Halaman

Sabtu, 30 April 2016

DIAWALI DENGAN BIROKRASI SEHAT

DIAWALI DENGAN BIROKRASI SEHAT

Memang, kendati gubernur Jakarta, Joko Widodo, turun langsung ke lapangan dalam menangani Kartu Jakarta Sehat (KJS) dengan mendatangi puskesmas dan dapat sambutan meriah dari calon pengguna akhir KJS, bukan jaminan nantinya akan berjalan sesuai rencana. Walaupun program/kegiatan KJS sudah didukung APBD, bukan jaminan PNS atau SDM yang ada akan mensukseskannya secara total. Biarpun setengah warga dan penduduk Jakarta sebagai pengguna akhir KJS, bukan jaminan sebagai dasar perhitungan dalam penyusunan APBD. Banyak faktor yang harus dikaji ulang, diantisipasi secara transparan dan dinamis.

Pembuatan KJS tidak masalah, apalagi sampai jumlah jutaan lembar, bisa jadi proyek tersendiri. Masalah muncul, jika pelaksana di lapangan, khsususnya ujung tombaknya maupun penyedia jasa kesehatan harus membalik adat layanan yang komersial menjadi sosial, serba gratis.

Selama ini merasa dalam posisi yang dibutuhkan oleh masyarakat, harus ganti peran menjadi yang melayani masyarakat. Harus proaktif, lebih dahulu menyapa, menghormati masyarakat yang datang. SDM di tingkat Puskesmas sampai Rumah Sakit pelaksana KJS memang harus dikondisikan dengan diklat yang sesuai. Kalau perlu mantapkan jabatan fungsional pelayanan KJS.

Birokrasi sehat sebagai dasar utama untuk terselenggaranya/ terlaksananya pendidikan gratis, kesehatan gratis. Tidak mudah merubah pola pikir, atau bahkan mental yang sudah membudaya, dari mental di belakang meja menjadi mental lapangan. Terlebih bagi aparat birokrat yang berhubungan langsung dengan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), atau masyarakat dalam strata sosial margin, akan mengalami dan meliwati transisi yang butuh waktu. Karena kondisi dan posisi MBR yang heterogen, memerlukan pendekatan  orang per orang, akan menambah beban mental aparat birokrat [HaeN].

Menyapu Bayang-Bayang

Menyapu Bayang-Bayang

Titik Temu
Tempe dan tahu, merupakan teman makan nasi khas rakyat, bisa memicu dan memacu goncangan sosial. Golongan masyarakat menengah dalam waktu yang bersamaan butuh transportasi udara, harga tiket pesawat ikut melambung dan membubung. Harga kursi lima tahunan yang diperebutkan ribuan petaruh, menjadi bola liar dan tak terukur. 

Ketika kedelai masuk ranah politik, ketika tiket menjadi menu konsumtif, ketika kursi wakil rakyat/kepala daerah bernilai ekonomis, ceritanya jadi lain. Mahzab ilmu pengetahuan negara maju pun tidak akan mampu merumuskannya. Bukan sekedar salah kaprah.

Campur baur, tumpang tindih, atau saling lempar tanggung jawab menjadi menu dan sajian harian kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Untuk mencapai sukses dunia, anak bangsa memanipulasi watak dan tidak memerankan dirinya sendiri.

Kemelut kehidupan menjadi semakin kalut, siapa pun bisa menjadi apa dan siapa saja. Apa pun bisa terjadi atau tak terjadi. Sudah tidak tersedia cermin untuk dibelah, malah bangga dengan berbagai keburukan. Berani beda, berani malu menjadi usang, dibutuhkan berani dosa untuk tetap eksis dan berkibar di panggung politik.

Tak Akan Lari
Hukum di era Reformasi, selain seolah jalan di tempat, tebang pilih, hanya heboh di awal kasus, setelah itu meredup. Media massa, dengan berbagai acara tayangan di TVswasta mengambil alih lembaga peradilan dan pengadilan. Acara bukan untuk membongkar mafia kasus, melacak dalang intelektual, menyingkap skenario terselubung, mengungkap fakta lapangan tetapi malah mengacak-acak emosi dan opini pemirsa.

Mata indra manusia acap terkecoh, apalagi mata hati. Melihat tingkah laku manusia dan mesin politik, tidak perlu pakai kacamata moral. Kesalahan bukan pada mata kita, pada apa yang kita lihat menyerupai adegan yang tidak layak ditonton apalagi ditiru.

Persepsi tentang persoalan dan kenyataan hidup, kita menatap fatamorgana seolah nyata, atau sebaliknya. Bahasa manusia dalam menyikapi hidup tersurat pada [QS An Naml (27) : 88] : Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Benang merah antara rakyat di satu kutub dengan wakil rakyat/kepala daerah di kutub lainnya adalah urusan perut. Kontradiksi pada : rakyat bergulat modal dengkul untuk isi perut sehari, kutub lainnya berjibaku demi kesenangan hidup dan kemewahan dunia.

Penyelenggara negara beda tugas dan fungsi dengan pemimpin umat. Internal penyelenggara negara, pada trias politica bukannya saling mengingatkan, malah saling menjegal. Koalisi parpol 2009-2014 sebagai bukti antara eksekutif dan legislatif tidak memperjuangkan nasib rakyat. Kuadran  abu-abu, samar bahkan syubhat menjadi ajang perebutan, penyebab konflik horizontal antar lapisan masyarakat.

Ajang Laga
Ironisnya, banyak pimpinan umat lebih getol atau gemar jika terjadi gonjang-ganjing politik. 2014 merupakan puncak petaruhan antar berbagai kepentingan. 2013 membuktikan kecerdasan rakyat atau bentuk lain kepedulian, kepekaan dan daya tanggap pada sosok calon kepala daerah. Merebaknya pemilih dalam pilkada yang tidak menggunakan hak pilihnya sebagai refleksi dari sistem demokrasi yang tidak mulai dari bawah dan mengakar ke bawah.

Umat Islam yang mayoritas populasinya, keislamannya tergantung pada atribut, predikat dan profesinya. Mereka terjebak kewajiban taat aturan lokal daripada melaksanakan syariat Islam secara total. Tanpa ragu dengan wajah tanpa dosa melanggar janji formal dan sumpah religinya [HaeN]

ujaran kebencian (hate speech) vs gim kekerasan

ujaran kebencian (hate speech) vs gim kekerasan

Kita harus bangga dan bersyukur, bahwa aparat keamanan Indonesia cukup tanggap dan bahkan proaktif menyikapi dinamika dan gejolak di masyarakat. Tindakan preventif terhadap sumber pemacu dan pemicu konflik, sebagai bukti kepedulian sesuai standar minimal. Ancaman yang dianggap potensial mengganggu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan cepat terdeteksi, terendus secara sistematis dan diamankan sejak dini sebelum jatuh korban. Stabilitas keamanan demi menjaga martabat Indonesia di kancah percaturan internasional.

Pemerintah sudah kebal dengan kebakaran jenggot, dalam arti jika yang jadi “korban” masuk kategori rakyat kecil, wong cilik atau hanya anak-anak. Menyoal anak, sudah dipatenkan dalam Perubahan Kedua UUD NRI 1945, Pasal 28B ayat (2) :
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Bentuk dari kata kunci “perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, pemerintah telah menetapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dengan sederet tugas dan fungsinya berbasis perlindungan anak,  dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (pengawal utama revolusi mental). Dengan kata lain, penanganan masalah anak secara formal masuk bagian revolusi mental. Kurang apa digdayanya?

Maraknya gim kekerasan yang bisa dimainkan bebas oleh anak sekolah, di warnet, di gadget atau media teknologi lainnya, walau sudah memakan korban, tidak ada tindakan nyata dari pihak berwajib.

Mungkinkah, karena jika menurut kaca mata intelijen, banyak cikal bakal ancaman mengincar kehidupan rakyat. Tak heran, “ancaman” dimaknai sebagai (Pasal 1 butir 4 UU 17/2011 tentang Intelijen Negara) :
Ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional di berbagai aspek, baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan.

Salah satu ancaman berupa hasutan-hasutan atau provokasi. Untuk ini Kapolri  telah menetapkan Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/06/X/2015, tanggal 8 Oktober 2015, tentang PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH).

Berdasarkan SE tersebut, Polri melakukan tindakan preventif, antara lain kepada para Kasatwil agar melakukan kegiatan :
mengefektifkan dan mengedepankan fungsi intelijen untuk mengetahui kondisi real di wilayah-wilayah yang rawan konflik terutama akibat hasutan-hasutan atau provokasi, untuk selanjutnya dilakukan pemetaan sebagai bagian dari early warning dan early detection.

Mengacu Pasal 1 butir 1, UU 17/2011 yang dimaksud dengan :
Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.

Akankah bahwasanya segala bentuk gim kekerasan tidak masuk kategori “ancaman” sebagaimana disebutkan di atas, maka Pemerintah yakin akan reda dimakan waktu. Memang gim kekerasan tidak sebagai bagian dari ujaran kebencian. [HaeN]

Jumat, 29 April 2016

rekening gendut Polri, masuk kategori pengkhianat negara

rekening gendut Polri, masuk kategori pengkhianat negara

Frasa ‘pengkhianat negara’ sudah jarang dipakai untuk menjustifikasi seseorang, bahkan walau kepada tersangka tipikor yang  merugikan negara, yang sudah mempunyai keputusan hukum tetap. Dulu diterapkan pada pihak yang bekerja sama dengan musuh negara. Sekarang bisa juga diterapkan pada pihak yang akrab dengan negara yang tidak masuk kategori negara sahabat, yang tidak ada hubungan diplomatik.

Oknum perwira Polri yang melakukan tindakan menyenangkan bandar narkoba, dan perbuatan yang dipandang layak menguntungkan musuh rakyat, serta menjalankan tugas melampaui batas kewenangannya, sehingga berhasil memiliki rekening gendut, tidak hanya sekedar melanggar pasal berlapis, tetapi bisa masuk kategori pengkhianat negara.

Wajar jika oknum ybs menyangkal dengan berbagai dalih, mengelak dengan seribu alasan, menghindar dengan mengatasnamakan korps, membantah dan merasa difitnah, justru malah membuktikan bahwa ybs bukan sebagai pemain tunggal. Semua kejadian sesuai skenario tak tertulis dari konsekuensi logis “bermain air, basah”, “berkawan api, terbakar” [HaeN]

dilema polri, rekening gendut vs perut gendut

dilema polri, rekening gendut vs perut gendut

Gonjang-ganjing di tubuh Polri karena status alat kekuasaan atau alat negara, malah menjadikan Polri sebagai ‘penguasa tunggal dalam negara’. Minimal, Polri memposisikan dirinya di atas hukum. Merasa tidak di bawah kendali kepala negara. Apalagi merasa sebagai pengayom dan pengayem masyarakat.

Semangat esprit of the corps di tubuh Polri begitu kuat. Ironisnya, semangat ini muncul bukan saat mewujudkan Rastra Sewakottama yang berarti "Polri adalah Abdi Utama dari pada Nusa dan Bangsa." Tetapi menggelora saat di internal tubuh Polri atau Korps Baju Coklat ada oknum yang terlibat kasus tipikor (tindak pidana korupsi). Konflik internal Polri, akibat perang dingin antar angkatan alumni akademi polisi bisa memanas, ego angkatan mencuat, saat Bhayangkara-1 mengambil tindakan internal.

Kepolisian sebagai bagian dari instansi penegak hukum berwenang menangani tipikor. Agar terlaksana, memang perlu mendapatkan perhatian baik dalam hal penguatan sumber daya manusianya maupun dukungan dana operasional. Minimnya dana operasional untuk penanganan dan penuntasan perkara, menjadi salah satu faktor maraknya kasus mangkrak. Jangan mengacu rekam jejak Polri dalam memberantas korupsi, yang hasilnya bak senjata makan tuan. Bukan pula seperti pepatah lama “menepuk air di dulang terpecik muka sendiri!” Polisi koq dilawan.

Pakem atau primbon yang dianut mengatakan dan menyatakan bahwa Polri yang tumbuh dan berkembang dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, memang harus berinisiatif dan bertindak sebagai abdi sekaligus pelindung dan pengayom rakyat. Harus jauh dari tindak dan sikap sebagai "penguasa". Ternyata prinsip ini sejalan dengan paham kepolisian di semua Negara yang disebut new modern police philosophy"Vigilant Quiescant" (kami berjaga sepanjang waktu agar masyarakat tentram).

Singkat cerita, dengan kaca mata rakyat, kaca mata wong cilik, kaca mata awam, ternyata dan nyatanya, di tubuh Polri terdapat dua mahzab yaitu Polri Perut Gendut dan Polri Rekening Gendut.

Rekening gendut melekat pada jabatan, mulai dari hasil kolaborasi secara sistematis sampai oknum pemanfaat jabatan. Rekening gendut tidak melekat pada pangkat. Tugas dan fungsi Polri yang berhubungan langsung dengan rakyat, tentu ada dampak atau kosekuensi logisnya terhadap pendapatan harian. Penyebab rekening gendut sangat dinamis. Andai ada rekening gendut perwira Polri akibat balas jasa dan imbal budi dari bandar narkoba, tidak sekedar melanggar pasal berlapis, bisa mendapat kutukan dari rakyat.

Kalau perut gendut itu urusan individu, masing-masing anggota Polri, tidak ada sangkut-paut dengan kedinasan. Karena tidak bisa direkeningkan, sebagai barang habis pakai, mau tak mau harus disantap harian. Perut dijadikan rekening hidup. Perut gendut bisa sebagai simbolisasi ketahanan fisik dan mental, hasil adaptasi dengan lingkungan kerja. [HaeN]

siapa yang melakukan kebodohan, orang bodoh atau orang pintar

siapa yang melakukan kebodohan, orang bodoh atau orang pintar

Pihak di Indonesia yang menganggap orang lain bodoh, cuma tukang membuat iklan, pariwara atau apapun sebutan mentereng lainnya. Bahasa dan ragam iklan berbagai produk barang/jasa memposisikan calon konsumen sebagi orang bodoh, sehingga perlu diberi tahu. Memanfaatkan teknologi, noraknya iklan bisa semakin menjadi-jadi.

Justru tukang bikin iklan (apa bedanya dengan tukang jual obat di pinggir jalan?), ternyata tidak memerlukan ilmu iklan. Calon konsumen, diam-diam sudah faham, barang/jasa yang sudah dipakai oleh masyarakat adalah yang tidak memerlukan promosi. Mana emas, mana loyang, tanpa kampanye orang sudah tahu sejak dulu. Harga iklan, biaya iklan, dibebankan kepada pembeli. Kuadran ini sebagai ajang dimana antara orang bodoh dan orang pintar tidak ada bedanya (?).

Jadi apakah konsumen lebih bodoh/lebih pintar dari tukang iklan (tukang jual obat)?

Kita tidak tahu apakah ada pihak di Indonesia yang merasa dirinya pintar. Memposisikan dirinya masuk kategori orang pintar. Mendaulat dirinya layak berada di jajaran orang pintar. Mengakui dirinya dengan berbagai rekam jejak sebagai bukti orang pintar. Menunjuk dirinya dengan tampil berbagai gaya bahasa tubuh sebagai citra diri orang pintar. Memuja dan memuji dirinya sebagai gudang ilmu yang hanya dimiliki oleh orang pintar.

Pagi itu saya menyapu jalan depan rumah dari guguran daun, sampah buangan orang lewat, ceceran isi bak sampah tetangga yang dibongkar kucing dan pemulung. Tanpa diduga, lewat tukang air yang tanpa kompromi parkir di jalan yang sedang/akan saya sapu.

Jadi, kalau saya tegur apalagi memarahi tukang air, bisa-bisa saya melakukan kebodohan yang luar biasa. Namanya tukang air, boleh ngetem atau parkir sembarang tempat, begitu ada yang memanggil. Kata orang, namanya tukang air, kerja dengan modal tenaga dan fisik.

Jangan-jangan tukang air punya pikiran, jalanan koq disapu. Ketiup angin, lalu lalang mobil liwat bisa menyibak udara yang mampu menggeser benda ringan di atas jalan. Siapa duga tukang air punya pengalaman, jalanan usai disapu, sebentar lagi kotor lagi. Idealnya menyapu jalan di sore hari, pikir tukang air.

Andai tukang air saya biarkan begitu saja parkir di jalan yang sedang/akan saya bersihkan, tanpa ditegur, ibarat membiarkan orang lain berbuat seenaknya kepada saya. Tanpa ada reaksi. Begitu. Jadi, siapa yang melakukan kebodohan? [HaeN]

Kamis, 28 April 2016

generasi silau atau generasi galau masa depan

generasi silau atau generasi galau masa depan

Beberapa anak SD menggerombol di depan rumah sebelah kiri saya. Berdiri, ada yang sibuk dengan sepedanya. Berbicara dengan suara dan nada keras, tetapi anak yang lain, pendengar, nyaris tak terdengar suaranya.

“Nanti kalau kuliah, cari yang pakai hitung-hitungan atau yang menggunakan bahasa. Temanku yang ranking, pintar hitungan tapi bahasanya jelek.” Kalimat yang kutangkap. Entah siapa yang berceloteh. Tidak jelas apa yang dibicarakan, nampak diskusi berlanjut hangat.

“Ayahku hidup dari menggunakan bahasa. Sebagai pengacara. Kata ayah, hidup harus menguasai bahasa, harus pandai ngomong.” Sergah satu satu anak. Pembicaraan diselingi gelak mentertawakan omongan temannya. Bernada meremehkan.

Perbincangan semakin  menjadi, karena tetangga yang haji sedang menyapu jalan ikut menimbrung obrolan cucunya. “Yang penting jangan mau jadi apa. Bisanya apa?”.

Anak zaman sekarang, bak bara disiram premium. Menjawab atau ngotot sama saja : “Tapi, orang tua saya, bisa pergi kemana saja?”. Riuhnya anak, banyak percakapan yang tak tedengar. Hanya hingar bingar anak menceritakan kerja orang tuanya.

Suara bertambah, karena ada yang lewat, ikut nimbrung. Pendatang termasuk golongan bau tanah, namun emosinya masih utuh.

“Begini saja, saat kalian masih anak, ikuti saja. Jangan membayangkan yang jauh-jauh. SD saja belum tamat.”. Kata pendatang dengan suara dibuat keren, seperti menasihati cucunya.

Agaknya gerombolan anak bertambah. Malah jadi ajang debat antar generasi. Generasi cucu dengan generasi kakek.

Yang mengusik lamunan saya, ternyata betapa anak SD sudah mulai membayangkan masa depannya. Minimal sudah menerawang mau kuliah seperti apa. Mereka terpengaruh gaya santai orang tuanya. Santai tapi sebagai anak merasa orang tuanya kaya, rumah bagus, punya mobil. Yang lain, orang tuanya pagi-pagi sudah meninggalkan rumah, cuma punya motor, kata sebagian anak.[HaeN]

Rabu, 27 April 2016

ketika revolusi mental kehabisan tepuk tangan penggemar

ketika revolusi mental kehabisan tepuk tangan penggemar

Kata mbah dukun, nasib revolusi mental diuntungkan karena pemimpin besar revolusi mental, dianggap sebagai penjelmaan kembali pemimpin besar revolusi. Nasib baik berikutnya, karena mendapat dukungan formal K/L/D/I secara nasional. Diterjemahkan secara nyata kewujud program/kegiatan tahunan selama periode Jokowi-JK.

Kata mbah dukun, apa yang dibutuhkan rakyat selalu berubah. Khususnya karena rakyat mandiri, berdikari, berikhtiar dengan segala daya yang di tangannya. Tangan dan otak didayagunakan sehari-hari. Tidak mengandalkan belas kasihan negara. Tidak berharap banyak dari jasa wakil rakyat. Tidak memimpikan munculnya rasa prihatin dan rasa iba pihak-pihak tertentu, yang malah menggunting dalam lipatan dalam.

Kata mbah dukun, perubahan pada diri rakyat karena sifatnya mendasar, tanpa komando dari atas. Rumus kehidupan diangkat dari kisah nyata. Rakyat sudah terbiasa makan dari hasil keringat sendiri. Tidak mengharapkan fasilitas negara, tidak membayangkan akan dapat pengampunan pajak wong miskin. Asap dapur tetap mengepul sehari sekali, sudah merupakan nikmat hidup. Mangan ora mangan sing penting ojo dicaplok wong liyo, menjadi semboyan hidup.

Kata mbah dukun, mulut manusia cuma satu, tetapi bisa menelan diri sendiri. Tangan manusia ada dua, jangan sampai mencekik leher sendiri. [HaeN].

ketika kekonyolan sebagai sumber inspirasi

ketika kekonyolan sebagai sumber inspirasi

Hidup tak seindah aselinya, sindir orang bijak. Orang bijak tak lepas dari ucap dan laku konyol, namu cepat memahami dan memperbaiki diri. Orang biasa, acap lupa diri dengan segala bentuk kekonyolannya. Karena tidak ada yang meng-counter, menjadikan kekonyolan sebagai citra diri, bahkan nyaris hak paten. Bukan menyindir profesi pebanyol, komedian, pelawak, tukang kocok perut, atau sebutan khas lainnya.

Pengalaman membuktikan, banyak kejadian yang tak masuk akal di masyarakat, di hubungan antar tetangga, karena banyak yang melakukan, akhirnya dianggap wajar, manusiawi dan bagian dari dinamika hidup. Tampilan orang konyol malah bisa dianggap sebagai bumbu penyedap dan penyadap kehidupan. Kehadirannya memang bisa mengganggu kekhidmatan suasana yang sedang terbangun dalam kelompok, namun ketidakhadirannya menjadikan suasana monoton.

Pengalaman membuktikan bahwa sesuatu yang ada dimulai dari yang tidak ada, atau hasil kombinasi, persilangan dari yang ada menjadi bentuk keadaan lainnya. Bentukan baru muncul karena yang lama termakan waktu. Tantangan dan tuntutan hidup agar jangan sampai tenggelam oleh waktu. Kebijakan yang tanpa dasar religi, hanya akan meniadakan kemapanan yang sudah terjalin turun-temurun. Saat orang lupa dengan apa yang akan dilakukan, bukan hal yang wajar. Indikasi terjadinya pemuliaan daya akal.

Pengalaman membuktikan, secara ilmiah dengan dukungan penuh suasana batin, bentuk kekonyolan berbagai versi bisa diwariskan dalam keluarga secara sistematis dan matematis. Keluarga Konyol. Orang yang potensi, daya hidup, di atas rata-rata. Sesuatu yang berjalan sesuai rel, sesuai rambu-rambu kehidupan, seperti tidak ada perubahan. Gaya hidup tipikal harian. Mengulang tindakan dan kesalahan yang sama dari pagi hingga pagi berikutnya. Tanpa kekonyolan hidup ini berjalan tanpa seni. Perubahan dimulai dari sesuatu yang tak masuk akal, dianggap konyol, malah bertentangan dan berkebalikan dengan kelaziman saat itu.

Masih banyak lagi bentuk kekonyolan yang tak terdeteksi paca indra, tak terendus sisa akal, logika, nalar kiat sebagai bagian dari manusia seutuhnya. [Haen]

dikotomi pe-revolusi mental Nusantara, utamakan keselamatan anak vs utamakan kebijakan partai

dikotomi pe-revolusi mental Nusantara, utamakan keselamatan anak vs utamakan kebijakan partai


Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) atau KHA, telah disahkan sebagai hasil Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in force) pada tanggal 2 September 1990. Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani KHA di New York, Amerika Serikat, pada tanggal 26 Januari 1990. KHA terdiri atas 54 Pasal yang nyaris merupaka pasal pelindung anak secara mendunia. Praktiknya terserah kebijakan negara peserta.

KHA merupakan instrumen yang merumuskan berbagai prinsip yang universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak. Merupakan perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan hak sipil, hak politik, hak ekonomi dan hak budaya. KHA telah diratifikasi Indonesia melalui Keppres 36/1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Dengan ratifikasi tersebut artinya Indonesia sudah melakukan kesepakatan untuk terikat secara yuridis dan politis atas konvensi tersebut, sehingga negara Indonesia mempunyai kewajiban untuk memenuhi setiap hak anak sesuai dengan yang dimandatkan KHA.

Betapa negara melindungi anak, mulai dari produk hukum, mulai UUD NRI 1945, UU 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Keppres 36/1990 berlanjut dengan Keppres 87/2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, dan Keppres 88/2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Tak terkecuali Perpres 18/2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dalam Konflik Sosial.

Pemerintah telah menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN) berdasarkan keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984.

Kabinet Kerja Periode 2014 – 2019 terdapat nomenklatur Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (pengawal utama revolusi mental). Dengan kata lain, penanganan masalah anak secara formal masuk bagian revolusi mental. Kurang apa digdayanya?

 Kajian yang mengatakan bahwa nasib dan kesejahteraan anak belum banyak berubah, terlebih pada aspek yang terkait dengan perlakuan orang tua terhadap anak, yang membuat anak merasa aman dan nyaman tinggal di lingkungan keluarganya.

Fakta atau imajinasi. Aku anak Indonesia, hadapi ancaman setiap waktu. Hadapi bahaya setiap saat. Ironis, bom waktu disekitar dunia anak Indonesia. Ranjau darat bertebaran di sekolah, jalanan, rumah tinggal. Jajanan mengandung perasa sintetis, pewarna non-konsumsi, pengawet. Di rumah, paket sinetron berbasis KDRT, adegan tak layak tonton anak. Sergapan video porno, gim daring bernuansa siapa kuat akan menang. Di jalanan atau kota bisa seolah tak ramah anak. Serbuan budaya asing yang langsung sampai pelosok, pojok Nusantara tak tersaring. Walau acap jatuh korban, kebobolan siang hari, pemerintah sudah kebal dari kebakaran jenggot.

Bukannya tidak peduli. Selain kementerian, terdapat Komisi Nasional Perlidungan Anak yang ikut berkontribusi dalam penanganan anak. Wakil rakyat pun juga mempunyai tugas dan fungsi membidangi dunia anak. Ada masalah besar bangsa menghadang di depan mata. Utamakan eksistensi, jati diri, martabat pemain, pelaku, pemain politik di mata dunia. Jangan sampai penyelenggara negara kapiran. Jangan sampai parpol juara umum pesta demokrasi 2014, kehilangan pamor.

Dunia anak terkontaminasi dari hulu hingga hilir, sejak dari rumah tangga /keluarga, sampai sekolah. Asal penyelenggara negara (baca : yang berasal dari kawanan parpolis) jangan ikut-ikutan menjadi korban berikutnya !!! [HaeN].

Selasa, 26 April 2016

BNN mampu memprediksi penyalahguna narkoba periode Jokowi-JK

BNN mampu memprediksi penyalahguna narkoba periode Jokowi-JK

Judul di atas belum tuntas, masih perlu dilengkapi dengan : bagimana nasib kandidat koruptor, bagaimana cikal bakal, bakal calon teroris. Pihak mana yang wajib memprediksi sehingga muncul program/kegiatan yang proaktif, preventif, cegah tangkal sejak dini atau semacam proyek. Sulit untuk basmi tikus di sarangnya. Bak masuk ke markas singa atau harimau, minimal serigala. Kepepetnya nyatroni kubangan buaya.

Media massa sering menuturkan betapa penyalahguna narkoba, ternyata tidak dimonopoli penduduk dengan batasan usia tertentu, tidak didominasi manusia dengan profesi tertentu, tidak menjadi hak milik  anak bangsa dengan strata sosial tertentu. Ikhwal ini sebagai spesifikasi yang membedakan dengan kandidat koruptor, bagaimana cikal bakal, bakal calon teroris.

Perlakuan hukum kepada ketiga fenomenal tadi jelas tidak bisa sanding, banding apalagi tanding. Urusan negara lebih direcoki dengan urusan korupsi, peringkat utama. Bagaimana aparat keamanan melakukan tindakan cekal tangkal teroris sejak dini, membuktikan betapa kinerja yang tak pandang bulu. Bagaimana perlakuan terhadap terpidana korupsi, tepatnya memuliakan napi tipikor di lapas, sebagai bukti HAM harus ditegakkan secara utuh. Bagaimana lapas dengan napi penyalahguna narkona sebagai warga binaan, dibina secara profesional dan komersial, sehingga menjadi manusia yang “bermanfaat dan berguna”.

Akahkah jumlah tersangka korupsi, mulai tingkat pusat sampai tingkat bawah pusat, selama periode Jokowi-JK masih jauh di bawah 2 (dua) periode SBY? Apakah berkat pengampunan pajak akan mengurangi kandidat koruptor. Apakah masih perlu memelihara cikal bakal, bakal calon teroris untuk menjaga kestabilan politik luar negeri.

Jangan takut, Indonesia punya senjata andalan berjudul Revolusi Mental. Entah siapa yang menjadi Pemimpin Besar Revolusi Mental. [HaeN]

Senin, 25 April 2016

ketika mereka tak bergegas beranjak dari rumah Allah, usai subuh

ketika mereka tak bergegas beranjak dari rumah Allah, usai subuh

Pagi itu, pengurus DKM di masjid tempat tinggal, menyediakan minuman teh nasgicer (panas, legi dan encer) dan jamu rebus (jagung muda) untuk jamaah. Malamnya tidak ada hujan ataupun gerimis. Usai sholat subuh, imam lanjut memimpin doa bersama. Jamaah mengikuti atau ada yang baca doanya sendiri. Sebagian jamaah ada yang langsung pulang.

Berpartisipasi ikut teguk teh, sambil sedikit ngobrol. Biji jagung walau muda, masih untuh rapat,  tidak sanggup kulawan dengan gigiku yang sudah tidak lengkap dan utuh. Kulihat di masjid, ternyata masih banyak jamaah, yang didominasi kaum ahli tunggu rumah, masih tafakur. Walau doa bareng yang lebih lama dibanding sholat subuh, sudah usai, mereka tetap asyik berdialog dengan Allah.

Fenomena tadi ternyata menarik perhatian jamaah yang sedang kunyah jagung, diselingi hirup teh hangat. Ada yang baru tahu, termasuk saya, masih ada jamaah yang demikian hangat berkomunikasi dengan penciptanya. Komentar bapak-bapak, memang kehidupan harian dimulai dari pagi hari. Mereka tafakur mencari jaminan, kepastian, kemantapan hati dari Alah, agar hari ini bisa eksis.

Seharian tunggu dan jaga rumah, memang jauh dari tantangan hidup, tapi tak bebas dari godaan hidup. Sibuk dengan cucu, tetap merasa hidup ini seperti menunggu waktu. Punya aktivitas rutin sesusai kemampuan diri karena usia, hanya sekedar mengisi waktu. Hobi baca koran, sampai iklan ditelusuri. Lowongan kerja disimak. Acara TV tak mampu mengisi hati, bahkan memacu detak jantung. Bisa mengumpat dalam hati. Berita politik malah menjadi hiburan, melihat tampilan langsung pejabat sedang buka mulut.

Pembicaraan yang sedang kurekam dalam hati, mendadak terhenti, karena ada yang mengajak bersalaman mau pulang. Tak lupa dia bawa sepotong jagung rebus, untuk bekal di jalan katanya.

Sesampainya di rumah, seperti terbayang kejadian hari ini yang akan kulakoni. [HaeN]

Minggu, 24 April 2016

fakta dibalik sanjungan, 1 tahun Jokowi = 10 tahun SBY

fakta dibalik sanjungan, 1 tahun Jokowi = 10 tahun SBY

Menurut kamus bahasa gaul sampai kamus bahasa diplomat.
Mengacu kamus agen narkoba sampai kamus agen makelar tanah dan air.
Merunut kamus kaum LGBT sampai kamus kaum imigran gelap.
Membuka kamus anak jalanan sampai kamus anak gedongan.
Membaca kamus pejuang politik sampai kamus pemerima warisan politik.
Memilah kamus bahasa isyarat sampai kamus bahasa manusia.

Jika ada oknum anak bangsa, yang membeberkan fakta bahwa prestasi Jokowi sebagai presiden di tahun pertama, atau baru setahun sudah menyamai kinerja SBY selama dua periode : 2004-2009 dan 2009-2014 atau 10 (sepuluh) tahun. Ternyata ‘sanjungan’ tersebut baru awalnya saja. Belum tuntas. Ybs akan mengatakan bahwa cukup setahun saja Jokowi jadi presiden.

