PELAYANAN
PUBLIK, DARI HULU SAMPAI HILIR UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN MASYARAKAT SEBAGAI
PENGGUNA AKHIR.
oleh
: Arni Nurwida
KEBUTUHAN
MASYARAKAT
Kebutuhan
masyarakat akan pelayanan publik, secara merata nasional didominasi oleh kebutuhan pelayanan adminsitrasi. Masyarakat
sebagai penduduk, familiar dan faham dengan pelayanan publik ketika
berjuang untuk mendapatkan/ memperpanjang KTP, yang bersifat prosedural dan
birokratis mulai dari tingkat bawah.
Berurusan
dengan pihak berwajib terkait SIM, terlebih memperpanjang STNK tiap tahun
sekali, menambah beban moral dan mental masyarakat. Beban masyarakat yang
sering dihadapi adalah adanya tambahan biaya,
prosedur yang berbelit, waktu penyelesaian yang lebih lama, tidak sekali jadi, atau
hambatan akses.
Pelayanan publik adalah kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,
jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.
Masyarakat adalah seluruh pihak, baik
warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan,
kelompok, maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan
publik, baik secara langsung maupun tidak langsung (UU 25/2009 “PELAYANAN
PUBLIK”).
Dalam tulisan ini, masyarakat dibatasi
sebagai warga negara maupun penduduk sebagai
orang-perseorangan sebagai penerima manfaat pelayanan publik
atau
pengguna akhir (end user).
Meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan
dampak atau sisi lain dari penyelenggaraan/pelaksanaan
pelayanan publik, khususnya pada aspek penyuluhan kepada masyarakat,
tentunya dalam koridor hak dan kewajiban bagi masyarakat maupun peran serta
masyarakat. Kebutuhan masyarakat, kondisi lingkungan dan kemampuan
penyelenggara akan menentukan standar pelayanan.
Keterbukaan dan kebebasan di era
Reformasi, menyebabkan masyarakat menuntut pelayanan yang praktis, adanya
jaminan kepastian. Masyarakat tidak perlu bergerilya dari meja ke meja, dipingpong
kesana-kemari, atau memakai asas uang semir. Sebaliknya, penyelenggara/pelaksana
pelayanan publik dituntut tetap sesuai dengan standar pelayanan minimal. SDM
aparatur sebagai pelayan publik dituntut lebih faham dan peduli lagi terhadap
hak-hak sipil, hak-hak sosial dasar masyarakat.
Kebutuhan masyarakat akan pelayanan, bisa bersifat berkala dan
mendasar (KTP, STNK, dll) sampai insidentil sesuai kebutuhan saat itu
(khususnya izin Gangguan*); izin Usaha dan/atau Kegiatan,
dll); bisa bersifat individual sampai kelompok masyarakat; bisa bersifat sosial
sampai usaha/kegiatan komersial).
*) : Izin Gangguan
adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di
lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak
termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah (Peraturan Daerah Kota Tangerang Selatan Nomor 4 Tahun 2011
tentang “IZIN GANGGUAN”).
POLA
JEMPUT BOLA
Perekaman
E-KTP serentak secara nasional, petugas di Kecamatan kewalahan dari aspek SDM
dan fasilitas. Masyarakat sudah dijatah per kelurahan/ desa sampai tingkat RW.
Rakyat taat dan patuh hukum. Berjubel antri sampai malam, menggerutu apa
adanya. Apa daya, sejauh usaha E-KTP belum tuntas atau sesuai target, akhirnya
petugas praktek di Kantor Lurah/Kepala Desa untuk menjaring masyarakat yang
belum sempat potret.
Kebutuhan
terhadap pelayanan publik, memposisikan masyarakat sebagai subyek maupun obyek.
Masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan jelas tidak mempunyai posisi tawar. Masyarakat
berada di antara dua pilihan, pelayanan sosial atau pelayanan komersial. Pelayanan
gratis di Puskesmas kecamatan tanpa mengabaikan profesionalisme pelayanan
maupun, khususnya profesi.
Mengandalkan
asas nepotisme, memakai layanan dengan biaya/tarif plus, ternyata :
§ bukan
jaminan akan menemukan kenyamanan;
§ bukan
ukuran untuk mendapatkan kemudahan;
§ bukan
harapan agar memperoleh kecepatan;
§ bukan
garansi bisa memetik transparasi; bahkan
§ bukan
tolok ukur segera menerima pelayanan prima.
Birokrasi publik dituntut harus dapat
mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan
publik, dengan segera meninggalkan dan menanggalkan pendekatan kekuasaan.
Beralih ke
profesionalisme dalam mengoperasikan tugas dan wewenang
sebagai pelaksana pelayanan publik dapat terwujud secara nyata.
DUKUNGAN
PEMERINTAH
Pemerintah
masih belum bisa mewajibkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
untuk menerapkan standar pelayanan publik karena belum ada peraturan teknis
terkait pelaksanaan UU 25/2009. Peraturan Pemerintah (PP) yang merespon UU
25/2009 adalah PP 64/2012 tentang “SISTEM
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PADA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA”.
Deputi
Bidang Pelayanan Publik, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, Wiharto, mengatakan kewajiban penyusunan standar layanan
publik sudah dituangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
layanan publik.
PP
layanan publik, masih belum bisa ditandatangani Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono karena harus menunggu persetujuan 5 menteri perihal beberapa perubahan
dalam beleid tersebut. RPP pelayanan publik harus terlebih dulu disetujui oleh
Menteri Keuangan, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi, Menteri BUMN, Menteri Dalam Negeri serta Menteri Hukum dan HAM.
PP
itu sangat penting karena mewajibkan seluruh penyelenggara layanan publik
merumuskan 14 komponen standar pelayanan publik bersama masyarakat dalam 6
bulan setelah PP diundangkan. Petunjuk teknisnya melalui peraturan menteri,
semua harus ada standar termasuk pelayanan publik swasta.
Setelah standar dirumuskan, masyarakat memiliki acuan
untuk mengadukan
pelayanan yang buruk termasuk bisa meminta ganti rugi atas pelayanan yang tidak
sesuai standar (diolah dari sumber : http://www.bisnis.com/ articles/layanan-publik -standar-penerapan-masih-disusun)
Ombudsman Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut Ombudsman atau ORI, adalah lembaga negara yang mempunyai
kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan
oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN,
BUMD, dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyeleng
-garakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari APBN dan/atau APBD (UU 37/2008 tentang “OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA”).
Pola
sebaran penduduk Indonesia, secara geografis maupun administrattif, dalam tatanan dan tataran perkotaan dan
perdesaan, akan memperngaruhi skala prioritas pelayanan publik, bahkan bisa
menentukan organisasi perangkat daerah. Dimaklumi, organisasi perangkat daerah
provinsi tidak bisa tipikal, apalagi di tingkat kabupaten/kota, khususnya pada
dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
Aktivitas
komersial masyarakat, mulai skala rumah tangga tentunya membutuhkan perijinan.
Karena ketidaktahuan maupun tidak ingin repot dan berbelit, untuk sementara
izin diabaikan atau direkayasa dengan pendekatan lingkungan.
Pasal
9 ayat (2) UU 25/2009 menyuratkan bahwa :
“Dalam
rangka mempermudah penyelenggaraan berbagai bentuk pelayanan publik, dapat
dilakukan penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu”.
Sistem pelayanan terpadu merupakan satu
kesatuan pengelolaan dalam pemberian pelayanan yang dilaksanakan dalam satu
tempat dan dikontrol oleh sistem pengendalian manajemen guna mempermudah,
mempercepat, dan mengurangi biaya.
TINGKAT
KECAMATAN
Permendagri 4/2010 tentang “PEDOMAN PELAYANAN ADMINISTRASI
TERPADU KECAMATAN” telah menjawab dan menjabarkan Ps 9 (2) UU 25/ 2009.
Pelayanan
Administrasi Terpadu Kecamatan selanjutnya disingkat PATEN adalah penyelenggaraan
pelayanan publik di kecamatan dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya
dokumen dalam satu tempat.
Fungsi utama camat selain memberikan
pelayanan kepada masyarakat, juga melakukan tugas-tugas pembinaan wilayah.
Tugas camat seperti yang disuratkan dalam PP 19/2008 tentang “KECAMATAN”, pelaksanaan pelayanan kepada
masyarakat merupakan salah satu fungsi yang utama, sehingga dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat perlu ditetapkan suatu
Standar Pelayanan yang dapat menjamin adanya hak dan kewajiban antara
masyarakat sebagai pemohon layanan dengan aparat Kecamatan sebagai pemberi
layanan.
Jenis
pelayanan yang acap dilakukan di kecamatan Jombang sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi setiap kepala seksi yang ada di kecamatan Jombang, kota Cilegon,
provinsi Banten adalah sebagai berikut ( sumber : http: //kecjombang. cilegon.go.id/)
:
A. SEKSI TATA PEMERINTAHAN
1. Kartu Tanda Penduduk (KTP)
2. Kartu Keluarga (KK)
3. Surat Keterangan Pindah
4. Legalisasi KTP/KK
5. Surat Keterangan KTP/KK Dalam Proses
6. Surat Keterangan Waris
7. Pelayanan Akta Jual Beli (AJB)
8. Hibah
B. SEKSI KESEJAHTERAAN SOSIAL
1. Rekomendasi Surat Keterangan Tidak
Mampu
2. Rekomendasi Surat Keterangan
Penghasilan
3. Rekomendasi Nikah
C. SEKSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Rekomendasi Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB)
D. SEKSI KETENTRAMAN DAN KETERTIBAN
1. Surat Keterangan Catatan Kepolisian
(SKCK)
2. Surat Ijin Keramaian
3. Rekomendasi SITU
4. Rekomendasi Ijin Usaha (HO)
E. SEKRETARIAT
1. Surat Tunjangan Keluarga
2. Rekomendasi Surat Keterangan Penghasilan
3. Rekomendasi Surat Pensiun
4. Rekomendasi Surat Keterangan
Permohonan KPR/Kredit Bank
Struktur organisasi di atas, menunjukkan aparat tingkat
kecamatan siap tempur, menyajikan banyak pilihan layanan. Tentunya dilengkapi
dengan tugas dan fungsi tiap seksi dan subseksi. Masalahnya, berita gembira ini
tidak sampai di telinga masyarakat.
§ Masyarakat
untuk bisa membaca, apalagi memahami struktur penyelenggara pelayanan publik yang
cukup rinci ini, di mana?
§ Apakah
masyarakat bisa langsung berhubungan dengan subseksi/sekretariat sesuai urusan
kebutuhannya?
§ Apakah
masyarakat mengetahui tata cara dan syarat berhubungan dengan pelaksana
pelayanan publik?
BUTUH ANGGARAN
Dukungan
pemerintah tidak hanya dengan produk hukum, sebagai payung hukum, sampai
tingkat operasional, termasuk pada sistem pengganggran. Wujud pelayanan publik di daerah berkorelasi erat
dengan kebijakan belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran
yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan
yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik di
daerah.
Anggaran yang diterima oleh sebuah birokrasi publik lebih
ditentukan oleh kebutuhan tiap tahun, selalu meningkat, bukan oleh hasil pelayanan
publik yang akan diberikan oleh birokrasi pada masyarakatnya.
Instrumen
kebijakan fiskal yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam rangka melakukan
pelayanan publik dan mendorong pertumbuhan ekonomi akan tercermin dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Bagaimana dengan pelaksanaan di tingkat
kabupaten/kota? Sebagai contoh, kebijakan Pemko Medan dinilai lebih banyak diserap ke arah
pelayanan aparatur ketimbang pelayanan publik. Seperti jalan, drainase,
peningkatan kualitas mutu pendidikan, kesehatan masyarakat dan mengurangi
pengangguran kemiskinan. Hal ini bisa dilihat dari jumlah anggaran yang
yang diarahkan untuk pelayanan publik hanya 22,42% atau Rp 681,8 miliar dari
total realisasi belanja daerah Rp 3,041 triliun.
