DIAWALI DENGAN BIROKRASI SEHAT
Memang, kendati gubernur Jakarta, Joko Widodo, turun
langsung ke lapangan dalam menangani Kartu Jakarta Sehat (KJS) dengan
mendatangi puskesmas dan dapat sambutan meriah dari calon pengguna akhir KJS,
bukan jaminan nantinya akan berjalan sesuai rencana. Walaupun program/kegiatan KJS sudah
didukung APBD, bukan jaminan PNS atau SDM yang ada akan mensukseskannya secara
total. Biarpun setengah warga dan penduduk Jakarta sebagai pengguna akhir KJS,
bukan jaminan sebagai dasar perhitungan dalam penyusunan APBD. Banyak faktor yang
harus dikaji
ulang, diantisipasi secara transparan dan dinamis.
Pembuatan KJS tidak masalah, apalagi sampai jumlah jutaan
lembar, bisa jadi proyek tersendiri. Masalah muncul, jika pelaksana di lapangan,
khsususnya ujung tombaknya maupun penyedia jasa kesehatan harus membalik adat
layanan yang komersial menjadi sosial, serba gratis.
Selama ini merasa dalam posisi yang dibutuhkan oleh masyarakat,
harus ganti peran menjadi yang melayani masyarakat. Harus proaktif, lebih
dahulu menyapa, menghormati masyarakat yang datang. SDM di tingkat Puskesmas
sampai Rumah Sakit pelaksana KJS memang harus dikondisikan dengan diklat yang
sesuai. Kalau perlu mantapkan jabatan fungsional pelayanan KJS.
Birokrasi sehat sebagai dasar utama untuk terselenggaranya/ terlaksananya
pendidikan gratis, kesehatan gratis. Tidak mudah merubah pola pikir, atau
bahkan mental yang sudah membudaya, dari mental di belakang meja menjadi mental
lapangan. Terlebih bagi aparat birokrat yang berhubungan langsung dengan
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), atau masyarakat dalam strata sosial
margin, akan mengalami dan meliwati transisi yang butuh waktu. Karena kondisi
dan posisi MBR yang heterogen, memerlukan pendekatan orang per orang, akan menambah beban mental
aparat birokrat [HaeN].