Halaman

Senin, 30 September 2019

duduk sama lama vs berdiri sama-sama


duduk sama lama vs berdiri sama-sama

Peribahasa pun bisa ketinggalan zaman. Juga tidak. Muncul varian, versi lain. Basis kejadian mirip, nyaris sama. Apakah tabiat, adab, martabat manusia lebih cerdas ketimbang doeloe. Itu pasal lain.

Perlu dipertanyakan, bedanya dimana. Efek kemajuan zaman, dampak laju gaya hidup. Rasanya, tingkat interaksi manusia sebagai makhluk sosial. Landasan moral bergeser akibat gempa lokal secara bergantian.

Sambung rasa antar warga berbaur resmi dengan penyakit politik. Ikatan moral kepancasilaan tergantung praktik demokrasi. Banyaknya parpol identik modus bernegara. Rakyat status sosial bagaimana pun, kian beda pilihan, pakai jurus tega.

Olok-olok politik sebagai efek domino pendidikan politik yang fokus ke nikmat dunia. Bagi-bagi paket kursi menjadi agenda utama politik nusantara. Kesetiakawanan politik tergantung kalkulasi ekonomi-politik. [HaéN]

setali tiga uang vs sekursi dua pantat


setali tiga uang vs sekursi dua pantat

Berdikari alias berdiri di atas kaki sendiri, berkat ramuan ajaib revolusi mental menjadikan manusia politik masuk kategori manusia bebas. Martabat politik nusantara lebih mengutamakan, mengedepankan bebas aktif.

Zaman Orde Lama, semua yang punya titel Ir, siap bangun nusa bangsa. Sukarelawan berkonotasi heroisme, siap bebaskan Irian Barat dari cengkeraman penjajah Belanda dan antek-anteknya. Lanjut opreasi ganyang Malaysia, negara boneka imperialism. Ujar BK.

Perguliran sejarah nusantara. Mengoplos kejadian lama diformat ulang dengan kondisi terkini. Propaganda barat tetap berlanjut. Ramuan anyar terbarukan mampu membikin manusia politik pemakan segala.

Anak, putu, buyut, canggah, wareng, udhek-udhek, gantung siwur (keturunan ke-7) ideologis, sebagai penerus asas ‘nasakom’. Mental politik tak ada matinya. Tidak kenal kata jera, kapok. Pengorbanan diri dengan meleburkan diri ke partai politik, wajib dapat imbalan yang layak, setimpal dari rakyat. Bilamana perlu, rakyat dikorbankan demi revolusi.

Ingat semboyan “politik membangun bangsa”. Praktiknya menjadi politik adalah segala-galanya. Ora doyan parpol, metu saka NKRI. Ujar mbokdé Mukiyo. Yang merasa pancasilais total, bertahan. [HaéN]

atraksi politik nusantara, tampang garang vs pasang badan


atraksi politik nusantara, tampang garang vs pasang badan

Berburu kursi di negeri sendiri, harus pandai-pandai. Rekam jejak, daftar riwayat hidup,  bukan jaminan. Bahkan sampai makan bangku sekolah, masih kalah cerdas. Bak tarung bebas. Peraturan yang dipakai adalah tanpa aturan apapun.

Main di kandang lawan, laga tandang. Harus meng-KO petinju tuan rumah. Kalau cuma bisa menyelesaikan pertandingan, amatir maupun profesional. Demi persahabatan dan menghormati jerih payah tuang rumah. Suka tak mau, petinju tuan rumah akan keluar sebagai peraih angka terbanyak.

Anggaran demokrasi nusantara, karena lima tahun sekali. Apalagi serentak. Bukan dihitung per rakyat pemilih. Kendati satu suara pemilih menentukan biaya politik. Kian banyak parpol ikut pesta demokrasi, terjadilah anggaran demokrasi vs biaya politik.

Bahasa awam, duwit sesedikit itu bisa buat beli barang, bangun bangunan, ongkos pendidikan atau ikhwal lainnya. Kalau dalam bentuk koin, uang logam seribu Rp. Berapa ton ringannya. Dijejer sambung menyambung panjang uang kertas seribu Rp. Sejauh berapa km. Jangan-jangan dirangkai horizontal bisa menutupi kota atau desa dengan berjuta wajah.

Demokrasi nusantara tetap murah, terjangkau dan tak terbelikan. [HaèN]

Minggu, 29 September 2019

pengakuan pemerintah


pengakuan pemerintah

Laporan intel melayu sampai asumsi cepat di lapangan. Sigap benderang pernyataan pemerintah tanpa bertele-tele langsung menetapkan aktor non-negara sampai tanpa basa-basi memastikan modus unjuk raga.

Beda jika ada kejadian luar biasa menimpa lawan politik. Yang mana dimana ada penyalahgunaan wewenang, atau penggunaan wewenang sesuai panggilan tugas atau prosedur baku atas perintah atasan. Pakai lama dan api tak kunjung padam, semboyan dan logo juru penerang(an) zaman Orde Lama.

Model tebak-tebak buah manggis. Takut kedahuluan, takut dianggap buta fakta, takut intervensi media asing, takut pakai pralambang tiga serangkai: tutup mata, tutup telinga, tutup mulut.

Alih-alih berdalih, malah secara tak sengaja buka borok. Sebelumnya, antara loyalis adi tohok. Pakai jurus setor muka vs cari muka. Bahasa terselubung, ujaran berlapis, nyanyi bersama menjadi lagu lama. Pihak yang pasang tampang garang, pasang badan, kawal pagar betis, umpan peluru. [HaèN]

tanpa janjian semua berhal sama


tanpa janjian semua berhal sama

Dulunya dulu. Jika seseorang bersua tanpa sengaja atau pada tempat dan acara yang sama, kebetulan busana yang dipakai sama. Bahan sama. Model ketika itu masih standar. Itu-itu saja. Belum kenal istilah trendi. Muncul dugaan pihak lain, ”sudah janjian . . “. Ketika, busana diproduk massal. Maka yang bicara adalah merk, logo, model atau tekstur bahan. Zaman ‘kw’ mengilhami daya ujar anak bangsa merk lokal.

Sebagai bangsa besar, berkembang, berkemajuan di segala aspek kehidupan bernegara. Indonesia mampu tak mampu, mendayagunakan budaya literasi sebagai prasyarat kecukupan dan kecakapan hidup tegak kepala bersama bangsa lain di dunia.

Liwat jalur  edukasi yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan masyarakat. Penguasaan enam literasi dasar yang disepakati oleh World Economic Forum pada tahun 2015 menjadi sangat penting tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi orang tua dan seluruh warga masyarakat.

Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.

Dari aneka pendapat ahli atau ujaran bebas, dapat disimpulkan bahwa literasi digital adalah kecukupan, kecakapan diri menggunakan media digital, alat TIK,  atau aplikasi dan jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat, melanjutkan informasi, serta memanfaatkannya secara bermartabat, beradat.

Pakai pasal budi pekerti dengan segala atributnya. Khususnya unjuk cerdas diri – jangan pamer bego bak peolok-olok politik  – sebagai menu harian. [HaèN]