jangan
berpolitik dengan politik
Politik adu domba, atau bahasa ilmiahnya devide
et impera, merupakan modus operandi penjajah Belanda yang dipakai di
Nusantara. Politik pecah belah made in Belanda, tanpa turun tangan, tanpa
berkeringat, tapi hasilnya diluar dugaan. Bisa diibaratkan, mukul pinjam
tangan, nendang pinjam kaki. Belanda menciptakan konflik vertikal, misal antara
rakyat dengan ningrat, antara maling dengan piyayi/priyayi, antara bolo dupak
dengan bangsawan, antara kulit sawo matang dengan darah biru. Rencana B, yaitu
adu domba berbasis SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Ironisnya,
bangsa Indonesia malah terkontaminasi atau secara sadar malah menyerap ilmu “adu
domba” dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan akal, nalar dan logika
politik dalam negeri.
Singkat
kata, ketika Indonesia menjadi negara multipartai, hubungan pancasilais antar
parpol adalah bak antar domba yang siap beradu, saling beradu. Antar kawanan
parpolis saling siap jegal menjegal, jagal menjagal di setiap jelang pesta
demokrasi, bahkan selama periode pasca pesta demokrasi.
Jangankan
antar parpol, arwah adu domba nyata dirasakan di jajaran penyelenggara negara,
dibuktikan kasus Buaya vs Cecak tetap berlanjut di periode Jokowi-JK. Di
internal parpol, jabatan ketua umum menjadi jabatan prestius, karena sebagai
syarat administrasi daftar diri sebagai calon presiden. Bisa-bisa memang bisa
terjadi, oknum ketua umum mengganggap parpol sebagai perusahaan keluarga.
Barisan
domba yang berpengalaman sebagai apa saja, siap mengadu nasib jadi kepala negara. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar