Halaman

Kamis, 27 Agustus 2015

langkah blusak-blusuk Joko Widodo terganjal, terjegal, terpenggal rambu-rambu politik


Aroma irama politik dampak nyata perjanjian politik di pesta demokrasi 2014, masih akan mewarnai, menghantui sekaligus mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat yang terbiasa kencangkan ikat pinggang di era Orde Baru sampai perut menjadi tabung reaksi kemandirian dan ketahanan pangan Nusantara, akan tetap eksis di bawah tekanan politik dan huru-hara politik di elit kawanan parpolis.

Aroma irama politik ekses nyata politik transaksional, ideologi berbasis nilai tukar Rp, masih menjadi lagu wajib dalam mewujudkan program nasional Trisakti dan Nawa Cita. Jabatan karir disamarkan, dibaurkan, diabu-abukan dengan jabatan politik. Jabatan duta besar atau wakil bangsa negara di mancanegara, seolah menjadi jabatan balas jasa.

Aroma irama politik akibat kebijakan bandar politik yang harus dianut, diemban sekaligus dilaksanakan tanpa banyak tanya sebagai tanda loyalitas total. Negara bisa terjun bebas, negara boleh dengan autopilot, negara mengalami krisis dan defisit negarawan tetapi surplus kader karbitan/orbitan, asal jangan negara dianggap sebagai warisan dari nenek moyangnya.

Aroma irama kejawen Joko Widodo ternyata kalah ampuh, kalah jitu, kalah manjur, kalah mujarab, kalah cespleng dengan mantra politik yang dirapalkan, dihembuskan oleh barisan atau kawanan parpolis dengan modal berani malu. Yang mengandalkan aroma irama terapi politik. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar