Halaman

Selasa, 27 Oktober 2015

menggugat penetapan Hari Politik

menggugat penetapan Hari Politik

 Kalender bangsa Indonesia, dengan kalender hijriyah mulai bulan Muharram hingga Dzulhijjah, maupun menggunakan kalender masehi mulai bulan Januari sampai Desember, tak lepas  terdapat hari raya, hari besar. Peringatan peristiwa penting berdasarkan agama yang diakui di Indonesia, berdasarkan sejarah pertumbuhan dan kemerdekaan dan pasca Proklmasi Indonesia, yang berskala dunia sampai yang ditetapkan pemerintah sebagai hari penting berskala nasional.

Kita bersyukur karena tidak semua hari peringatan dijadikan hari libur. Kita juga bersyukur ada beberapa hari penting yang diperingati secara masal dan seremonial oleh Pemerintah. Kita bersyukur walau skala lokal/daerah tetapi berdampak nasional, dicatat dalam sejarah.Kita juga prihatin ada peristiwa bersejarah yang dimanipulasi oleh pemerintah atau pihak yang berwajib. Pelajaran sejarah terkait dengan kejadian, peristiwa maupun tragedi, hanya sebagai hafalan. Kurang dikupas maknawinya, kurang difahami esensinya, apalagi dijadikan pelajaran.

Pasca Reformasi, 21 Mei 1998, penetapan hari penting, hari peringatan penting, ditetapkan secara politis. Walau dengan dalih sebagai upaya mempersatukan bangsa dan negara.

9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Internasional, Indonesia ikut merayakan secara nasional sampai lokal. Dalam satu hari saja, Indonesia bebas korupsi. Selebihnya tergantung niat dan perilaku masing-masing. Mulai korupsi waktu sampai korupsi uang negara/daerah maupun swasta dan perseorangan.

Terdapat setidaknya 3 peristiwa politik pasca Reformasi yang bisa dijadikan momentum ditetapkannya Hari Politik.

Pertama, pemilu sesuai rencana tahun 2002, akibat lengser keprabon RI-1 kedua, Suharto, diajukan menjadi 1999. Banyak akal dipakai untuk mendasari diajukannya, dipercepatnya pemilu. Terbukti ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Bacharuddin Jusuf Habibie. Satu hal yang secara sangat menonjol  membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.

Kedua, MPR hasil pemilu 1999 yang memilih sekaligus melakukan tindakan pemakzulan (impeachment) terhadap RI-1 keempat, dengan dalih sesuai selera politik. Kejadiannya terjadi di tahun 2001. Tepatnya dengan Tap MPR RI Nomor : II/MPR/2011 tertanggal 23 Juli 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman  Wahid. Kalau kita baca UUD 1945 mulai dari pasal 1 sampai dengan pasal 37, ternyata tidak ada pasal yang mengatakan, bahwa MPR berwenang memberhentikan Presiden, apa pun alasannya. Tersirat bahwa ketua umum parpol juara umum Pemilu 1999 tidak otomatis jadi presiden.

Ketiga dan masih terasa hangat baunya, yaitu ketika oknum Sekjen partai nasdem, sebut saja Patrice Rio Capella (bukan nama samaran), terjegal dan terganjal pasal tipikor dengan sadar. Bayangkan, partai utama kedua, setelah pdi-p, yang mendukung, menyokong dan mengusung pasangan Jokowi-JK bisa dilantik dan disumpah jadi RI-1 dan RI-2, seolah merasa tak kebagian jatah politik transaksional.

Kalau ditarik benang merahnya, ketiga kejadian di atas, sebagai bukti bahwa politik Nusantara masih politik banci, politik setengah hati. Istilah gaulnya adalah politik kw. Tepatnya, peristiwa kedua menjadikan anak bangsa yang ketiban pulung naik derajat dari wakil presiden menjadi presiden, nasib kemudian menentukan di periode 2004-2009 dan 2009-2014 duduk manis di bangu cadangan. Momentum ini menjadikan di pesta demokrasi 2014, partai juara pertamanya tidak siap menang. Sehingga di periode 2014-2019 nasib bangsa dijadikan ajang pertaruhan. Orang bijak bilang, secara formal Pemerintah banyak jasanya, namun pernik-pernik penyengsaraan rakyat kalau dijumlah ternyata jauh lebih banyak, lebih besar. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar