Halaman

Senin, 26 Oktober 2015

jangan berpolitik dengan politik

jangan berpolitik dengan politik

 Politik adu domba, atau bahasa ilmiahnya devide et impera, merupakan modus operandi penjajah Belanda yang dipakai di Nusantara. Politik pecah belah made in Belanda, tanpa turun tangan, tanpa berkeringat, tapi hasilnya diluar dugaan. Bisa diibaratkan, mukul pinjam tangan, nendang pinjam kaki. Belanda menciptakan konflik vertikal, misal antara rakyat dengan ningrat, antara maling dengan piyayi/priyayi, antara bolo dupak dengan bangsawan, antara kulit sawo matang dengan darah biru. Rencana B, yaitu adu domba berbasis SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).

Ironisnya, bangsa Indonesia malah terkontaminasi atau secara sadar malah menyerap ilmu “adu domba” dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan akal, nalar dan logika politik dalam negeri.

Singkat kata, ketika Indonesia menjadi negara multipartai, hubungan pancasilais antar parpol adalah bak antar domba yang siap beradu, saling beradu. Antar kawanan parpolis saling siap jegal menjegal, jagal menjagal di setiap jelang pesta demokrasi, bahkan selama periode pasca pesta demokrasi.

Jangankan antar parpol, arwah adu domba nyata dirasakan di jajaran penyelenggara negara, dibuktikan kasus Buaya vs Cecak tetap berlanjut di periode Jokowi-JK. Di internal parpol, jabatan ketua umum menjadi jabatan prestius, karena sebagai syarat administrasi daftar diri sebagai calon presiden. Bisa-bisa memang bisa terjadi, oknum ketua umum mengganggap parpol sebagai perusahaan keluarga.

Barisan domba yang berpengalaman sebagai apa saja, siap mengadu nasib jadi kepala negara. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar