Halaman

Kamis, 25 Juni 2020

dilema demokrasi nusantara, daur ulang vs lapis ulang


dilema demokrasi nusantara, daur ulang vs lapis ulang

Mulainya dari mana, seperti tak ada beda. Secara historis nasional atau asal comot periode masa jabatan presiden maupun antar pemilu. Selama predikat negara berkembang, multipartai tak beranjak setapak pun. Maka profil potongan melintang maupun potongan membujur, nyaris tipikal. Beda dari urutan lapisan dari atas.

Paling bawah sejatinya bukan lapisan, adalah rakyat papan bawah. Selaku pondasi hidup bangsa dan negara. Pembangunan dengan pendekatan ekonomi akan laris-manis di wilayah padat penduduk, padat bangunan, panjang jalan kalah cepat dengan panjang mobil dan motor. Andalan PAD dari pajak, bukti betapa manusia punya nilai ekonomis.

Jalan layang, subway, rumah susun, apartemen, basement atau ruang bawah tanah, atau bentukan, wujudan bangunan konstruksi kian membuktikan manusia sebagai obyek pembangunan.  Diimbangi ada negara bayangan, pemerintah malam hari sampai penguasaan pulau-pulau kecil.

Bentuk bendera nasional, bukan sekedar pemaknaan pada warna dwi-warna. Pakai asas banding, sanding, tanding dengan bendera penjajah, Belanda. Golongan “darah biru” menjadi lapis paling bawah. Kehidupan pemerintah kerajaan Belanda masih eksis dan bergulir sampai sekarang.

Menyimpang sedikit kita simak model bagi-bagi kursi di Inggris. Benda alam yang tertanam di dalam bumi, lapisan demi lapisan, otomatis menjadi hak milik kerajaan. Begitu cerita.

Nusantara Berjaya atau dikenal sejak zaman doeloe. Salah satunya ada kerajaan besar yang sampai melanglang buana. Termasuk singgah ke daratan China. Timbal balik tata niaga dan pelaut, jalur penyebaran agama Islam sampai sekarang. Pelestarian animisme dan dinamisme terasa tanpa pemurtadan.

Dipastikan kadar merah Merah-Putih pasti beda dengan simbol merah bendera Belanda. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar