Halaman

Rabu, 28 Oktober 2015

generasi penghiba-hiba vs generasi pengharu-rasa

generasi penghiba-hiba vs generasi pengharu-rasa


Pasca Reformasi yang nyaris jiwa dan rohnya terkontaminasi Revolusi Mental, kita surplus anak bangsa yang dalam hitungan jam menampakkan diri di media masa, khususnya media penyiaran televisi. Sebagai mata pencarian, sumber pendapatan, ladang penghasilan. Dengan modal tampang atau keahlian menggelitik emosi tawa pemirsa. Sebagai tukang kocok perut, pabrik ketawa, penglipur lara dengan dendang suara, pembawa acara yang tampil tampak cerdas dan berklas atau memang pekerjaan tukang perekayasa berita.

Menjadi nara sumber di acara, adegan dan atraksi yang fokus menaikkan peringkat dan mendatangkan fulus secara mulus. Seolah mengambil alih lembaga peradilan karena dialog, diskusi dan debat dibuat dalam format mengadili tersangka kasus yang sedang disidik.

Jangan dikira, ada program tv yang melecehkan diri sendiri dengan gagahnya, menistakan diri sendiri sesuai skenario, karena tuntutan penggemar dikemas ulang, diaur ulang.

Lupa, ada juga yang tampil di tv karena berbayar. Atau tak berani tampil, cukup nampang di running text. TV menampilkan yang semula tabu malah jadi hiburan. Yang awalnya sakral malah jadi saling sangkal agar nampak berakal.

Asas “siapa menguasai media masa, akan merajai dunia” tidak perlu diperdebatkan. Tak kurang orang memanfaatkan media masa berikut awaknya untuk maksud dan tujuan tertentu. Media masa menjadi kendaraan yang yang tak kalah dahsyatnya dengan partai politik yang dijadikan kendaraan politik untuk bisa meraih dan sampai puncak takhta RI-1.

Cukup dibayangkan, apa kata dunia, jika seorang pemilik dan penguasa media masa ikut berkiprah dalam tata cara mengatur negara dan tata olah mengolah pemerintah.

Kita bolak-balik sejarah Nusantara, terdapat secuwil fakta, ada penampakan tampang seram (sesuai cerita standar anak tempo doeloe) yang bisa tampil dan tayang sembarang waktu. Tentunya di media masa miliknya. Memang ada penyayi berkulit hitam, ketika buka suara, tak sebanding dengan sangarnya. Atau bahkan bertolak belakang.

Seperti kata sejarah, sang orator (entah siapa yang menyebutnya) dengan berapi-api, berkoar tentang semangat mau berkorban untuk nusa dan bangsa, apalagi memiliki congor dan corong untuk berpropaganda jual obat manjur mengatasi luka bangsa dan negara. Jual obat mujarab mengobati derita bangsa dan negara.

Bahkan rela akan menghisap asap yang sudah menjadi bencana lokal. Siap menjadi juru padam, jika diminta seluruh rakyat. Rakyat semakin yakin bahwa itu semua hanya sebagai hiasan belaka. Bahkan tepatnya bahwa ybs saja tidak tahu apa yang diomongkan. Tidak faham apa yang diomongkan kosong atau sekedar biar dianggap orator.
·          Biar dikira pemikir ulung, penuh dengan gagasan adi luhung, atau bukan sekedar mencari untung.
·          Biar diduga sebagai satu-satunya manusia yang memprihatinkan nasib bangsa, menghiba-hiba agar bisnis laris manis.
·          Biar disangka ahli, lihai, mahir, pakar dan nara sumber utama yang layak dan patut mengatur negara sesuai tabiatnya mengatur uang.
·          Biar didakwa sebagai filsuf yang sudah melupakan urusan dunia, sambil mempraktikkan mengatur negara bak mengatur uang.

Tunggu, cerita ini baru setengah jalan. Baru menampilkan jurus penghiba-hiba. Berati, kita memasuki kupasan dan ulasan jurus satunya.

Jurus berikutnya dimiliki anak bangsa yang keberatan nama besar nenek moyangnya. Selalu merasa dizalimi penguasa setempat, sehingga karat politiknya tak terasah. Malah semakin berkarat. Jika didaulat maju untuk tidak diam seribu bahasa seperti adatnya, sebagai pembuka selalu nenampakkan wajah sendu. Karena selalu merenungi masa depan bangsa. Tepatnya, mengutuk kenapa sejak pensiun dari jabatan kepala negara, tak ada yang memilihnya lagi di pilpres 2004 dan 2009. Apa kurang cantik. Apa kurang pandai (kata bapaknya, kamu anak pandai). Berakhir dengan tangis pasangan, tangis akting, tangis polesan.

Anak bangsa yang satu ini, tidak merasa bahwa bangsa Indonesia kasihan atas nasib bapaknya dan nasib dirinya selama di era Orde Baru. Sehingga menjadi nilai jual pada pemilu 1999, parpol warisan bapaknya bisa berjaya. Faktor kasihan sebagai orang timur, tetapi tidak ditanggapi secara adat wong timur. Yaitu bisa dan mampu membaca tanda zaman.

Kembali ke asas, kaidah, pasal atau apapun namanya, “pengharu-rasa” entah ada di KBBI  atau tidak, bahasa gaul atau bukan. No problem. Bukan urusan penulis. Penulis yakin, pembaca bisa mencerna makna “pengharu-rasa”. Minimal menambah perbendaharaan kata. Apalagi yang bisa mendengar langsung pidato politik di depan kader, elit partai, pengurus utama partai sampai kurir, suruhan atau petugas partai. Bahkan di manca negara sempat-sempatnya menyempatkan diri saat tampil, tetap dengan pakem lokal sebagai identitas dan jati diri.

Bukan kebetulan kalau yang memiliki sekaligus mewakili dua frasa sesuai judul, juga sebagai representasi jender/gender utawa jenis kelamin. Cuma jangan lupa, dua frasa ini sebagai penentu nasib bangsa dan negara di periode 2014-2019.[HaeN]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar