dilema demokrasi
nusantara, daur ulang vs lapis ulang
Mulainya dari mana, seperti tak ada beda. Secara historis nasional atau
asal comot periode masa jabatan presiden maupun antar pemilu. Selama predikat
negara berkembang, multipartai tak beranjak setapak pun. Maka profil potongan
melintang maupun potongan membujur, nyaris tipikal. Beda dari urutan lapisan
dari atas.
Paling bawah sejatinya bukan lapisan, adalah rakyat papan bawah. Selaku pondasi
hidup bangsa dan negara. Pembangunan dengan pendekatan ekonomi akan laris-manis
di wilayah padat penduduk, padat bangunan, panjang jalan kalah cepat dengan
panjang mobil dan motor. Andalan PAD dari pajak, bukti betapa manusia punya
nilai ekonomis.
Jalan layang, subway, rumah susun, apartemen, basement atau ruang bawah
tanah, atau bentukan, wujudan bangunan konstruksi kian membuktikan manusia
sebagai obyek pembangunan. Diimbangi ada
negara bayangan, pemerintah malam hari sampai penguasaan pulau-pulau kecil.
Bentuk bendera nasional, bukan sekedar pemaknaan pada warna dwi-warna. Pakai
asas banding, sanding, tanding dengan bendera penjajah, Belanda. Golongan “darah
biru” menjadi lapis paling bawah. Kehidupan pemerintah kerajaan Belanda masih
eksis dan bergulir sampai sekarang.
Menyimpang sedikit kita simak model bagi-bagi kursi di Inggris. Benda alam
yang tertanam di dalam bumi, lapisan demi lapisan, otomatis menjadi hak milik
kerajaan. Begitu cerita.
Nusantara Berjaya atau dikenal sejak zaman doeloe. Salah satunya ada
kerajaan besar yang sampai melanglang buana. Termasuk singgah ke daratan China.
Timbal balik tata niaga dan pelaut, jalur penyebaran agama Islam sampai
sekarang. Pelestarian animisme dan dinamisme terasa tanpa pemurtadan.
Dipastikan kadar merah Merah-Putih pasti beda dengan simbol merah bendera Belanda.
[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar