dilema ayam milenal
nusantara, telur gudeg vs telur mie rebus
Aksi nasional berpancasila hadapi agresi covid-19, malah menunjukkan jati
diri tanpa malu. Protokol sehat bangsa seperti adu muka dengan sektor ekonomi
pengusaha yang profit oriented. Bulan pertama saja sudah bisa mengklaim
kerugian Rp yang tak ternilai, merembet ke dunia usaha lain.
Kebijakan di rumah saja, memacu plus memicu kreativitas, produktivitas,
imajinitas serta daya akal sehat. Pengalaman kencangkan ikat pinggang zaman
Orde Baru. Gonjang-ganjing politik pasca reformasi melahirkan tatanan serba téga,
super mégatéga. Siapa makan siapa menjadi menu politik.
Agar olah kata tak kebablasan. Akhirnya, bahan baku pangan peruntukkan
status sosial non rakyat tahu-tempe. Olah kaki lima di bintang lima. Ditampung di
pasar tradisional, warung rakyat atau langsung ke kawasan hunian terdampak. Di pinggir
jalan, tampak gelaran penjual telur ayam betina harga banting. Tahu waktu pas
masuk Ramadhan 1441H.
Harga terjangkau dengan selembar uang kertas warna hijau. Pembeli pesan dalam
jaringan untuk partai besar. Menambah kemudahan tapi tetap dalam kehatian-hatian
pengusaha pangan.
Dikisahkan, ada pengusaha atau industri rumah tangga dadakan. Dukungan tenaga
ahli atau merangkul pihak lain yang sudah kaya pengalaman tapi minim modal. Betapa
telur untuk olahan gudeg ala wong Jawa, butuh telur yang sekila isi 17-an atau
kurang. Proses gudeg sampai siap saji, membuat telur mengkerut bukan karena
kedinginan. Padahal menyerap aneka bumbu.
Cerita lain dari pedagang keliling mie rebus yang juga jual nasi goreng dan
mie goreng. Tahu dalil ekonomis, pakai telur ayam yang sekilonya berisi 20-an
butir. Padahal telur curah obral murah butirannya memang pas untuk telur gudeg.
Beli di langganan, harga stabil tak terpengaruh protokol politik. [HaéN]