generasi
penghiba-hiba vs generasi pengharu-rasa
Pasca
Reformasi yang nyaris jiwa dan rohnya terkontaminasi Revolusi Mental, kita
surplus anak bangsa yang dalam hitungan jam menampakkan diri di media masa,
khususnya media penyiaran televisi. Sebagai mata pencarian, sumber pendapatan,
ladang penghasilan. Dengan modal tampang atau keahlian menggelitik emosi tawa
pemirsa. Sebagai tukang kocok perut, pabrik ketawa, penglipur lara dengan
dendang suara, pembawa acara yang tampil tampak cerdas dan berklas atau memang
pekerjaan tukang perekayasa berita.
Menjadi
nara sumber di acara, adegan dan atraksi yang fokus menaikkan peringkat dan
mendatangkan fulus secara mulus. Seolah mengambil alih lembaga peradilan karena
dialog, diskusi dan debat dibuat dalam format mengadili tersangka kasus yang
sedang disidik.
Jangan
dikira, ada program tv yang melecehkan diri sendiri dengan gagahnya, menistakan
diri sendiri sesuai skenario, karena tuntutan penggemar dikemas ulang, diaur
ulang.
Lupa,
ada juga yang tampil di tv karena berbayar. Atau tak berani tampil, cukup
nampang di running text. TV menampilkan yang semula tabu malah jadi hiburan.
Yang awalnya sakral malah jadi saling sangkal agar nampak berakal.
Asas
“siapa menguasai media masa, akan merajai dunia” tidak perlu diperdebatkan. Tak
kurang orang memanfaatkan media masa berikut awaknya untuk maksud dan tujuan
tertentu. Media masa menjadi kendaraan yang yang tak kalah dahsyatnya dengan
partai politik yang dijadikan kendaraan politik untuk bisa meraih dan sampai
puncak takhta RI-1.
Cukup
dibayangkan, apa kata dunia, jika seorang pemilik dan penguasa media masa ikut
berkiprah dalam tata cara mengatur negara dan tata olah mengolah pemerintah.
Kita
bolak-balik sejarah Nusantara, terdapat secuwil fakta, ada penampakan tampang
seram (sesuai cerita standar anak tempo doeloe) yang bisa tampil dan tayang
sembarang waktu. Tentunya di media masa miliknya. Memang ada penyayi berkulit
hitam, ketika buka suara, tak sebanding dengan sangarnya. Atau bahkan bertolak
belakang.
Seperti
kata sejarah, sang orator (entah siapa yang menyebutnya) dengan berapi-api, berkoar tentang semangat mau berkorban untuk nusa dan bangsa, apalagi
memiliki congor dan corong untuk berpropaganda jual obat manjur mengatasi luka
bangsa dan negara. Jual obat mujarab mengobati derita bangsa dan negara.
Bahkan rela akan
menghisap asap yang sudah menjadi bencana lokal. Siap menjadi juru padam, jika
diminta seluruh rakyat. Rakyat semakin yakin bahwa itu semua hanya sebagai
hiasan belaka. Bahkan tepatnya bahwa ybs saja tidak tahu apa yang diomongkan.
Tidak faham apa yang diomongkan kosong atau sekedar biar dianggap orator.
·
Biar dikira pemikir
ulung, penuh dengan gagasan adi luhung, atau bukan sekedar mencari untung.
·
Biar diduga sebagai
satu-satunya manusia yang memprihatinkan nasib bangsa, menghiba-hiba agar
bisnis laris manis.
·
Biar disangka ahli,
lihai, mahir, pakar dan nara sumber utama yang layak dan patut mengatur negara
sesuai tabiatnya mengatur uang.
·
Biar didakwa sebagai
filsuf yang sudah melupakan urusan dunia, sambil mempraktikkan mengatur negara
bak mengatur uang.
Tunggu,
cerita ini baru setengah jalan. Baru menampilkan jurus penghiba-hiba. Berati,
kita memasuki kupasan dan ulasan jurus satunya.
Jurus
berikutnya dimiliki anak bangsa yang keberatan nama besar nenek moyangnya.
Selalu merasa dizalimi penguasa setempat, sehingga karat politiknya tak
terasah. Malah semakin berkarat. Jika didaulat maju untuk tidak diam seribu
bahasa seperti adatnya, sebagai pembuka selalu nenampakkan wajah sendu. Karena
selalu merenungi masa depan bangsa. Tepatnya, mengutuk kenapa sejak pensiun
dari jabatan kepala negara, tak ada yang memilihnya lagi di pilpres 2004 dan
2009. Apa kurang cantik. Apa kurang pandai (kata bapaknya, kamu anak pandai).
Berakhir dengan tangis pasangan, tangis akting, tangis polesan.
Anak
bangsa yang satu ini, tidak merasa bahwa bangsa Indonesia kasihan atas nasib
bapaknya dan nasib dirinya selama di era Orde Baru. Sehingga menjadi nilai jual
pada pemilu 1999, parpol warisan bapaknya bisa berjaya. Faktor kasihan sebagai
orang timur, tetapi tidak ditanggapi secara adat wong timur. Yaitu bisa dan
mampu membaca tanda zaman.
Kembali
ke asas, kaidah, pasal atau apapun namanya, “pengharu-rasa” entah ada di
KBBI atau tidak, bahasa gaul atau bukan.
No problem. Bukan urusan penulis. Penulis yakin, pembaca bisa mencerna makna
“pengharu-rasa”. Minimal menambah perbendaharaan kata. Apalagi yang bisa
mendengar langsung pidato politik di depan kader, elit partai, pengurus utama
partai sampai kurir, suruhan atau petugas partai. Bahkan di manca negara
sempat-sempatnya menyempatkan diri saat tampil, tetap dengan pakem lokal
sebagai identitas dan jati diri.
Bukan
kebetulan kalau yang memiliki sekaligus mewakili dua frasa sesuai judul, juga
sebagai representasi jender/gender utawa jenis kelamin. Cuma jangan lupa, dua
frasa ini sebagai penentu nasib bangsa dan negara di periode 2014-2019.[HaeN]