Aroma irama politik dampak nyata perjanjian politik di
pesta demokrasi 2014, masih akan mewarnai, menghantui sekaligus mendominasi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Masyarakat yang terbiasa kencangkan ikat
pinggang di era Orde Baru sampai perut menjadi tabung reaksi kemandirian dan
ketahanan pangan Nusantara, akan tetap eksis di bawah tekanan politik dan
huru-hara politik di elit kawanan parpolis.
Aroma irama politik ekses nyata politik transaksional,
ideologi berbasis nilai tukar Rp, masih menjadi lagu wajib dalam mewujudkan
program nasional Trisakti dan Nawa Cita. Jabatan karir disamarkan, dibaurkan,
diabu-abukan dengan jabatan politik. Jabatan duta besar atau wakil bangsa
negara di mancanegara, seolah menjadi jabatan balas jasa.
Aroma irama politik akibat kebijakan bandar politik yang
harus dianut, diemban sekaligus dilaksanakan tanpa banyak tanya sebagai tanda
loyalitas total. Negara bisa terjun bebas, negara boleh dengan autopilot,
negara mengalami krisis dan defisit negarawan tetapi surplus kader
karbitan/orbitan, asal jangan negara dianggap sebagai warisan dari nenek moyangnya.
Aroma irama kejawen Joko Widodo ternyata kalah ampuh,
kalah jitu, kalah manjur, kalah mujarab, kalah cespleng dengan mantra
politik yang dirapalkan, dihembuskan oleh barisan atau kawanan parpolis dengan
modal berani malu. Yang mengandalkan aroma irama terapi politik. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar