penyelenggara negara, bukan
monopoli kepala negara
Wajar
jika berbagai komponen bangsa Indonesia, yang melek politik maupun yang buta
politik, dengan keterbatasan daya pikir, mengira, menyangka, menduga bahwa
jatuh bangunnya negara tergantung kinerja, kontribusi, kiprah kepala negara.
Wajar
jika kepala negara pusing tujuh keliling seolah memikirkan nasib dan masa depan
(baca, hanya selama periode lima tahun) bangsa dan negara. Tunjangan pusing
ditanggung negara untuk satu keluarga. Mengandalkan tunjangan jabatan, masih
kurang untuk membeli dan menebus obat pusing, obat pening, obat sakit kepala.
Wajar
jika rongrongan, sang pengerogot, sang penggerus justru dari dalam tubuh
sendiri. Mulai dari partai politik pengusung dan pendukung, relawan, tim
sukses, juru kampanye, bolo dupak, penggembira, juru sorak sorai, juru tepuk
tangan. Semakin menggila jika politik transaksional, ideologi Rp belum merata.
Kontrak politik kepala negara adalah pemerataan jabatan bagi koalisi
pendukungnya, terbukti dengan adanya perombakan Kabinet Kerja banget.
Wajar
jika satu tahun Jokowi-JK buka usaha sebagai RI-1 dan RI-2, 20 Oktober 2014-20
Oktober 2015, menyisakan pro dan kontra yang seolah tak berujung akhir. Pasca
periode belum aman dan nyaman. Bandar politik memposisikan diri, mematut diri,
merasa jadi RI-0 atau RI-0,5. Bahkan tanpa rasa malu ada yang memproklamirkan
diri sebagai presiden senior. Karena merasa bahwa negara adalah warisan dari
nenek moyangnya.
Kalau
kita simak pengertian : “Penyelenggara
Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif,
atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Betapa
legislatif serta yudikatif mempunyai andil, saham. modal dalam merobohkan atau
menegakkan negara. Wakil rakyat yang bermarkas di Senayan, plus DPD, menjadi
MPR, sebuah kekuatan yang multimanfaat, multiguna dan sekaligus multidampak.
Wakil
rakyat walau sampai periode kedua, belum ada jaminan sudah kenyang, nyaman dan
berenerji positif. Apalagi sudah mempunyai tabungan hari tua. Parpol jebolan
atau lulusan kawah candradimuka Orde Baru, tidak serta merta bisa, mampu dan
layak mengatur negara. Terbukti, sebagai pemenang pesta demokrasi 2014, malah
tampak overdosis. PG dan PPP sedang mengalami proses pembelahan diri secara
sistematis, masif dan berkelanjutan. Dalam praktiknya, KIH bukan loyalis
Jokowi.
Kata
wong cilik, rakyat jelata, masyarakat awam dengan gaya bahasa Jokowi : “jika wakil rakyat bener, maka
negara ini akan pener”. Entah apa maksudnya. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar