menggugat
penetapan Hari Politik
Kalender bangsa Indonesia, dengan
kalender hijriyah mulai bulan Muharram hingga Dzulhijjah, maupun menggunakan
kalender masehi mulai bulan Januari sampai Desember, tak lepas terdapat hari raya, hari besar. Peringatan
peristiwa penting berdasarkan agama yang diakui di Indonesia, berdasarkan
sejarah pertumbuhan dan kemerdekaan dan pasca Proklmasi Indonesia, yang
berskala dunia sampai yang ditetapkan pemerintah sebagai hari penting berskala
nasional.
Kita bersyukur karena tidak semua
hari peringatan dijadikan hari libur. Kita juga bersyukur ada beberapa hari
penting yang diperingati secara masal dan seremonial oleh Pemerintah. Kita
bersyukur walau skala lokal/daerah tetapi berdampak nasional, dicatat dalam
sejarah.Kita juga prihatin ada peristiwa bersejarah yang dimanipulasi oleh
pemerintah atau pihak yang berwajib. Pelajaran sejarah terkait dengan kejadian,
peristiwa maupun tragedi, hanya sebagai hafalan. Kurang dikupas maknawinya,
kurang difahami esensinya, apalagi dijadikan pelajaran.
Pasca Reformasi, 21 Mei 1998,
penetapan hari penting, hari peringatan penting, ditetapkan secara politis. Walau
dengan dalih sebagai upaya mempersatukan bangsa dan negara.
9 Desember sebagai Hari Anti
Korupsi Internasional, Indonesia ikut merayakan secara nasional sampai lokal.
Dalam satu hari saja, Indonesia bebas korupsi. Selebihnya tergantung niat dan
perilaku masing-masing. Mulai korupsi waktu sampai korupsi uang negara/daerah
maupun swasta dan perseorangan.
Terdapat setidaknya 3 peristiwa
politik pasca Reformasi yang bisa dijadikan momentum ditetapkannya Hari
Politik.
Pertama, pemilu sesuai rencana
tahun 2002, akibat lengser keprabon RI-1 kedua, Suharto, diajukan menjadi 1999.
Banyak akal dipakai untuk mendasari diajukannya, dipercepatnya pemilu. Terbukti
ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7
Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Bacharuddin Jusuf Habibie. Satu hal
yang secara sangat menonjol membedakan Pemilu
1999 dengan pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh
banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan
partai politik. Sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh
pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena
pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah
dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan
Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Kedua, MPR hasil pemilu 1999 yang
memilih sekaligus melakukan tindakan pemakzulan (impeachment)
terhadap RI-1 keempat, dengan dalih sesuai selera politik. Kejadiannya terjadi
di tahun 2001. Tepatnya dengan Tap MPR RI Nomor : II/MPR/2011 tertanggal 23
Juli 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia
K.H. Abdurrahman Wahid. Kalau kita baca UUD 1945 mulai dari pasal 1 sampai
dengan pasal 37, ternyata tidak ada pasal yang mengatakan, bahwa MPR berwenang
memberhentikan Presiden, apa pun alasannya. Tersirat bahwa
ketua umum parpol juara umum Pemilu 1999 tidak otomatis jadi presiden.
Ketiga dan masih terasa hangat baunya, yaitu ketika oknum Sekjen
partai nasdem, sebut saja Patrice
Rio Capella (bukan nama samaran), terjegal dan terganjal pasal tipikor dengan
sadar. Bayangkan, partai utama kedua, setelah pdi-p, yang mendukung, menyokong
dan mengusung pasangan Jokowi-JK bisa dilantik dan disumpah jadi RI-1 dan RI-2,
seolah merasa tak kebagian jatah politik transaksional.
Kalau ditarik benang merahnya, ketiga kejadian di
atas, sebagai bukti bahwa politik Nusantara masih politik banci, politik
setengah hati. Istilah gaulnya adalah politik kw. Tepatnya, peristiwa kedua menjadikan
anak bangsa yang ketiban pulung naik derajat dari wakil presiden menjadi
presiden, nasib kemudian menentukan di periode 2004-2009 dan 2009-2014 duduk
manis di bangu cadangan. Momentum ini menjadikan di pesta demokrasi 2014,
partai juara pertamanya tidak siap menang. Sehingga di periode 2014-2019 nasib
bangsa dijadikan ajang pertaruhan. Orang bijak bilang, secara formal Pemerintah
banyak jasanya, namun pernik-pernik penyengsaraan rakyat kalau dijumlah
ternyata jauh lebih banyak, lebih besar. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar