Halaman

Jumat, 28 Februari 2020

yang lain sudah


yang lain sudah

Judul sebagai jawaban atas dua pertanyaan, dua pernyataan yang tak ada hubungan diplomatik. Beda periwayatan. Pasti beda tempat, waktu dan pelaku. Urutan uraian bukan menunjukkan kualitas perkara. Bukan bukti empiris atau yang probabilitasnya masih berlanjut.

Periwayatan ‘yang lain sudah’ pertama tapi bukan utama. Saat itu masih ada sebutan rakyat miskin di perkotaan. Atau bahkan komunitas miskin perdesaan. Predikat pengemis menjadi mata pencaharian.  Komplek perumahan belum semarak sekarang. Peradaban apartemen, rusunawa maupun rusunami, cluster hanya terdapat di kota besar atau ibukota provinsi.

Pengemis perorangan atau dibawah kendali mutu, bergerak dari pagar rumah ke pagar rumah. Model kridha lumahing asta, proaktif menjemput sedekah warga negara yang tampak sejahtera. Tidak tiap hari atau susah ada pembagian wilayah kerja.

Pakai hari baik, memanfaatkan berkah jumat. Sejak pagi sampai siang, tuan rumah siap uang receh. Ketika itu mungking uang seratus rupiah masih bernilai tukar. Yang datang partai pengemis, kasih uang dalam jumlah tertentu. Setelah terkumpul, diadakan praktek bagi hasil.

Namun bukan karena pelit atau tadi sudah ada pihak yang datang duluan. Maka tuan rumah acap berujar standar, tipikal: “Maaf, liwati saja” atau “ke yang lain saja”. Rekaman pengemis dengan nada tolak tadi. Mereka juga punya jawaban baku: “Yang lain sudah . . . “. Sambil balik kanan.

Sekarang, jumlah rumah sedemikian laju. Setara pertumbuhan dan atau pertambahan mobil dan atau motor. Malah bukan pangsa atau mangsa pengemis. PSK (pedagang sayur keliling) juga tak bebas keluar masuk menjajakan.

Periwayatanyang lain sudah’ kedua tapi bukan terakhir. BPS merilis dugaan sudah tidak ada praktik kemiskinan, bahkan di tepian negeri multipartai. Herannya, tanpa diketahui asal-muasal, muncul pengemis jabatan. Nyaris di tiap kabupaten/kota, bak pasar tradisional.

Betul dugaan awam. Partai pengemis atau partai politik dengan platform mengemis jabatan secara konstitusional melalui pesta demokrasi. Daya jelajah bisa sampai provinsi bahkan nasional. Fakta teranyarkan, di tingkat nasional sudah lazim pakai tenaga luar. Karena tenaga dalam kurang manjur.

Sindikasi atau bursa jual beli kursi menjadi pasar taruhan. Semula pakai pola pendekatan pintu ke pintu rumah rakyat yang punya hak pilih. Bagi-bagi sembako atau cerdas sedikit, pemilih mempunyai posisi tawar dengan pola NPWP. Sampai penggelembungan suara di tahap kalkulasi sementara.

Di internal parpol terjadi perjuangan berebut nomor urut kursi. Lelang nomor kursi jadi. Anak cucu ideologis kalau cuma mengandalkan rayuan ‘yang lain sudah . . .’ harus menelan pil pahit. Antrian bisa disodok, disalip pihak investor politik lokal maupun multinasional atau semiglobal. Daripada antri. Lebih mulia mendirikan partai politik sendiri. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar