utamakan simbol partai
ketimbang dasar negara
Sepertinya seperti soal uji kecakapan umum tentang hubungan partai politik
dengan negara di negara tertentu. Lihat dulu kenapa sampai muncul pernyataan
yang sekaligus pertanyaan. Sebut saja ada gejolak di negara berkembang,
pemerintah multipartai dan masyarakat bebas berpikir tak pakai lama.
Rasa hormat rakyat terhadap orang lain, terlebih kepada pihak yang dianggap
uwong. Lihat makna “mikul dhuwur, mendem jero”. Karena terasa rasa
ras Melayu atau kenusantaraaan. Dioplos dengan semboyan “jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah”.
Masalahnya, anak cucu pengalir darah merah politik ateis, tak merasa kalau
masih dianggap manusia seutuhnya. Didiamkan semangkin menjadi-jadi. Sedikit diingatkan
dikira ada pihak yang iri dengki binti sirik. Diberi kursi empuk merasa kurang
tinggi. Dihormati siang malam, merasa hak dan gila hormat.
Dia pikir, berkat partai politik bikinan kakek moyangnya menjadikan bangsa
merdeka menjadi negara. Merasa berhak mendapat warisan, arisan kursi
notonegoro.
Perjalanan sejarah bangsa di manapun. Manusia bebal politik menjadi beban
ganda, tekanan berlapis protokol kemanusiaan. Jalan keluar mujarab binti
mustajab cukup rakyat tetap diam tutup mata sambil usap dada. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar