yang lain sudah
Judul sebagai jawaban atas dua pertanyaan, dua pernyataan
yang tak ada hubungan diplomatik. Beda periwayatan. Pasti beda tempat, waktu
dan pelaku. Urutan uraian bukan menunjukkan kualitas perkara. Bukan bukti empiris
atau yang probabilitasnya masih berlanjut.
Periwayatan ‘yang lain sudah’ pertama tapi bukan utama. Saat
itu masih ada sebutan rakyat miskin di perkotaan. Atau bahkan komunitas miskin
perdesaan. Predikat pengemis menjadi mata pencaharian. Komplek perumahan belum semarak sekarang. Peradaban
apartemen, rusunawa maupun rusunami, cluster hanya terdapat di kota besar atau
ibukota provinsi.
Pengemis perorangan atau dibawah kendali mutu, bergerak
dari pagar rumah ke pagar rumah. Model kridha lumahing asta, proaktif menjemput sedekah warga
negara yang tampak sejahtera. Tidak tiap hari atau susah ada pembagian wilayah
kerja.
Pakai hari baik, memanfaatkan berkah jumat. Sejak pagi sampai siang, tuan
rumah siap uang receh. Ketika itu mungking uang seratus rupiah masih bernilai
tukar. Yang datang partai pengemis, kasih uang dalam jumlah tertentu. Setelah terkumpul,
diadakan praktek bagi hasil.
Namun bukan karena pelit atau tadi sudah ada pihak yang datang duluan. Maka
tuan rumah acap berujar standar, tipikal: “Maaf, liwati saja” atau “ke yang
lain saja”. Rekaman pengemis dengan nada tolak tadi. Mereka juga punya jawaban
baku: “Yang lain sudah . . . “. Sambil balik kanan.
Sekarang, jumlah rumah sedemikian laju. Setara pertumbuhan dan atau
pertambahan mobil dan atau motor. Malah bukan pangsa atau mangsa pengemis. PSK
(pedagang sayur keliling) juga tak bebas keluar masuk menjajakan.
Periwayatan ‘yang lain sudah’ kedua tapi bukan terakhir. BPS merilis dugaan sudah tidak
ada praktik kemiskinan, bahkan di tepian negeri multipartai. Herannya, tanpa
diketahui asal-muasal, muncul pengemis jabatan. Nyaris di tiap kabupaten/kota,
bak pasar tradisional.
Betul dugaan awam. Partai pengemis atau partai politik dengan platform mengemis jabatan secara
konstitusional melalui pesta demokrasi. Daya jelajah bisa sampai provinsi
bahkan nasional. Fakta teranyarkan, di tingkat nasional sudah lazim pakai
tenaga luar. Karena tenaga dalam kurang manjur.
Sindikasi atau bursa jual beli kursi menjadi pasar taruhan. Semula pakai pola
pendekatan pintu ke pintu rumah rakyat yang punya hak pilih. Bagi-bagi sembako
atau cerdas sedikit, pemilih mempunyai posisi tawar dengan pola NPWP. Sampai penggelembungan
suara di tahap kalkulasi sementara.
Di internal parpol terjadi perjuangan berebut nomor urut kursi. Lelang nomor
kursi jadi. Anak cucu ideologis kalau cuma mengandalkan rayuan ‘yang lain sudah
. . .’ harus menelan pil pahit. Antrian bisa disodok, disalip pihak investor
politik lokal maupun multinasional atau semiglobal. Daripada antri. Lebih mulia
mendirikan partai politik sendiri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar