Halaman

Sabtu, 31 Oktober 2015

dikotomi pe-revolusi mental Nusantara, dapur tak berasap vs negara tak berasap

dikotomi pe-revolusi mental Nusantara, dapur tak berasap vs negara tak berasap


Mengandalkan dan berbekal KTA Parpol, seseorang bisa jadi bagian dari penyelenggara negara. Masa kerja lima tahun diperoleh dari proses politik bisa lebih dari lima tahun. Bahkan sejak dalam kandungan sudah ditimang dan digadang-gadang jadi generasi penerus usaha politik keluarga. Modus operandi ini menjadi hak kaum Adam maupun kaum Hawa. Banyak contoh nyata, yang tidak bisa diingat satu-persatu. Selalu bertambah.

Proses politik bukan proses gratis, terima jadi. Ibarat mengail, umpan kecil ya hanya baru syarat administrasi. Harus ada “orang dalam” yang menarik, baru proses mulus. Semua pintu harus disidik dengan seksama, bak sebuah kesempatan yang harus berebut adu sikut, adu mulut, adu lutut. Inilah makanya dinasti politik sebagai kiat mempertahankan berhala Reformasi 3k (kaya, kuat, kuasa) tetap dalam jalur silsilah.

Di industri, panggung, syahwat politik ada asas “no free lunch” yang diterjemahbebaskan menjadi “jer basuki mawa beya”, sudah dikuasi betul oleh kawanan parpolis Nusantara. Bahkan dipraktikkan terang benderang oleh oknum Sekjen partai nasdem (nama dan identitas lengkap ada di KPK).

Artinya, kawanan parpolis yang sedang kontrak politik sebagai penyelenggara negara, jelas tidak masuk kategori “dapur tak berasap” utawa sesuai kiasan adalah miskin sekali. Awalnya memang ada yang “miskin sekali”, kesempatan berikutnya menjadi kaya berkali-kali. Apalagi yang minimal jadi pejabat partai. Kita tak perlu kotak-katik wakil rakyat yang sukses berkarir sehingga bisa memasuki periode kedua, atau banting stir menjadi kepala daerah.

Jika “negara tak berasap”, apakah penyelenggara negaranya masuk kategori kiasan miskin sekali. Atau, jangan-jangan ketika negara banyak asap, bahkan surplus asap, bahkan menjadi negara swasembada asap, jangan-jangan, ojo-ojo, negara bangkrut.

Negara boleh bangkrut, asal penyelenggara negara (baca : yang berasal dari kawanan parpolis) jangan bangkrut !!! [HaeN].

berasap dalam kubur

berasap dalam kubur

Bukan judul sinetron. Bukan lelucon politik. Bukan judul lagu ndangdut orgen tunggal. Bukan tema adu nyali malam ini. Bukan pula ‘astar’ (asal komentar) ala JK, jika kehabisan akal untuk mencari kambing hitam suatu kejadian perkara.

Bencana kabut asap akibat bakar hutan atau hutan bakar, sudah bukan berita lagi. Korban jiwa sepertinya hanya sebagai pengisi berita. Bencana sebagai dampak dari perbuatan manusia yang sudah melebihi takaran dan tatanan berbangsa dan bernegara.

Ke tim sukses, relawan, penyandang dana, bolo dupak, juru kampanye saja Jokowi-JK belum bisa memuaskan hati mereka, apalagi ke rakyat yang nun jauh dari istana. Walau dapat jatah diblusuki Jokowi, apa artinya jika dibanding dengan waktu lima tahun.

Dibanding negara lain yang seolah tak putus dirundung  konflik, ada campur tangan negara adidaya berbuntut uji coba teknologi pemusnah massal, ada rekayasa membuat pemerintah boneka melalui pilpres, ada modus operandi mendirikan pemerintah tandingan sampai secuwil negara memerdekakan diri, kita wajib bersyukur.

Rasa nasionalisme, rasa bangga sebagai bangsa Indonesia, tak ada habisnya diuji siang malam. Yang bikin setan bingung, banyak oknum anak bangsa yang seharusnya masuk kotak, karena sudah beda era, beda zaman, beda lakon, namun dengan gagah dan pongahnya bertolak pinggang tampil asal tampil. Seolah mereka tak rela dilupakan oleh sejarah. Mereka merasa masih mampu, layak dan patut diperhitungkan sejarah secara formal.

Memang, kejarlah ilmu sampai liang kubur. [HaeN]

kabut asap, dipermalukan di negeri sendiri

kabut asap, dipermalukan di negeri sendiri

Bayangkan di nalar kita, andai ratusan juta manusia Indonesia merokok bareng, pada waktu yang bersamaan. Di bawah aba-aba JK (jaminan kematian). Asap yang dikepulkan masih kalah banyak dengan kabut asap bakar hutan. Yang girang Cuma negeri pengimpor tembakau, rokok ke Indonesia. Plus negara pemasok obat anti dampak merokok, termasuk obat buat perokok pasif.

Bayangkan, ikan dan makhluk laut Indonesia secara suka rela bedol laut mencari suaka di negara tetangga. Mencari penghidupan baru, karena rumput tetangga tampak lebih ranum, hijau dan menggairahkan selera. Sehingga negara lain tak perlu kirim kapal pemburu ikan ke Indonesia.

Bayangkan, berapa dan betapa sedikit TKW yang diekspor Indonesia ke manca negara, sebagai pahlawan devisa. Menguber derita di negeri orang, sementara penderitaan dalam negeri tak terpetakan. Mengharumkan nama Indonesia di negeri orang, jangan-jangan mereka cuma pulang nama.

Bayangkan, produk sawit Indonesia menggugah investor dan menantang konspirasi dagang dunia untuk memborong atau sistem ijon. Modus operandi mereka sangat sederhana dan meyakinkan. Kalau tak mau dikendalikan dengan dolar, bakar di tempat. Kalau tak mempan dilarang, jadikan arang. Kalau tak manjur diusap-usap, disuap-suap, jadikan asap. [HaeN]

Jumat, 30 Oktober 2015

Bersyukur, masih NKRI, tetapi . . .

Bersyukur, masih NKRI, tetapi . . .

Masih ada tindakan kekanak-kanakan. Sebelum Pemerintah bersidang dan mengumumkan penetapan 1 Ramadhan maupun 1 Syawal, plus Idul Adha, ada pihak ormas Islam yang mendahului mengeluarkan ketetapan berbeda. Awam berbaik sangka, jangan-jangan syahwat politik oknum ketua umum ormas Islam dimaksud sedang masuk angin. Apalagi, kata manusia saat itu, ybs sudah dua periode nangkring dan nongkrong di kursi jabatan ketum. Ironisnya, ganti ketum, masih terjadi beda waktu awal Ramadhan maupun Syawal.

Memang, dua ormas Islam terbanyak anggotanya, usianya lebih sepuh daripada NKRI. Jangan diartikan antar dua ormas ini saling bersaing mencari simpati rakyat. Siapa tahu nanti akan terjadi 1 Muharram beda waktu.

Belum lagi kalau awam dalam hitungan jam melihat drama adu pansus. Terkini, muncul pansus bencana kabut asap. Lazimnya politik, kalau tidak gaduh kesannya tidak ada kerjaan.

Kata mbah dukun tiban, di NKRI masih banyak yang berbuat baik untuk bangsa dan negara. Cuma karena wong cilik, serta jauh dari pengendusan kefasikan media masa, seperti sia-sia. Coba kalau yang berbuat pejabat negara, langsung terekspos. Padahal sekedar melaksanakan kewajiban saja, bukan kebajikan. [HaeN]

kanibalisme Menteri Utama Jokowi, reformasi mental vs revolusi birokrasi

kanibalisme Menteri Utama Jokowi, reformasi mental vs revolusi birokrasi


Langganan survei betulan, berhasil menyingkap tabir fakta bahwa  mayoritas responden acak sesedikit 64,63% berkilah bahwa Jokowi butuh sejenis Menteri Utama. Jabatan dibutuhkan agar kinerja pemerintahan lebih baik. Jangan diartikan kalau menteri koordinator yang ada, sepertinya perlu direformasi. Atau hanya sibuk dan jalan di tempat.

Alasan responden dapat diprakirakan bahwa para pembantu presiden yang masuk jajaran kabinet – khususnya menteri – sebagai penyelenggara negara dari unsur eksekutif, kurang memuaskan Jokowi.

Pembantu presiden dari orang partai politik, pada dasarnya hanya loyal, tunduk dan patuh pada petunjuk ketua umum parpolnya. Mereka hanya taat pada AD dan ART parpolnya. Mereka jadi menteri karena diusulkan parpol. Jokowi hanya terima jadi apa adanya, atau adanya apa. Hak prerogratif presiden untuk memilah dan memilih para pembantunya, hanya berlaku di atas kertas. Perombakan kabinet sebagai awal bukti adanya asas “orang yang tidak tepat di tempat yang tepat”.

Jokowi hanya menggunakan pasal balas jasa dan balas budi.

Jika Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, wajar jika kawanan legislatif utawa DPR yang ada benang merahnya dengan eksekutif karena dari partai yang sama.

Praktiknya, antara kawanan legislatif dengan pihak eksekutif bagai seteru. Legislatif dengan sabar mengincar kelengahan eksekuitf. Lengah sedikit bisa dijegal hidup-hidup.

Bahkan dalam tubuh satu parpol pun seperti tidak ada ikatan moral. Seperti dicontohkan oknum sekjen partai nasdem, mendadak jadi langganan KPK.

Menteri orang parpol di era SBY sudah membuktikan bahwa mereka malah menimbulkan konflik internal terselubung. Membuat aturan main sesuai selera. Birokrasi dijadikan dapur parpol. Kalau di kementerian berkibar beberapa warna, akan mempengaruhi sistem karir.

Revolusi mental yang diagung-agungkan Jokowi, semakin membuktikan bahwa mental pe-Revolusi Mental perlu direformasi. Mental wakil parpol di legislatif, perlu diformat ulang. Apalagi yang sudah punya pengalaman sebelumnya, di peride 2009-2014, sudah ahli, lihai dan kampiun dalam transaksi pasal. [HaeN]

Kamis, 29 Oktober 2015

Survei Jokowi, Butuh Menteri Utama vs Butuh Presiden Senior

Survei Jokowi,  Butuh Menteri Utama vs Butuh Presiden Senior


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, Kamis, 29 Oktober 2015, 15:02 WIB -- Lingkaran Survei Indonesia (LSI) baru-baru ini melakukan survei terkait dengan capaian satu tahun pemerintah Jokowi-JK. Dalam survei tersebut, LSI mengungkapkan, mayoritas publik yaitu sebanyak 64,63 persen menyatakan bahwa Jokowi memerlukan sejenis Menteri Utama. Jabatan dibutuhkan agar kinerja pemerintahan lebih baik.

"Yang dimaksud menteri utama adalah orang yang dipercaya Jokowi untuk membantunya mengelola pemerintahan atau menjadi operator pemerintah," kata Peneliti LSI, Dewi Arum, dalam konferensi persnya di Kantor LSI, Rawamangun, Jakarta, Kamis (29/10).

Dewi menjelaskan, publik merespons positif isu menteri utama karena alasan peningkatan kinerja pemerintah. Meskipun secara hukum ketatanegaraan, menteri utama masih bisa diperdebatkan. Hanya sebesar 31,71 persen publik yang menyatakan tidak setuju dengan adanya menteri utama tersebut.
- - - - - - - - - -
Padahal, tanpa survei, rakyat sudah tahu bahwa Jokowi dibawah kendali PDI-P dan partai nasdem. 2 (dua) bandar politik pengusul, pendukung, penyokong Jokowi di pesta demokrasi 2014, secara de facto memposisikan dirinya di atas RI-1 dan RI-2.  Tepatnya, secara de jure muncul praktik konstitusional versi Revolusi Mental yaitu Presiden Senior.

Wajar jika utang budi Jokowi ke kedua bandar politik maupun perpanjangan tangan konspirasi internasional akan dibawa mati. Tetapi, utang politik Jokowi ke rakyat, saat kampanye, akan dibawa kemana??? [HaeN]

Menulis, karena hati ini telah lelah berkata

Menulis, karena hati ini telah lelah berkata

Kalimat yang berhasil dipahat di atas selembar kertas, diukir di atas secarik kertas, nampak sederhana. Bukan sekedar dari menderetkan kata. Bukan sekedar tata olah kata menjadi kalimat yang memang bisa dan mudah dibaca tetapi tidak berkata.

Kalimat bukan sekedar menuang semua bumbu dapur agar hasil masakan lezat, agar yang mencium aromanya  meneteskan air liur. Agar menggoda dan memancing selera. Mampu menggoyang lidah. Masakan yang nikmat di mulut dan tidak bikin sakit perut. Bukan itu. Tukang masak yang sarat pengalaman belum tentu hasil olahannya selalu menggiurkan.

Resep sederhana dihasilkan dari percobaan yang tidak sederhana, dirumuskan dari ratusan praktik.

Rendang, gudeg atau masakan khas daerah, dengan bahan dan bumbu sesuai petunjuk, namun diolah tidak sesuai prosedur, diolah tanpa hati, hanya sekedar jadi. Karena diuber waktu dan menguber Rp. Hasilnya tanpa citra dan tanpa cita rasa.

Begitu juga menulis. Seperti mencampur dan mengaduk adonan roti. Walau dibantu mesin, namun tidak memakai bumbu hati, perasaan, dan jiwa, roti yang dioven akan bantat atau tidak mau mengembang. Tanaman sebagai makhluk hidup akan merespon jiwa orang yang menyirami atas dasar kasih sayang atau sekedar tanaman jangan kekeringan.

Menulis adalah menghasilkan karya, beda dengan bicara, asal lawan bicara mengerti. Bahasa isyarat, bahasa tubuh pun bisa bermanfaat. Menulis berangkat dari perjalanan jiwa, hati dan rasa. Menulis sebagai hasil olah kalbu/qolbu. Menulis bisa dirangsang, dipancing, diprovokasi dari apa yang kita dengar, dari apa yang kita lihat. Bahkan alam pun adalah bacaan. Apalagi hati ini bukan tempat pembuangan akhir kata. [HaeN]

Rabu, 28 Oktober 2015

generasi penghiba-hiba vs generasi pengharu-rasa

generasi penghiba-hiba vs generasi pengharu-rasa


Pasca Reformasi yang nyaris jiwa dan rohnya terkontaminasi Revolusi Mental, kita surplus anak bangsa yang dalam hitungan jam menampakkan diri di media masa, khususnya media penyiaran televisi. Sebagai mata pencarian, sumber pendapatan, ladang penghasilan. Dengan modal tampang atau keahlian menggelitik emosi tawa pemirsa. Sebagai tukang kocok perut, pabrik ketawa, penglipur lara dengan dendang suara, pembawa acara yang tampil tampak cerdas dan berklas atau memang pekerjaan tukang perekayasa berita.

Menjadi nara sumber di acara, adegan dan atraksi yang fokus menaikkan peringkat dan mendatangkan fulus secara mulus. Seolah mengambil alih lembaga peradilan karena dialog, diskusi dan debat dibuat dalam format mengadili tersangka kasus yang sedang disidik.

Jangan dikira, ada program tv yang melecehkan diri sendiri dengan gagahnya, menistakan diri sendiri sesuai skenario, karena tuntutan penggemar dikemas ulang, diaur ulang.

Lupa, ada juga yang tampil di tv karena berbayar. Atau tak berani tampil, cukup nampang di running text. TV menampilkan yang semula tabu malah jadi hiburan. Yang awalnya sakral malah jadi saling sangkal agar nampak berakal.

Asas “siapa menguasai media masa, akan merajai dunia” tidak perlu diperdebatkan. Tak kurang orang memanfaatkan media masa berikut awaknya untuk maksud dan tujuan tertentu. Media masa menjadi kendaraan yang yang tak kalah dahsyatnya dengan partai politik yang dijadikan kendaraan politik untuk bisa meraih dan sampai puncak takhta RI-1.

Cukup dibayangkan, apa kata dunia, jika seorang pemilik dan penguasa media masa ikut berkiprah dalam tata cara mengatur negara dan tata olah mengolah pemerintah.

Kita bolak-balik sejarah Nusantara, terdapat secuwil fakta, ada penampakan tampang seram (sesuai cerita standar anak tempo doeloe) yang bisa tampil dan tayang sembarang waktu. Tentunya di media masa miliknya. Memang ada penyayi berkulit hitam, ketika buka suara, tak sebanding dengan sangarnya. Atau bahkan bertolak belakang.

Seperti kata sejarah, sang orator (entah siapa yang menyebutnya) dengan berapi-api, berkoar tentang semangat mau berkorban untuk nusa dan bangsa, apalagi memiliki congor dan corong untuk berpropaganda jual obat manjur mengatasi luka bangsa dan negara. Jual obat mujarab mengobati derita bangsa dan negara.

Bahkan rela akan menghisap asap yang sudah menjadi bencana lokal. Siap menjadi juru padam, jika diminta seluruh rakyat. Rakyat semakin yakin bahwa itu semua hanya sebagai hiasan belaka. Bahkan tepatnya bahwa ybs saja tidak tahu apa yang diomongkan. Tidak faham apa yang diomongkan kosong atau sekedar biar dianggap orator.
·          Biar dikira pemikir ulung, penuh dengan gagasan adi luhung, atau bukan sekedar mencari untung.
·          Biar diduga sebagai satu-satunya manusia yang memprihatinkan nasib bangsa, menghiba-hiba agar bisnis laris manis.
·          Biar disangka ahli, lihai, mahir, pakar dan nara sumber utama yang layak dan patut mengatur negara sesuai tabiatnya mengatur uang.
·          Biar didakwa sebagai filsuf yang sudah melupakan urusan dunia, sambil mempraktikkan mengatur negara bak mengatur uang.

Tunggu, cerita ini baru setengah jalan. Baru menampilkan jurus penghiba-hiba. Berati, kita memasuki kupasan dan ulasan jurus satunya.

Jurus berikutnya dimiliki anak bangsa yang keberatan nama besar nenek moyangnya. Selalu merasa dizalimi penguasa setempat, sehingga karat politiknya tak terasah. Malah semakin berkarat. Jika didaulat maju untuk tidak diam seribu bahasa seperti adatnya, sebagai pembuka selalu nenampakkan wajah sendu. Karena selalu merenungi masa depan bangsa. Tepatnya, mengutuk kenapa sejak pensiun dari jabatan kepala negara, tak ada yang memilihnya lagi di pilpres 2004 dan 2009. Apa kurang cantik. Apa kurang pandai (kata bapaknya, kamu anak pandai). Berakhir dengan tangis pasangan, tangis akting, tangis polesan.

Anak bangsa yang satu ini, tidak merasa bahwa bangsa Indonesia kasihan atas nasib bapaknya dan nasib dirinya selama di era Orde Baru. Sehingga menjadi nilai jual pada pemilu 1999, parpol warisan bapaknya bisa berjaya. Faktor kasihan sebagai orang timur, tetapi tidak ditanggapi secara adat wong timur. Yaitu bisa dan mampu membaca tanda zaman.

Kembali ke asas, kaidah, pasal atau apapun namanya, “pengharu-rasa” entah ada di KBBI  atau tidak, bahasa gaul atau bukan. No problem. Bukan urusan penulis. Penulis yakin, pembaca bisa mencerna makna “pengharu-rasa”. Minimal menambah perbendaharaan kata. Apalagi yang bisa mendengar langsung pidato politik di depan kader, elit partai, pengurus utama partai sampai kurir, suruhan atau petugas partai. Bahkan di manca negara sempat-sempatnya menyempatkan diri saat tampil, tetap dengan pakem lokal sebagai identitas dan jati diri.

Bukan kebetulan kalau yang memiliki sekaligus mewakili dua frasa sesuai judul, juga sebagai representasi jender/gender utawa jenis kelamin. Cuma jangan lupa, dua frasa ini sebagai penentu nasib bangsa dan negara di periode 2014-2019.[HaeN]


Sumpah Pemuda dan pemuda tulang lunak

Sumpah Pemuda dan pemuda tulang lunak

Gregeten pertama. Langkah diseret, bersuara, seperti keberatan badan. Atau seperti langkah pembantu rumah tangga yang menggerutu ke warung. Anak didik setingkat SMA, seragam putih abu, liwat depan rumah. Tangan kanan sibuk mengoperasikan HP. Tangan kiri rokok mengepul. Seolah jalan tak sampai-sampai.

Gregeten kedua.  Sambil bersandar di tiang stainless batas antrian di bank, tampak tak bertenaga semanusia pemuda. Sambil otak-atik HP, tidak berdiri tegak. Antrian bergerak maju, tetap acuh. Diingatkan, langkah santai ke depan, sambil meletakkan tangannya di atas tiang stainless berikutnya. Tangan tetap ber-HP ria. Sampai diantrian terdepan, badannya tetap disandarkan di tiang stainless.

Gregetan ketiga. Motor bulukan dinaiki remaja bercelana pendek, berkaos juga bulukan. Tangan kiri sibuk ber-sms. Posisi kendaraan di tengah, atau tak jelas, diklakson mobil di belakangnya, tampak seperti anak tuli. Jalan milik sendiri. Mobil menyalip, terhadang rombongan anak berseragam SMP naik motor menggerombol, sambil ngobrol. [HaeN]

ya Allah sampaikan langkahku ke rumah-Mu

ya Allah sampaikan langkahku ke rumah-Mu

Pengalaman membisikan ketika terbangun pertama, paling masih pukul 2-an. Rembulan 14 Muharram tampak jelas liwat kaca jendela kamar tidur, lanjut lelap.  Tanpa hitungan menit, suara tiang listrik yang dipukul pak satpam sampai ke  telinga, empat kali. Tidak perlu pikir lagi, harus bangun, apalagi lagi pak satpam acap tidak tepat waktu. Pukul 04:03. Tahan kantuk keluar kamar, peluh masih lengket di badan. Bergegas ganti celana, masuk KM/WC.Usai wudhu tanpa dihanduki, menenteng baju sambil buka pintu. .Jalan cepat sembari pakai baju. “Ya Allah sampaikan langkahku ke rumah-Mu”. Sholat subuh kalau kemarin pukul 04:10 waktu lokal.

Suara azan subuh dari masjid saling bersahutan. Suara muazin sekaligus marbot masjid langganan tak terdengar. Bukan masalah. Mulut tertutup rapat, ambil nafas panjang tetap berdoa, langkah cepat, menyalip seorang bapak bersarung. Parkir sandal salip bapak bersarung kedua di tangga masjid. Alhamdulillah, masih dapat shaf pertama, walau bukan di penjuru kanan seperti lazim jika ke masjid. Takhiyatul  masjid, lirik iqomah masih ada waktu. Sambung sholat fajar. Duduk berdoa. Merasa seperti terselamatkan. Merasa jangan-jangan malaikat pencatat amal baik, tak mau mendekat, bau keringat menyengat. Tidak terlambat sampai rumah-Nya, namun seperti ada yang kurang, seperti kehilangan.

Imam tetap subuh, karena setelah itu akan ke masjid tempat kerja, tidak seperti biasanya mengawali doa, langsung takbir. Usai salam, lanjut doa bareng, yang mungkin sesuai celetuk khotib jumat, lebih lama dibanding sholatnya. Jalan pulang, seperti bukan diri sendiri yang sedang melakukannya.

Sampai di rumah, langsung buka laptop. Panaskan air. Jadilah artikel ini. [HaeN]

Selasa, 27 Oktober 2015

menggugat penetapan Hari Politik

menggugat penetapan Hari Politik

 Kalender bangsa Indonesia, dengan kalender hijriyah mulai bulan Muharram hingga Dzulhijjah, maupun menggunakan kalender masehi mulai bulan Januari sampai Desember, tak lepas  terdapat hari raya, hari besar. Peringatan peristiwa penting berdasarkan agama yang diakui di Indonesia, berdasarkan sejarah pertumbuhan dan kemerdekaan dan pasca Proklmasi Indonesia, yang berskala dunia sampai yang ditetapkan pemerintah sebagai hari penting berskala nasional.

Kita bersyukur karena tidak semua hari peringatan dijadikan hari libur. Kita juga bersyukur ada beberapa hari penting yang diperingati secara masal dan seremonial oleh Pemerintah. Kita bersyukur walau skala lokal/daerah tetapi berdampak nasional, dicatat dalam sejarah.Kita juga prihatin ada peristiwa bersejarah yang dimanipulasi oleh pemerintah atau pihak yang berwajib. Pelajaran sejarah terkait dengan kejadian, peristiwa maupun tragedi, hanya sebagai hafalan. Kurang dikupas maknawinya, kurang difahami esensinya, apalagi dijadikan pelajaran.

Pasca Reformasi, 21 Mei 1998, penetapan hari penting, hari peringatan penting, ditetapkan secara politis. Walau dengan dalih sebagai upaya mempersatukan bangsa dan negara.

9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Internasional, Indonesia ikut merayakan secara nasional sampai lokal. Dalam satu hari saja, Indonesia bebas korupsi. Selebihnya tergantung niat dan perilaku masing-masing. Mulai korupsi waktu sampai korupsi uang negara/daerah maupun swasta dan perseorangan.

Terdapat setidaknya 3 peristiwa politik pasca Reformasi yang bisa dijadikan momentum ditetapkannya Hari Politik.

Pertama, pemilu sesuai rencana tahun 2002, akibat lengser keprabon RI-1 kedua, Suharto, diajukan menjadi 1999. Banyak akal dipakai untuk mendasari diajukannya, dipercepatnya pemilu. Terbukti ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Bacharuddin Jusuf Habibie. Satu hal yang secara sangat menonjol  membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Kedua, MPR hasil pemilu 1999 yang memilih sekaligus melakukan tindakan pemakzulan (impeachment) terhadap RI-1 keempat, dengan dalih sesuai selera politik. Kejadiannya terjadi di tahun 2001. Tepatnya dengan Tap MPR RI Nomor : II/MPR/2011 tertanggal 23 Juli 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman  Wahid. Kalau kita baca UUD 1945 mulai dari pasal 1 sampai dengan pasal 37, ternyata tidak ada pasal yang mengatakan, bahwa MPR berwenang memberhentikan Presiden, apa pun alasannya. Tersirat bahwa ketua umum parpol juara umum Pemilu 1999 tidak otomatis jadi presiden.

Ketiga dan masih terasa hangat baunya, yaitu ketika oknum Sekjen partai nasdem, sebut saja Patrice Rio Capella (bukan nama samaran), terjegal dan terganjal pasal tipikor dengan sadar. Bayangkan, partai utama kedua, setelah pdi-p, yang mendukung, menyokong dan mengusung pasangan Jokowi-JK bisa dilantik dan disumpah jadi RI-1 dan RI-2, seolah merasa tak kebagian jatah politik transaksional.

Kalau ditarik benang merahnya, ketiga kejadian di atas, sebagai bukti bahwa politik Nusantara masih politik banci, politik setengah hati. Istilah gaulnya adalah politik kw. Tepatnya, peristiwa kedua menjadikan anak bangsa yang ketiban pulung naik derajat dari wakil presiden menjadi presiden, nasib kemudian menentukan di periode 2004-2009 dan 2009-2014 duduk manis di bangu cadangan. Momentum ini menjadikan di pesta demokrasi 2014, partai juara pertamanya tidak siap menang. Sehingga di periode 2014-2019 nasib bangsa dijadikan ajang pertaruhan. Orang bijak bilang, secara formal Pemerintah banyak jasanya, namun pernik-pernik penyengsaraan rakyat kalau dijumlah ternyata jauh lebih banyak, lebih besar. [HaeN]

Senin, 26 Oktober 2015

jangan berpolitik dengan politik

jangan berpolitik dengan politik

 Politik adu domba, atau bahasa ilmiahnya devide et impera, merupakan modus operandi penjajah Belanda yang dipakai di Nusantara. Politik pecah belah made in Belanda, tanpa turun tangan, tanpa berkeringat, tapi hasilnya diluar dugaan. Bisa diibaratkan, mukul pinjam tangan, nendang pinjam kaki. Belanda menciptakan konflik vertikal, misal antara rakyat dengan ningrat, antara maling dengan piyayi/priyayi, antara bolo dupak dengan bangsawan, antara kulit sawo matang dengan darah biru. Rencana B, yaitu adu domba berbasis SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).

Ironisnya, bangsa Indonesia malah terkontaminasi atau secara sadar malah menyerap ilmu “adu domba” dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan akal, nalar dan logika politik dalam negeri.

Singkat kata, ketika Indonesia menjadi negara multipartai, hubungan pancasilais antar parpol adalah bak antar domba yang siap beradu, saling beradu. Antar kawanan parpolis saling siap jegal menjegal, jagal menjagal di setiap jelang pesta demokrasi, bahkan selama periode pasca pesta demokrasi.

Jangankan antar parpol, arwah adu domba nyata dirasakan di jajaran penyelenggara negara, dibuktikan kasus Buaya vs Cecak tetap berlanjut di periode Jokowi-JK. Di internal parpol, jabatan ketua umum menjadi jabatan prestius, karena sebagai syarat administrasi daftar diri sebagai calon presiden. Bisa-bisa memang bisa terjadi, oknum ketua umum mengganggap parpol sebagai perusahaan keluarga.

Barisan domba yang berpengalaman sebagai apa saja, siap mengadu nasib jadi kepala negara. [HaeN]

Sabtu, 24 Oktober 2015

menuju swasembada asap

menuju swasembada asap

Tanpa gaduh politik, tanpa blusukan, tanpa sidang kabinet, tanpa perletakan batu pertama, akhirnya Indonesia sukses dengan program pengasapan alias fogging. Karena nyamuk yang beredar dan berkeliaran bebas adalah nyamuk bukan klas kw, maka thermal fogging sudah tidak manjur, ampuh dan mempan.

Tanpa proses legislasi, tanpa dukunga anggaran, tanpa pengawasan, tanpa skenario berbasis Trisakti dan Nawa Cita, akhirnya secara meyakinkan dan pastinya pasti, Indonesia menjadi produsen asap. Kebutuhan asap dalam negeri sampai perayaan natal 2015 dan perayaan sambut tahun anyar 2016, lebih dari cukup. Kebutuhan asap per KK tercukupi tanpa harus impor dari Cina.


Tanpa campur tangan bandar politik, tanpa aroma irama goyang politik ndangdut, tanpa kisruh polisi vs KPK, tanpa orasi ahli kefasikan media masa, tanpa tangis diam politik presiden senior,  diam-diam Indonesia menghibahkan asap Nusantara ke negara tetangga. Indonesia mengamalkan asap asli, bukan apkiran ke negara yang membutuhkan. Asap Indonesia dikenal originalitasnya. Bukan oplosan, bukan hasil rekayasa genetik. [HaeN]

Jumat, 23 Oktober 2015

hukuman medis seumur hidup kepada pelaku pedofil

hukuman medis seumur hidup kepada pelaku pedofil


Sebelum bertransaksi kata, kita coba renungkan makna “kebiri”. Menurut KBBI, kebiri adalah sudah dihilangkan (dikeluarkan) kelenjar testisnya (pada hewan jantan) atau dipotong ovariumnya (pada hewan betina); sudah dimandulkan. Kebiri saudara dekat dari vaséktomi yaitu operasi untuk memandulkan kaum pria dengan cara memotong saluran sperma atau saluran mani dari bawah buah zakar sampai ke kantong sperma.

Masalah mencuat lagi, ketika Pemerintah memandang sangat serius kejahatan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual. Untuk itu, Pemerintah memandang perlu melakukan terobosan, di antaranya memberikan pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan kepada anak.

Jaksa Agung Prasetyo di kantor presiden Jakarta Selasa (20/10) mengatakan, Presiden Joko Widodo setuju diterapkannya hukuman tambahan berupa pengebirian bagi pelaku kejahatan seksual kepada anak-anak. 

Hal ini menurut Prasetyo perlu dilakukan agar menimbulkan efek jera. Ia mengatakan, "Khususnya berkaitan dengan kejahatan seksual terhadap anak-anak. Telah disepakati dan disetujui bapak Presiden, untuk nantinya kita akan memberikan hukuman tambahan berupa pengebirian. Yang pasti dengan pengebirian ini memberikan efek menjerakan dan bisa menimbulkan orang harus berpikir seribu kali kalau akan melakukan kejahatan seksual terhadap anak."

 Melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak (GN AKSA), Presiden menginstruksikan kepada para menteri, Jaksa Agung, Kapolri, para kepala lembaga pemerintah non kementerian, dan para kepala daerah untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, kewenangan masing-masing untuk mencegah dan memberantas serta mempercepat proses penanganan kejahatan seksual anak dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dan dunia. Mengapa dunia?

Prilaku pedofilia dianggap sebagai kejatan di hampir semua negara. Namun tidak jelas kenapa sang pelaku bisa mengembangkan orientasi seksual kepada anak-anak. Ilmuwan Jerman berupaya menelusuri penyebabnya. Sekelompok ilmuwan lintas institusi menyelidiki penyebab prilaku pedofil. Kendati beragam hasil penelitian sudah dipublikasikan terkait prilaku menyimpang itu, hingga kini ilmuwan belum berhasil menguak fungsi otak seorang pedofil, kata Pakar Psikologi dan Psikoterapi Jerman, Jorge Ponseti. (sumber : http://www.dw.com/id/darimana-hasrat-seksual-pedofil-berasal/a-17651137)

Artinya, pengkebirian untuk manusia pelaku pedofilia hanya sebatas mengendalikan atau memotong fungsi jaringan syahwat libidonya, di hilirnya. Belum menyentuh masalah di hulunya, sesuai hasil penelitian yang belum berhasil menguak fungsi otak pelaku pedofil.

Artinya, jika fungsi otak pelaku pedofil belum terpetakan, walhasil “aktor intelektual” masih bebas aktif. Palu pedofil walau sudah mandul, namun otaknya belum tumpul. Masih bisa tetap menyalurkan hasrat, bakat, dan niat dengan berbagai modus operandi. Masih bisa mencari calon korban baru.

Artinya, jika pasal hukum tidak mampu memberi peringatan dini kepada calon pelaku pedofil atau bahkan tidak mampu memberi efek jera kepada pelaku pedofil, harus disusun skenario pendekatan total.

Pasal medis bisa mengesyahkan adanya tindakan cuci otak pada pelaku pedofil yang sudah mempunyai ketetapan hukum. Sehingga dengan cuci otak, atau memenjarakan bagian otak yang fungsinya mengendalikan perilaku seks menyimpang. Realisasi dari hukuman medis seumur hidup.

Pasal sosial bisa menerapkan sanksi sosial, misal dengan pengucilan (mantan) pelaku pedofil dari tempat tinggalnya dan masyarakat. Tentunya jangan sampai melanggar HAM. Atau malah menjadi bumerang, andai pelaku pedofil berwarga negara asing.  [HaeN]

Menyoal Sebutan Kader Bela Negara

 Politika     Dibaca :15 kali , 0 komentar
Menyoal Sebutan Kader Bela Negara
 Ditulis : Herwin Nur 23 Oktober 2015

Seprofesional-profesionalnya orang dalam bekerja, berkarya maupun mengabdi untuk bangsa dan negara, ujung-ujungnya juga berujung bayaran atau terima Rp. Semakin profesional, semakin pakar, semakin ahli,  semakin banyak jam terbang, semakin banyak makan asam garam, tarif bayarannya dikalkulasi per jam. 
Profesional tidak ada kaitannya dengan kadar, bobot, citra akademis seseorang. Suatu pekerjaan yang ditekuni, dari waktu ke waktu, sebagai proses, tentu akan mendatangkan hasil. Manusia wajib berusaha, wajib berikhtiar dilandasi doa, memandang ikhtiar sebagai ibadah. Soal kapan berhasil, bagaimana tingkat keberhasilan, keberhasilan apa saja yang bisa diraih, menjadi hak prerogratif Allah. 
Orang dengan IQ pas-pasan, namun daya juangnya di atas rata-rata, atau memang sudah nasibnya, bisa sukses. Kriteria sukses biasanya diukur berdasarkan skala dunia. Tingkat keberhasilan seseorang bisa dilihat dengan mata kepala. 
Uraian di atas sebagai pembuka wacana, akankah kategori pem-BELA NEGARA, merupakan pekerjaan formal, melalui usulan serta pemilihan dan pemilhan, melalui proses pendidikan dan pelatihan, melalui tahap pelantikan dan penyumpahan, bahkan ada jenjang jabatan dan kepangkatan. 
Jelas dan nyata, wakil rakyat mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi sampai nasional, secara otomatis yuridis masuk kategori pem-BELA RAKYAT. Sehingga berbagai elemen dan komponen rakyat tidak perlu berjibaku dengan turun ke jalan untuk unjuk rasa dan unjuk raga. Atau rakyat sudah tidak lagi menjadi korban salah main hukum, salah sasaran, salah gebuk, salah prosedur administrasi. Rakyat yang mem-BELA LINGKUNGAN (bagian terkecil dari bela negara), bisa luput dari penganugerahan hadiah Kalpataru, tetapi tidak bisa luput dari main hakim sendiri yang dipraktikkan oleh pengusaha maupun penguasa setempat. 
Ketika bangsa ini dijajah oleh serbuan produk dan budaya asing, bahkan untuk urusan dapur pun. Siapa yang wajib bela? Dari dalam, dalam satuan waktu jam, kekayaan alam digerogoti, dikeduk, dikuras tuntas oleh konspirasi asing secara menerus dan berkelanjutan. Siapa yang wajib bertanggung jawab! 
Hingga detik ini, apakah para penyelenggara negara otomatis masuk jajaran pem-BELA NEGARA, apalagi yang masa kerjanya satu periode lima tahunan.
Lalu siapa dan bagaimana yang disebut PEJUANG BANGSA!!! [HaéN/wasathon.com)] 

Kamis, 22 Oktober 2015

tahun pertama periode Jokowi-JK, bukan jaminan

tahun pertama periode Jokowi-JK, bukan jaminan

Alasannya sangat sederhana dan amat simpel, tidak perlu memakai jasa survei atau analisa akademis. Cukup dengan logika atau model hamba sahaya. Sedikit mengacu gugon tuhon masyarakat Jawa (Mataram). Bisa juga mengotal-atik makna Ibu Pertiwi.

Pertama dan hal utama yang perlu kita cerna adalah bahwa Jokowi-JK bisa dilantik dan disumpah sebagai RI-1 dan RI-2 melalui proses politik. Butuh kendaraan politik. Apalagi Jokowi bukan ketua umum partai politik. Parpol utama pendukung Jokowi sudah dua periode tidak turun gelanggang. Hanya sebagai oposisi banci, oposisi setengah hati.

Akibatnya seperti yang kita rasakan selama 20 Oktober 2014 s.d 20 Oktober 2015, parpol pemenang pesta demokrasi 2014 tidak siap menang, tidak siap estafet, apalagi siap menurunkan jago-jagonya untuk berlaga. Yang dikirim sebagai pembantu presiden hanya ayam sayur, jago kandang, karena silsilah. Jabatan ketua umum pun diaklamasikan sebagai jabatan seumur hidup.

Parpol baru lahir pengusung Jokow-JK hanya mengandalkan berkoar di media massa (milik pribadi), merasa jago pidato membangkitkan opini dan membangunkan sensasi. Menggagas konsep yang tidak membumi apalagi pro-rakyat. Membanggakan revolusi mental sebagi doktrin dan harga mati. Kebetulan jelang satu tahun pemerintah, oknum Sekjen partai NasDem, sebut saja Patrice Rio Capella (bukan nama samaran), dipanggil KPK atau versi lainnya. PRC menjadi korban revolusi mental.

Kalau RI-1 ke empat yang akrab dengan panggilan dan sebutan Gus Dur, dengan kharomahnya bisa “menerawang” ke depan, namun tidak bisa “membaca” dampaknya. SBY di dua periode 2004-2009 dan 2009-2014, didasari ilmu militernya, mempunyai jangkauan dan lompatan ke depan.

Yang satu ini, Jokowi, terkondisikan oleh peta politik hasil imajinasi bandar politik dan pesanan pihak berkepentingan. Menurut bahasa awam, melakukan hitung mundur. Membayangkan sudah ada “jawabab” atas raihan selama berkuasa. Maka segala potensi dipakai untuk mengamankan runutan ke belakang. Seperti metematika, sudah diketahui hasil akhir atau jawabannya, sehingga perhitungan dipas-paskan, disesuaikan, rumusnya dimanutkan, dipantaskan dengan proses perhitungan yang hasil / jawabannya sudah diketahui.

Tahun pertama sebagai tahun uji coba, tahun coba-coba, tahun percobaan. Tidak ada kaitannya dengan pengalaman Jokowi yang turun di tengah jalan saat jadi walikota Surakarta dan gubernur DKI Jakarta. Belum jatuh tempo sudah colong playu tinggal gelanggang. Tahun ketiga, tepatnya tengah periode, grafik kinerja akan lebih bisa dibaca arahnya.

Kabut asap bagian dari azab dunia, tak akan menyentuh syahwat politik Nusantara. Itu saja. Cukup sekian, karena bahasa rakyat tidak bertele-tele. Kuatir ada yang menangis terharu maupun ada yang berorasi menghiba-hiba.  [HaeN]

politik bumi hangus di balik bencana kabut asap

politik bumi hangus di balik bencana kabut asap

Konon, hasil analisis determinan yang dilakukan oleh pihak terkait langsung tak langsung,  membuktikan bahwa pemerintah RI di antara negara-negara produsen kelapa sawit telah meningkatkan efek komposisi produk, efek distribusi pasar, efek daya saing maupun kinerja ekspor baik Crude Palm Oil (CPO) maupun Palm Kernel Oil (PKO). Kebijakan yang mendukung pengembangan ekspor CPO maupun PKO dengan mempertimbangkan daya saing hilirisasi industri sawit, peningkatan kualitas CPO dan PKO yang sesuai dengan standar negara yang menjadi tujuan ekspor utama.

Konon, Buku III Agenda Pembangunan Wilayah, RPJMN 2015-2019, menyebutkan bahwa dari sektor pertanian terutama perkebunan, wilayah Papua (provinsi Papua dan provinsi Papua Barat) merupakan produsen kelapa sawit yang besar di Asia, yaitu sebesar 7,80% per tahun lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang hanya sebesar 4,20% per tahun. Luas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan (2010) mencapai 83% dari luas kelapa sawit nasional. Perkebunan kelapa sawit di wilayah Papua saat ini telah memiliki 43% dari total produksi minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) dunia sehingga Indonesia dikenal sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Investasi kelapa sawit dalam skala besar dapat meningkatkan pendapatan pemerintah untuk jangka pendek tetapi akan sedikit mempengaruhi proses hilir dan pertumbuhan sektor lain dikarenakan keterbatasan kemajuan dan kaitannya multiplier effect sektor ini. Selain kelapa sawit, produksi perkebunan karet di wilayah Papua secara keseluruhan cukup besar.

Konon, Pemerintah mulai 1 Juli 2015 melakukan pungutan atas ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya atau yang lebih dikenal CPO Supporting Fund (CSF). Sejumlah pengusaha industri hilir kelapa sawit menyatakan keberatan atas kewajiban tersebut, karena akan menambah pungutan pemerintah yang selama ini sudah terlalu banyak.

"Kita mau ekspor sawit dari hulu sampai hilir sudah kena 6 jenis kewajiban. Pertama pajak PPN (pajak pertambahan nilai) 10%, setelah kita produksi kena lagi PPh (pajak penghasilan) Pasal 25 kena 25%," terang Ketua Bidang Organisasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Topa Simatupang pada detikFinance, Kamis (18/6/2015).

Selain itu, pengusaha juga harus melakukan kewajiban membina petani kecil sebagai petani plasma.

"Kita keluarkan barang kena lagi Bea Keluar, perusahaan juga ada kewajiban harus 20% lahan kelapa sawit untuk pembinaan petani, kita owner pas mau ambil keuntungan juga kena lagi pajak dividen 15%," katanya.

Topa mengungkapkan, tanpa pungutan CSF saja, setiap pengusaha eksportir kelapa sawit sudah menanggung pajak sampai ekspor lebih dari 50%.

"Dengan total produksi 32 juta ton. Potensi sawit ekspor kita Rp 300 triliun lebih. Harusnya pemerintah cari kebijakan fiskal lain selain memungut bea ekspor. Saya rasa bagus diterapkan untuk hulu. Tapi dari industri hilir saja kita sudah serap tenaga kerja, retribusi untuk daerah, dan tentu nilai tambah CPO, jangan dirusak yang sudah bagus," keluh Topa.

Konon, kata ahli gerakan anti teroris, jangan tunggu munculnya teroris, jangan nanti sampai jatuh korban, baru melakukakan tindakan dan aksi nyata. Kalau jumpa teroris di jalanan, langsung tembak di tempat. Urusan pasal hukum, urusan belakangan. Kalau petani mau memusnahkan kawanan tikus yang selalu pesta demokrasi di lumbung, jangan bakar lumbungnya. Kalau aparat berhasil mengendus keberadaan teroris disarangnya, lakukan tindakan pengepungan dan penggerebekan massal. Kalau perlu lakukan politik bumi hangus. Petani mencari lubang jalur evakuasi tikus di pematang sawah, dengan pola diasapi ke dalam lubang, tikus akan keluar. Tinggal main gebuk. Demi meningkatkan kinerja petani, pihak pemerintah kelurahan/desa menghargai satu ekor tikus dengan sekian Rp. Hanya sebagai stimulus.

Konon, tindakan nyata teroris internasional, konspirasi tikus internasional dalam membendung laju ekspor CPO dan PKO dari Indonesia, adalah dengan membumihanguskan di sarangnya. Di hulunya. Bahkan di lahan sebelum kelapa sawit sempat tunas. Sektor pertanian mengatakan kelapa sawit sebagai sumber daya terbarukan. Alasan pohon kelapa sawit sudah tidak produktif, dijadikan kayu bakar dan bakar di tempat. Habis perkara dan tuntas urusan. Ibarat membasmi tikus sampai cindil-cindilnya.

Konon, pola pikir petani lokal, yang masih akrab dengan kearifan budaya lokal, adat istiadat setempat dan merasa bagian dari lingkungan hidup, masih menyatu dan menghargai alam. Membuka lahan garapan, memang ada yang masih secara tradisonal, dengan main bakar. Itu pun dengan skala kecil, sesuai kebutuhan komunitas. Dibakar untuk diolah, bukan dibiarkan menjalar kian kemari. Mereka tidak gampang diiming-imingi Rp, tidak mudah dibujuk rayu untuk mengkhianati lingkungannya. Mereka tidak tergiur manisnya dolar.

Konon, petani lokal yang sudah mengenal politik, yaitu apa artinya kekayaan, kekuasaan dan kekuatan, bisa berubah pikiran. Apalagi kalau dibuat mabuk kenikmatan sesaat. Apalagi jika key person, sudah bisa dielus-elus oleh pengusaha, atau diintimidasi oleh oknum penguasa lokal. Bisa juga yang mempertahankan hak atas tanah garapannya, yang luput dari liputan media massa, akan mengalami dakwaan pasal berlapis.

Konon, politik bumi hangus hutan kelapa sawit Indoensia menjadi agenda internasional. Dalam rangka persaingan dan monopoli perdagangan dunia. Akankah wilayah Papua akan mengalami nasib sama dengan pulau Sumatera dan pula Kalimanta. Atau karena sudah ada kontribusi karena Timika sebagai ibukota kabupaten Mimika, Papua telah menjadi sarang beroperasinya salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia asal Amerika Serikat, yakni Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. [HaeN]