Jika Jokowi masih berlanjut ditahun kedua sampai tahun terakhir masa jabatan, dipastikan sudah kehabisan prestasi, kehabisan nilai jual, kehabisan energi positif. Tepatnya, Jokowi sudah bisa naik klas, ke strata setingkat lebih tinggi. Ini yang tidak diwaspadai pembaca. Bahasa politik, jika seseorang menjilat, memuja, memuji seseorang, pada dasarnya sebagai langkah awal untuk membantingnya. Biar yang dijilat, lengah, merasa dininabobokan.

Jangan heran jika presiden senior Indonesia, menunggu tidak ada pihak yang memuja dan memuji, tanpa sungkan, tiada malu, tak perlu risi, serta-merta menyanjung diri sendiri, memuja dan memuji diri sendiri.[HaeN]

rata-rata konsumsi berita politik penduduk Indonesia

rata-rata konsumsi berita politik penduduk Indonesia

Pihak berwenang di Indonesia belum pernah merilis berapa rata-rata konsumsi berita politik penduduk, per jam atau satuan waktu lainnya. Kesulitan utama, belum ada standar baku berita politik yang layak dikonsumsi masyarakat. Dipihak lain, berjibunnya media pemberitaan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Kemasan berita politik hanya ada 2 (dua) versi, yaitu menjilat atau menghujat. Berita politik pun masih bisa diketegorikan, apakah berita tingkah laku pelaku dan pemain politik, sepak terjang orang politik, kesibukan petugas/suruhan/kurir partai (mulai dari begundal, cecunguk, bolodupak sampai kepala negara) atau berita yang masuk kategori politik (mulai presiden blusukan, kunker, sidak sampai tertangkap tanggannya orang politik oleh KPK).

Dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, apakahperingkat kita unggul atau sekedar wajar, normal, normatif. Dibalik pengkonsumsian berita politik, tersirat fakta apa saja?

Kita tidak punya ketentuan, apakah pejuang politik harus sering tampil diberitakan. Atau tampil saat tersandung, terbentur kasus non-politik. Raport politik penyelenggara sejauh ini belum pernah ditayangkan ke publik. Rakyat sudah bisa menduga kadar politik yang sering tampil. Rakyat dengan kaca mata kesederhanaan bisa menakar mana tokoh yang sarat dengan melek politik sampai yang sekedar penyandang warisan nama besar.

Terkadang pemain politik ibarat pelawak, komedian, tukang kocok perut, pembanyol, pabrik ketawa, ngomong ora ngomong, bayarane podo. Ngomong sepisan, wis ora lucu, kleru, digeguyu dewe. Kalau yang berorasi ketua umum parpol di depan kadernya, sudah ada tukang keploknya. Makanya ada saja pemain politik yang hemat bicara. Takut ketahuan isi perutnya, takut terbuka rahasia daya pikir politiknya. Walau bukan copas.

Pemain, pelaku politik Nusantara ada batas masa berlakunya, begitu jatuh tempo, otomatis jadi barang apkiran. Tak jarang yang cepat kedaluwarsa, akibat sebagai kader karbitan, kader orbitan, kader jenggot, kader warisan. Berita politik malah bisa sebagai hiburan, atau bisa sebagai adegan sinetron picisan. Sudah ketahuan akhir ceritanya. Apalagi jika sudah ketauan siapa memainkan peran apa.

Bukan kuantitas maupun kualitas berita politik, tetapi dampak nyata bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Apakah rakyat secara tak langsung bisa melihat siapa cikal bakal calon pemimpin nasional. Dalam suatu kompetisi olah raga, akan terlihat pemain berbakat, akan terdeteksi calon pemain masa depan.

Apakah rakyat bisa mencerna bagaimana batasan minimal yang harus dikerjakan oleh kepala daerah yang dipilih oleh rakyat. Apakah gubernur, atau bupati/walikota sekedar jabatan politik yang hanya akan meninggalkan bom waktu.

Apakah rakyat menjadi tahu betul apa saja yang dikerjakan wakil rakyat. Kapan rakyat harus turun ke jalan, jika wakil rakyat tingkat kabupaten/kota kewalahan menampung aspirasi rakyat. Rakyat melihat betapa perjuangan wakil rakyat tingkat pusat, dalam memilah dan memilih kepentingan yang diprioritaskan, diutamakan, dianakemaskan.

Apakah rakyat menyadari, memahami sekaliguas memaafkan, karena ada parpol numpang lewat di pesta demokrasi, atau ada kader politik numpang nama di pesta demokrasi. [HaeN]

Sabtu, 23 April 2016

ketika anak sekolah merasa bisa sebagai pemain dalam game online

ketika anak sekolah merasa bisa sebagai pemain dalam game online

Media penyiaran televisi pernah menayangkan acara gulat pura-pura berjudul smackdown. Sandiwara gulat di atas ring, bahkan diluar ring. Atraksi adu mulut, caci maki, saling umpat, saling tunjuk dengan muka seram, tampilan badan kekar, saling pukul pakai tangan atau alat, menjadi daya tariknya. Antar koalisi pegulat, berusaha memampuskan lawannya dengan berbagai gaya. Berbagai teknik bela diri dipraktikkan. Semua anggota badan bisa jadi senjata mematikan.

Anak sekolah dengan modal menonton saja, dampaknya cukup mengejutkan berbagai pihak. Dengan logika, nalar, akal anak, smackdown dipraktikkan ke temannya. Antara iseng, atau jiwa keberaniannya muncul dan ingin coba apa yang telah ditontonnya di televisi. Pada saat itu, korban pun terendus awak media massa. Mulai dari yang pingsan, cidera fisik, gegar otak, muntah darah sampai ada yang meninggal.

Hanya dengan modal mata, dampak tayangan diluar prakiraan pengamat atau ahlinya. Bayangkan jika berkat kemajuan teknologi, anak sekolah bisa memilih berbagai konten di game online, bahkan bisa memilih sebagai pemain. Mulai sebagai pembalap, pendekar, pemburu sesuai pilihannya. Mau tak mau, karakter anak terkontaminasi dengan peran yang dilakukannya. Merasa jagoan, pahlawan, atau sebutan lainnya sesuai bayangan mereka. Tanpa kontrol orang tua atau lingkungan, mereka bisa betah duduk berjam-jam main game, baik memanfaatkan gadget maupun ke warnet. Ironisnya, yang menjadi korban adalah dirinya sendiri. [HaeN]

semangat bela negara dan game-game anak berbasis kekerasan

semangat bela negara dan game-game anak berbasis kekerasan

Menyoal pertahanan negara, telah ditentukan dalam UUD NRI 1945 a.l hak dan kewajiban setiap warga negara untuk ikut serta dalam usaha pembelaan negara. UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 9 menyuratkan bahwa keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, diselenggarakan melalui :  pendidikan kewarganegaraan; pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; serta pengabdian sesuai dengan profesi.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu (KRIMINALITAS.COM, Jakarta  BERITAPOLKAM Oct 12, 2015 21:47) mencanangkan seluruh warga negara Indonesia wajib ikut bela negara. Program bela negara ini dicetuskannya karena prihatin dengan rasa nasionalisme masyarakat Indonesia, utamanya generasi muda. Bela negara ini akan membentuk disiplin pribadi, disiplin kelompok dan disiplin nasional. Program bela negara wajib diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai tukang ojek sampai rektor universitas. Selain itu tidak ada batasan umur dalam program ini, yang menyesuaikan hanya porsi latihannya.

Akan ada kurikulum untuk bela negara, mulai TK hingga perguruan tinggi. Bela negara dan wajib militer adalah hal yang berbeda.  Pembentukan kader bela negara ini dimulai serentak pada tanggal 19 Oktober 2015 di sejumlah kabupaten dan kota di Indonesia.

Sisi lain, sejalan kurikulum bela negara, telah muncul dan marak game online yang bisa dikonsumi peserta didik, anak didik, murid, anak sekolah lewat gadget, warnet. Menu konten game sangat menarik minat anak sekolah. Mungkin ada yang terkait dengan versi bela negara, apakah bersifat heroisme atau sekedar petualangan adu nyali, adu otak, adu otot, adu jotos, adu taktik dan strategi, adu alat perang.

Manusia berburu manusia. Peragaaan jurus mematikan bela diri tangan kosong menjadi sumber inspirasi. Naluri, insting, libido, adrenalin untuk menjadi sang juara, jagoan, pahlawan, pemenang mendominasi sekaligus mengkontaminasi watak anak. Penyalurannya bisa tawuran antar pelajar. Menjadi tukang palak di sekolahnya. Mendirikan geng pelajar, yang ‘siap tempur’. Bagian dari setan jalanan sebagai ajang pembuktikan jati diri, eksistensi diri dan rasa berani di atas rata-rata.  Kondisi faktual dan aktual ini akan diperparah atau sama parahnya dengan  dampak gaya hidup, laku gaul, tampil gengsi yang serba bebas. [HaeN]

Jumat, 22 April 2016

produk teknologi informasi dan komunikasi menjajah anak sekolah

produk teknologi informasi dan komunikasi menjajah anak sekolah

Pengguna produk teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tidak identik dengan profesi, tidak dimonopoli kelompok usia, tidak didominasi strata sosial. Di jalan, di tempat umum, di angkutan umum, kita saksikan tangan orang sibuk dengan gadget. Gadget bukan barang mewah. Ingin merasakan TIK secara murah meriah, mampir ke warnet.

Suasana keluarga terbentuk dengan kegiatan ayah, ibu, anak sibuk dengan gadget sesuai kebutuhan. Tak kurang cerita, begitu sampai rumah, orang masih sibuk dengan gadget. Tak salah jika dampak pengguna TIK genggam masuk kategori anti-sosial.

Dampak semakin nyata, jika anak sekolah menggunakan produk TIK tidak untuk menunjang budaya literasi, budaya baca tulis.  Sebagian besar proses pendidikan formal berbasis pada kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi yang ditanamkan pada diri peserta didik sejak dini, diyakini mempengaruhi tingkat keberhasilan baik di sekolah maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Program game online sangat dinamis, berkembang melampaui imajinasi pengguna. Media massa tanpa sadar mempromosikan game baru berbagai versi dengan kelebihannya. Pengguna atau pemain game online dari kalangan anak sekolah, yang sudah tidak gaptek, dengan mudah mencerna. Kurang puas bisa mengunduh dari internet.

Anak sekolah tekun sekedar mengisi waktu sampai betah waktu produktifnya tersita untuk menyelesaikan game online sampai berjilid-jilid. Pengawasan orang tua bisa dilakukan pada penggunaan komputer atau laptop di rumah. Beda cerita kalau anak dengan gadget-nya bisa bebas berselancar bareng game online di mana saja. Anak bersepeda, bergerombol duduk bareng adu pintar otak-atik game online. Anak sekolah yang bisa mengelola waktu, sesuai isi kantong, memanfaatkam warnet untuk menyakurkan bakatnya sebagai pemain. Kurang apa lagi dunia ini. [HaeN]