Kalau dilihat secara rinci, kecenderungan tingginya belanja
pegawai terhadap total belanja operasi pada angka 66,20%, atau sekitar Rp 2
Triliun. Kondisi ini memberikan gambaran kebijakan Pemko lebih banyak diserap
ke arah pelayanan aparatur ketimbang pelayanan publik (sumber :http://www.hariansumut
pos.com/2012/ 07/ 38003/belanja-pegawai-sedot-rp2-triliun).
Alokasi belanja pegawai terus tumbuh, tetapi tidak kunjung
terkonversi signifikan dalam tingkat pelayanan publik. Alih-alih untuk
menyuntikkan insentif progresif guna meningkatkan kesejahteraan pegawai,
pertumbuhan itu ditengarai banyak terdistribusi untuk pemborosan karena
struktur pegawai yang obesitas dan sistem penggajian yang tidak adil.
Belanja pegawai selama 2007-2012 tumbuh rata-rata 18,6% per
tahun, mulai Rp 90,4 triliun atau 2,3% terhadap produk domestik bruto (PDB)
pada 2007 sampai menjadi Rp 212,3 triliun atau 2,5% terhadap PDB pada 2012.
Porsinya terhadap total belanja negara pun meningkat, dari 11,9% pada 2007
menjadi 13,7% pada 2012.
Pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) 2013, alokasi belanja pegawai bertambah menjadi lebih dari dua setengah
kali lipat anggaran pada 2007. Nilainya direncanakan mencapai Rp 241,1 triliun
atau 2,6% terhadap PDB. Dibandingkan dengan pagu pada APBN Perubahan 2012,
anggaran tumbuh 28,9 triliun atau 13,6%.
Dalam RAPBN 2013 pemerintah mengalokasikan belanja pegawai
pusat sebesar Rp 241,1 triliun, sedangkan untuk pegawai Pemda sebesar Rp 306
triliun. Alokasi anggaran belanja pegawai untuk pemerintah daerah ini berasal
dari anggaran berbentuk DAU (dana alokasi Umum).
DAU bukan hanya untuk belanja pegawai saja, seharusnya
dibagi juga untuk belanja pelayanan kepada masyarakat. Tetapi, banyak pemda
tidak sanggup menggaji pegawai sendiri, terpaksa mempergunakan DAU ini
sepenuhnya untuk belanja pegawai pemda, tentu dengan mengorbankan belanja untuk
pelayanan publik. (sumber : http://www.merdeka.com/peristiwa/fitra-anggaran-belanja-pns-mengorbankan-pelayanan-publik.html).
TINJAUAN
PRAKTEK TERBAIK
Pembuktian terbalik Praktek
Terbaik (Best Practices) Pelayanan Publik di mata masyarakat yang dengan
daya nalar sederhana, apa adanya, tanpa rekayasa, adalah :
§ tidak
sekedar diukur dari adanya gedung pelayanan yang megah, luas, berdaya tampung
banyak dan nyaman serta mudah didatangi dari segala penjuru;
§ tidak
berdasarkan nama organisasi perangkat daerah atau organisasi penyelenggara yang
berkesan keren, angker, dengan singkatan nama yang susah disebut apalagi diingat;
§ tidak
dilihat karena banyaknya program/kegiatan yang dikampanyekan, ditawarkan, dipromosikan
liwat spanduk, disosialisasikan dengan jasa media massa;
§ tidak
identik dengan besarnya anggaran yang berhasil diserap tiap tahun anggaran atau
meningkatnya anggaran pelayanan publik tiap tahun;
§ tidak
hanya ditentukan oleh seragam atau atribut yang dipakai SDM, PNS, aparat
birokrat sebagai pelaksanan pelayanan publik.
Publik hanya melihat manfaat pelayanan publik secara
birokratis dengan kacamata, sesuai pepatah “tikus mati di lumbung”. Maknanya,
manfaat pelayanan publik bisa dilihat jika terjadi perubahan di masyarakat,
dalam bentuk antara lain :
§ Pergerakkan
yang mengindikasikan adanya pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat;
§ Mitigasi
konflik sosial akibat adanya alih fungsi perumahan dan kawasan permukiman
menjadi kawasan komersial;
§ Masyarakat
memulai dan terbiasa melakukan pekerjaan wiraswasta yang tidak mengandalkan
sektor pertanian saja, namun dapat berkolaborasi dengan sektor pertanian;
§ Masyarakat
mampu melaksanakan program/kegiatan pemerintah secara mandiri; menciptakan
lapangan kerja berbasis rumah tangga, kelompok masyarakat; menciptakan peluang
produktif dengan dukungan akademisi/ alumnus.
§ Masyarakat
mendapatkan tingkat kemudahan berusaha (easy doing bisnis) secara formal
baik dalam tingkat perusahaan atau usaha dengan dasar asas dari, untuk, oleh
dan karena masyarakat.
Pelayanan publik berumpan balik dengan kemaslahatan
masyarakat, terjadi korelasi dan interaksi secara dinamis. Pelaksana pelayanan
publik yang bertindak atas dasar prinsip peraturan menjadi bersikap kaku dan tidak
mendorong lahirnya kreativitas dalam pemberian layanan. Pelaksana pelayanan
publik seharusnya bertitik tolak dari misi dan visi pelayanan agar dapat
mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Praktek terbaik pelayanan publik di suatu
kabupaten/kota tidak bisa diterapkan di
kabupaten/kota lainnya, walaupun satu provinsi. Bahkan antar
penyelenggara/organisasi penyelenggara pelayanan publik tidak bisa saling
belajar. Masing-masing punya otoritas, baik karena sistem kerja yang dianut
atau gaya aparat birokrat yang bertindak bak raja atau merasa sebagai yang
mempunyai kantor.
TATA KELOLA
Penyelenggara pelayanan
publik/organisasi peyelenggara pelayanan publik, dalam era Reformasi maupun tuntutan
tata kelola pemerintahan yang baik, harus
peka terhadap tekanan publik.
Masyarakat yang tidak mempunyai posisi tawar bukannya tanpa daya, tanpa reaksi, tanpa
gerakan perubahan. Tata kelola yang lebih baik dalam pengelolaan
pelayanan publik akan lebih memberikan arti yang lebih bermakna terhadap
implementasi perubahan yang dicanangkan.
Modernisasi pelayanan
publik bukan hanya di bidang
teknologi informasi dan komunikasi, tetapi juga dalam pengelolaan pelayanan
publik dengan menerapkan kaidah-kaidah manajemen korporasi profesional juga
mengacu pada azas-azas tata kelola pelayanan publik yang baik.
Sebagai
perusahaan yang bergerak di industri pelayanan publik, organisasi penyelenggara pelayanan publik memiliki komitmen
yang kuat untuk menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat serta
memberikan pelayanan yang senantiasa ditingkatkan.
Guna memberikan
pemahaman kepada masyarakat tentang kegiatan dan perkembangan terkini, organisasi
penyelenggara pelayanan publik menerapkan Sistem informasi pelayanan publik.
Sistem Informasi
pelayanan publik adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan
pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara
kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan Latin, tulisan
dalam huruf Braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan
secara manual ataupun elektronik.
Daya tanggap organisasi penyelenggara
pelayanan publik terhadap tekanan publik :
§
Mengelak: tidak mengakui, bahkan bersikap
acuh tak acuh, masa bodoh terhadap adanya masalah dalam kinerja layanan, sosial
dan lingkungan;
§
Melawan:,
sifat
arogansi aparat birokrasi masih sangat dominan terlihat,
menggunakan wewenang dan atau pengaruh di pengadilan
§
Mengelabui:
menggunakan berbagai taktik untuk memberi kesan bahwa telah terjadi perubahan
kinerja layanan, sosial dan lingkungan;
§
Mematuhi:
membuat berbagai perubahan signifikan dalam kinerja layanan, sosial dan
lingkungan.
§
Melampaui:
melakukan perubahan kinerja sebelum mendapat tekanan.
RITUAL
ADMINISTRASI
Masyarakat antri bayar tol, wajar, karena menikmati jalan
bebas hambatan. Masyarakat mengikuti aturan main saat bayar pajak, semisal
perpanjang STNK, wajar, karena hanya setahun sekali.
Masyarakat memasuki kuadran : “kalau
bisa dipermudah kenapa harus diperlancar”. Masyarakat mendatangi kantor
layanan publik sebagai kewajiban, untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga
negara. Hak sipil, hak sosial, bahkan hak asasi manusia ditinggalkan dan
ditanggalkan di rumah. Masyarakat membutuhkan jasa dan keahlian deretan manusia
yang ada di kantor layanan publik.
Masyarakat dalam melaksanakan kewajiban, sehingga wajib
datang sendiri ke kantor layanan, kendati untuk urusan komersial, usaha profit,
maupun upaya berbasis fungsi Rp, tetap mengikuti rukun layanan yang sudah
dijabarkan dalam Prosedur Operasi Standar (POS). Bisa-bisa, bisa terjadi
biaya/tarif total tergantung prosedur, tergantung banyaknya meja yang diliwati,
tergantung banyaknya aparat birokrat yang terlibat.
Di sisi lain, penyelenggara/organisasi
penyelenggara/pelaksana pelayanan publik, yang merasa sebagai tuan yang dibutuhkan oleh
masyarakat, yang memposisikan diri sebagai raja, menjadi masalah kronis yang
harus dikikis habis.
Reformasi birokrasi dimulai dari penyelenggara/organisasi
penyelenggara/ pelaksana pelayanan publik. Pola Rotasi, Promosi dan Mutasi
(RPM) perlu diterapkan pada para pejabat,
pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi
penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan
pelayanan publik.
Pola
RPM untuk menghindari kejenuhan dan kinerja jalan di tempat, agar setiap
pelaksana bisa merasakan berbagai bentuk layanan, atau menghindari stigma
tempat buangan ataupun tempat basah.
SIMPUL DAN SARAN
Bagi organisasi
penyelenggara pelayanan publik, masyarakat merupakan salah satu pemangku
kepentingan, sebagai mitra, bahkan sebagai mitra utama. Terjalinnya interaksi yang dinamis dan harmonis antara organisasi
penyelenggara pelayanan publik dengan masyarakat sangatlah penting guna
mendukung keberlangsungan organisasi penyelenggara pelayanan publik secara
jangka panjang.
Masyarakat
diposisikan sebagai masukan (input) bagi terselenggaranya pelayanan
publik, dari hulu sampai hilir. Waktu pelayanan publik sesuai jam kerja
pelaksana pelayanan publik, kebutuhan masyarakat akan pelayanan publik tidak
dibatasi oleh waktu.
Penyelenggara/organisasi
penyelenggara/pelaksana pelayanan publik wajib memiliki sifat Responsivitas.
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat,
menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program/kegiatan
pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas
mengacu pada keselarasan antara program / kegiatan pelayanan publik dengan
kcbutuhan dan aspirasi.
Masyarakat dan bangsa Indonesia memang sangat heterogen, ada
strata dan status sosial. Terdapat kesenjangan, serta berbagai dikotomi yang
semakin memperkokoh adanya kasta dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Maka kearifan lokal, budaya lokal, adat istiadat serta kesolehan
sosial menjadi acuan utama dalam menyelenggarakan/melaksanakan pelayanan
publik.
---------------------------------------------------------------------------------