya masih berlanjut.

Periwayatan ‘yang lain sudah’ pertama tapi bukan utama. Saat itu masih ada sebutan rakyat miskin di perkotaan. Atau bahkan komunitas miskin perdesaan. Predikat pengemis menjadi mata pencaharian.  Komplek perumahan belum semarak sekarang. Peradaban apartemen, rusunawa maupun rusunami, cluster hanya terdapat di kota besar atau ibukota provinsi.

Pengemis perorangan atau dibawah kendali mutu, bergerak dari pagar rumah ke pagar rumah. Model kridha lumahing asta, proaktif menjemput sedekah warga negara yang tampak sejahtera. Tidak tiap hari atau susah ada pembagian wilayah kerja.

Pakai hari baik, memanfaatkan berkah jumat. Sejak pagi sampai siang, tuan rumah siap uang receh. Ketika itu mungking uang seratus rupiah masih bernilai tukar. Yang datang partai pengemis, kasih uang dalam jumlah tertentu. Setelah terkumpul, diadakan praktek bagi hasil.

Namun bukan karena pelit atau tadi sudah ada pihak yang datang duluan. Maka tuan rumah acap berujar standar, tipikal: “Maaf, liwati saja” atau “ke yang lain saja”. Rekaman pengemis dengan nada tolak tadi. Mereka juga punya jawaban baku: “Yang lain sudah . . . “. Sambil balik kanan.

Sekarang, jumlah rumah sedemikian laju. Setara pertumbuhan dan atau pertambahan mobil dan atau motor. Malah bukan pangsa atau mangsa pengemis. PSK (pedagang sayur keliling) juga tak bebas keluar masuk menjajakan.

Periwayatanyang lain sudah’ kedua tapi bukan terakhir. BPS merilis dugaan sudah tidak ada praktik kemiskinan, bahkan di tepian negeri multipartai. Herannya, tanpa diketahui asal-muasal, muncul pengemis jabatan. Nyaris di tiap kabupaten/kota, bak pasar tradisional.

Betul dugaan awam. Partai pengemis atau partai politik dengan platform mengemis jabatan secara konstitusional melalui pesta demokrasi. Daya jelajah bisa sampai provinsi bahkan nasional. Fakta teranyarkan, di tingkat nasional sudah lazim pakai tenaga luar. Karena tenaga dalam kurang manjur.

Sindikasi atau bursa jual beli kursi menjadi pasar taruhan. Semula pakai pola pendekatan pintu ke pintu rumah rakyat yang punya hak pilih. Bagi-bagi sembako atau cerdas sedikit, pemilih mempunyai posisi tawar dengan pola NPWP. Sampai penggelembungan suara di tahap kalkulasi sementara.

Di internal parpol terjadi perjuangan berebut nomor urut kursi. Lelang nomor kursi jadi. Anak cucu ideologis kalau cuma mengandalkan rayuan ‘yang lain sudah . . .’ harus menelan pil pahit. Antrian bisa disodok, disalip pihak investor politik lokal maupun multinasional atau semiglobal. Daripada antri. Lebih mulia mendirikan partai politik sendiri. [HaéN]

ketika cinta tanah air tinggal setetes


ketika cinta tanah air tinggal setetes

Bukan serba kebetulan, bukan dadakan, bukan iseng. Tapi ada pas dibutuhkan. Dikarenakan saat sedang simak buku “Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi”, Kemenristekdikti RI, Cetakan I, 2016 ada yang mengganjal mata.

Bermula ada kalimat: 
Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan bahan renungan yang menggugah kesadaran para pendiri negara, termasuk Soekarno ketika menggagas ide philosofische grondslag.” (halaman 6, alinea pertama)

Kalau cuma satu fakta tentang kiprah, konstribusi, kinerja Soekarno, terasa belum pas. Lanjut ke alinea terakhir halaman 27. Tersurat:
Presiden Soekarno pernah mengatakan, ”Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi penting dalam membangun kehidupan bangsa dengan lebih bijaksana di masa depan.

Berlanjut ke alinea akhir halaman 66 yang bersambung di dua baris pertama halaman 67. Tersurat:
Dinamika Pancasila dalam sejarah bangsa Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dalam pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Misalnya pada masa pemerintahan presiden Soekarno, terutama pada 1960-an NASAKOM lebih populer daripada Pancasila. Pada zaman pemerintahan presiden Soeharto, Pancasila dijadikan pembenar kekuasaan melalui penataran P-4 sehingga pasca turunnya Soeharto ada kalangan yang mengidentikkan Pancasila dengan P-4. Pada masa pemerintahan era reformasi, ada kecenderungan para penguasa tidak respek terhadap Pancasila, seolah-olah Pancasila ditinggalkan.

Langsung loncat atau loncat langsung ke halaman 131. Tercetak, begini tulisannya:
e.            Pancasila sebagai ideologi dalam masa pemerintahan Presiden Megawati
Pada masa ini, Pancasila sebagai ideologi semakin kehilangan formalitasnya dengan disahkannya Undang-Undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 yang tidak mencantumkan pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dari tingkat Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi.

Bukan sengaja, bukan tendensius. Terkait peruntukkan buku.

Tersebutkanlah bahwa presiden ke-7 RI pada periode I dan lanjut periode II berniat meluruskan sejarah kepancasilaan presiden ke-5 RI. Terbentuklah yang kemudian menjadi.

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” [HaéN]