Halaman

Senin, 31 Agustus 2015

Ibadah Kok Perhitungan

 Oase     Dibaca :198 kali , 0 komentar
Ibadah Kok Perhitungan
 Ditulis : Herwin Nur 11 Oktober 2014

Sejauh ini kita mencerna makna bacaan basmalah (singkatan dari Bismillahir rahmanir rahim yang artinya : “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”) sebagai ucapan atau lafadz wajib setiap kali mengawali membaca surat Al-Quran, kecuali surat ke-9 yaitu At-Taubah (karena surat ini adalah pernyataan perang dengan arti bahwa segenap kaum muslimin dikerahkan untuk memerangi seluruh kaum musyrikin, sedangkan basmalah bernafaskan perdamaian dan cinta kasih Allah) sampai sebagai rangkaian setelah niat untuk mengawali dan melakukan suatu tindakan nyata. Lafadz basmalah pendek tetapi memiliki kedalaman makna yang luar biasa. 
Mewujudkan satunya kata dengan perbuatan diawali dan didasari oleh niat dan Basmalah menajdi satu paket. Niat terucap atau dalam hati tidak hanya saat akan melaksanakan perintah-Nya, tetapi juga diberlakukaan pada saat berikhtiar berusaha, berupaya secara total  untuk menjauhi segala larangan-Nya. 
Rasulullah SAW bersabda, " Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudlhu dan tidak ada amal bagi orang yang tidak berniat." Tersurat, peran sentral niat sebagai faktor penentu amal atau ibadah seseorang. Posisi dan manfaat niat bisa diartikan setengah jalan yang akan kita tempuh. Sisanya adalah eksekusi niat. 
Redaksi niat dimulai saat merencanakan akan melakukan sesuatu (misal saat akan tidur malam niat bisa bangun pagi) sampai saat akan melakukan sesuatu (misal mau berangkat kerja) atau sebagai pembaharuan niat yang diperkuat dengan basmalah. Ungkapan basmalah sarat dengan kadungan niat. 
Menetapkan, memantapkan niat ditindaklanjuti ucap basmalah sekaligus membaca ayat kauniyah. Betapa Allah Maha Pemurah kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Burung terbang pagi pulang sore tembolok sarat makanan buat anaknya. Hukum timbal balik, antara proses dengan hasil, merupakan ketetapan Allah yang berlaku pada setiap manusia. 
Sifat Maha Penyayang Allah khusus dicurahkan kepada hamba-Nya yang telah berikrar, yang telah teken kontrak ketaukhidan. Pikir-ucap-tindak menjadi satu kesatuan sistem yang sinerjis untuk melaksanakan perintah-Nya sekaligus seiring dengan kekuatan penuh menjauhi larangan-Nya. 
Tindakan dan aksi kita dengan membaca basmalah diharapkan mendapatkan perlindungan;  dimudahkan, dilancarkan segala urusan; serta meraih ridho, rakhmat,  dan berkah dari Allah SWT. Wajib baca basmalah  mengingatkan diri kita sebagai representasi Tuhan, sebagai kalifah di muka bumi. 
Banyak kajian akademis, telaah dan bedah ilmiah, khotbah jumat, santapan dan siraman rohani, mengupas tuntas ada apa di balik yang tersurat dan tersirat padabasmalah. Namun kita lupa dan alpa, bahwa menunaikan ibadah tidak sekedar sebagai perintah-Nya, tidak sekedar melaksanakan kewajiban atau menggugurkan kewajiban, tidak sekedar kita butuh Allah, tidak sekedar takut dosa dan masuk neraka. Ada hubungan timbal balik dengan Allah yang perlu bangun di diri kita. 
Terkadang kita lupa pada hal yang wajar, lumrah, sederhana dan mendasar. Sifat Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, kita cerna dengan logika awam, yaitu Allah menyayangi kita. Kenapa kita tidak balik menyayangi-Nya, tidak tanggap mencintai-Nya dengan segenap jiwa raga, dengan seluruh jasmani rohani, dengan sepenuh lahir batin. 
Kita siap memenuhi permintaan orang yang kita sayangi, kita cintai. Kita rela berkorban demi orang yang kita sayangi, kita cintai. Terutama kaum Adam pada saat mencari calon ibu untuk anaknya. Apa pun dilakukan, dibela-belain. Jauh ditempuh, dekat direkat. Susah dibikin mudah, mudah dibkin gampang. Tak kurang orang tersungkur akibat menuruti keinginan orang yang disayangi/dicintai.
Kita selalu siap jika diperintah atasan, siap menjalankan tugas, bahkan siap dikirim ke mana saja. Kita loyal, setia, patuh dan taat tanpa reserve kepada pimpinan, terlebih pimpinan yang seolah membagi dan mengatur rejeki, yang seolah menentukan nasib kita. Hidup 24 jam bisa diabdikan untuk pekerjaan, dengan dalih untuk kepentingan nusa dan bangsa, demi panggilan tugas. Kenapa berurusan dengan Allah, tunaikan ibadah, kita pakai perhitungan? (Herwin Nur/Wasathon.com).

Jurnalis Bukan Pelacur Intelektual

 Humaniora     Dibaca :364 kali , 0 komentar
Jurnalis Bukan Pelacur Intelektual
 Ditulis : Herwin Nur 13 Desember 2013

Bermula dari 55 pemimpin redaksi media cetak, online, dan elektronik mendeklarasikan Forum Pemimpin Redaksi (pemred) untuk mengakomodir semua kebutuhan yang diperlukan anggotanya yang berstatus sebagai pemred serta mempersatukan pemred dan menciptakan kewibawaan pers., di Hotel Atlet Century, Jakarta, Rabu 18 Juli 2012 sore.
Fungsi Forum Pemred sebagai ajang saling berbagi informasi. Misal, bila ada satu persoalan yang besar dan memang harus diberitakan, maka secara bersama-sama seluruh media akan menyampaikan pemberitaan penting itu. Dengan catatan bila berita  terkait dengan persoalan yang memang masyarakat perlu tahu itu dan sangat penting.
Tujuan Forum Pemred untuk menyelesaikan tiga ancaman yang dihadapi pers Indonesia belakangan ini. Ketiganya, adalah ancaman eksternal (fisik) seperti perusakan kantor, ancaman profesi seperti intimidasi pemecatan dari pemilik media dan ancaman dari teman-teman sendiri yang tidak menaati kode etik (diolah dari sumber : Republika, Rabu, 18 Juli 2012).
Kebanggaan Forum Pemred ketika presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam acara Kongres Kebangsaan yang diselenggarakan Forum Pemred, di Jakarta, Rabu, 11 Desember 2013, mengatakan Pemred dapat mengubah jalannya sejarah.
Media sebagai institusi politik Orde Baru, dengan salahsatu fungsi yang dirancang Soeharto dan elite negara dalam mempromosikan ideologi nasional dan melegitimasi proses pembangunan. Pelaksanaan fungsi ini, pers sebagai sebuah agen stabilitas, yang bertugas membantu melestarikantatanan sosial politik. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan istilah development journalism. Fungsi keduaadalah memonitor tatanan politik pada masa damai, melakukan checks and balances.
Kehidupan pers Reformasi memasuki era kebebasan yang nyaris tanpa restriksi (pembatasan), bebas tanpa lagi ada batasan atau sanksi dari kebijakan pemerintah. Kebebasan pers atau pers bebas untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi (inti dari kebebasan pers) sesuai pasal 28F UUD 1945 serta pasal 19 Deklarasi Universal HAM.
Hasilnya, pemberitaan kisah sukses pembangunan oleh Pemerintah, khususnya oleh media penyiaran TV, dikemas dalam bentuk iklan. Media lebih getol dan rajin menayangkan sisi lain dari kisah sukses Pemerintah. Bahkan diulang dengan berbagai versi.
Jika penyandang dana atau sponsor melihat suatu acara menguntungkan secara finansial serta meningkatkan peringkat TV, tak ayal acara tersebut awet. Acara dialog, diskusi bahkan debat, dipandu oleh pembawa acara, dengan berbagai bintang tamu yang berklas, tidak serta menghasilkan pencerdasan penonton.
Tema apa pun yang diusung, ujung-ujungnya mendaulat Pemerintah sebagai kambing hitam atas terjadinya berbagai kasus. Mulai kebijakan Pemerintah menetapkan harga jual BBM sampai urusan penetapan DPT. Host acap mengajukan pertanyaan yang bersifat otomatis, ceplas-ceplos, tidak liwat proses akal apalagi moral. Jika terbantahkan, dengan mudah memotong pembicaraan dengan dalih masuk waktu pesan sponsor.
Pesan Moral
Sopir angkot, bis sebagai pembaca setia media cetak. Koran santapan paginya yang ringan dan yang berbau gaul anak muda. Bosan baca berita politik, koran dijadikan kipas atau menggosok kaca depan saat hujan.
Tayangan media penyiaran, mau tak mau, sambil kerja bisa didengar. Telinga penonton/pendengar tidak punya filter, tidak ada masker telinga. Pemilik media yang orang partai politik, menjadikan medianya sebagai corong atau untuk memobilisasi suara pemilih yang mereka perlukan untuk memenangkan pemilihan umum dan memainkan deretan ambisinya.
Bagi jurnalis, tujuan politik media adalah untuk membuat tulisan berbasis profesionalisme yang beretika dan bermoral. Jurnalis menjaga diri untuk tidak menjadi perpanjangan tangan atau bahkan tangan kanan pengusaha maupun penguasa.  Jurnalis memang banyak mendapatkan akses dari berbagai narasumber dan kalangan penting. Termasuk elit-elit politik. Tapi, bagaimanapun itu jurnalis adalah pekerja professional. Jurnalis bukan profesi pelacur intelektual yang menulis hanya untuk menyenangkan orang atau perusahaan yang kemudian dia mendapatkan keuntungan pribadi. Dia bekerja atas profesionalisme dan kode etik yang dipegangnya. Sosok yang selalu mengumandangkan suara nyaring “Katakan yang Benar Walau Pahit” (Herwin Nur/Wasathon.com)

Minggu, 30 Agustus 2015

dicari, ahli penjinak pasal anti korupsi Nusantara

dicari, ahli penjinak pasal anti korupsi Nusantara

Di negeri yang multitafsir, multimakna, multiinterpretasi ini kita harus berfikir apa adanya, cukup semacam saja, tidak perlu bermacam-macam. Kalau perlu tidak perlu memikirkan apa yang sudah dipikirkan oleh orang lain, tepatnya sudah ada yang memikirkannya lebih sistematis. Sudah banyak ahli pikir, surplus pemikir bin pemakar yang memikirkan Nusantara siang malam.

Yang kita pikir adalah bagaimana kita sesegera mungkin melaksanakan pikiran kita. Mewujudkan pikiran kita melalui proses sesuai koridor kapasitas diri.

Rambu-rambu “AWAS COPET !”, dengan huruf kapital berwarna merah berarti larangan/peringatan keras, dipajang, dipasang di tempat umum. Ternyata, nyatanya malah  mengandung dan mengundang tafsir, makna, interpretasi yang diharapkan bahwa anda telah memasuki kawasan tempat beroperasinya copet. Sekaligus sebaliknya sebagai peringatan buat tukang copet  agar segera melakukan aksinya, sesuai lokasi peruntukannya. Artinya, bahwa mereka yang berkepentingan telah memasuki ruang kerja dan harus segera bekerja (sebagai tukang copet tentunya).

Di periode 2014-2019, tukang copet kalah pamor dengan koruptor. Tukang copet kalau terkena tindak tangkap tangan (T3) atau tertangkap basah oleh calon korban, atau masyarakat, dipastikan akan mengalami kejadian peristiwa ‘maih hakim sendiri’. Nyawa bisa melayang, meregang akibat berbagai cara. Minimal babak belur. Koruptor kalau apes kena razia T3, malah bisa jual tampang di media massa, khsusnya media penyiaran televisi. Penggerebekannya ditayangkan ulang demi peringkat, pesan sponsor dan atas nama Rp. Koruptor bisa jadi bintang tamu di berbagai acara, adegan dan atraksi media layar kaca.

Ironis, rambu-rambu ‘KPK’ (Komisi Pemberantasan Korupsi), dengan huruf kapital berwarna merah hanya pada huruf ‘P’ (Pemberantasan), telah membikin gerah, membuat resah, menjadikan gelisah calon koruptor. Kalau ‘tukang copet’ mempunyai wadah yang dikenal sebagai komplotan. Antar komplotan ada aturan main tak terulis. Apalagi di internal komplotan, ada semacam ketua umum atau jajaran pimpinan utama sampai divisi perekrutan dan pengkaderan.

Di periode 2014-2019, para pelaku koruptor merasa tidak bersalah, merasa tidak melanggar hukum, merasa kebal pasal.
 §    Korupsi dilakukan secara sistematis, masif, berkelanjutan dan berjamaah serta berasas gotong royong dengan pembagian kerja yang rinci.
 §    Korupsi ditegakkan demi kesejahteraan bersama melalui berbagai modus operandi yang sulit diendus, dilacak oleh aparat penegak hukum.
 §    Korupsi dilaksanakan tidak menunggu kelengahan calon korban atau menungu kesempatan bahkan bersifat proaktif dan persuasif.
 §    Korupsi dijalankan dengan kehati-hatian tinggi, penuh perhitungan langkah antisipatif jika terkena T3 atau pakai rencana-B berbasis jurus berkelit.
 §    Korupsi dipraktekkan antar pelaku proses penyusun anggaran dengan sistem barter politik, kerjasama/kolaborasi antar penyelenggara negara.
 §    Korupsi diupayakan sesuai semangat Revolusi Mental yang mengutamakan politik transaksional, politik balas jasa sekaligus politik balas dendam, serta pengamalan ideologi Rp.
 §    Korupsi diusahakan menganut semboyan “tiji, tibeh”. Terjemahan bebasnya yaitu sejahtera satu, sejahtera semuanya. Ketangkap satu, selamat semuanya.

Rambu-rambu ‘KPK’ yang tidak dipasang sembarang tempat, menjadikan pihak tertentu merasa kawasan, daerah atau wilayah kekuasaan sebagai sumber mata pencaharian “legal dan formal”, ATM mobilenya, sistem penjatahannya, arus masuk Rp terusik, terganggu bahkan dirongrong, direcoki, atau di”bongkar paksa” pihak lain. Pihak tertentu tersinggung hati nuraninya, tidak terima sebagai koruptor dibilang copet. “Ada Rp ada tindak pidana korupsi”, kata peribahasa.

Proses legislasi DPR yang menghasilkan UU bersama Pemerintah, bukannya tanpa dampak, bebas ekses, sepi efek. Muatan pasal hukum, bersifat dilematis, dikotomis, kontradiktif dan bertolak belakang, tidak bisa memuaskan semua pihak yang terlibat. Jika ada pihak yang diuntungkan (khususnya pedonor inisiasi pasal) tentu ada pihak bernasib sebaliknya, pihak yang dirugikan, yang merasa ruang geraknya dibatasi. Pasal hukum yang bertujuan mencegah tangkal tindak pidana korupsi sejak dini, di sarangnya, malah menjadi senjata makan tuan, menjadi bumerang. Antar hamba hukum, antar pelaku penegak hukum, antar aparat hukum menjadi seolah saling incar kaki lawan sambil menohok kawan seiring dan mengunting dalam lipatan. [HaeN]

Di Negeri Sendiri, Tuan Merangkap Budak

Di Negeri Sendiri, Tuan Merangkap Budak


Panutan
Diriwayatkan, nabi Muhammad SAW turun tangan dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Rasulullah dengan bijak menolak keinginan sahabatnya yang mau membuat beliau tidur nyaman, tidak perlu beralaskan tikar daun kurma.

Zaman sekarang, di sisi lain, dalam keluarga terkadang isteri merangkap sebagai wanita karir. Dalam sistem keluarga, rangkap jabatan, rangkap fungsi, bisa diterapkan secara harmonis, serasi dan bermanfaat.

Bangsa, negara sebagai fungsi keluarga, rangkap jabatan bisa bersifat dilematis atau bahkan dikotomis. Siapa berbuat apa, proses yang harus diliwati, produk yang diharapkan, dijabarkan dalam tugas dan fungsi.

Sistem Hukum
Hukum tertulis buatan manusia ditetapkan untuk dilanggar, berbagai pasal disusun untuk mengakomodir kepentingan pihak tertentu, diterapkan untuk mendukung pihak tersengketa yang kuat bayar. Hukum menjadi komoditas politik, tidak berpihak pada keadilan dan kebenaran.

Mesin politik yang menggerakan dan menjalankan pemerintah, sampai tingkat desa/kelurahan, bukannya tidak berdampak. Kerangka pembentuk pemerintah identik dengan kekuatan dan kekuasaan partai politik.

Kontrak politik bukan ikatan moral antar penggerak mesin politik. Mereka siap berjibaku, siap menggadaikan masa depan bangsa. Mereka faham, kalau masuk dalam putaran mesin politik akan tergilas. Mesin politik pada suhu tertentu akan menjadi bumerang, menjadi senjata makan tuan. Tumbal selalu berjatuhan, namun tidak menyurutkan antrian pendatang baru.

Di zaman Orde Lama, dimaklumatkan bahwa Revolusi tidak memakan anak kandungnya sendiri. Di era Reformasi, parpol sudah menjadi perusahaan keluarga. Kawanan parpol berjudi nasib lima tahunan, nasib bangsa menjadi taruhan. Parpol yang sedang berkuasa menjalani praktek rangkap jabatan, menjadi tuan sekaligus budak.  Bisa juga selama periode kuasa bertindak sebagai tuan, sebagai juragan. Pasca periode, selain bisa jadi penghuni rumah tahanan, bisa menjadi budak atau terkena badai kehidupan.

Janji Politik
Ironis, tebar janji para kontestan jelang pesta demokrasi malah diganti dengan tebar senyum saat jadi tersangka bahkan terpidana korupsi. Kita harus sadari, tingkah laku mereka bukannya tanpa akibat, terutama hukum Allah. Kita  mengacu terjemahan [QS Ali ‘Imran (3) : 188] : “Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”

Misal, manfaat sebagai wakil rakyat diukur dengan sukses dunia. Bangga telah menghasilkan pasal UU yang pro-rakyat, khususnya setelah melakukan kunjungan kerja ke mancanegara. Semakin wakil rakyat ahli berdebat, seolah merasa telah berbuat untuk rakyat. Bagi yang tak bisa umbar kata, mereka bekerja di belakang layar, merasa tak perlu hadir dalam sidang DPR. Berjasa pada partai, banyak petahana dicalonkan pemilu 2014.

Evaluasi Diri
Anggota tubuh kita, bisa jadi tuan merangkap budak, kita jangan lupa dengan terjemahan [QS An Nuur (24) : 24] : “pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan”. Kita yakini bahwa bahwa perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk diterima dan diberi-Nya pahala. Allah telah menunjukkan kepada kita dua jalan, yaitu jalan kebajikan dan jalan kejahatan [QS Al Balad (90) : 10].
                                                                                                                         
Jagalah mulut, kemana kaki melangkah, apa saja yang kita lakukan,  bisa-bisa bisa menjadi bumerang. [HaeN]

Sabtu, 29 Agustus 2015

revolusi mental kriminalisasi Nusantara, tepat skenario vs tepat anggaran

revolusi mental kriminalisasi Nusantara, tepat skenario vs tepat anggaran

Namanya saja anak, balita atau seusia anak didik awal SD, saat terjadi konflik, paling seru cuma baku mulut. Yang tidak bisa menerima dan mencerna kenyataan, pulang menangis mengadu ke emaknya. Tak lama balik ke tempat permainan. Semua kejadian terlupakan di benaknya. Akrab tanpa disuruh orangtuanya. Permainan, gurauan berlanjut tanpa ada kejengkelan.

Namanya penyelenggara negara, dengan tugas dan fungsi seolah bertolak belakang, kontradiksi, atau saling mengincar kaki lawan. 
 §   Merasa mempunyai otoritas tunggal di bawah ketiak kepala negara.
 §   Merasa sebagai penguasa siang malam atas nama negara.
 §   Merasa kebal hukum dan tidak bisa diganggu gugat lewat pengadilan.
 §   Merasa mempunyai wewenang, kewenangan dan kesewenangan bertindak tanpa pandang bulu dan pasal atas nama citra RI di mata dunia.
 §   Merasa yang paling bertanggung jawab terwujudnya pertahanan dan keamanan.
 §   Merasa mempunyai sayap karena dipilih langsung oleh rakyat.
 §   Merasa sebagai pengatur yang menentukan nasib dan urusan perut rakyat.
 §   Merasa paling digdaya karena tanda tangannya sakti, ampuh dan manjur.
 §   Merasa sebagai yang paling piawai, sangat lihai, super ahli dalam mengatur lalu lintas uang.
 §   Merasa jawara, jago sebagai kawanan parpolis pemenang tunggal/juara umum pesta demokrasi.
 §   Merasa sebagai perpanjangan tangan konspirasi internasional yang mengedepankan dalih dan dalil kepentingan dunia.

Walhasil, penyelenggara negara sebagai anak bangsa yang bermartabat, berklas berat, berkualitas, bergengsi ternyata malah menjadi ahli menyimpan dan memendam bara dendam. Konflik adu kuasa, adu kuat, adu kaya melebihi tawuran antar anak SMA, antar warga beda kampung. Konflik bisa berkelanjutan antar periode, antar angkatan, antar pimpinan kelompok. Dendam bisa diwariskan ke generasi berikutnya. Mengelola konflik secara cerdas, masif dan berkelanjutan. Apalagi ada anggaran konflik yang harus dipertanggungjawabkan, minimal dalam bentuk laporan berkala.

Konflik terjadi karena daerah atau wilayah kekuasaan sebagai sumber mata pencaharian “legal dan formal”, ATM mobilenya, sistem penjatahannya terusik, terganggu bahkan dirongrong, direcoki pihak lain. Balas jasa sekaligus balas dendam tidak hanya sekedar bagi kursi kekuasaan secara politis, tetapi merambah ke semua sendi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Konflik sebagai imbas, efek, dampak politik transaksional, ideologi berbasis Rp. Konflik akibat tumpah tindih skenario yang seharusnya sinerji di lapangan, tidak sekedar kesepakatan antar elit, tidak sekedar MOU antar pucuk pimpinan. Modus operandi dan solidaritasnya melebihi preman yang menguasai parkir dan keamanan di kawasan perdagangan.[HaeN].

Jumat, 28 Agustus 2015

PELAYANAN PUBLIK, DARI HULU SAMPAI HILIR UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT SEBAGAI PENGGUNA AKHIR

PELAYANAN PUBLIK, DARI HULU SAMPAI HILIR UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT SEBAGAI PENGGUNA AKHIR.

oleh : Arni Nurwida

KEBUTUHAN MASYARAKAT
Kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik, secara merata nasional didominasi oleh kebutuhan pelayanan adminsitrasi. Masyarakat sebagai penduduk, familiar dan faham dengan pelayanan publik ketika berjuang untuk mendapatkan/ memperpanjang KTP, yang bersifat prosedural dan birokratis mulai dari tingkat bawah.

Berurusan dengan pihak berwajib terkait SIM, terlebih memperpanjang STNK tiap tahun sekali, menambah beban moral dan mental masyarakat. Beban masyarakat yang sering dihadapi adalah adanya tambahan biaya, prosedur yang berbelit, waktu penyelesaian yang lebih lama, tidak sekali jadi, atau hambatan akses.

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Masyarakat adalah seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung (UU 25/2009 “PELAYANAN PUBLIK”).

Dalam tulisan ini, masyarakat dibatasi sebagai warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan sebagai penerima manfaat pelayanan publik
atau pengguna akhir (end user).

Meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan dampak atau sisi lain dari penyelenggaraan/pelaksanaan pelayanan publik, khususnya pada aspek penyuluhan kepada masyarakat, tentunya dalam koridor hak dan kewajiban bagi masyarakat maupun peran serta masyarakat. Kebutuhan masyarakat, kondisi lingkungan dan kemampuan penyelenggara akan menentukan standar pelayanan.

Keterbukaan dan kebebasan di era Reformasi, menyebabkan masyarakat menuntut pelayanan yang praktis, adanya jaminan kepastian. Masyarakat tidak perlu bergerilya dari meja ke meja, dipingpong kesana-kemari, atau memakai asas uang semir. Sebaliknya, penyelenggara/pelaksana pelayanan publik dituntut tetap sesuai dengan standar pelayanan minimal. SDM aparatur sebagai pelayan publik dituntut lebih faham dan peduli lagi terhadap hak-hak sipil, hak-hak sosial dasar masyarakat.

Kebutuhan masyarakat akan pelayanan, bisa bersifat berkala dan mendasar (KTP, STNK, dll) sampai insidentil sesuai kebutuhan saat itu (khususnya izin Gangguan*); izin Usaha dan/atau Kegiatan, dll); bisa bersifat individual sampai kelompok masyarakat; bisa bersifat sosial sampai usaha/kegiatan komersial).

*) : Izin Gangguan adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah (Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 4 Tahun 2011 tentang “IZIN GANGGUAN”).

POLA JEMPUT BOLA
Perekaman E-KTP serentak secara nasional, petugas di Kecamatan kewalahan dari aspek SDM dan fasilitas. Masyarakat sudah dijatah per kelurahan/ desa sampai tingkat RW. Rakyat taat dan patuh hukum. Berjubel antri sampai malam, menggerutu apa adanya. Apa daya, sejauh usaha E-KTP belum tuntas atau sesuai target, akhirnya petugas praktek di Kantor Lurah/Kepala Desa untuk menjaring masyarakat yang belum sempat potret.

Kebutuhan terhadap pelayanan publik, memposisikan masyarakat sebagai subyek maupun obyek. Masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan jelas tidak mempunyai posisi tawar. Masyarakat berada di antara dua pilihan, pelayanan sosial atau pelayanan komersial. Pelayanan gratis di Puskesmas kecamatan tanpa mengabaikan profesionalisme pelayanan maupun, khususnya profesi.

Mengandalkan asas nepotisme, memakai layanan dengan biaya/tarif plus, ternyata :
§  bukan jaminan akan menemukan kenyamanan;
§  bukan ukuran untuk mendapatkan kemudahan;
§  bukan harapan agar memperoleh kecepatan;
§  bukan garansi bisa memetik transparasi; bahkan
§  bukan tolok ukur segera menerima pelayanan prima.

Birokrasi publik dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan publik, dengan segera meninggalkan dan menanggalkan pendekatan kekuasaan. Beralih ke profesionalisme dalam mengoperasikan tugas dan wewenang sebagai pelaksana pelayanan publik dapat terwujud secara nyata.

DUKUNGAN PEMERINTAH
Pemerintah masih belum bisa mewajibkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk menerapkan standar pelayanan publik karena belum ada peraturan teknis terkait pelaksanaan UU 25/2009. Peraturan Pemerintah (PP) yang merespon UU 25/2009 adalah PP 64/2012 tentang “SISTEM MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PADA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA”.
Deputi Bidang Pelayanan Publik, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Wiharto, mengatakan kewajiban penyusunan standar layanan publik sudah dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang layanan publik.

PP layanan publik, masih belum bisa ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena harus menunggu persetujuan 5 menteri perihal beberapa perubahan dalam beleid tersebut. RPP pelayanan publik harus terlebih dulu disetujui oleh Menteri Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri BUMN, Menteri Dalam Negeri serta Menteri Hukum dan HAM.

PP itu sangat penting karena mewajibkan seluruh penyelenggara layanan publik merumuskan 14 komponen standar pelayanan publik bersama masyarakat dalam 6 bulan setelah PP diundangkan. Petunjuk teknisnya melalui peraturan menteri, semua harus ada standar termasuk pelayanan publik swasta.

Setelah standar dirumuskan, masyarakat memiliki acuan untuk mengadukan pelayanan yang buruk termasuk bisa meminta ganti rugi atas pelayanan yang tidak sesuai standar (diolah dari sumber : http://www.bisnis.com/ articles/layanan-publik -standar-penerapan-masih-disusun)

Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman atau ORI, adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyeleng -garakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD (UU 37/2008 tentang “OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA”).

Pola sebaran penduduk Indonesia, secara geografis maupun administrattif,  dalam tatanan dan tataran perkotaan dan perdesaan, akan memperngaruhi skala prioritas pelayanan publik, bahkan bisa menentukan organisasi perangkat daerah. Dimaklumi, organisasi perangkat daerah provinsi tidak bisa tipikal, apalagi di tingkat kabupaten/kota, khususnya pada dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

Aktivitas komersial masyarakat, mulai skala rumah tangga tentunya membutuhkan perijinan. Karena ketidaktahuan maupun tidak ingin repot dan berbelit, untuk sementara izin diabaikan atau direkayasa dengan pendekatan lingkungan.

Pasal 9 ayat (2) UU 25/2009 menyuratkan bahwa :
“Dalam rangka mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik, dapat dilakukan penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu”.

Sistem pelayanan terpadu merupakan satu kesatuan pengelolaan dalam pemberian pelayanan yang dilaksanakan dalam satu tempat dan dikontrol oleh sistem pengendalian manajemen guna mempermudah, mempercepat, dan mengurangi biaya.

TINGKAT KECAMATAN
Permendagri 4/2010 tentang “PEDOMAN PELAYANAN ADMINISTRASI TERPADU KECAMATAN” telah menjawab dan menjabarkan Ps 9 (2) UU 25/ 2009.

Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan selanjutnya disingkat PATEN adalah penyelenggaraan pelayanan publik di kecamatan dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dalam satu tempat.

Fungsi utama camat selain memberikan pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan wilayah. Tugas camat seperti yang disuratkan dalam PP 19/2008 tentang “KECAMATAN”, pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu fungsi yang utama, sehingga dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat perlu ditetapkan suatu Standar Pelayanan yang dapat menjamin adanya hak dan kewajiban antara masyarakat sebagai pemohon layanan dengan aparat Kecamatan sebagai pemberi layanan.

Jenis pelayanan yang acap dilakukan di kecamatan Jombang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi setiap kepala seksi yang ada di kecamatan Jombang, kota Cilegon, provinsi Banten adalah sebagai berikut ( sumber : http: //kecjombang. cilegon.go.id/) :

A. SEKSI TATA PEMERINTAHAN
1. Kartu Tanda Penduduk (KTP)
2. Kartu Keluarga (KK)
3. Surat Keterangan Pindah
4. Legalisasi KTP/KK
5. Surat Keterangan KTP/KK Dalam Proses
6. Surat Keterangan Waris
7. Pelayanan Akta Jual Beli (AJB)
8. Hibah

B. SEKSI KESEJAHTERAAN SOSIAL
1. Rekomendasi Surat Keterangan Tidak Mampu
2. Rekomendasi Surat Keterangan Penghasilan
3. Rekomendasi Nikah

C. SEKSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Rekomendasi Ijin Mendirikan Bangunan (IMB)

D. SEKSI KETENTRAMAN DAN KETERTIBAN
1. Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)
2. Surat Ijin Keramaian
3. Rekomendasi SITU
4. Rekomendasi Ijin Usaha (HO)

E. SEKRETARIAT
1. Surat Tunjangan Keluarga
2. Rekomendasi Surat Keterangan Penghasilan
3. Rekomendasi Surat Pensiun
4. Rekomendasi Surat Keterangan Permohonan KPR/Kredit Bank

Struktur organisasi di atas, menunjukkan aparat tingkat kecamatan siap tempur, menyajikan banyak pilihan layanan. Tentunya dilengkapi dengan tugas dan fungsi tiap seksi dan subseksi. Masalahnya, berita gembira ini tidak sampai di telinga masyarakat.
§  Masyarakat untuk bisa membaca, apalagi memahami struktur penyelenggara pelayanan publik yang cukup rinci ini, di mana?
§  Apakah masyarakat bisa langsung berhubungan dengan subseksi/sekretariat sesuai urusan kebutuhannya?
§  Apakah masyarakat mengetahui tata cara dan syarat berhubungan dengan pelaksana pelayanan publik?

BUTUH ANGGARAN
Dukungan pemerintah tidak hanya dengan produk hukum, sebagai payung hukum, sampai tingkat operasional, termasuk pada sistem pengganggran. Wujud  pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan kebijakan belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di daerah.
Anggaran yang diterima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan tiap tahun, selalu meningkat, bukan oleh hasil pelayanan publik yang akan diberikan oleh birokrasi pada masyarakatnya.

Instrumen kebijakan fiskal yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam rangka melakukan pelayanan publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi akan tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Bagaimana dengan pelaksanaan di tingkat kabupaten/kota? Sebagai contoh, kebijakan Pemko Medan dinilai lebih banyak diserap ke arah pelayanan aparatur ketimbang pelayanan publik. Seperti jalan, drainase, peningkatan kualitas mutu pendidikan, kesehatan masyarakat dan mengurangi pengangguran kemiskinan. Hal ini bisa dilihat dari jumlah anggaran yang  yang diarahkan untuk pelayanan publik hanya 22,42% atau Rp 681,8 miliar dari total realisasi belanja daerah Rp 3,041 triliun.

Kalau dilihat secara rinci, kecenderungan tingginya belanja pegawai terhadap total belanja operasi pada angka 66,20%, atau sekitar Rp 2 Triliun. Kondisi ini memberikan gambaran kebijakan Pemko lebih banyak diserap ke arah pelayanan aparatur ketimbang pelayanan publik (sumber :http://www.hariansumut pos.com/2012/ 07/ 38003/belanja-pegawai-sedot-rp2-triliun).

Alokasi belanja pegawai terus tumbuh, tetapi tidak kunjung terkonversi signifikan dalam tingkat pelayanan publik. Alih-alih untuk menyuntikkan insentif progresif guna meningkatkan kesejahteraan pegawai, pertumbuhan itu ditengarai banyak terdistribusi untuk pemborosan karena struktur pegawai yang obesitas dan sistem penggajian yang tidak adil.

Belanja pegawai selama 2007-2012 tumbuh rata-rata 18,6% per tahun, mulai Rp 90,4 triliun atau 2,3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2007 sampai menjadi Rp 212,3 triliun atau 2,5% terhadap PDB pada 2012. Porsinya terhadap total belanja negara pun meningkat, dari 11,9% pada 2007 menjadi 13,7% pada 2012.

Pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013, alokasi belanja pegawai bertambah menjadi lebih dari dua setengah kali lipat anggaran pada 2007. Nilainya direncanakan mencapai Rp 241,1 triliun atau 2,6% terhadap PDB. Dibandingkan dengan pagu pada APBN Perubahan 2012, anggaran tumbuh 28,9 triliun atau 13,6%.

Dalam RAPBN 2013 pemerintah mengalokasikan belanja pegawai pusat sebesar Rp 241,1 triliun, sedangkan untuk pegawai Pemda sebesar Rp 306 triliun. Alokasi anggaran belanja pegawai untuk pemerintah daerah ini berasal dari anggaran berbentuk DAU (dana alokasi Umum).

DAU bukan hanya untuk belanja pegawai saja, seharusnya dibagi juga untuk belanja pelayanan kepada masyarakat. Tetapi, banyak pemda tidak sanggup menggaji pegawai sendiri, terpaksa mempergunakan DAU ini sepenuhnya untuk belanja pegawai pemda, tentu dengan mengorbankan belanja untuk pelayanan publik. (sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/fitra-anggaran-belanja-pns-mengorbankan-pelayanan-publik.html).

TINJAUAN PRAKTEK TERBAIK
Pembuktian terbalik Praktek Terbaik (Best Practices) Pelayanan Publik di mata masyarakat yang dengan daya nalar sederhana, apa adanya, tanpa rekayasa, adalah :
§  tidak sekedar diukur dari adanya gedung pelayanan yang megah, luas, berdaya tampung banyak dan nyaman serta mudah didatangi dari segala penjuru;
§  tidak berdasarkan nama organisasi perangkat daerah atau organisasi penyelenggara yang berkesan keren, angker, dengan singkatan nama yang susah disebut apalagi diingat;
§  tidak dilihat karena banyaknya program/kegiatan yang dikampanyekan, ditawarkan, dipromosikan liwat spanduk, disosialisasikan dengan jasa media massa;
§  tidak identik dengan besarnya anggaran yang berhasil diserap tiap tahun anggaran atau meningkatnya anggaran pelayanan publik tiap tahun;
§  tidak hanya ditentukan oleh seragam atau atribut yang dipakai SDM, PNS, aparat birokrat sebagai pelaksanan pelayanan publik.

Publik hanya melihat manfaat pelayanan publik secara birokratis dengan kacamata, sesuai pepatah “tikus mati di lumbung”. Maknanya, manfaat pelayanan publik bisa dilihat jika terjadi perubahan di masyarakat, dalam bentuk antara lain :
§  Pergerakkan yang mengindikasikan adanya pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat;
§  Mitigasi konflik sosial akibat adanya alih fungsi perumahan dan kawasan permukiman menjadi kawasan komersial;
§  Masyarakat memulai dan terbiasa melakukan pekerjaan wiraswasta yang tidak mengandalkan sektor pertanian saja, namun dapat berkolaborasi dengan sektor pertanian;
§  Masyarakat mampu melaksanakan program/kegiatan pemerintah secara mandiri; menciptakan lapangan kerja berbasis rumah tangga, kelompok masyarakat; menciptakan peluang produktif dengan dukungan akademisi/ alumnus.
§  Masyarakat mendapatkan tingkat kemudahan berusaha (easy doing bisnis) secara formal baik dalam tingkat perusahaan atau usaha dengan dasar asas dari, untuk, oleh dan karena masyarakat.

Pelayanan publik berumpan balik dengan kemaslahatan masyarakat, terjadi korelasi dan interaksi secara dinamis. Pelaksana pelayanan publik yang bertindak atas dasar prinsip peraturan menjadi bersikap kaku dan tidak mendorong lahirnya kreativitas dalam pemberian layanan. Pelaksana pelayanan publik seharusnya bertitik tolak dari misi dan visi pelayanan agar dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Praktek terbaik pelayanan publik di suatu kabupaten/kota  tidak bisa diterapkan di kabupaten/kota lainnya, walaupun satu provinsi. Bahkan antar penyelenggara/organisasi penyelenggara pelayanan publik tidak bisa saling belajar. Masing-masing punya otoritas, baik karena sistem kerja yang dianut atau gaya aparat birokrat yang bertindak bak raja atau merasa sebagai yang mempunyai kantor.

TATA KELOLA
Penyelenggara pelayanan publik/organisasi peyelenggara pelayanan publik, dalam era Reformasi maupun tuntutan tata kelola pemerintahan yang baik,  harus peka terhadap tekanan publik.

Masyarakat yang tidak mempunyai posisi tawar bukannya tanpa daya, tanpa reaksi, tanpa gerakan perubahan. Tata kelola yang lebih baik dalam pengelolaan pelayanan publik akan lebih memberikan arti yang lebih bermakna terhadap implementasi perubahan yang dicanangkan.

Modernisasi pelayanan publik bukan hanya di bidang teknologi informasi dan komunikasi, tetapi juga dalam pengelolaan pelayanan publik dengan menerapkan kaidah-kaidah manajemen korporasi profesional juga mengacu pada azas-azas tata kelola pelayanan publik yang baik.

Sebagai perusahaan yang bergerak di industri pelayanan publik, organisasi penyelenggara pelayanan publik memiliki komitmen yang kuat untuk menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat serta memberikan pelayanan yang senantiasa ditingkatkan.

Guna memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kegiatan dan perkembangan terkini, organisasi penyelenggara pelayanan publik menerapkan Sistem informasi pelayanan publik.

Sistem Informasi pelayanan publik adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik.

Daya tanggap organisasi penyelenggara pelayanan publik terhadap tekanan publik :
§  Mengelak: tidak mengakui, bahkan bersikap acuh tak acuh, masa bodoh terhadap adanya masalah dalam kinerja layanan, sosial dan lingkungan;
§  Melawan:, sifat arogansi aparat birokrasi masih sangat dominan terlihat, menggunakan wewenang dan atau pengaruh di pengadilan
§  Mengelabui: menggunakan berbagai taktik untuk memberi kesan bahwa telah terjadi perubahan kinerja layanan, sosial dan lingkungan;
§  Mematuhi: membuat berbagai perubahan signifikan dalam kinerja layanan, sosial dan lingkungan.
§  Melampaui: melakukan perubahan kinerja sebelum mendapat tekanan.

RITUAL ADMINISTRASI
Masyarakat antri bayar tol, wajar, karena menikmati jalan bebas hambatan. Masyarakat mengikuti aturan main saat bayar pajak, semisal perpanjang STNK, wajar, karena hanya setahun sekali.

Masyarakat memasuki kuadran : “kalau bisa dipermudah kenapa harus diperlancar”. Masyarakat mendatangi kantor layanan publik sebagai kewajiban, untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Hak sipil, hak sosial, bahkan hak asasi manusia ditinggalkan dan ditanggalkan di rumah. Masyarakat membutuhkan jasa dan keahlian deretan manusia yang ada di kantor layanan publik.

Masyarakat dalam melaksanakan kewajiban, sehingga wajib datang sendiri ke kantor layanan, kendati untuk urusan komersial, usaha profit, maupun upaya berbasis fungsi Rp, tetap mengikuti rukun layanan yang sudah dijabarkan dalam Prosedur Operasi Standar (POS). Bisa-bisa, bisa terjadi biaya/tarif total tergantung prosedur, tergantung banyaknya meja yang diliwati, tergantung banyaknya aparat birokrat yang terlibat.

Di sisi lain, penyelenggara/organisasi penyelenggara/pelaksana pelayanan publik, yang merasa sebagai tuan yang dibutuhkan oleh masyarakat, yang memposisikan diri sebagai raja, menjadi masalah kronis yang harus dikikis habis.

Reformasi birokrasi dimulai dari penyelenggara/organisasi penyelenggara/ pelaksana pelayanan publik. Pola Rotasi, Promosi dan Mutasi (RPM) perlu diterapkan pada para pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

Pola RPM untuk menghindari kejenuhan dan kinerja jalan di tempat, agar setiap pelaksana bisa merasakan berbagai bentuk layanan, atau menghindari stigma tempat buangan ataupun tempat basah.

SIMPUL DAN SARAN
Bagi organisasi penyelenggara pelayanan publik, masyarakat merupakan salah satu pemangku kepentingan, sebagai mitra, bahkan sebagai mitra utama. Terjalinnya  interaksi yang dinamis dan harmonis antara organisasi penyelenggara pelayanan publik dengan masyarakat sangatlah penting guna mendukung keberlangsungan organisasi penyelenggara pelayanan publik secara jangka panjang.
Masyarakat diposisikan sebagai masukan (input) bagi terselenggaranya pelayanan publik, dari hulu sampai hilir. Waktu pelayanan publik sesuai jam kerja pelaksana pelayanan publik, kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik tidak dibatasi oleh waktu.

Penyelenggara/organisasi penyelenggara/pelaksana pelayanan publik wajib memiliki sifat Responsivitas. Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program/kegiatan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas mengacu pada keselarasan antara program / kegiatan pelayanan publik dengan kcbutuhan dan aspirasi.

Masyarakat dan bangsa Indonesia memang sangat heterogen, ada strata dan status sosial. Terdapat kesenjangan, serta berbagai dikotomi yang semakin memperkokoh adanya kasta dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Maka kearifan lokal, budaya lokal, adat istiadat serta kesolehan sosial menjadi acuan utama dalam menyelenggarakan/melaksanakan pelayanan publik.

---------------------------------------------------------------------------------