Halaman

Selasa, 20 Oktober 2015

penyelenggara negara, bukan monopoli kepala negara

penyelenggara negara, bukan monopoli kepala negara

Wajar jika berbagai komponen bangsa Indonesia, yang melek politik maupun yang buta politik, dengan keterbatasan daya pikir, mengira, menyangka, menduga bahwa jatuh bangunnya negara tergantung kinerja, kontribusi, kiprah kepala negara.

Wajar jika kepala negara pusing tujuh keliling seolah memikirkan nasib dan masa depan (baca, hanya selama periode lima tahun) bangsa dan negara. Tunjangan pusing ditanggung negara untuk satu keluarga. Mengandalkan tunjangan jabatan, masih kurang untuk membeli dan menebus obat pusing, obat pening, obat sakit kepala.

Wajar jika rongrongan, sang pengerogot, sang penggerus justru dari dalam tubuh sendiri. Mulai dari partai politik pengusung dan pendukung, relawan, tim sukses, juru kampanye, bolo dupak, penggembira, juru sorak sorai, juru tepuk tangan. Semakin menggila jika politik transaksional, ideologi Rp belum merata. Kontrak politik kepala negara adalah pemerataan jabatan bagi koalisi pendukungnya, terbukti dengan adanya perombakan Kabinet Kerja banget.

Wajar jika satu tahun Jokowi-JK buka usaha sebagai RI-1 dan RI-2, 20 Oktober 2014-20 Oktober 2015, menyisakan pro dan kontra yang seolah tak berujung akhir. Pasca periode belum aman dan nyaman. Bandar politik memposisikan diri, mematut diri, merasa jadi RI-0 atau RI-0,5. Bahkan tanpa rasa malu ada yang memproklamirkan diri sebagai presiden senior. Karena merasa bahwa negara adalah warisan dari nenek moyangnya.

Kalau kita simak pengertian : “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Betapa legislatif serta yudikatif mempunyai andil, saham. modal dalam merobohkan atau menegakkan negara. Wakil rakyat yang bermarkas di Senayan, plus DPD, menjadi MPR, sebuah kekuatan yang multimanfaat, multiguna dan sekaligus multidampak.

Wakil rakyat walau sampai periode kedua, belum ada jaminan sudah kenyang, nyaman dan berenerji positif. Apalagi sudah mempunyai tabungan hari tua. Parpol jebolan atau lulusan kawah candradimuka Orde Baru, tidak serta merta bisa, mampu dan layak mengatur negara. Terbukti, sebagai pemenang pesta demokrasi 2014, malah tampak overdosis. PG dan PPP sedang mengalami proses pembelahan diri secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Dalam praktiknya, KIH bukan loyalis Jokowi.

Kata wong cilik, rakyat jelata, masyarakat awam dengan gaya bahasa Jokowi : “jika wakil rakyat bener, maka negara ini akan pener”. Entah apa maksudnya. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar